"Kamu lagi sibuk?"
Gino meletakkan ponselnya di antara telinga dan bahu sambil memeriksa berkas pekerjaannya. Alasan Gema merindukannya menyebabkan Gino tidak bisa menolak panggilan dari Ajeng.
"Aku bisa ngobrol sambil kerja," ucap Gino berbohong, dia tidak bisa membagi fokusnya secara bersamaan. Namun, demi Gema, dia mengalah.
"Kalau ada waktu aku mau bawa Gema ke New York sekalian ketemu Lala, udah lama banget kami nggak ketemu. Dia belum tahu kita pernah nikah. Istilah teman makan teman lagi trending dan aku nggak mau dia kecewa. Kamu bisa simpan rahasia ini 'kan, No?"
Tentu saja Gino harus menyimpan rahasia pernikahannya dengan Ajeng. Misi mengejar Laura tidak boleh gagal hanya karena pernikahan palsu.
"Tenang aja, aku nggak bakal ngomong apa-apa," ucap Gino datar.
"Bagus deh."
"Kapan kamu bawa Gema ke New York?" tanya G
Jika bisa menggambarkan bagaimana lelahnya Laura saat ini, maka hanya Tuhan yang tahu. Di kehidupan setelah reinkarnasi Laura bersumpah akan bersikap baik pada siapa pun. Supaya kehidupannya damai tanpa gangguan terlebih manusia bernama Russell. Katakan saja bad mood menghadapi tingkah remaja itu. Melebihi kesukaran menjaga Jessica yang hanya menangis saat meminta makanan. Russell lebih dari menyedot tenaga, emosi, dan pikiran. Laura tidak bisa meninggalkan Russell barang sejenak. Berjaga dua puluh empat jam di sisi laki-laki itu.Penderitaannya berakhir setelah seorang gadis cantik datang dan meminta Laura untuk pulang. Meskipun Russell tampak tidak rela, tapi dengan penuh perjuangan akhirnya Laura terbebas.Kini di apartemennya yang sunyi tanpa pencahayaan lampu, Laura berbaring di lantai dalam diam. Dia tidak ingat terakhir kalinya bernapas lega. Tubuhnya remuk seperti tertimpa beban berat, dia tidak ingin beranjak dari lantai. Meng
Bunyi bel menyentak kesadaran Gino dari lamunan. Dia membuka pintu apartemennya berharap Laura yang berdiri di sana. Namun, justru David tersenyum lebar sambil menunjukkan bungkusan besar berisi makanan ringan. Laki-laki itu datang seorang diri dan tidak ada tanda-tanda kemunculan Laura di lorong apartemen yang sepi. "Gino?!" Gino melebarkan pintu membiarkan David memasuki apartemennya. Dia menutup pintu dengan gerakan pelan seolah memahami kegelisahannya. David mengeluarkan ponsel untuk menghubungi Lucy. Detik berikutnya sambungan itu berakhir lalu David menatapnya prihatin. "Lucy bersama Jessica, aku tidak bisa memintanya pulang di tengah hujan salju. Lucy berada di Queen's mungkin lusa baru kembali. Maaf tidak bisa membantumu kawan." David menepuk bahu Gino pelan. "Mungkin aku bisa membujuk Laura datang kemari, selain Lucy seharusnya aku cukup dekat dengannya." David memutar tu
Seminggu kemudian, Laura akhirnya terbebas dari neraka. Dia menghirup aroma kebebasan dengan memberikan senyum lebar pada Grace. Yang hanya di balas oleh perempuan itu berupa tanda tanya. "Aku merindukanmu," ucap Laura menyebabkan Grace mengerti arti dari senyuman tadi. "Seminggu ini, apa ada yang aku lewatkan?" tanyanya. Grace menggeleng. "Hanya tukang koran dan pengantar bunga." "Bunga apa?" "Sunflower, aku benci bunga itu," ucap Grace jujur. "Russell tidak mungkin mengirim bunga." Laura menatap tumpukan bunga matahari yang telah mengering. "Laura, apa kau memiliki penggemar selain bocah itu?" "Mario tidak pernah memberiku bunga," gumam Laura pelan. "Hampir setiap hari laki-laki itu datang kemari, kau tunggu saja. Aku harus bekerja sekarang, selamat datang Laura. Aku juga merindukanmu."
Gino pernah memiliki keinginan menjadi Orion di hidup Laura. Menyinari gadis itu dengan cahayanya yang terang. Namun, setelah waktu terlewati Gino menyadari satu hal mengenai keinginannya. Laura tidak memerlukan cahayanya sebab ada cahaya lain yang mampu menggantikannya. Dan Orion itu adalah Mario.Mungkin sudah saatnya Gino menutup kisah masa lalunya bersama Laura. Keputusannya dulu merupakan pilihan bodoh, dia tidak bisa mengembalikan waktu meski sekeras apa pun berusaha mendapatkan hati Laura. Gadis itu sudah mendapatkan kebahagiannya bersama Mario."Gino, datanglah ke apartemenku untuk merayakan tahun baru. Kau bisa mati jika hanya berdiam diri di sini. Laura sedang bersama Lucy, ini kesempatanmu mendapatkan perhatiannya." David keluar dari kamar mandi dan menghampiri Gino di balkon. "Apa kau mendengarku?" tanyanya.Gino menoleh sekilas lalu kembali menatap lurus ke depan melihat kembang api mewarnai langit. Tahun te
Laura tidak butuh Orion. Yang dia butuhkan saat ini hanya ketenangan tanpa gangguan siapa pun. Namun, keinginan itu tidak terealisasi saat mendengar suara pintu terbuka. Gino menghampirinya dengan ekspresi sulit diartikan, begitu setidaknya menurut penilaian Laura."La, mana yang sakit?"Laura tertawa dalam hati merasa aneh akan pertanyaan itu. Jika dua tahun lalu Gino menanyakan pertanyaan serupa, Laura akan menjawab hatinya yang sakit. Namun, waktu telah berlalu. Dia sudah tidak merasakan sakit itu lagi. Atau mungkin hatinya terlanjur mati untuk merasakan rasa sakit yang sama."Aku baik-baik aja No," ucap Laura lirih."Dokter bilang kamu boleh pulang, tapi aku mau kamu tetap di sini sampai kondisimu pulih." Gino mencoba tersenyum. "Aku bakal jagain kamu La."Laura menggeleng. "Aku mau pulang," ucapnya datar."Kamu masih fobia sama rumah sakit La?"Laura menolak tawaran Gino untuk mengantarnya pulang, tapi laki-laki itu m
"Lala bagaimana keadaanmu?"Laura menelan kunyahan pizza-nya susah payah. Setelah ucapan Gino semalam, Laura tidak tidur hingga pagi dan Lucy berkunjung ke apartemennya sambil membawa pizza. Dia memikirkan tentang perceraian Gino juga pengakuan laki-laki itu. Tidak dipungkiri, Laura merasakan sesuatu yang dulu pernah dirasakannya.Kerinduan.Oh tidak, Laura sudah mengakhiri perasaan itu tiga tahun lalu karena terhitung tahun ini telah berganti. Seharusnya perasaan itu lenyap pada malam Gino membuatnya kecewa. Namun, pengakuan Gino semalam tampaknya cukup mempengaruhi perasaan Laura."Cih, apakah tentang si brengsek Gino?"Laura meletakkan slice pizza yang tidak lagi menarik begitu mendengar perubahan nada bicara Lucy."Dia sudah bercerai," ucap Laura."Lalu apa hubungannya denganmu?!" tanya Lucy keras.Laura menggelen
"Kenapa kau melukainya?"Gino terduduk lesu di sofa. Kakinya terlipat dan matanya menatap kosong ke depan. Kejadian beberapa menit yang lalu di luar perkirannya. Dia tidak menyangka Laura melihatnya mencium Mika. Kejadian tersebut tidak direncanakan tepatnya hanya sebuah kecelakaan. Meskipun berulangkali Mika meminta maaf serta bersikeras untuk menjelaskan pada Laura. Gino yakin dengan kepribadian Laura, masalah tadi hanya akan menimbulkan kesalahpahaman."Gino, aku tahu dia masih mencintaimu," ucap Mika mencoba memecah keheningan."Kau bukan dia, simpan saja argumenmu itu." Gino tidak tertarik dan memilih bangkit dari sofa. "Pulanglah, aku ingin menenangkan diri," ucapnya lalu melemparkan jaketnya pada Mika. "Pakailah sebelum orang lain menjadi korbanmu.""Huh, kau selalu saja keras kepala!"Setelah Mika meninggalkan apartemennya. Gino mengacak rambutnya frustasi. Apa yang baru saja dia lakukan?Ekspresi kecewa Laura mengingatkan Gino
Laura terseok-seok menyusuri koridor rumah sakit. Pukul tiga dini hari dia mendapat kabar kondisi Russell memburuk dan dilarikan ke rumah sakit. Laura berpegangan pada Mario yang berusaha menenangkannya. Dia bersyukur Mario bersedia mengemudi menuju Queen's pada malam buta."Dia akan baik-baik saja," ucap Mario lembut."Aku berhutang nyawa padanya. Bagaimana aku bisa membalasnya jika dia seperti ini?" gumam Laura lirih."Kau bisa membalasnya saat dia sadar nanti."Seharusnya ucapan Mario benar dan Laura tidak perlu menunggu selama satu jam hingga dokter keluar dari ruangan itu. Lalu mengatakan Russell berhasil melewati masa kritis. Laura bernapas lega dan jatuh di pelukan Mario."Kau bisa menemuinya setelah dia dipindahkan ke ruang perawatan," ucap Mario mengusap punggung Laura lembut. "Jangan menangis. Kau mengundang perhatian publik."Setelah cukup lama duduk di ruang tunggu, Laura memutuskan untuk menemui Russell. Laki-laki itu suda
Ada banyak tempat yang menjadi pilihan, tapi Laura justru memilih Aussie dan tinggal bersama Rahma. Merawat Yuki dan Darren sedikit mengurangi kesedihannya akibat kepergian bayinya. Hubungannya dengan Rahma pun perlahan membaik begitu pula ketika Ajeng berkunjung ke Aussie. Laura sudah bisa tetawa lepas seolah bebannya di masa lalu terangkat. Satu tahun berlalu setelah Laura meninggalkan New York dan memutus komunikasi dengan orang-orang di sana. Dia tidak ingin mengingat semua kejadian yang terjadi di sana, meski Mario dan Lucy bukan orang yang seharusnya dihindari. Namun, mengingat mereka sama saja membuka luka yang berusaha Laura lupakan.Biarkan saja New York menjadi kenangan sama seperti Jogja.Hidup barunya dimulai di Aussie bersama keluarga kecil Rahma.Setahun itu pula Laura menghindari pembahasan yang berkaitan dengan Gino, meski dia mendengar dari Ajeng perihal laki-laki itu yang juga menetap di Aussie. Dia berharap tidak pernah dipertemukan deng
Bab 99“Kalau kamu ngerasa gitu, untuk apa kamu datang ke sini?”Laura tidak bisa untuk tidak melayangkan tatapan sinis. Dia tidak habis pikir Gino mengucapkan kalimat seperti laki-laki brengsek. Jika di dunia ini terdapat banyak bajingan yang berkeliaran, maka Gino adalah salah satunya.“Aku mau lihat kondisi kamu.” Gino mengalihkan tatapannya pada perut Laura yang tertutup selimut. “Juga turut berduka buat bayi itu.”“Kamu brengsek, No,” ucap Laura.“Maaf.”“Kamu nggak ingat?” Laura menatap Gino kecewa. “Kamu nikah sama Ajeng setelah mutusin aku dan kamu balik ke sini ganggu hidupku yang mulai tertata. Kamu buat aku nyakiti Russell padahal dia tulus cinta sama aku. No, kamu nggak tahu gimana sulitnya aku bertahan selama ini?” Laura menggeleng. “Kamu nggak tahu karena kamu cuma peduli sama perasaanmu sendiri. Aku yang bertahan, tapi kamu seenaknya
"Gino, sebaiknya kau datang ke rumah sakit."Di sinilah sekarang Gino berada. Menatap Laura yang terbaring dengan peralatan medis terpasang di tubuh gadis itu. Dia ingin menghampiri Laura, tapi sebuah pukulan lebih dulu melayang di wajahnya. Rasa nyeri menjalar seakan tulang pipinya remuk, tapi dia hanya mematung alih-alih membalas pukulan Mario."Laura hampir tidak tertolong jika Mingye terlambat mengambil tindakan." David menepuk bahu Gino pelan. "Dia juga kehilangan bayinya.""Laura berpesan apa pun yang terjadi, dia ingin bayinya selamat." Mario berujar dengan nada dingin. "Sayangnya dia harus terluka karena bajingan yang tidak mengakui darah dagingnya sendiri."Kaki Gino seolah terpaku di tempat mendengar berita tentang bayi yang dikandung Laura. Maksud ucapan Mario seperti menuduhnya seolah dia adalah ayah dari bayi malang itu."Atas dasar apa kau menuduhku?!" tanya Gino keras."Atas dasar kau laki-laki brengsek!"Sebelum Mario
Guncangan kasar menyebabkan Laura terbangun dan segera bangkit dari ranjang. Dia membuka laci meja riasnya dan mengeluarkan beberapa butir obat. Dalam sekali tegukan obat itu telah berpindah menuju perutnya.Laura kembali mengonsumsi obat, meski Mingye melarangnya. Dia tidak bisa bertahan tanpa obat karena bayangan masa lalunya perlahan muncul.Bayangan yang mati-matian Laura lupakan.Membuka pintu kamarnya dan menemukan keheningan di apartemen. Langit telah gelap, tapi tidak menyurutkan niatnya mendatangi restoran dua puluh empat jam. Dia duduk di salah satu kursi paling pojok untuk mencari ketenangan. Meskipun restoran itu hanya berisi beberapa orang saja. Laura tidak ingin berbaur dengan mereka atau sekadar menatap orang-orang di sana.Pukul tiga dini hari berdiam diri di restoran dua puluh empat jam. Tidak pernah ada dalam bayangan Laura selama tinggal di New York. Namun, malam ini adalah titik di mana dia merasa gagal menjadi manusi
Musim semi telah berakhir digantikan musim panas mewarnai langit New York. Seperti musim yang berganti, maka kehidupan pun terus berjalan. Hari ini Laura menerima tawaran Mario mengunjungi rumah tepi danau. Bukan untuk bernostalgia atau bersantai melainkan ada kabar mengejutkan perihal kehamilannya.Sebenarnya Laura sudah merasakan keanehan di tubuhnya, tapi kesedihan membuatnya mengabaikan perubahan itu. Namun, Mario menghubunginya dan mengajaknya ke rumah tepi danau untuk bertemu Mingye. Dokter bermata sipit itu tinggal di sana selama musim panas. Sehingga bisa dipastikan tidak akan memenuhi permintaan Mario memeriksa kehamilan Laura.Dokter juga membutuhkan liburan.Begitu setidaknya pengakuan Mingye.Dua jam perjalanan akhirnya mobil itu berhenti di rumah kayu. Tempat paling nyaman ketika Laura masih menjalin hubungan dengan Mario. Tidak terasa waktu berputar begitu cepat merubah status mereka menjadi mantan kekasih."Lala, kau mela
Rencana menanyakan perihal kehamilan gagal total saat mendapati Laura menangis di apartemen. Minggu sore Gino berniat mengajak gadis itu keluar. Namun, yang dilihatnya justru Laura yang meringkuk di lantai sambil menangis.Tangisan Laura terdengar sesenggukan menyebabkan hati Gino teriris. Menangisi seseorang yang sudah meninggal memiliki banyak arti. Jika Laura sedih karena rasa bersalah, maka Gino sama sekali tidak keberatan. Namun, jika Laura sedih karena gadis itu mencintai Russell, maka sampai mati pun Gino tidak pernah ikhlas."Aku pikir kamu udah baikan," ucap Gino."Aku takut, No.""Takut kenapa?""Takut jadi orang jahat."Ungkapan itu seolah menyiratkan perasaan Laura pasca kematian Russell. Perlahan Gino merasa lega karena gadis itu tidak mencintai Russell kecuali perasaan bersalah."Manusia pasti punya sisi buruknya
Melihat Laura kehilangan semangat hidup membuat Gino merasa tidak berguna. Dia meminta saran David dan dijawab oleh laki-laki itu agar dia menerima kenyataan Laura terpukul akibat kepergian Russell. Entah benar atau tidak, Gino hanya ingin menjadi orang berguna.Sepulang dari perusahaan dia memutuskan mengunjungi Laura. Pada ketukan kedua gadis itu menyambutnya dengan senyuman. Gino terpaku selama beberapa detik menyadari penampilan Laura jauh lebih baik. Rona wajah gadis itu telah kembali, meski masih sedikit tirus."Aku mau numpang makan malam," ucap Gino mencari alasan."Mie instan?"Gino mengangguk. "Asal kenyang.""Batu rasa apel juga mau, No?"Eh?Laura tertawa pelan membuat Gino terhipnotis dengan tawa gadis itu. Benarkah sosok itu adalah Laura?Seingatnya Laura jarang tertawa bahkan saat dia melontarkan humor garing pun. Gadis itu masih tidak menunjukkan apa-apa. Namun, pemandangan kali ini seperti sebuah ke
Seminggu penuh Laura mengurung diri di apartemen hingga Lucy meminta bantuan Gino. Namun, dia menolak kehadiran laki-laki itu kala mengingat Russell.Laura juga menolak harta yang diwariskan Russell dan meminta Katy menjaga properti di Norwegia. Meskipun perempuan itu keberatan, tapi Laura berhasil meyakinkan jika Russell tidak menginginkan harta peninggalan orangtuanya dipindah tangankan.Urusan harta benda itu tidak menarik minat Laura dan larut pada kepergian Russell yang terlalu mendadak. Fakta jantung laki-laki itu tidak berfungsi setelah mendengar Laura bertemu Gino. Bukankah artinya dia yang membunuh laki-laki itu?Semua orang mengatakan kepergian Russell merupakan takdir yang sudah digariskan. Namun, Laura tidak berhenti menyalahkan diri sendiri. Hingga di sore hari yang tertutup mendung, dia mendengar pintu apartemennya terbuka.Gino, Lucy, David, dan Mario berdiri di sana. Menatapnya seolah dia makhluk paling menyedihkan yang hidup d
Katy langsung menarik Laura menuju ruang perawatan di mana dokter dan perawat sudah berkumpul di sana. Dia melangkahkan kakinya menuju ranjang perawatan Russell. Kain putih menutupi seluruh tubuh laki-laki itu dan peralatan medis telah dimatikan. Laura mencoba memahami situasi tersebut dengan cara mengguncang tubuh Russell. Namun, laki-laki itu tetap diam membiarkan kain putih itu menutupi sekujur tubuh."Dia ingin dikuburkan di Norwegia," ucap Katy."Kenapa kau tidak memberi kabar sebelumnya?" tanya Laura lirih."Russell yang memintanya. Dia tidak ingin memaksamu tinggal di sisinya. Sekarang semuanya sudah berakhir, kau bisa menjalani kehidupan seperti sebelumnya."Katy berserta dokter meninggalkannya di ruangan itu bersama jasad Russell yang terbujur kaku. Laura menyibak kain putih itu dan menatap wajah Russell yang pucat. Tidak ada senyuman atau ucapan perpisahan seperti kebanyakan orang yang akan meninggal. Russell sungguh meminta waktu satu tahun bag