"Semalam Lucy mengirim hadiah. Aku membukanya dan menemukan ini."
Laura terkejut melihat benda yang berada di tangan Mario. Laki-laki itu tampak biasa saja. Namun, Laura segera menyingkirkan benda itu dari jangkauan Mario.
Lucy sialan!
"Aku sudah memutuskan. Kita akan berlibur akhir pekan ini." ucap Mario.
"Kau libur?" tanya Laura memastikan Mario tidak mengabaikan pekerjannya. Hanya untuk menuruti keinginan tidak pentingnya itu.
"Break sebentar dari pekerjaan. Lala, aku merasa duniaku bukan hanya tentang pekerjaan. Aku lelah dan idemu masuk akal. Aku sudah memesan satu kamar di kapal pesiar. Kau jangan khawatir kita melewatkan liburan ini."
Laura menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak ingin naik kapal pesiar. Aku hanya ingin kita menjauh dari keramaian New York. Mario, kita akan memancing di rumah tepi danau. Kau bisa melanjutkan pekerjaanmu di sana. Aku tahu, tempat itu cocok untukmu." ucap Laura.
"Kita selalu berdebat akan hal ini, tapi demi keinginanmu. Aku bersedia melakukan apa pun."
"Mario, terimakasih."
"Kau harus melakukan lebih dari itu." Mario mendekat kemudian mencium pipi Laura sekilas. "Bagaimana jika kau memakai hadiah dari Lucy?" tanya Mario dengan senyuman nakal.
"Aku akan mengembalikan lingerie itu. Jangan macam-macam, aku sudah mengingatkan kau tidak boleh melakukan apapun sebelum kita menikah." ucap Laura penuh ancaman.
"Aku tidak bisa menahannya. Kau selalu menolakku."
Laura menatap Mario. Dia tidak ingin melihat wajah kecewa itu lebih lama. Namun, tentang seks sebelum pernikahan, Laura selalu menghindarinya. Bukannya berpikiran kolot, Laura tidak ingin seseorang menyentuhnya secara sembarangan. Dan Laura mengerti selama ini Mario selalu menahan keinginan itu.
Semenjak menjadi kekasihnya.
"Kau bisa melakukannya bersama orang lain." ucap Laura.
Mario terkejut untuk sesaat. Namun, detik berikutnya dia bisa mengatasi perasaan itu. "Aku mencintaimu Lala. Aku tidak akan melakukan sesuatu bersama orang lain."
"Tapi kau selalu menahan diri saat bersamaku." ucap Laura.
"Karena aku menghargai semua keputusanmu. Meskipun aku tidak menyukainya, aku belajar untuk menerimanya. Karena aku mencintaimu."
Laura tersenyum. "Terimakasih Mario."
"Aku hampir terlambat!"
Laura tertawa kecil. Kebiasaan Mario melupakan sesuatu di tengah waktu mendesak. Kali ini Laura yakin, Mario akan melakukan kesalahan yang lain.
"Aku berangkat kerja. Lala, jaga dirimu baik-baik." ucap Mario sebelum berlalu.
***
"Lucy kau gila!"
Laura melempar lingerie itu di wajah Lucy. Sementara perempuan itu terkekeh pelan. Sejak Mario membuka hadiah itu. Laura selalu terbayang suatu hari akan memakainya. Dan memamerkannya pada Mario. Pemikiran yang gila!
Semua itu karena Lucy.
"Aku hanya mengikuti saran Jason. Dia ingin memiliki keponakan, Laura jangan marah. Aku yakin kakakku pasti menyukainya." ucap Lucy santai.
"Dia memang menyukainya. Hanya saja,"
"Kau menolaknya."
Laura mengangguk. "Perlindungan diri. Aku tidak bisa mengikuti gaya hidup bebas. Aku memiliki prinsip. Lucy, lain kali jangan memberikan hadiah seperti ini. Aku tidak ingin melihat wajah kecewanya." ucap Laura serius.
"Dia tidak mungkin kecewa. Lala, kau tidak bekerja hari ini?"
"Aku melewatkan satu pekerjaan."
"Tidak seperti biasanya. Apa kau demam?" Lucy menyentuh kening Laura. "Suhu tubuhmu normal. Apa kau sedang mengalami masalah?" tanya Lucy.
"Aku memikirkan tentang lamaran itu." ucap Laura jujur.
"Lupakan saja. Kakakku yang workaholic itu,"
"Mario kecewa. Dia kecewa ketika aku memintanya tidur dengan perempuan lain." potong Laura.
"Kau gila?!" pekik Lucy keras.
"Ya dan aku tahu dia kecewa."
"Kau selalu bersikap dingin, Mario mungkin menganggap sikapmu itu bukan masalah besar. Dan kau memintanya tidur dengan orang lain. Dia berpikir kau tidak mencintainya. Tapi menurutku kau memang acuh. Apa kau sungguh mencintainya?" tanya Lucy.
Laura menghindari tatapan Lucy. "Hentikan, aku sudah dewasa. Membahas tentang cinta aku merasa kekanakan. Lucy, temani aku mencari udara segar."
Beruntung kepenatan siang itu menguap begitu Lucy menemaninya jalan-jalan di sebuah pusat perbelanjaan. Laura membeli sweater untuk persiapan musim dingin. Dia segera membayar di kasir lalu kembali menghampiri Lucy. Perempuan itu tengah berbicara melalui ponsel dan terlihat kesal. Beberapa kali Lucy mengumpat dan mengeluarkan kata-kata kasar. Aneh, Lucy yang biasanya bersikap sopan. Kali ini tidak bisa mengendalikan kemarahannya.
"Sialan!"
"Ada apa Lucy?" tanya Laura penasaran.
"Salah satu klien ingin mengubah interior apartemennya. Aku sudah menghabiskan banyak waktu dan dia membatalkannya begitu saja. Aku bahkan melewatkan festival musim gugur bersama Jason." ucap Lucy kesal.
"Ayo kita mencari tempat lain." ajak Laura menarik tangan Lucy keluar dari pusat perbelanjaan itu.
"Dia orang paling merepotkan yang pernah aku temui. Gara-gara dia aku hampir dipecat. Aku sangat kesal waktuku terbuang sia-sia. Dan design itu. Ya Tuhan," Lucy mengacak rambutnya. Dia duduk berlutut hingga orang-orang memperhatikannya. "Aku harus menemuinya. Lala, ikut aku melihat orang brengsek itu."
Laura tidak sempat menghindar ketika Lucy menyeretnya menuju kereta dan membawanya entah kemana. Begitu tiba di gedung apartemen, Lucy menghentikan langkahnya. Laura mengerutkan kening melihat bangunan itu. Dia pernah datang ke tempat itu untuk melakukan pekerjaan paruh waktu. Membersihkan salah satu unit apartemen tanpa pemiliknya. Dia melakukan pekerjaan itu selama satu tahun terakhir. Dan Laura berhenti karena Mario melarangnya bekerja di tempat itu. Kini Laura seolah mengalami dejavu.
"Lala aku masuk ke dalam. Kau tunggu di sini." ucap Lucy.
"Lucy tunggu!" Cegah Laura menahan lengan Lucy hingga perempuan itu menghentikan langkahnya. "Aku pernah bekerja di tempat ini. Apakah kau bermasalah dengan unit apartemen tanpa penghuni?" tanya Laura memastikan.
"Dia selalu menghuni apartemen itu. Lala, kau membicarakan tentang apa?" Lucy balas bertanya.
"Lupakan saja. Aku tunggu kau di sini." ucap Laura melepaskan lengan Lucy.
Cukup lama Laura menunggu hingga penjaga keamanan berkali-kali menghampirinya. Merasa tidak nyaman, Laura memutuskan masuk ke dalam gedung apartemen itu. Dia menaiki lift lalu berhenti di depan unit apartemen tempatnya bekerja dulu. Tidak ada siapapun di lorong. Dengan ragu Laura menekan bel. Tidak lama kemudian pintu itu terbuka dan Laura mendengar suara benda terjatuh. Dia mundur beberapa langkah ke belakang ketika melihat Lucy keluar dari apartemen itu. Lucy terbelalak kaget. Dan menarik tangan Laura dengan paksa.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Lucy. Mereka sudah berada di taman. Duduk di salah satu bangku kosong.
"Aku bekerja di tempat itu selama satu tahun. Tidak menyangka kita memiliki masalah yang sama." ucap Laura.
"Kau mengenal orang gila itu?" tanya Lucy terkejut.
"Tidak, aku hanya bekerja di apartemennya. Aku bahkan tidak pernah melihat pemiliknya."
"Dia turis sama sepertimu. Orang kaya yang menghamburkan banyak uang hanya untuk mengubah interior apartemennya. Lala, kenapa kau penasaran dengan orang ini? Apa kau ingin bertemu dengannya?" tanya Lucy beruntun.
"Aku hanya merasa rindu pada seseorang. Entah mengapa, aku yakin jika pemilik apartemen itu," Laura menahan kalimatnya. Dia lupa hampir saja mengatakan tentang masa lalunya.
"Aku ragu jika si brengsek itu orang yang kau rindukan. Lala, aku sudah bertemu berbagai jenis manusia. Dan aku tidak pernah bertemu dengan orang brengsek yang berbicara dengan sombongnya. Meskipun dia kaya, tidak perlu menunjukkan berapa banyak uang yang dia miliki. Dia bahkan melempar uang di depan wajahku. Lala, kau jangan pernah bertemu orang itu. Aku sudah pasrah harus kehilangan pekerjaan dibandingkan mengikuti keinginan orang gila itu." ucap Lucy berapi-api.
"Lucy, kau pintar dan berbakat. Kehilangan satu klien tidak akan membuatmu menyerah. Aku masih ada pekerjaan. Nyonya Miranda akan membunuhku jika aku terlambat." ucap Laura bangkit dari duduknya lalu menghentikan taksi. Dia menoleh pada Lucy sekilas sebelum akhirnya taksi itu melaju meninggalkan tempat itu.
***
Beruntung Laura datang tepat waktu sehingga Miranda tidak menegurnya. Setelah mengganti pakaiannya, Laura melakukan pekerjaannya sebagai pelayan. Pengunjung restoran hari itu lumayan ramai, Laura bahkan tidak sempat memeriksa ponselnya dan mengingatkan Mario makan tepat waktu. Menjelang sore, pekerjannya berakhir Laura meregangkan tubuhnya yang kaku. Saat tiba di apartemen, dia ingin sekali berendam.
"Gajimu hari ini miss Laura. Biasakan datang tepat waktu seperti tadi," ucap Miranda lalu menyerahkan beberapa lembar uang pada Laura.
"Terimakasih nyonya Miranda." Laura menerima uang itu lalu bergegas mengganti pakaiannya.
Sore itu cuaca kembali mendung dan Laura lupa membawa benda penting seperti payung. Kali ini dia memutuskan untuk berteduh di emperan toko ketika hujan mulai turun. Laura mengeluarkan ponselnya. Namun, belum sempat dia membuka kunci pengaman di ponsel itu. Petir dan cahaya kilat menyilaukan mata tidak lama kemudian suara guntur memekakkan telinga. Laura terkejut hingga ponselnya terjatuh, naasnya ponsel itu terinjak oleh seseorang hingga mengeluarkan suara. Laura terpaku melihat ponselnya remuk tidak berbentuk.
"Maaf nona aku tidak sengaja."
Laura menahan tangannya untuk mengambil ponsel itu. Dia masih berjongkok sambil menatap ponselnya yang hancur. Suara itu, bukan bagian dari halusinasinya. Laura mengingatnya sejak kecil hingga dewasa.
Suara itu adalah …
"Gino," ucap Laura lirih.
"Lala?"
Petir dan guntur yang bersahutan seolah background dari pertemuan itu. Laura tidak menolak ketika Gino memeluknya, dia tidak bisa mencegah air matanya menetes. Lima tahun lalu dan saat ini, Laura tetap tidak bisa berdamai dengan perasaannya dan pelukan itu menyiratkan tentang kerinduan Gino. Jika tidak, maka kerinduannya pada laki-laki itu. Laura membalas pelukan Gino, tidak peduli hujan deras membasahi pakaiannya melupakan ponsel yang masih tergeletak di bawah kakinya. Laura hanya ingin merasakan kebersamaan itu lebih lama.
Cukup lama hingga pelukan itu terlepas dan Gino yang menatapnya lekat. Laki-laki itu mendekatkan wajahnya hampir menyentuh bibirnya.
"Lala!"
Seketika Laura mendorong Gino menjauh. Mario berdiri di sana dengan sebuah payung di tangannya. Laura tidak tahu sejak kapan laki-laki itu melihatnya bersama Gino.
Wajah Mario yang pucat dan juga raut kecewa itu. Laura telah menyakiti Mario hanya karena kenangan masa lalunya.
"Lala, apakah dia yang membuatmu gelisah dan terus menolakku?" tanya Mario.
Laura menunduk. "Maaf."
"Jika begitu, maka lepaskan aku kau bisa bersamanya. Lala, aku menghargai semua keputusanmu karena aku sungguh mencintaimu, tapi aku tidak bisa memaksakan perasaanku karena ada orang lain di hatimu. Semoga dia bisa menghilangkan rasa takutmu dengan sebuah pernikahan."
Mario berbalik, membawa kekecewaan itu bersama langkahnya yang semakin menjauh. Laura berusaha untuk menggapai. Namun, tidak berhasil. Dia hanya meneteskan air mata melihat Mario pergi tanpa menoleh lagi.
"Nona ponselmu terjatuh."
Laura tersentak lalu menerima ponsel itu. Dia mengucapkan terimakasih kemudian orang itu berlalu.
Sejak kapan dia melamun?
Akhir-akhir ini Laura lupa meminum obatnya sehingga halusinasinya semakin kuat, beruntung kejadian tadi hanya ilusinya. Dia tidak tahu apa yang terjadi jika Mario pergi dari hidupnya.
Hujan mulai reda, Laura meninggalkan tempat itu kemudian menaiki kereta menuju apartemennya. Setengah jam kemudian dia tiba dan melihat Mario sudah menunggunya. Laki-laki itu langsung memeluknya begitu melihatnya datang.
"Kau pulang terlambat," ucap Mario khawatir.
"Aku terjebak hujan dan ponselku terjatuh, sepertinya rusak. Maaf lain kali aku tidak akan membuatmu khawatir."
"Kau pergi bersama Lucy. Saat bersamanya aku takut kau mengikuti pergaulannya," ucap Mario.
"Aku bisa menjaga diriku sendiri, Lucy hanya mengajakku melihat salah satu kliennya. Dia adikmu, kau tidak boleh berbicara buruk tentangnya." Laura mengusap wajah Mario agar laki-laki itu berhenti mencemaskannya.
"Dan Lucy menimbulkan masalah di tempat itu. Aku mendapat laporan pemilik apartemen itu meminta ganti rugi karena Lucy memecahkan guci antik bernilai ratusan juta dolar. Saat ini Jason sedang menyelesaikan masalah itu. Lala, lain kali beritahu aku ketika kau bersama Lucy."
Laura tersenyum. "Kau seperti anak kecil dan Lucy melakukan hal yang benar. Dia kesal karena orang itu menghabiskan waktunya membuat design. Bahkan Lucy melewatkan festival musim gugur demi pekerjaan itu. Jika aku menjadi Lucy, aku akan melakukan hal yang sama, tidak peduli guci antik atau vas dari dinasti Han. Aku pasti akan menginjaknya di bawah kakiku."
"Hari ini kau banyak bicara. Lala, aku senang melihatmu begini."
Laura tersenyum kaku. Apakah ilusi bertemu Gino menyebabkan suasana hatinya membaik?
"Lala aku sudah menyiapkan sup ayam kesukaanmu. Cepatlah mandi, aku menunggumu di meja makan."
Laura mengangguk kemudian masuk ke dalam kamarnya. Mengikuti perintah Mario sebelum laki-laki itu bersikap berlebihan seperti tadi.
***
"Kau melaporkan perempuan itu ke polisi hanya karena benda ini?"
Guci antik bernilai ratusan juta dolar itu hancur berantakan di lantai begitu Gino menginjakkan kakinya di apartemen. Dia melihat David tidak percaya laki-laki itu bertengkar dengan seorang perempuan hanya karena benda jelek itu. Meskipun mahal, Gino tidak akan berdebat hanya karena benda mati yang tidak berguna. Dia memanggil orang yang biasa membersihkan apartemen itu. Tidak lama kemudian orang itu datang dan membersihkan kekacauan itu.
"Aku tidak akan mengubah interior apartemen ini. David jangan melakukan sesuatu seolah kau pemiliknya," ucap Gino terus terang, dia duduk di sofa memperhatikan David dengan seksama. Ada bekas tamparan di pipi laki-laki itu. Gino tidak percaya ada orang yang berani menyentuh David.
"Aku hanya ingin membuatnya kesal tidak disangka dia justru menamparku dan mengeluarkan kata-kata kasar. Dia bilang aku pedofil. Coba kau lihat dari sudut mana aku seperti si gila yang dia sebutkan itu?" tanya David menunjuk wajahnya sendiri. "Perempuan itu bahkan sudah dewasa."
"Kau melempar uang ke wajahnya dan kau pantas mendapatkan tamparan. Entah sebanyak apa uang yang kau miliki hingga kau berani menyinggungnya."
"Apa maksudmu?" tanya David tidak mengerti.
"Kekasihnya designer berbakat. Beberapa artis ternama menggunakan jasanya. Kau menyinggung perempuan itu, hati-hati berurusan dengan kekasihnya. Uang milikmu itu akan terkuras habis jika dia membawamu ke pengadilan," ucap Gino santai.
"Pengacara sepertimu suka mengurusi gosip orang lain!" dengus David kesal.
"Aku tidak mengurusi perempuan itu. Aku memperhatikan orang yang bersamanya, hanya sebagai poin tambahan aku memberitahumu hal ini. David, aku sudah bertemu dengan perempuan yang aku cari selama lima tahun ini. Tidak disangka dia pernah bekerja di apartemen ini. Sekarang aku ingin kau membantuku agar dia bisa bekerja di sini. Sudah saatnya kau membalas budiku."
"Perempuan tua itu untuk apa kau bertemu dengannya?" tanya David tidak mengerti.
"Aku ingin dia berada di sini besok siang." Gino meletakkan sebuah foto di atas meja lalu bangkit dari duduknya. "Usahakan jangan sampai dia tahu aku pemilik apartemen ini."
"Baiklah aku akan membawanya. Serahkan masalah ini padaku."
Gino tersenyum kecil, Sebentar lagi dia akan bertemu Laura. Lima tahun lalu Laura pergi dari hidupnya, Kali ini Gino tidak akan melakukan kesalahan yang sama.
"Maaf La, karena Rahma kamu salah paham."
***
Pagi itu Laura dibuat kesal setengah mati oleh salah satu pelanggan. Seorang laki-laki bermulut pedas hingga batas kesabarannya habis. Dan tanpa sengaja Laura mengeluarkan kata-kata umpatan. Mendengar keributan itu Miranda memanggilnya. Biasanya, Laura tidak peduli dengan kemarahan perempuan itu yang menegur cara bekerjanya, tapi kali itu Miranda memecatnya. Terkejut bercampur dengan sisa kemarahan akibat pertengkaran tadi Laura segera mengganti pakaiannya lalu keluar dari restoran itu. Dia bahkan melupakan gajinya. Laura terus melangkah menuju tempat kerja berikutnya. Toko kerajinan tangan yang hampir bangkrut. Namun, pemiliknya masih memintanya bekerja di sana. Tiba di toko itu Laura dibuat tercengang. Toko itu terjual. Ditengah situasi itu, ponselnya berbunyi. Sebuah nomor tidak dikenal menghubunginya. "Nona aku membutuhkan bantuanmu." Kening Laura berkerut. "Kau siapa?" tanyanya curiga. "Aku pemilik apartemen tempat kau berkerja du
"Kau bilang Laura memiliki kekasih?" tanya Gino begitu David tiba di apartemen dan laki-laki itu menghempaskan tubuhnya di sofa. Dia duduk di samping David meminta jawaban dari pertanyaan itu. "Laura tidak mungkin mencintai orang lain." ucap Gino yakin. "Aku hanya mendengarnya sekilas saat mereka berbicara di telepon. Gino, kau menyukainya. Jika aku jadi kau, aku tidak akan membiarkannya bersama orang lain." "Aku tidak bisa. Maksudku," Gino menahan kalimatnya lalu bangkit dari duduknya. "Lupakan saja. Aku keluar sebentar mencari udara segar." Hujan masih menyisakan gerimis, Gino mengendarai mobilnya dengan pikiran kosong. Dia tidak mempercayai ucapan David. Namun, Gino merasa terganggu mendengar Laura memiliki kekasih. Gadis itu tidak mungkin menyukai orang lain. Mereka memiliki banyak kenangan bersama masa-masa sekolah yang tidak terlupakan. Dan mereka memiliki perasaan yang sama hanya saja Gino tidak pernah mengatakannya. Apakah dia sudah terlambat?
Suasana malam yang tenang di tepi danau bukanlah apa-apa dibandingkan Mario yang diam membisu di sampingnya. Makan malam yang disiapkan laki-laki itu dibiarkan menjadi hiasan di atas meja. Selera makan Laura menguap, rasa lapar yang dirasakannya sejak siang tadi menghilang entah kemana. Dia hanya diam memperhatikan Mario yang bersikap aneh. Laura tidak sabar melihatnya. Namun, mencoba untuk menangguhkan rasa sabar itu. Jika kesal maka pertengkaran itu akan terjadi dan Laura tidak ingin bertengkar hanya karena seseorang bernama Mika. Satu jam berlalu sup ayam itu mulai mendingin. Laura kehilangan kesabaran, dia beranjak dari duduknya. Mencari udara segar sepertinya ide yang bagus untuk menenangkan pikirannya. Dia menyusuri hutan dalam keremangan cahaya bulan. Suara hewan malam terdengar nyaring di telinganya. Laura bergidik, dia takut bertemu hewan buas. Namun, untuk kembali dan melihat Mario bersikap dingin. Laura lebih memilih untuk bertemu serigala meskipun harus mengorban
Lura kesal karena Mario meninggalkannya di sebuah pusat perbelanjaan dan pergi terburu-buru setelah mendapatkan panggilan via telepon. Laura tidak ingin mengasumsikan Mika penyebab Mario pergi tanpa menoleh. Melupakan Laura di tengah keramaian itu. Kekesalan Laura semakin bertambah ketika memasuki sebuah toko buku dan tidak sengaja menjatuhkan beberapa buku. Dia tidak bermaksud melakukannya namun letak buku yang berada di rak paling atas membuatnya kesulitan. Penjaga toko menegurnya dan meminta Laura untuk membereskan buku-buku yang berserakan di lantai. Dia menghentikan kegiatannya ketika melihat sepasang sepatu berada di depannya. Laura mendongak dan menemukan David sedang berdiri sambil membawa kantong belanjaan.Cartier.Laura tersenyum samar, laki-laki itu ternyata penggemar barang mewah. Tidak heran jika David tinggal di apartemen elite di sekitar kawasan Manhattan. Sekarang Laura mengerti dengan selera laki-laki itu.
Gino apa kau menindas Laura?!"David terlihat marah, sepertinya kejadian tadi menyebabkan kesalahpahaman. Dia tidak mengira Laura pergi tanpa mengatakan kalimat apa pun. Gino tahu, menurut informasi David, Laura pendiam. Namun, Gino tidak tahu jika sikap diamnya Laura semakin membuatnya merasa bersalah."Aku akan menyusulnya." ucap Gino lalu meninggalkan kamarnya.Gino mencari keberadaan Laura dan tidak menemukan gadis itu. Dia kehilangan jejaknya lagi. Dia tidak boleh mementingkan perasaannya sementara Laura menghindarinya. Tidak apa-apa meskipun Laura memiliki orang lain di hatinya. Gino hanya ingin berdamai dengan masa lalu.Melupakan kebodohannya dulu membiarkan Laura pergi dari hidupnya.Tidak ada pilihan selain meminta bantuan David untuk mencari alamat Laura. Beruntung saat itu, setelah David mengantar gadis itu ke rumah sakit. Diam-diam David mengikuti Laura hingga ke apartemennya. Alasannya David tidak ingin direpotkan dan Gino bersyukur l
Sebenarnya Laura tidak ingin datang ke apartemen. Namun, dia membutuhkan pekerjaan dan biaya hidup di New York sangat tinggi. Dia tidak bisa mengandalkan orang lain untuk menopang hidupnya. Selama ini Laura mengandalkan diri sendiri agar tetap hidup di kota besar itu. Dia tetap berusaha dan mengesampingkan masalah pribadinya pada Gino. Apa pun yang pernah terjadi semua itu hanya masa lalu.Laura membuka pintu apartemen milik Gino dengan hati-hati. Dia takut laki-laki itu muncul secara tiba-tiba dengan masa lalu biarkan saja Gino teguh dengan pendiriannya. Laura sudah berdamai dengan hal itu.Lebih tepatnya mencoba untuk berdamai.Apartemen itu kosong. Laura menarik napas lega tidak perlu menghadapi Gino dan menahan diri untuk tidak memaki laki-laki itu. Ketenangan yang dipelajarinya dari Jason ternyata cukup berguna. Tidak ingin berdebat dengan pikirannya. Laura segera melakukan pekerjaannya. Dia membersihkan seluruh ruangan dan mengepel lantai. Membuang sampah
"Lala aku minta maaf."Laura menoleh ke samping memperhatikan Lucy yang fokus mengemudi. Perempuan itu terlihat menyedihkan dengan mata panda dan rambut berantakan. Sepertinya masalah pernikahan itu penyebab kekacauan Lucy."Seharusnya kau minta maaf pada David." ucap Laura."Bukan dia tapi Mario."Laura mengalihkan tatapannya ke samping, melihat jalanan yang padat sore itu. Bunyi klakson terdengar di telingannya dan mobil itu berhenti di lampu merah."Mario yang bodoh itu melepaskanmu hanya karena masalah pernikahanku. Aku yang egois ini tidak memahami perasaanmu. Lala aku bukan sahabat yang baik, aku minta maaf.""Kau sudah melakukan yang terbaik Jason pasti mengerti." ucap Laura menenangkan."Jason masih berada di Queens dia tidak kembali hingga Mario menyelesaikan urusannya. Semalam aku mengemudi hingga larut dan bertemu si brengsek i
Setelah Laura meninggalkan apartemennya, Gino berdiri di balkon menatap hujan yang turun dengan deras. Mendung tebal masih menggantung dan suara petir bersahutan. Namun, Gino tidak beranjak dari sana, dia melihat air hujan itu dengan pikiran kosong. Laura tidak menolak ciumannya, artinya gadis itu masih menyukainya. Peluang untuk bersama Laura terbuka lebar. Namun, Gino tetap penasaran tentang kekasih Laura yang misterius itu. Berulangkali Gino meminta David untuk mencari informasi tentang laki-laki itu. Namun, David selalu kembali dengan tangan kosong. Laura menutupi identitas kekasihnya dengan baik. Dan Gino tidak percaya jika Laura sungguh memiliki kekasih sebelum bertemu langsung dengan laki-laki itu. Mengingat Laura tidak pernah membahas mengenai kekasihnya sehingga Gino percaya pada intuisinya. Laura tidak memiliki kekasih! Cukup untuk menenangkan perasaannya saat ini, Gino tidak menganggap perkataan David itu benar adanya. Laki-la