Pagi itu Laura dibuat kesal setengah mati oleh salah satu pelanggan. Seorang laki-laki bermulut pedas hingga batas kesabarannya habis. Dan tanpa sengaja Laura mengeluarkan kata-kata umpatan. Mendengar keributan itu Miranda memanggilnya. Biasanya, Laura tidak peduli dengan kemarahan perempuan itu yang menegur cara bekerjanya, tapi kali itu Miranda memecatnya. Terkejut bercampur dengan sisa kemarahan akibat pertengkaran tadi Laura segera mengganti pakaiannya lalu keluar dari restoran itu. Dia bahkan melupakan gajinya.
Laura terus melangkah menuju tempat kerja berikutnya. Toko kerajinan tangan yang hampir bangkrut. Namun, pemiliknya masih memintanya bekerja di sana. Tiba di toko itu Laura dibuat tercengang.
Toko itu terjual.
Ditengah situasi itu, ponselnya berbunyi. Sebuah nomor tidak dikenal menghubunginya.
"Nona aku membutuhkan bantuanmu."
Kening Laura berkerut. "Kau siapa?" tanyanya curiga.
"Aku pemilik apartemen tempat kau berkerja dulu. Aku membutuhkan jasamu, apa kau bersedia?"
Laura membutuhkan pekerjaan saat ini. Dia tidak bisa membiarkan Mario menanggung seluruh biaya hidupnya. Dan pekerjaan membersihkan apartemen tidak terlalu sulit.
"Aku bersedia asal kau membayarku dua kali lipat dari gaji sebelumnya." ucap Laura.
"Sepakat."
Laura menyimpan ponselnya lalu menaiki kereta. Setengah jam kemudian dia tiba di sana. Dengan ragu Laura menekan bel dan detik berikutnya pintu itu terbuka. Seorang laki-laki berambut pirang menyambutnya dengan senyum ramah. Laura memasuki apartemen itu dengan canggung.
"Maaf aku sudah menyinggung temanmu."
"Seharusnya kau meminta maaf padanya." ucap Laura lalu mengambil peralatan pel. Barang-barang itu masih berada di sana tidak ada yang berubah dari terakhir kali Laura meninggalkan apartemen itu.
"Perkenalkan namaku David."
Uluran tangan itu menyebabkan Laura menghentikan pekerjaannya. Dia memperhatikan laki-laki bernama David dengan seksama. Lucy berlebihan tentang laki-laki itu. Cara bicara yang sopan entah kenapa Lucy bisa terpancing emosi.
"Laura." ucap Laura singkat tanpa membalas uluran tangan David. Dia meneruskan pekerjaannya. Mengabaikan keberadaan laki-laki itu di sana.
Hingga dua jam kemudian, Laura telah membersihkan seluruh ruangan di apartemen itu. Dia meregangkan tubuhnya yang kaku. Pekerjaan itu menguras seluruh tenaganya. Laura memutuskan berada di apartemen itu lebih lama. Dia lega ketika David berpamitan keluar dan akan kembali dalam beberapa jam kedepan. Kini Laura sendirian di sana. Apartemen mewah tanpa penghuni seperti setahun yang lalu.
Dan Laura menyukai suasana sepi seperti itu.
Perlahan rasa kantuk menyerang. Laura berbaring di sofa lalu memejamkan matanya. Semoga David tidak mengusirnya saat melihatnya tidur di sofa mahal itu.
***
Pekerjaan menyebabkan emosi Gino tidak stabil. Dia terpaksa pulang terlambat ditambah hujan turun dengan lebatnya. Musim gugur yang menyebalkan. Gino tidak menyukai musim dengan curah hujan tinggi itu. Satu jam setelah terjebak macet akhirnya Gino berhasil tiba di apartemen. Dia melempar tas kerjanya ke lantai lalu menghempaskan tubuhnya di sofa ruang tamu. Dia menyandarkan kepalanya sambil menatap langit-langit di ruangan itu. Emosinya mulai terkendali. Dan Gino bisa merasakan kemarahan itu perlahan menghilang.
Namun, tubuhnya membeku ketika melihat sosok gadis tertidur lelap di sofa. Dia hampir terserang penyakit jantung mengetahui bahwa gadis itu adalah Laura. Laura Oktaviana yang dirindukannya selama lima tahun ini. Dengan hati-hati Gino mendekati gadis itu. Dia mengusap wajah Laura. Sudah lama sekali, Gino bahkan tidak ingat kapan terakhir kalinya mengusap pipi Laura. Mungkin saat usia mereka sepuluh tahun atau kurang dari itu. Setelah dewasa Gino tidak pernah melakukan kontak fisik. Dia menghargai Laura dan takut jika perasaannya tidak terkendali bila melakukan sesuatu yang lebih.
"Aku sudah membawa gadismu. Berikan aku Ferrari milikmu."
David tiba-tiba muncul dan menghancurkan suasana itu. Gino melempar kunci mobilnya lalu menatap David tajam.
"Pergi dari tempat ini."
"Aku lelah seharian ini membuat kekacauan agar gadis itu berhenti dari pekerjaannya. Aku juga tidak tahu harus aku apakan toko jelek berisi tanah liat itu. Gino, kau harus membayar lebih atas usahaku ini." David mengulurkan tangannya. "Seratus juta dolar untuk toko itu. Aku rugi tapi tidak apa-apa karena kau temanku." ucap David.
"Ada dua ratus juta dolar di kartu itu. Kau melakukan tugasmu dengan baik. Besok kau bisa kembali ke Denmark dan menikmati hidupmu di sana." ucap Gino lalu menyerahkan kartu debit miliknya pada David.
"Sialan, aku tidak butuh uangmu!" David melempar kartu debit itu ke lantai. "Terakhir kali kau mengirimku ke Siberia. Aku hampir mati kedinginan dan kau menikmati musim panas di sini. Gino, kau keterlaluan."
"Aku ingin menikmati waktu bersamanya." ucap Gino tidak ingin berdebat.
"Aku bisa pergi saat kau bersamanya. Lagipula aku tidak ingin menjadi orang ketiga. Dan kelihatannya gadis itu pendiam. Aku kesulitan beradaptasi dengannya."
"Dia tidak pendiam. Mungkin sebelum dia kehilangan orangtuanya." ucap Gino lirih.
"Sudahlah aku malas mendengar omong kosongmu. Aku pergi sekarang, kau bisa bersamanya. Tenang saja, aku tidak akan mengganggu pertemuan kalian."
"David, jangan biarkan dia melihatku. Sekarang sudah malam hari. Tolong antar dia pulang. Sekaligus melihat tempat tinggalnya."
Suara ponsel menyebabkan Gino beranjak dari tempat itu. Dia masuk kedalam kamarnya, mencoba melihat dari balik pintu. Samar-samar dia bisa mendengar suara Laura yang panik. Tidak lama kemudian, suara itu menghilang. Gino keluar dari kamarnya dan tidak ada siapa pun di apartemen itu. ponselnya berbunyi dari balik saku.
Aku sedang mengantar gadismu pulang. Dan dia cemas tentang kekasihnya yang pingsan.
Pesan singkat yang dikirim David menyebabkan Gino kesulitan bernapas.
Laura memiliki kekasih?
***
"Lucy apa yang terjadi pada Mario?" tanya Laura panik. Pembicaraan melalui ponsel itu sedikit berlebihan di bawah pengawasan David. Dia terpaksa menyetujui tawaran laki-laki itu mengantarnya pulang. Jika bukan karena khawatir pada Mario. Laura tidak akan menerima tawaran orang asing secara sembarangan.
"Dia pingsan dan Jason membawanya ke rumah sakit. Mereka sedang berkuda dan Mario terjatuh dari kudanya. Pergelangan tangannya terluka mungkin sedikit retak. Entahlah, aku hanya mendengarnya dari Jason. Sebaiknya kau melihatnya langsung. Saat ini aku berada di Boston lusa baru kembali. Lala, jangan panik kakakku orang yang kuat."
Mario tidak biasanya memiliki waktu luang berkuda bersama Jason. Laura memutuskan sambungan itu lalu menyimpan ponselnya. Pikirannya kacau, dia tidak ingin sesuatu terjadi pada Mario. Perjalanan menuju rumah sakit itu terasa sangat lama. Ditambah hujan deras sehingga David tidak bisa menambah kecepatan mobilnya. Laura menjadi tidak sabar dan kegelisahan itu mengganggu David. Laki-laki itu berdehem pelan mencoba untuk menarik perhatiannya.
"Maaf," ucap Laura lirih, dia tidak bermaksud bersikap seperti itu. Namun, kekhawatiran itu tidak bisa disembunyikan.
"Aku tidak ingin mengambil risiko dan kita berdua celaka karena kau yang panik ini. Laura, tenanglah sedikit. Aku tidak bisa mengemudi jika kau terus seperti ini." ucap David terus terang.
"Apakah masih jauh?" tanya Laura mengabaikan ucapan David.
"Sebentar lagi."
Laura menghitung dalam hati, dia tidak tahu pada hitungan keberapa mobil itu tiba di rumah sakit. Begitu mobil itu berhenti Laura bergegas menuju rumah sakit mengabaikan teriakan David di belakangnya. Laura bertemu Jason di lobi. Dia menarik lengan laki-laki itu dengan napas tersengal.
"Bagaimana keadaan Mario?" tanya Laura cemas.
"Apa yang kau katakan?" tanya Jason tidak mengerti.
"Mario, terjatuh. Apa dia baik-baik saja?"
"Lala aku tidak paham apa yang kau katakan." ucap Jason.
"Lucy bilang," Laura menahan kalimatnya.
Lucy sialan!
"Pasti Lucy mengerjaimu, setelah lingerie itu dia juga mengarang kejadian ini. Lala aku minta maaf atas nama Lucy. Dia berada di Boston." ucap Jason geli.
"Lucy kali ini aku tidak akan memaafkanmu." ucap Laura geram.
"Aku mendengar tentang lamaran itu. Aku tidak ingin campur namun mengenai penolakan itu. Mario sedikit tertekan. Lala, aku tidak tahu alasan kau selalu menolaknya, tapi kau harus memikirkan Mario. Dia laki-laki yang baik satu-satunya sahabatku, sejak dulu hingga sekarang dia tidak pernah menyentuh seorang gadis. Itu sebabnya dia selalu menentang keras jika aku bertindak berlebihan pada Lucy. Namun, saat ini aku tahu, Mario tidak bisa menahan keinginan itu. Terlebih kau gadis yang dicintainya dan kalian berdua memiliki prinsip yang sama. Lala, jika kau ragu dengan perasaanmu, lebih baik katakan dengan terus terang. Mario pasti mengerti."
"Terimakasih Jason." ucap Laura singkat.
"Kau tidak mencintainya bukan?"
Laura terkejut, dia tidak percaya Jason akan menanyakan hal itu. Jika Lucy mungkin Laura bisa menyangkalnya. Namun, Jason berbeda, laki-laki itu terlalu bijak untuk melihat sisi yang disembunyikannya.
"Aku tidak akan mengatakannya pada Mario. Lala kau pasti mengerti jika cinta tidak bisa dipaksakan. Kau tidak boleh melukai perasaannya karena hal ini. Sudah larut, aku akan mengantarmu pulang." ucap Jason.
Selama perjalanan pulang itu, Laura membisu. Dia hanya diam ketika Jason mengantarnya hingga unit apartemennya. Begitu Mario membuka pintu, laki-laki itu langsung memeluknya dan meminta Jason untuk singgah. Dengan sopan Jason menolak dan Laura merasa pandangan Jason seolah mengintimidasinya. Laura hanya mengangguk ketika Jason berpamitan. Dia melihat Jason hingga masuk kedalam lift. Setelah kepergian Jason, Laura melepaskan pelukan itu lalu melangkah menuju kamarnya. Mario mengikutinya dan duduk di sisi ranjang.
"Apa yang terjadi?" tanya Mario curiga.
"Tidak apa-apa aku hanya lelah." ucap Laura lirih.
"Aku mencarimu dan nyonya Miranda mengatakan kau sudah dipecat. Aku mencarimu di toko kerajinan tangan dan toko itu sudah terjual. Lala, apa yang sebenarnya terjadi?"
"Mario aku sungguh lelah. Malam ini, aku tidak bisa menemanimu bekerja. Maaf,"
"Bukan itu yang aku tanyakan Lala. Ada apa denganmu hari ini?" tanya Mario tidak puas dengan jawaban Laura.
"Mario aku lelah. Biarkan aku istirahat."
"Apa karena kau bekerja di apartemen itu lagi?"
"Mario kau mengikutiku?" tanya Laura tidak percaya.
"Aku tidak ingin sesuatu terjadi padamu. Dan aku meminta seseorang mengawasimu. Lala jangan marah aku hanya,"
"Mario tinggalkan aku sendiri."
"Lala,"
"Biarkan aku sendiri!" teriak Laura.
Laura tahu, Mario terkejut dan tidak bisa mengendalikan ekspresi wajahnya. Mungkin mengecewakan bagi Mario, tapi Laura tidak ingin memahaminya. Dia lelah, sebenarnya bukan lelah karena pekerjaan.
Melainkan.
"Malam ini aku menginap di rumah Jason. Lala, kau bisa menenangkan diri dan jangan lupa minum obatmu." ucap Mario mencium kening Laura sekilas lalu meninggalkan tempat itu.
Lagi, Laura mengecewakan Mario. Dia seperti tokoh antagonis dalam setiap kisahnya.
***
"Kau bilang Laura memiliki kekasih?" tanya Gino begitu David tiba di apartemen dan laki-laki itu menghempaskan tubuhnya di sofa. Dia duduk di samping David meminta jawaban dari pertanyaan itu. "Laura tidak mungkin mencintai orang lain." ucap Gino yakin. "Aku hanya mendengarnya sekilas saat mereka berbicara di telepon. Gino, kau menyukainya. Jika aku jadi kau, aku tidak akan membiarkannya bersama orang lain." "Aku tidak bisa. Maksudku," Gino menahan kalimatnya lalu bangkit dari duduknya. "Lupakan saja. Aku keluar sebentar mencari udara segar." Hujan masih menyisakan gerimis, Gino mengendarai mobilnya dengan pikiran kosong. Dia tidak mempercayai ucapan David. Namun, Gino merasa terganggu mendengar Laura memiliki kekasih. Gadis itu tidak mungkin menyukai orang lain. Mereka memiliki banyak kenangan bersama masa-masa sekolah yang tidak terlupakan. Dan mereka memiliki perasaan yang sama hanya saja Gino tidak pernah mengatakannya. Apakah dia sudah terlambat?
Suasana malam yang tenang di tepi danau bukanlah apa-apa dibandingkan Mario yang diam membisu di sampingnya. Makan malam yang disiapkan laki-laki itu dibiarkan menjadi hiasan di atas meja. Selera makan Laura menguap, rasa lapar yang dirasakannya sejak siang tadi menghilang entah kemana. Dia hanya diam memperhatikan Mario yang bersikap aneh. Laura tidak sabar melihatnya. Namun, mencoba untuk menangguhkan rasa sabar itu. Jika kesal maka pertengkaran itu akan terjadi dan Laura tidak ingin bertengkar hanya karena seseorang bernama Mika. Satu jam berlalu sup ayam itu mulai mendingin. Laura kehilangan kesabaran, dia beranjak dari duduknya. Mencari udara segar sepertinya ide yang bagus untuk menenangkan pikirannya. Dia menyusuri hutan dalam keremangan cahaya bulan. Suara hewan malam terdengar nyaring di telinganya. Laura bergidik, dia takut bertemu hewan buas. Namun, untuk kembali dan melihat Mario bersikap dingin. Laura lebih memilih untuk bertemu serigala meskipun harus mengorban
Lura kesal karena Mario meninggalkannya di sebuah pusat perbelanjaan dan pergi terburu-buru setelah mendapatkan panggilan via telepon. Laura tidak ingin mengasumsikan Mika penyebab Mario pergi tanpa menoleh. Melupakan Laura di tengah keramaian itu. Kekesalan Laura semakin bertambah ketika memasuki sebuah toko buku dan tidak sengaja menjatuhkan beberapa buku. Dia tidak bermaksud melakukannya namun letak buku yang berada di rak paling atas membuatnya kesulitan. Penjaga toko menegurnya dan meminta Laura untuk membereskan buku-buku yang berserakan di lantai. Dia menghentikan kegiatannya ketika melihat sepasang sepatu berada di depannya. Laura mendongak dan menemukan David sedang berdiri sambil membawa kantong belanjaan.Cartier.Laura tersenyum samar, laki-laki itu ternyata penggemar barang mewah. Tidak heran jika David tinggal di apartemen elite di sekitar kawasan Manhattan. Sekarang Laura mengerti dengan selera laki-laki itu.
Gino apa kau menindas Laura?!"David terlihat marah, sepertinya kejadian tadi menyebabkan kesalahpahaman. Dia tidak mengira Laura pergi tanpa mengatakan kalimat apa pun. Gino tahu, menurut informasi David, Laura pendiam. Namun, Gino tidak tahu jika sikap diamnya Laura semakin membuatnya merasa bersalah."Aku akan menyusulnya." ucap Gino lalu meninggalkan kamarnya.Gino mencari keberadaan Laura dan tidak menemukan gadis itu. Dia kehilangan jejaknya lagi. Dia tidak boleh mementingkan perasaannya sementara Laura menghindarinya. Tidak apa-apa meskipun Laura memiliki orang lain di hatinya. Gino hanya ingin berdamai dengan masa lalu.Melupakan kebodohannya dulu membiarkan Laura pergi dari hidupnya.Tidak ada pilihan selain meminta bantuan David untuk mencari alamat Laura. Beruntung saat itu, setelah David mengantar gadis itu ke rumah sakit. Diam-diam David mengikuti Laura hingga ke apartemennya. Alasannya David tidak ingin direpotkan dan Gino bersyukur l
Sebenarnya Laura tidak ingin datang ke apartemen. Namun, dia membutuhkan pekerjaan dan biaya hidup di New York sangat tinggi. Dia tidak bisa mengandalkan orang lain untuk menopang hidupnya. Selama ini Laura mengandalkan diri sendiri agar tetap hidup di kota besar itu. Dia tetap berusaha dan mengesampingkan masalah pribadinya pada Gino. Apa pun yang pernah terjadi semua itu hanya masa lalu.Laura membuka pintu apartemen milik Gino dengan hati-hati. Dia takut laki-laki itu muncul secara tiba-tiba dengan masa lalu biarkan saja Gino teguh dengan pendiriannya. Laura sudah berdamai dengan hal itu.Lebih tepatnya mencoba untuk berdamai.Apartemen itu kosong. Laura menarik napas lega tidak perlu menghadapi Gino dan menahan diri untuk tidak memaki laki-laki itu. Ketenangan yang dipelajarinya dari Jason ternyata cukup berguna. Tidak ingin berdebat dengan pikirannya. Laura segera melakukan pekerjaannya. Dia membersihkan seluruh ruangan dan mengepel lantai. Membuang sampah
"Lala aku minta maaf."Laura menoleh ke samping memperhatikan Lucy yang fokus mengemudi. Perempuan itu terlihat menyedihkan dengan mata panda dan rambut berantakan. Sepertinya masalah pernikahan itu penyebab kekacauan Lucy."Seharusnya kau minta maaf pada David." ucap Laura."Bukan dia tapi Mario."Laura mengalihkan tatapannya ke samping, melihat jalanan yang padat sore itu. Bunyi klakson terdengar di telingannya dan mobil itu berhenti di lampu merah."Mario yang bodoh itu melepaskanmu hanya karena masalah pernikahanku. Aku yang egois ini tidak memahami perasaanmu. Lala aku bukan sahabat yang baik, aku minta maaf.""Kau sudah melakukan yang terbaik Jason pasti mengerti." ucap Laura menenangkan."Jason masih berada di Queens dia tidak kembali hingga Mario menyelesaikan urusannya. Semalam aku mengemudi hingga larut dan bertemu si brengsek i
Setelah Laura meninggalkan apartemennya, Gino berdiri di balkon menatap hujan yang turun dengan deras. Mendung tebal masih menggantung dan suara petir bersahutan. Namun, Gino tidak beranjak dari sana, dia melihat air hujan itu dengan pikiran kosong. Laura tidak menolak ciumannya, artinya gadis itu masih menyukainya. Peluang untuk bersama Laura terbuka lebar. Namun, Gino tetap penasaran tentang kekasih Laura yang misterius itu. Berulangkali Gino meminta David untuk mencari informasi tentang laki-laki itu. Namun, David selalu kembali dengan tangan kosong. Laura menutupi identitas kekasihnya dengan baik. Dan Gino tidak percaya jika Laura sungguh memiliki kekasih sebelum bertemu langsung dengan laki-laki itu. Mengingat Laura tidak pernah membahas mengenai kekasihnya sehingga Gino percaya pada intuisinya. Laura tidak memiliki kekasih! Cukup untuk menenangkan perasaannya saat ini, Gino tidak menganggap perkataan David itu benar adanya. Laki-la
Ruangan bernuansa lembut dengan aroma lavender itu adalah kamar Laura. Gino tidak tahu harus menyalahkan David atau memuji laki-laki itu telah membantunya merebut perhatian Laura. Dia duduk di ranjang empuk itu sambil mengawasi seluruh ruangan. Lemari pakaian berukuran sedang dan meja rias serta peralatan kosmetik milik Laura tersusun rapi. Dia tidak menemukan sampah berserakan di lantai, sebagai gantinya Laura meletakkan tempat sampah di sudut kamar. Dulu, Laura bukan tipe gadis yang suka membereskan kamar. Terkadang saat Gino datang berkunjung, dia mengalah dengan membantu gadis itu menyapu lantai. Kini Laura berubah menjadi perempuan mandiri dan waktu yang merubah semuanya.Gino menghempaskan tubuhnya di ranjang, menatap langit-langit kamar itu dengan pikiran melayang. Pertanyaan tentang kekasih, Laura tidak menjawabnya dan menghindarinya dengan sengaja. Gino penasaran namun tidak bisa melakukan apa-apa melihat Laura enggan membahas hal itu.&nbs
Ada banyak tempat yang menjadi pilihan, tapi Laura justru memilih Aussie dan tinggal bersama Rahma. Merawat Yuki dan Darren sedikit mengurangi kesedihannya akibat kepergian bayinya. Hubungannya dengan Rahma pun perlahan membaik begitu pula ketika Ajeng berkunjung ke Aussie. Laura sudah bisa tetawa lepas seolah bebannya di masa lalu terangkat. Satu tahun berlalu setelah Laura meninggalkan New York dan memutus komunikasi dengan orang-orang di sana. Dia tidak ingin mengingat semua kejadian yang terjadi di sana, meski Mario dan Lucy bukan orang yang seharusnya dihindari. Namun, mengingat mereka sama saja membuka luka yang berusaha Laura lupakan.Biarkan saja New York menjadi kenangan sama seperti Jogja.Hidup barunya dimulai di Aussie bersama keluarga kecil Rahma.Setahun itu pula Laura menghindari pembahasan yang berkaitan dengan Gino, meski dia mendengar dari Ajeng perihal laki-laki itu yang juga menetap di Aussie. Dia berharap tidak pernah dipertemukan deng
Bab 99“Kalau kamu ngerasa gitu, untuk apa kamu datang ke sini?”Laura tidak bisa untuk tidak melayangkan tatapan sinis. Dia tidak habis pikir Gino mengucapkan kalimat seperti laki-laki brengsek. Jika di dunia ini terdapat banyak bajingan yang berkeliaran, maka Gino adalah salah satunya.“Aku mau lihat kondisi kamu.” Gino mengalihkan tatapannya pada perut Laura yang tertutup selimut. “Juga turut berduka buat bayi itu.”“Kamu brengsek, No,” ucap Laura.“Maaf.”“Kamu nggak ingat?” Laura menatap Gino kecewa. “Kamu nikah sama Ajeng setelah mutusin aku dan kamu balik ke sini ganggu hidupku yang mulai tertata. Kamu buat aku nyakiti Russell padahal dia tulus cinta sama aku. No, kamu nggak tahu gimana sulitnya aku bertahan selama ini?” Laura menggeleng. “Kamu nggak tahu karena kamu cuma peduli sama perasaanmu sendiri. Aku yang bertahan, tapi kamu seenaknya
"Gino, sebaiknya kau datang ke rumah sakit."Di sinilah sekarang Gino berada. Menatap Laura yang terbaring dengan peralatan medis terpasang di tubuh gadis itu. Dia ingin menghampiri Laura, tapi sebuah pukulan lebih dulu melayang di wajahnya. Rasa nyeri menjalar seakan tulang pipinya remuk, tapi dia hanya mematung alih-alih membalas pukulan Mario."Laura hampir tidak tertolong jika Mingye terlambat mengambil tindakan." David menepuk bahu Gino pelan. "Dia juga kehilangan bayinya.""Laura berpesan apa pun yang terjadi, dia ingin bayinya selamat." Mario berujar dengan nada dingin. "Sayangnya dia harus terluka karena bajingan yang tidak mengakui darah dagingnya sendiri."Kaki Gino seolah terpaku di tempat mendengar berita tentang bayi yang dikandung Laura. Maksud ucapan Mario seperti menuduhnya seolah dia adalah ayah dari bayi malang itu."Atas dasar apa kau menuduhku?!" tanya Gino keras."Atas dasar kau laki-laki brengsek!"Sebelum Mario
Guncangan kasar menyebabkan Laura terbangun dan segera bangkit dari ranjang. Dia membuka laci meja riasnya dan mengeluarkan beberapa butir obat. Dalam sekali tegukan obat itu telah berpindah menuju perutnya.Laura kembali mengonsumsi obat, meski Mingye melarangnya. Dia tidak bisa bertahan tanpa obat karena bayangan masa lalunya perlahan muncul.Bayangan yang mati-matian Laura lupakan.Membuka pintu kamarnya dan menemukan keheningan di apartemen. Langit telah gelap, tapi tidak menyurutkan niatnya mendatangi restoran dua puluh empat jam. Dia duduk di salah satu kursi paling pojok untuk mencari ketenangan. Meskipun restoran itu hanya berisi beberapa orang saja. Laura tidak ingin berbaur dengan mereka atau sekadar menatap orang-orang di sana.Pukul tiga dini hari berdiam diri di restoran dua puluh empat jam. Tidak pernah ada dalam bayangan Laura selama tinggal di New York. Namun, malam ini adalah titik di mana dia merasa gagal menjadi manusi
Musim semi telah berakhir digantikan musim panas mewarnai langit New York. Seperti musim yang berganti, maka kehidupan pun terus berjalan. Hari ini Laura menerima tawaran Mario mengunjungi rumah tepi danau. Bukan untuk bernostalgia atau bersantai melainkan ada kabar mengejutkan perihal kehamilannya.Sebenarnya Laura sudah merasakan keanehan di tubuhnya, tapi kesedihan membuatnya mengabaikan perubahan itu. Namun, Mario menghubunginya dan mengajaknya ke rumah tepi danau untuk bertemu Mingye. Dokter bermata sipit itu tinggal di sana selama musim panas. Sehingga bisa dipastikan tidak akan memenuhi permintaan Mario memeriksa kehamilan Laura.Dokter juga membutuhkan liburan.Begitu setidaknya pengakuan Mingye.Dua jam perjalanan akhirnya mobil itu berhenti di rumah kayu. Tempat paling nyaman ketika Laura masih menjalin hubungan dengan Mario. Tidak terasa waktu berputar begitu cepat merubah status mereka menjadi mantan kekasih."Lala, kau mela
Rencana menanyakan perihal kehamilan gagal total saat mendapati Laura menangis di apartemen. Minggu sore Gino berniat mengajak gadis itu keluar. Namun, yang dilihatnya justru Laura yang meringkuk di lantai sambil menangis.Tangisan Laura terdengar sesenggukan menyebabkan hati Gino teriris. Menangisi seseorang yang sudah meninggal memiliki banyak arti. Jika Laura sedih karena rasa bersalah, maka Gino sama sekali tidak keberatan. Namun, jika Laura sedih karena gadis itu mencintai Russell, maka sampai mati pun Gino tidak pernah ikhlas."Aku pikir kamu udah baikan," ucap Gino."Aku takut, No.""Takut kenapa?""Takut jadi orang jahat."Ungkapan itu seolah menyiratkan perasaan Laura pasca kematian Russell. Perlahan Gino merasa lega karena gadis itu tidak mencintai Russell kecuali perasaan bersalah."Manusia pasti punya sisi buruknya
Melihat Laura kehilangan semangat hidup membuat Gino merasa tidak berguna. Dia meminta saran David dan dijawab oleh laki-laki itu agar dia menerima kenyataan Laura terpukul akibat kepergian Russell. Entah benar atau tidak, Gino hanya ingin menjadi orang berguna.Sepulang dari perusahaan dia memutuskan mengunjungi Laura. Pada ketukan kedua gadis itu menyambutnya dengan senyuman. Gino terpaku selama beberapa detik menyadari penampilan Laura jauh lebih baik. Rona wajah gadis itu telah kembali, meski masih sedikit tirus."Aku mau numpang makan malam," ucap Gino mencari alasan."Mie instan?"Gino mengangguk. "Asal kenyang.""Batu rasa apel juga mau, No?"Eh?Laura tertawa pelan membuat Gino terhipnotis dengan tawa gadis itu. Benarkah sosok itu adalah Laura?Seingatnya Laura jarang tertawa bahkan saat dia melontarkan humor garing pun. Gadis itu masih tidak menunjukkan apa-apa. Namun, pemandangan kali ini seperti sebuah ke
Seminggu penuh Laura mengurung diri di apartemen hingga Lucy meminta bantuan Gino. Namun, dia menolak kehadiran laki-laki itu kala mengingat Russell.Laura juga menolak harta yang diwariskan Russell dan meminta Katy menjaga properti di Norwegia. Meskipun perempuan itu keberatan, tapi Laura berhasil meyakinkan jika Russell tidak menginginkan harta peninggalan orangtuanya dipindah tangankan.Urusan harta benda itu tidak menarik minat Laura dan larut pada kepergian Russell yang terlalu mendadak. Fakta jantung laki-laki itu tidak berfungsi setelah mendengar Laura bertemu Gino. Bukankah artinya dia yang membunuh laki-laki itu?Semua orang mengatakan kepergian Russell merupakan takdir yang sudah digariskan. Namun, Laura tidak berhenti menyalahkan diri sendiri. Hingga di sore hari yang tertutup mendung, dia mendengar pintu apartemennya terbuka.Gino, Lucy, David, dan Mario berdiri di sana. Menatapnya seolah dia makhluk paling menyedihkan yang hidup d
Katy langsung menarik Laura menuju ruang perawatan di mana dokter dan perawat sudah berkumpul di sana. Dia melangkahkan kakinya menuju ranjang perawatan Russell. Kain putih menutupi seluruh tubuh laki-laki itu dan peralatan medis telah dimatikan. Laura mencoba memahami situasi tersebut dengan cara mengguncang tubuh Russell. Namun, laki-laki itu tetap diam membiarkan kain putih itu menutupi sekujur tubuh."Dia ingin dikuburkan di Norwegia," ucap Katy."Kenapa kau tidak memberi kabar sebelumnya?" tanya Laura lirih."Russell yang memintanya. Dia tidak ingin memaksamu tinggal di sisinya. Sekarang semuanya sudah berakhir, kau bisa menjalani kehidupan seperti sebelumnya."Katy berserta dokter meninggalkannya di ruangan itu bersama jasad Russell yang terbujur kaku. Laura menyibak kain putih itu dan menatap wajah Russell yang pucat. Tidak ada senyuman atau ucapan perpisahan seperti kebanyakan orang yang akan meninggal. Russell sungguh meminta waktu satu tahun bag