Bunyi bel menyentak kesadaran Gino dari lamunan. Dia membuka pintu apartemennya berharap Laura yang berdiri di sana. Namun, justru David tersenyum lebar sambil menunjukkan bungkusan besar berisi makanan ringan. Laki-laki itu datang seorang diri dan tidak ada tanda-tanda kemunculan Laura di lorong apartemen yang sepi.
"Gino?!"
Gino melebarkan pintu membiarkan David memasuki apartemennya. Dia menutup pintu dengan gerakan pelan seolah memahami kegelisahannya. David mengeluarkan ponsel untuk menghubungi Lucy. Detik berikutnya sambungan itu berakhir lalu David menatapnya prihatin.
"Lucy bersama Jessica, aku tidak bisa memintanya pulang di tengah hujan salju. Lucy berada di Queen's mungkin lusa baru kembali. Maaf tidak bisa membantumu kawan." David menepuk bahu Gino pelan. "Mungkin aku bisa membujuk Laura datang kemari, selain Lucy seharusnya aku cukup dekat dengannya."
David memutar tu
Seminggu kemudian, Laura akhirnya terbebas dari neraka. Dia menghirup aroma kebebasan dengan memberikan senyum lebar pada Grace. Yang hanya di balas oleh perempuan itu berupa tanda tanya. "Aku merindukanmu," ucap Laura menyebabkan Grace mengerti arti dari senyuman tadi. "Seminggu ini, apa ada yang aku lewatkan?" tanyanya. Grace menggeleng. "Hanya tukang koran dan pengantar bunga." "Bunga apa?" "Sunflower, aku benci bunga itu," ucap Grace jujur. "Russell tidak mungkin mengirim bunga." Laura menatap tumpukan bunga matahari yang telah mengering. "Laura, apa kau memiliki penggemar selain bocah itu?" "Mario tidak pernah memberiku bunga," gumam Laura pelan. "Hampir setiap hari laki-laki itu datang kemari, kau tunggu saja. Aku harus bekerja sekarang, selamat datang Laura. Aku juga merindukanmu."
Gino pernah memiliki keinginan menjadi Orion di hidup Laura. Menyinari gadis itu dengan cahayanya yang terang. Namun, setelah waktu terlewati Gino menyadari satu hal mengenai keinginannya. Laura tidak memerlukan cahayanya sebab ada cahaya lain yang mampu menggantikannya. Dan Orion itu adalah Mario.Mungkin sudah saatnya Gino menutup kisah masa lalunya bersama Laura. Keputusannya dulu merupakan pilihan bodoh, dia tidak bisa mengembalikan waktu meski sekeras apa pun berusaha mendapatkan hati Laura. Gadis itu sudah mendapatkan kebahagiannya bersama Mario."Gino, datanglah ke apartemenku untuk merayakan tahun baru. Kau bisa mati jika hanya berdiam diri di sini. Laura sedang bersama Lucy, ini kesempatanmu mendapatkan perhatiannya." David keluar dari kamar mandi dan menghampiri Gino di balkon. "Apa kau mendengarku?" tanyanya.Gino menoleh sekilas lalu kembali menatap lurus ke depan melihat kembang api mewarnai langit. Tahun te
Laura tidak butuh Orion. Yang dia butuhkan saat ini hanya ketenangan tanpa gangguan siapa pun. Namun, keinginan itu tidak terealisasi saat mendengar suara pintu terbuka. Gino menghampirinya dengan ekspresi sulit diartikan, begitu setidaknya menurut penilaian Laura."La, mana yang sakit?"Laura tertawa dalam hati merasa aneh akan pertanyaan itu. Jika dua tahun lalu Gino menanyakan pertanyaan serupa, Laura akan menjawab hatinya yang sakit. Namun, waktu telah berlalu. Dia sudah tidak merasakan sakit itu lagi. Atau mungkin hatinya terlanjur mati untuk merasakan rasa sakit yang sama."Aku baik-baik aja No," ucap Laura lirih."Dokter bilang kamu boleh pulang, tapi aku mau kamu tetap di sini sampai kondisimu pulih." Gino mencoba tersenyum. "Aku bakal jagain kamu La."Laura menggeleng. "Aku mau pulang," ucapnya datar."Kamu masih fobia sama rumah sakit La?"Laura menolak tawaran Gino untuk mengantarnya pulang, tapi laki-laki itu m
"Lala bagaimana keadaanmu?"Laura menelan kunyahan pizza-nya susah payah. Setelah ucapan Gino semalam, Laura tidak tidur hingga pagi dan Lucy berkunjung ke apartemennya sambil membawa pizza. Dia memikirkan tentang perceraian Gino juga pengakuan laki-laki itu. Tidak dipungkiri, Laura merasakan sesuatu yang dulu pernah dirasakannya.Kerinduan.Oh tidak, Laura sudah mengakhiri perasaan itu tiga tahun lalu karena terhitung tahun ini telah berganti. Seharusnya perasaan itu lenyap pada malam Gino membuatnya kecewa. Namun, pengakuan Gino semalam tampaknya cukup mempengaruhi perasaan Laura."Cih, apakah tentang si brengsek Gino?"Laura meletakkan slice pizza yang tidak lagi menarik begitu mendengar perubahan nada bicara Lucy."Dia sudah bercerai," ucap Laura."Lalu apa hubungannya denganmu?!" tanya Lucy keras.Laura menggelen
"Kenapa kau melukainya?"Gino terduduk lesu di sofa. Kakinya terlipat dan matanya menatap kosong ke depan. Kejadian beberapa menit yang lalu di luar perkirannya. Dia tidak menyangka Laura melihatnya mencium Mika. Kejadian tersebut tidak direncanakan tepatnya hanya sebuah kecelakaan. Meskipun berulangkali Mika meminta maaf serta bersikeras untuk menjelaskan pada Laura. Gino yakin dengan kepribadian Laura, masalah tadi hanya akan menimbulkan kesalahpahaman."Gino, aku tahu dia masih mencintaimu," ucap Mika mencoba memecah keheningan."Kau bukan dia, simpan saja argumenmu itu." Gino tidak tertarik dan memilih bangkit dari sofa. "Pulanglah, aku ingin menenangkan diri," ucapnya lalu melemparkan jaketnya pada Mika. "Pakailah sebelum orang lain menjadi korbanmu.""Huh, kau selalu saja keras kepala!"Setelah Mika meninggalkan apartemennya. Gino mengacak rambutnya frustasi. Apa yang baru saja dia lakukan?Ekspresi kecewa Laura mengingatkan Gino
Laura terseok-seok menyusuri koridor rumah sakit. Pukul tiga dini hari dia mendapat kabar kondisi Russell memburuk dan dilarikan ke rumah sakit. Laura berpegangan pada Mario yang berusaha menenangkannya. Dia bersyukur Mario bersedia mengemudi menuju Queen's pada malam buta."Dia akan baik-baik saja," ucap Mario lembut."Aku berhutang nyawa padanya. Bagaimana aku bisa membalasnya jika dia seperti ini?" gumam Laura lirih."Kau bisa membalasnya saat dia sadar nanti."Seharusnya ucapan Mario benar dan Laura tidak perlu menunggu selama satu jam hingga dokter keluar dari ruangan itu. Lalu mengatakan Russell berhasil melewati masa kritis. Laura bernapas lega dan jatuh di pelukan Mario."Kau bisa menemuinya setelah dia dipindahkan ke ruang perawatan," ucap Mario mengusap punggung Laura lembut. "Jangan menangis. Kau mengundang perhatian publik."Setelah cukup lama duduk di ruang tunggu, Laura memutuskan untuk menemui Russell. Laki-laki itu suda
Apartemen mewah dengan tiga kamar tidur mampu mengenyahkan pikiran Laura dari pertengkarannya dengan Mario. Setelah dokter mengizinkan Russell pulang, Laura mengikuti laki-laki itu ke apartemen seperti permintaan tempo hari. Dia sempat mampir sebentar ke restoran dan meminta Grace menjaga tempat itu.Tinggal di apartemen Russell merupakan pilihan tepat mengingat hubungannya dengan Mario serta Gino merenggang. Laura bisa menenangkan diri untuk sementara. Hingga kondisi Russell membaik. Setelah itu, Laura perlu mencari tempat lain supaya orang lain tidak mengganggu kehidupannya."Sayang, kemari sebentar."Laura mengikuti Russell menuju sebuah ruangan. Di dalam ruangan itu terdapat beberapa lukisan. Salah satunya lukisan Mona Lisa yang melegenda. Laura tidak tahu apakah lukisan itu asli atau tiruan. Dia bukan penggemar lukisan."Duduk di sana. Aku akan melukismu," ucap Russell.Laura duduk di kursi sementara Russell mulai menyapukan goresan pertamanya
Gino menunggu kedatangan Mika dan perempuan itu terjebak macet. Seandainya bukan karena Mika memintanya menunggu di toko perhiasan. Gino tidak akan bertemu Laura dan melihat gadis itu masih memakai cincin pemberiannya."No, aku duluan ya," pamit Laura sementara Gino masih mematung dalam diam. "Itu, Mika udah datang."Gino menarik napas dalam-dalam lantas menoleh ke belakang. Mika berbicara sebentar dengan Laura kemudian gadis itu berlalu bersama laki-laki yang merangkul pinggangnya. Dada Gino sesak melihat pemandangan tersebut ketimbang melihat Mario mencium Laura di depan matanya."Laura semakin cantik," ucap Mika yang sudah berdiri di depan etalase.Gino mengangguk setuju. Laura memang cantik sejak dulu, tapi kecantikan itu semakin bertambah setelah dia melepasnya. Dan Mika sengaja membuatnya semakin terpuruk. Gino keluar dari toko perhiasan itu mengabaikan teriakan Mika. Dia bermaksud mengejar Laura dan menangkap sosok dua orang menur