Seperti mimpi buruk yang Laura alami lima tahun lalu. Dia tidak percaya saat ini telah melewati masa-masa sulit itu. Jika bukan karena Mario, kekasih sekaligus sahabat yang memahaminya dengan baik. Laura tidak akan menghirup udara musim gugur di New York. Lima tahun lalu, bermodalkan nekat Laura menginjakkan kakinya di negara itu. Bukan karena pekerjaan atau pendidikan. Alasan klise seperti kebanyakan orang patah hati pada umumnya. Melupakan kenangan masa lalu. Bodoh, benar Laura mengakuinya. Kebodohan manusia karena mencintai seseorang yang tidak ditakdirkan untuknya. Dan demi menghargai perasaan itu, Laura menjauh, memilih belahan bumi yang lain.
Untuk menyembuhkan luka.
"Lala,"
Laura tersentak dari lamunan ketika Mario memanggilnya. Dia menatap wajahnya di cermin sekali lagi lalu mengalihkan pandangannya pada Mario. Laki-laki itu terlihat tampan memakai setelan jas. Ketampanan Mario meningkat dari hari biasanya. Laura memuji dalam hati lalu merapikan riasannya. Malam itu, Mario mengajaknya makan malam di luar. Tidak biasanya, Laura merasa aneh. Namun, tidak ingin bertanya. Dia hanya mengikuti langkah Mario yang menggenggam tangannya menuju sebuah restoran. Letak restoran itu tidak jauh dari apartemen. Tidak ada orang lain di sana kecuali mereka berdua. Bisa dikatakan, mereka satu-satunya pengunjung di restoran itu.
Laura menatap Mario curiga. "Kau menyewa restoran ini?" tanya Laura.
"Untuk merayakan anniversary kita. Jangan marah, aku berjanji hanya sekali ini saja. Lala, kau berhak mendapatkan yang terbaik." ucap Mario.
Laura mendesah pelan. Keinginan laki-laki itu sulit dicegah. Meskipun untuk hubungan mereka, Laura tidak pernah meminta sesuatu di luar kemampuan Mario. Selama ini Laura bahagia asalkan Mario ada di sampingnya. Tidak ingin berdebat, Laura mengangguk kemudian memberi isyarat pada pelayan. Pelayan itu menghampirinya lalu menyerahkan buku menu.
"Salad tanpa mayonaise." ucap Laura dan pelayan menuliskan pesanannya.
"Sayang, kau harus makan banyak." sela Mario.
"Aku sedang diet. Akhir-akhir ini lemak di tubuhku bertambah. Mario jangan memaksaku."
"Baiklah, aku juga tidak makan apapun." Mario menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Melipat kedua tangannya di depan dada. Memperhatikan Laura dengan seksama. "Aku juga ingin menurunkan berat badan."
Laura menyerah. "Pesan apa pun yang kau inginkan."
"Beri hidangan terbaik. Dan siapakan seperti yang aku minta." ucap Mario kemudian pelayan itu berlalu meninggalkan meja mereka.
"Kau mengeluarkan banyak uang hanya untuk malam ini. Beberapa hari ini kau tidak tidur karena pekerjaanmu. Mario, aku tidak suka kau memaksakan diri untuk membuatku bahagia." ucap Laura.
"Aku hanya memberikan kejutan. Lala, aku tidak pernah memberi hadiah apa pun. Dan ini pertamakalinya aku memberimu kejutan. Jangan menolak pemberianku. Mungkin tidak mahal tapi aku berusaha memberikan yang terbaik. Lala aku ingin kau bahagia seperti orang lain."
"Aku bahagia, Mario, aku bahagia saat bersamamu. Sudah cukup bagiku, kau tidak perlu menghamburkan uang yang kau dapatkan susah payah."
"Lala, kita selalu berdebat karena masalah seperti ini. Di luar sana, para gadis mendapatkan hadiah terbaik dari pasangan mereka. Aku tidak pernah memberimu apa pun. Dan hanya malam ini aku melakukan hal ini. Kau justru tidak senang. Lala aku tidak ingin kau menahan diri saat melihat orang lain mendapatkan hadiah dari pasangan mereka. Aku tahu, kau sering memperhatikan Lucy dan Jason. Cara mereka menunjukkan kasih sayang. Kau ingin aku bersikap seperti Jason kan?" tanya Mario.
Laura bangkit dari duduknya. Dia menghampiri Mario lalu memeluk laki-laki itu. "Maaf, aku tidak ingin membuatmu kesulitan." ucap Laura lirih.
Makan malam itu terasa berbeda. Mungkin karena Laura tidak menyukai cara Mario memberinya kejutan. Atau karena makanan mahal itu tidak sesuai seleranya. Dia hanya tidak terbiasa berada di tempat mewah seperti restoran itu. Dan juga Mario yang bersikap gugup selama makan malam itu. Laura curiga namun tidak bisa bertanya mengingat emosi Mario tidak stabil dan belakangan ini pekerjaan Mario menumpuk. Laura tidak bisa membantu, dia hanya menemani Mario bekerja hingga larut malam. Begitu pagi tiba, Mario sudah pergi dan Laura berada di atas tempat tidur seorang diri. Selalu seperti itu hingga dua tahun berlalu.
"Laura,"
Laura tersadar dari lamunan ketika Mario berlutut dengan membawa sebuah cincin.
"Laura menikahlah denganku." ucap Mario serius.
Laura terkejut dengan lamaran tiba-tiba itu. Dia tidak siap. Maksudnya belum siap menikah dalam waktu dekat. Bukan begitu, Laura bahkan tidak mengerti mengapa seseorang harus menikah jika hubungan yang mereka jalani saat ini baik-baik saja.
"Aku,"
"Aku tahu jawabanmu. Tidak apa-apa. Aku bisa menunggu hingga kau siap." ucap Mario kecewa. Dia berdiri lalu menyimpan cincin itu ke dalam saku.
"Mario aku,"
Ucapan Laura terhenti ketika Mario mencium bibirnya. Mario tidak pernah membiarkan Laura menjelaskan tentang penolakan itu. Sejak dulu, mungkin ketakutan akan sebuah hubungan yang mengikat. Menyebabkan Laura terus menghindar dari ajakan pernikahan. Dia tidak bermaksud melukai Mario namun Laura tidak bisa memaksakan diri untuk menjalani kehidupan pernikahan. Meskipun keinginan untuk hidup bersama Mario adalah impiannya.
"Lala kau tidak perlu menjelaskan apapun. Kau bersamaku itu sudah cukup. Aku tidak akan memintamu melakukan sesuatu yang kau takuti." ucap Mario lembut.
Laura menggeleng. "Aku tidak bisa melihatmu kecewa Mario. Kau tidak pernah mengecewakan aku."
"Sudah malam. Ayo kita kembali."
Laura tidak pernah mengira jika genggaman tangan Mario yang membuatnya kuat menjalani kehidupan. Dia hampir menyerah ketika pertama kali datang ke New York. Menjadi orang asing di negara itu. Membawa pakaian tanpa tujuan. Hingga bertemu Lucy dan tidak lama kemudian bertemu Mario. Mereka tidak pernah bertanya tentang masa lalunya. Alasan datang ke New York tanpa persiapan. Mereka mengerti, Laura membutuhkan privasi. Dan yang paling Laura syukuri, Mario tidak pernah bertanya alasan mengapa Laura takut dengan sebuah pernikahan.
Kini setelah waktu terlewati. Tidak terasa, Laura mulai melupakan tentang luka masa lalunya. Semua itu berkat kehadiran Mario.
"Lala aku ingin bertemu orang tuamu."
Laura melepas genggaman tangan Mario. Dia berhenti di depan gedung apartemen. Udara musim gugur semakin dingin, Laura merasakan udara dingin itu bersamaan dengan air matanya menetes perlahan.
"Orangtuaku sudah meninggal."
Mario memeluknya. Membiarkan Laura menangis. Cukup lama, Laura tidak merasakan apapun karena perasaannya semakin terluka. Dia terus menangis dalam pelukan Mario.
***
"Lala!"
Pelukan Lucy menyebabkan Laura tidak bisa bernapas. Dua minggu tidak bertemu antusias Lucy meningkat dari terakhir kali Laura melihatnya.
"Kau membawa kabar gembira?" tanya Laura setelah pelukan itu terlepas.
Lucy mengangguk. "Jason melamarku. Kami akan menikah tahun depan." ucap Lucy membentangkan kelima jarinya. Di sana tersemat sebuah cincin.
"Aku turut bahagia."
"Mario mengatakan tentang lamaran itu. Lala, kau menolaknya lagi?" tanya Lucy memastikan.
"Aku tidak ingin menikah. Hubungan kami baik-baik saja. Aku merasa tidak perlu terikat dengan sebuah pernikahan." ucap Laura menghindari tatapan menyelidik Lucy.
"Kau bohong!"
Laura menggeleng. "Terserah kau saja. Aku harus bekerja pagi ini. Lucy, kau tidak boleh menginap di sini. Mario pulang lebih awal. Dia tidak ingin melihat apartemen ini berantakan." ucap Laura meraih mantelnya lalu meninggalkan Lucy.
Udara pagi itu terasa dingin. Laura mempercepat langkahnya menuju restoran cepat saji. Bekerja paruh waktu di tempat itu sebelum menjalani pekerjaan di tempat lain. Dalam satu hari, Laura berpindah dari satu tempat menuju tempat kerja yang lain. Melelahkan dengan penghasilan yang tidak seberapa. Laura bersyukur masih ada orang yang bersedia menggunakan jasanya. Tidak mudah mencari pekerjaan tanpa berbekal ilmu pendidikan.
"Kau terlambat satu menit miss Laura." ucap Miranda pemilik restoran cepat saji itu.
"Maaf, aku tidak memperhatikan waktu. Jangan kurangi gajiku nyonya Miranda." ucap Laura kemudian mengganti pakaiannya.
Lima jam kemudian Laura sudah berada di tempat lain. Menjaga toko kerajinan tangan tidak jauh dari apartemennya. Tidak banyak pengunjung yang datang, beruntung pemilik toko masih menggunakan jasanya. Laura menatap langit mendung sepertinya akan turun hujan. Dia tidak membawa payung. Semoga hujan turun setelah dia tiba di apartemen. Namun perkiraannya meleset, hujan turun sangat lebat. Tidak ingin terserang demam, Laura memutuskan tinggal di toko itu hingga hujan reda.
Satu jam kemudian.
Hujan masih turun dengan derasnya. Laura menyerah, dia berlari menembus hujan menuju apartemennya. Tubuhnya basah kuyup, Laura hanya mengangguk ketika penjaga apartemen menyapanya. Dia melangkah menuju lift hingga tiba di depan unit apartemennya.
Pintu terbuka sebelum Laura mengeluarkan kunci. Mario menyambutnya dengan raut wajah khawatir. Laki-laki itu membawa sebuah payung. Sepertinya Mario berniat untuk menjemputnya.
"Lala kau menerobos hujan lagi. Belum lama ini kau terserang hipotermia. Aku tidak ingin sesuatu terjadi padamu." ucap Mario cemas.
"Aku baik-baik saja Mario. Apa Lucy masih di sini?" tanya Laura mengawasi seluruh apartemen itu.
"Dia keluar satu jam yang lalu. Jason sudah melamarnya, ibu tidak keberatan mereka tinggal bersama. Tapi aku tidak mengizinkan sebelum mereka menikah. Lala sebaiknya kau mandi. Aku akan memasak untukmu."
Laura mengikuti perintah Mario. Lima belas menit kemudian dia menghampiri Mario di dapur. Aroma masakan tercium. Laura mengintip dari balik bahu Mario.
Pasta!
Mario suka sekali membuatnya gemuk. Laura menyingkirkan pasta itu dan hanya menyantap sedikit sayuran. Setengah jam kemudian makan malam itu berakhir. Mario masuk ke dalam kamarnya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Sementara Laura masih diam di tempatnya. Hingga mendengar ponselnya berbunyi. Dia meraih ponsel itu lalu membaca pesan singkat yang di kirim Lucy.
Lingerie tanpa sekat.
Laura tertawa pelan. Lucy sedang berbelanja dan memamerkan sebuah lingerie berenda. Dia mengirim pesan balasan lalu meletakkan kembali ponselnya. Laura mencuci piring bekas makan malam mereka kemudian menghampiri Mario. Laki-laki itu terlihat sibuk dengan pekerjaannya.
"Mario, akhir pekan ini aku ingin liburan."
Mario melihat Laura sekilas. "Maaf sayang, aku sibuk mengurus beberapa naskah."
Laura menyentuh pundak Mario. "Aku bisa pergi sendiri. Atau bersama Lucy. Teruskan pekerjaanmu." ucap Laura.
Kesibukan Mario bukan alasan bagi Laura memaksa laki-laki itu memberikan sedikit waktunya. Dia bahagia meskipun perhatian Mario teralihkan oleh pekerjaan.
Laura berdiri di balkon, merasakan udara musim gugur pada malam hari. Bersamaan dengan kepingan ingatan itu melintas.
***
Mei, 2016
"Aku lulus. Kamu lulus nggak La?"
Laura mengangguk. "Party di rumah Ajeng jadi nggak mbak?" tanya Laura.
"Aduh, maaf banget La. Mbak ada urusan kamu duluan ke rumah Ajeng. Ntar mbak nyusul." ucap Rahma menyesal.
"Cuma berdua mana seru lain kali aja lah mbak."
Laura berhenti di sebuah halte. Duduk di sana sambil mendengarkan musik. Jealous milik Labrinth lagu favoritnya. Hingga keramaian di halte itu terabaikan karena Laura fokus dengan dunianya.
"Sendiri La?"
Laura melepaskan earphone kemudian menoleh pada laki-laki yang duduk di sampingnya. "Mbak Rahma ada urusan." ucap Laura.
"Urusan apa?"
"Mungkin sama komunitasnya." ucap Laura enggan.
"Rencana mau kuliah di mana La?"
Lala menatap laki-laki itu. Namanya Argino Mahendra. Gino biasa Laura memanggilnya. Sahabat sekaligus tetangganya. Orangtua mereka berteman, sebelum Laura kehilangan mereka.
"Aku nggak kuliah."
"Rahma kuliah di mana?" tanya Gino.
Laura bangkit dari duduknya ketika sebuah bus melintas. Dia menaiki bus itu dengan langkah ringan. "Dengar-dengar universitas di Aussie!" ucap Laura setengah berteriak, tidak lama kemudian bus itu melaju.
"Bodoh." gumam Laura pelan.
***
"Semalam Lucy mengirim hadiah. Aku membukanya dan menemukan ini." Laura terkejut melihat benda yang berada di tangan Mario. Laki-laki itu tampak biasa saja. Namun, Laura segera menyingkirkan benda itu dari jangkauan Mario. Lucy sialan! "Aku sudah memutuskan. Kita akan berlibur akhir pekan ini." ucap Mario. "Kau libur?" tanya Laura memastikan Mario tidak mengabaikan pekerjannya. Hanya untuk menuruti keinginan tidak pentingnya itu. "Break sebentar dari pekerjaan. Lala, aku merasa duniaku bukan hanya tentang pekerjaan. Aku lelah dan idemu masuk akal. Aku sudah memesan satu kamar di kapal pesiar. Kau jangan khawatir kita melewatkan liburan ini." Laura menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak ingin naik kapal pesiar. Aku hanya ingin kita menjauh dari keramaian New York. Mario, kita akan memancing di rumah tepi danau. Kau bisa melanjutkan pekerjaanmu di sana. Aku tahu, tempat itu cocok untukmu." ucap Laura. "Kita selalu berdebat akan ha
Pagi itu Laura dibuat kesal setengah mati oleh salah satu pelanggan. Seorang laki-laki bermulut pedas hingga batas kesabarannya habis. Dan tanpa sengaja Laura mengeluarkan kata-kata umpatan. Mendengar keributan itu Miranda memanggilnya. Biasanya, Laura tidak peduli dengan kemarahan perempuan itu yang menegur cara bekerjanya, tapi kali itu Miranda memecatnya. Terkejut bercampur dengan sisa kemarahan akibat pertengkaran tadi Laura segera mengganti pakaiannya lalu keluar dari restoran itu. Dia bahkan melupakan gajinya. Laura terus melangkah menuju tempat kerja berikutnya. Toko kerajinan tangan yang hampir bangkrut. Namun, pemiliknya masih memintanya bekerja di sana. Tiba di toko itu Laura dibuat tercengang. Toko itu terjual. Ditengah situasi itu, ponselnya berbunyi. Sebuah nomor tidak dikenal menghubunginya. "Nona aku membutuhkan bantuanmu." Kening Laura berkerut. "Kau siapa?" tanyanya curiga. "Aku pemilik apartemen tempat kau berkerja du
"Kau bilang Laura memiliki kekasih?" tanya Gino begitu David tiba di apartemen dan laki-laki itu menghempaskan tubuhnya di sofa. Dia duduk di samping David meminta jawaban dari pertanyaan itu. "Laura tidak mungkin mencintai orang lain." ucap Gino yakin. "Aku hanya mendengarnya sekilas saat mereka berbicara di telepon. Gino, kau menyukainya. Jika aku jadi kau, aku tidak akan membiarkannya bersama orang lain." "Aku tidak bisa. Maksudku," Gino menahan kalimatnya lalu bangkit dari duduknya. "Lupakan saja. Aku keluar sebentar mencari udara segar." Hujan masih menyisakan gerimis, Gino mengendarai mobilnya dengan pikiran kosong. Dia tidak mempercayai ucapan David. Namun, Gino merasa terganggu mendengar Laura memiliki kekasih. Gadis itu tidak mungkin menyukai orang lain. Mereka memiliki banyak kenangan bersama masa-masa sekolah yang tidak terlupakan. Dan mereka memiliki perasaan yang sama hanya saja Gino tidak pernah mengatakannya. Apakah dia sudah terlambat?
Suasana malam yang tenang di tepi danau bukanlah apa-apa dibandingkan Mario yang diam membisu di sampingnya. Makan malam yang disiapkan laki-laki itu dibiarkan menjadi hiasan di atas meja. Selera makan Laura menguap, rasa lapar yang dirasakannya sejak siang tadi menghilang entah kemana. Dia hanya diam memperhatikan Mario yang bersikap aneh. Laura tidak sabar melihatnya. Namun, mencoba untuk menangguhkan rasa sabar itu. Jika kesal maka pertengkaran itu akan terjadi dan Laura tidak ingin bertengkar hanya karena seseorang bernama Mika. Satu jam berlalu sup ayam itu mulai mendingin. Laura kehilangan kesabaran, dia beranjak dari duduknya. Mencari udara segar sepertinya ide yang bagus untuk menenangkan pikirannya. Dia menyusuri hutan dalam keremangan cahaya bulan. Suara hewan malam terdengar nyaring di telinganya. Laura bergidik, dia takut bertemu hewan buas. Namun, untuk kembali dan melihat Mario bersikap dingin. Laura lebih memilih untuk bertemu serigala meskipun harus mengorban
Lura kesal karena Mario meninggalkannya di sebuah pusat perbelanjaan dan pergi terburu-buru setelah mendapatkan panggilan via telepon. Laura tidak ingin mengasumsikan Mika penyebab Mario pergi tanpa menoleh. Melupakan Laura di tengah keramaian itu. Kekesalan Laura semakin bertambah ketika memasuki sebuah toko buku dan tidak sengaja menjatuhkan beberapa buku. Dia tidak bermaksud melakukannya namun letak buku yang berada di rak paling atas membuatnya kesulitan. Penjaga toko menegurnya dan meminta Laura untuk membereskan buku-buku yang berserakan di lantai. Dia menghentikan kegiatannya ketika melihat sepasang sepatu berada di depannya. Laura mendongak dan menemukan David sedang berdiri sambil membawa kantong belanjaan.Cartier.Laura tersenyum samar, laki-laki itu ternyata penggemar barang mewah. Tidak heran jika David tinggal di apartemen elite di sekitar kawasan Manhattan. Sekarang Laura mengerti dengan selera laki-laki itu.
Gino apa kau menindas Laura?!"David terlihat marah, sepertinya kejadian tadi menyebabkan kesalahpahaman. Dia tidak mengira Laura pergi tanpa mengatakan kalimat apa pun. Gino tahu, menurut informasi David, Laura pendiam. Namun, Gino tidak tahu jika sikap diamnya Laura semakin membuatnya merasa bersalah."Aku akan menyusulnya." ucap Gino lalu meninggalkan kamarnya.Gino mencari keberadaan Laura dan tidak menemukan gadis itu. Dia kehilangan jejaknya lagi. Dia tidak boleh mementingkan perasaannya sementara Laura menghindarinya. Tidak apa-apa meskipun Laura memiliki orang lain di hatinya. Gino hanya ingin berdamai dengan masa lalu.Melupakan kebodohannya dulu membiarkan Laura pergi dari hidupnya.Tidak ada pilihan selain meminta bantuan David untuk mencari alamat Laura. Beruntung saat itu, setelah David mengantar gadis itu ke rumah sakit. Diam-diam David mengikuti Laura hingga ke apartemennya. Alasannya David tidak ingin direpotkan dan Gino bersyukur l
Sebenarnya Laura tidak ingin datang ke apartemen. Namun, dia membutuhkan pekerjaan dan biaya hidup di New York sangat tinggi. Dia tidak bisa mengandalkan orang lain untuk menopang hidupnya. Selama ini Laura mengandalkan diri sendiri agar tetap hidup di kota besar itu. Dia tetap berusaha dan mengesampingkan masalah pribadinya pada Gino. Apa pun yang pernah terjadi semua itu hanya masa lalu.Laura membuka pintu apartemen milik Gino dengan hati-hati. Dia takut laki-laki itu muncul secara tiba-tiba dengan masa lalu biarkan saja Gino teguh dengan pendiriannya. Laura sudah berdamai dengan hal itu.Lebih tepatnya mencoba untuk berdamai.Apartemen itu kosong. Laura menarik napas lega tidak perlu menghadapi Gino dan menahan diri untuk tidak memaki laki-laki itu. Ketenangan yang dipelajarinya dari Jason ternyata cukup berguna. Tidak ingin berdebat dengan pikirannya. Laura segera melakukan pekerjaannya. Dia membersihkan seluruh ruangan dan mengepel lantai. Membuang sampah
"Lala aku minta maaf."Laura menoleh ke samping memperhatikan Lucy yang fokus mengemudi. Perempuan itu terlihat menyedihkan dengan mata panda dan rambut berantakan. Sepertinya masalah pernikahan itu penyebab kekacauan Lucy."Seharusnya kau minta maaf pada David." ucap Laura."Bukan dia tapi Mario."Laura mengalihkan tatapannya ke samping, melihat jalanan yang padat sore itu. Bunyi klakson terdengar di telingannya dan mobil itu berhenti di lampu merah."Mario yang bodoh itu melepaskanmu hanya karena masalah pernikahanku. Aku yang egois ini tidak memahami perasaanmu. Lala aku bukan sahabat yang baik, aku minta maaf.""Kau sudah melakukan yang terbaik Jason pasti mengerti." ucap Laura menenangkan."Jason masih berada di Queens dia tidak kembali hingga Mario menyelesaikan urusannya. Semalam aku mengemudi hingga larut dan bertemu si brengsek i