Lucy memang gila. Menjelang petang datang ke apartemennya dengan omelan panjang. Semenjak menikah, Lucy selalu merepotkan Laura. Meskipun mengurus Jessica merupakan keinginannya, tapi berbeda kalau Lucy mulai berceloteh tanpa henti. Entah kerasukan setan apa, Lucy terus menyebut nama Gino sejak Laura membuka pintu apartemennya.
Satu jam berlalu tidak ada tanda-tanda Lucy mengakhiri percakapan. Laura menyumpal kedua telinganya dengan headset lalu memutar sebuah lagu.
Akhir-akhir ini Laura suka sekali mendengarkan lagu Jepang. Meski, tidak tahu artinya, dia tetap mendengarnya.
Hingga Lucy menarik headset dari telinganya. Kesenangan Laura pun berakhir.
"Gino kembali ke New York."
"Bukan urusanku," ucapnya singkat.
"Dia meminta David melakukan sesuatu, semoga bukan rencana gila."
Laura menggeleng. "Aku tidak tertarik."
&
Berdiri di balkon pada tengah malam ditemani secangkir kopi tidak cukup mengusir hawa dingin. Mungkin di masa lalu, Laura bahagia dengan kehadiran Gino di sisinya, tapi semuanya sudah berakhir. Dua tahun lalu. Gino tidak berbicara justru asyik menikmati kopi buatannya. Laura menahan kantuknya setelah setengah jam menemani Gino berdiri di balkon. Entah untuk alasan apa, dia sendiri tidak membutuhkan penjelasan. Kehadiran Gino lebih mengganggu dari kedatangan Lucy sore tadi. "La," Panggilan Gino terdengar berbeda. Atau mungkin Laura tidak ingin mendengar laki-laki itu memanggilnya seperti dulu. "Aku nggak tahu mulai dari mana. Kesalahanku sangat besar, aku nggak pantas berharap lebih sama kamu." Gino tertawa getir. "Aku merasa lucu sama diri aku sendiri." Gino masih terjebak di masa lalu padahal Laura sudah melangkah ke depan. Menyimpan kenangan mereka di tempat lain. Pikirannya berjalan, seperti hidupnya yang tidak mungkin berhe
Selasa pagi Laura baru menginjakkan kaki di restoran. Dua karyawannya sudah membersihkan meja dan samar-samar tercium aroma burger. Laura mengganti pakaiannya di loker kemudian menuju meja kasir untuk memeriksa laporan keuangan. Sejak insiden penembakan jumlah pengunjung semakin berkurang. Sekarang Laura percaya isu lebih cepat menyebar ketimbang virus mematikan. Dia harus bekerja keras untuk mengembalikan pelanggannya yang kabur. Seperti menaruh selebaran sebagai bentuk promosi, tapi tidak mungkin karena isu penembakan sudah tersebar. Laura ingin merobek mulut orang yang telah menyebarkan isu. Sayang sekali dia tidak tahu siapa pelakunya. "Satu buket lily, mawar putih, dan anyelir. Silakan tanda tangan di sini." Laura membubuhkan tanda tangannya lalu mengucapkan terima kasih pada pengantar bunga. Dia meletakkan buket bunga tanpa nama pengirim itu di atas meja. Aroma bunga menusuk hidungnya, Laura tidak menyukai bu
"Kamu lagi sibuk?" Gino meletakkan ponselnya di antara telinga dan bahu sambil memeriksa berkas pekerjaannya. Alasan Gema merindukannya menyebabkan Gino tidak bisa menolak panggilan dari Ajeng. "Aku bisa ngobrol sambil kerja," ucap Gino berbohong, dia tidak bisa membagi fokusnya secara bersamaan. Namun, demi Gema, dia mengalah. "Kalau ada waktu aku mau bawa Gema ke New York sekalian ketemu Lala, udah lama banget kami nggak ketemu. Dia belum tahu kita pernah nikah. Istilah teman makan teman lagi trending dan aku nggak mau dia kecewa. Kamu bisa simpan rahasia ini 'kan, No?" Tentu saja Gino harus menyimpan rahasia pernikahannya dengan Ajeng. Misi mengejar Laura tidak boleh gagal hanya karena pernikahan palsu. "Tenang aja, aku nggak bakal ngomong apa-apa," ucap Gino datar. "Bagus deh." "Kapan kamu bawa Gema ke New York?" tanya G
Jika bisa menggambarkan bagaimana lelahnya Laura saat ini, maka hanya Tuhan yang tahu. Di kehidupan setelah reinkarnasi Laura bersumpah akan bersikap baik pada siapa pun. Supaya kehidupannya damai tanpa gangguan terlebih manusia bernama Russell. Katakan saja bad mood menghadapi tingkah remaja itu. Melebihi kesukaran menjaga Jessica yang hanya menangis saat meminta makanan. Russell lebih dari menyedot tenaga, emosi, dan pikiran. Laura tidak bisa meninggalkan Russell barang sejenak. Berjaga dua puluh empat jam di sisi laki-laki itu.Penderitaannya berakhir setelah seorang gadis cantik datang dan meminta Laura untuk pulang. Meskipun Russell tampak tidak rela, tapi dengan penuh perjuangan akhirnya Laura terbebas.Kini di apartemennya yang sunyi tanpa pencahayaan lampu, Laura berbaring di lantai dalam diam. Dia tidak ingat terakhir kalinya bernapas lega. Tubuhnya remuk seperti tertimpa beban berat, dia tidak ingin beranjak dari lantai. Meng
Bunyi bel menyentak kesadaran Gino dari lamunan. Dia membuka pintu apartemennya berharap Laura yang berdiri di sana. Namun, justru David tersenyum lebar sambil menunjukkan bungkusan besar berisi makanan ringan. Laki-laki itu datang seorang diri dan tidak ada tanda-tanda kemunculan Laura di lorong apartemen yang sepi. "Gino?!" Gino melebarkan pintu membiarkan David memasuki apartemennya. Dia menutup pintu dengan gerakan pelan seolah memahami kegelisahannya. David mengeluarkan ponsel untuk menghubungi Lucy. Detik berikutnya sambungan itu berakhir lalu David menatapnya prihatin. "Lucy bersama Jessica, aku tidak bisa memintanya pulang di tengah hujan salju. Lucy berada di Queen's mungkin lusa baru kembali. Maaf tidak bisa membantumu kawan." David menepuk bahu Gino pelan. "Mungkin aku bisa membujuk Laura datang kemari, selain Lucy seharusnya aku cukup dekat dengannya." David memutar tu
Seminggu kemudian, Laura akhirnya terbebas dari neraka. Dia menghirup aroma kebebasan dengan memberikan senyum lebar pada Grace. Yang hanya di balas oleh perempuan itu berupa tanda tanya. "Aku merindukanmu," ucap Laura menyebabkan Grace mengerti arti dari senyuman tadi. "Seminggu ini, apa ada yang aku lewatkan?" tanyanya. Grace menggeleng. "Hanya tukang koran dan pengantar bunga." "Bunga apa?" "Sunflower, aku benci bunga itu," ucap Grace jujur. "Russell tidak mungkin mengirim bunga." Laura menatap tumpukan bunga matahari yang telah mengering. "Laura, apa kau memiliki penggemar selain bocah itu?" "Mario tidak pernah memberiku bunga," gumam Laura pelan. "Hampir setiap hari laki-laki itu datang kemari, kau tunggu saja. Aku harus bekerja sekarang, selamat datang Laura. Aku juga merindukanmu."
Gino pernah memiliki keinginan menjadi Orion di hidup Laura. Menyinari gadis itu dengan cahayanya yang terang. Namun, setelah waktu terlewati Gino menyadari satu hal mengenai keinginannya. Laura tidak memerlukan cahayanya sebab ada cahaya lain yang mampu menggantikannya. Dan Orion itu adalah Mario.Mungkin sudah saatnya Gino menutup kisah masa lalunya bersama Laura. Keputusannya dulu merupakan pilihan bodoh, dia tidak bisa mengembalikan waktu meski sekeras apa pun berusaha mendapatkan hati Laura. Gadis itu sudah mendapatkan kebahagiannya bersama Mario."Gino, datanglah ke apartemenku untuk merayakan tahun baru. Kau bisa mati jika hanya berdiam diri di sini. Laura sedang bersama Lucy, ini kesempatanmu mendapatkan perhatiannya." David keluar dari kamar mandi dan menghampiri Gino di balkon. "Apa kau mendengarku?" tanyanya.Gino menoleh sekilas lalu kembali menatap lurus ke depan melihat kembang api mewarnai langit. Tahun te
Laura tidak butuh Orion. Yang dia butuhkan saat ini hanya ketenangan tanpa gangguan siapa pun. Namun, keinginan itu tidak terealisasi saat mendengar suara pintu terbuka. Gino menghampirinya dengan ekspresi sulit diartikan, begitu setidaknya menurut penilaian Laura."La, mana yang sakit?"Laura tertawa dalam hati merasa aneh akan pertanyaan itu. Jika dua tahun lalu Gino menanyakan pertanyaan serupa, Laura akan menjawab hatinya yang sakit. Namun, waktu telah berlalu. Dia sudah tidak merasakan sakit itu lagi. Atau mungkin hatinya terlanjur mati untuk merasakan rasa sakit yang sama."Aku baik-baik aja No," ucap Laura lirih."Dokter bilang kamu boleh pulang, tapi aku mau kamu tetap di sini sampai kondisimu pulih." Gino mencoba tersenyum. "Aku bakal jagain kamu La."Laura menggeleng. "Aku mau pulang," ucapnya datar."Kamu masih fobia sama rumah sakit La?"Laura menolak tawaran Gino untuk mengantarnya pulang, tapi laki-laki itu m