"Kau bilang Laura memiliki kekasih?" tanya Gino begitu David tiba di apartemen dan laki-laki itu menghempaskan tubuhnya di sofa. Dia duduk di samping David meminta jawaban dari pertanyaan itu. "Laura tidak mungkin mencintai orang lain." ucap Gino yakin.
"Aku hanya mendengarnya sekilas saat mereka berbicara di telepon. Gino, kau menyukainya. Jika aku jadi kau, aku tidak akan membiarkannya bersama orang lain."
"Aku tidak bisa. Maksudku," Gino menahan kalimatnya lalu bangkit dari duduknya. "Lupakan saja. Aku keluar sebentar mencari udara segar."
Hujan masih menyisakan gerimis, Gino mengendarai mobilnya dengan pikiran kosong. Dia tidak mempercayai ucapan David. Namun, Gino merasa terganggu mendengar Laura memiliki kekasih. Gadis itu tidak mungkin menyukai orang lain. Mereka memiliki banyak kenangan bersama masa-masa sekolah yang tidak terlupakan. Dan mereka memiliki perasaan yang sama hanya saja Gino tidak pernah mengatakannya.
Apakah dia sudah terlambat?
Gino menghentikan mobilnya di sebuah restoran. Perutnya berbunyi pertanda meminta segera diisi makanan. Gino memesan pizza dan cheesecake sebagai makanan penutup. Dia tidak menyukai makanan manis. Namun, malam itu Gino ingin sekali merasakan sesuatu yang berbeda. Mungkin karena suasana hatinya yang buruk menyebabkan seleranya berubah.
Pesanan datang, Gino menyantap makanannya dalam diam sesekali mengawasi suasana di restoran itu. Tidak banyak pengunjung yang datang. Gino mengamati laki-laki yang berada tidak jauh darinya. Laki-laki itu tampak muram seolah memiliki beban berat. Gino meletakkan makanannya, urung menyantap cheesecake ketika melihat laki-laki itu kesulitan untuk berdiri. Tidak ada orang lain yang membantunya. Merasa iba, Gino mendekati laki-laki itu.
"Apakah anda baik-baik saja?" tanya Gino cemas.
Tidak ada jawaban, samar-samar Gino mencium aroma alkohol. Laki-laki itu mabuk dan di meja tergeletak beberapa botol wine yang kosong. Gino tidak menyukai aroma alkohol. Namun, tidak bisa membiarkan laki-laki itu berada di sana. Setelah membayar makanannya, Gino membawa laki-laki itu ke dalam mobilnya dan memutuskan membawanya ke apartemen. Gino berdoa dalam hati semoga laki-laki itu bukan psikopat. Akhir-akhir ini dia suka sekali berkhayal.
"Gino kenapa kau membawa orang asing?"
Gino hampir menjatuhkan laki-laki itu di lantai mendengar pertanyaan David sesaat setelah dia tiba di apartemen. Dengan hati-hati Gino meletakkan laki-laki itu di sofa. Dia melepas pakaiannya, aroma alkohol itu juga menempel di tubuhnya. Gino tidak menyukai aroma itu
"Gino, kau menjadi homo setelah Laura memiliki kekasih!" teriak David panik lalu menjauhi Gino.
"Aku bertemu dengannya di restoran. Dia mabuk dan aku tidak tega membiarkannya sendiri. David, jangan meracau aku masih normal." ucap Gino.
"Baguslah." David mengusap dadanya disertai napas lega.
"Kau bertugas mengantarnya. Jangan sampai Laura melihat ada orang lain di tempat ini." ucap Gino.
"Laki-laki itu sangat tampan. Menurutmu apa yang menyebabkan dia mabuk dan kehilangan kesadaran?" tanya David penasaran.
"Jangan ikut campur urusan orang lain. David, kau jaga dia. Aku mandi sebentar." ucap Gino lalu masuk kedalam kamarnya.
Sepuluh menit kemudian Gino kembali ke ruang tamu dan melihat David sudah terlelap. Teman yang tidak bisa diandalkan. Gino mengambil selimut lalu menyelimuti David dan laki-laki itu. Dia mematikan lampu ruang tamu lalu masuk ke dalam kamarnya. Keheningan di kamar itu menyebabkan kerinduannya pada Laura memuncak. Lesung pipi ketika Laura tersenyum membuatnya semakin menarik.
Dan Gino sangat merindukan senyuman itu.
"Kamu nggak mungkin suka sama orang lain La." ucap Gino lirih.
Kepercayaan diri itu bukan tanpa alasan. Gino yakin jika perasaan Laura tidak berubah. Gadis kecil yang selalu mengikutinya kemana pun, Gino sangat mengenalnya. Alasan dia datang ke New York hanya untuk mencari Laura. Menolak bekerja di Indonesia dan bertengkar hebat dengan kedua orangtuanya. Gino tidak pernah menyesalinya. Dia mulai jatuh cinta pada keramaian New York. Menjunjung tinggi prinsip tidak boleh terpengaruh pergaulan bebas. Menghindari alkohol dan obat-obatan terlarang. Selama dua tahun ini Gino berhasil melewatinya. Namun, saat melihat Laura sesuatu yang menjadi prinsipnya tiba-tiba berubah. Gino ingin sekali membawa Laura dalam pelukannya, mengingat selama ini, dia tidak pernah memeluk gadis itu. Membiarkan perasaannya memiliki dinding pemisah.
Seandainya waktu berbaik hati membawanya kembali pada lima tahun silam. Gino tidak akan membiarkan Laura pergi dengan penuh luka.
***
Bunyi bel membangunkan Laura dari tidurnya. Dia melirik jam digital di samping tempat tidurnya. Pukul enam pagi. Dengan langkah berat, Laura membuka pintu dan melihat Mario berdiri di sana. Perasaan bersalah itu merasukinya, Laura tidak bisa melihat raut wajah Mario yang kecewa. Dia membiarkan Mario masuk ke dalam apartemen dan mengikuti laki-laki itu menuju dapur. Setelah sikapnya semalam, Mario masih bersikap seperti biasanya. Menyiapkan sarapan sebelum Laura bangun. Dan Laura tidak pernah menghargai perlakuan itu.
"Mario aku minta maaf."
Mario mengehentikan kegiatannya lalu menatap Laura. Dia terkejut melihat Laura menangis. "Lala, apa yang terjadi?" tanya Mario panik lalu memeluk gadis itu.
"Maaf atas sikapku semalam. Mario, aku sungguh minta maaf." ucap Laura. Air matanya menetes semakin deras.
"Aku yang salah. Lain kali aku akan memperhatikan emosimu. Aku mengabaikan suasana hatimu karena kecemasanku yang berlebihan. Lala, jangan menangis."
Ucapan lembut Mario membuatnya semakin menangis. Laura cemas ketika Mario meninggalkan apartemen dan dia segera menghubungi Jason. Dan Jason mengatakan Mario tidak menginap di sana. Laura tahu, Mario akan melampiaskan kekecewaannya dengan alkohol. Laura bisa mencium aroma alkohol yang kuat dari tubuh Mario.
"Lala aku minta maaf. Sudah, jangan menangis. Lain kali aku tidak akan meminta orang mengikutimu." ucap Mario mengusap air mata di wajah Laura. "Aku siapakan sarapan sebentar. Kau tunggu di meja makan."
Laura mengangguk dan memperhatikan Mario yang sibuk di dapur. Meskipun pengaruh alkohol itu belum sepenuhnya hilang. Mario bersikeras untuk membuatkan sarapan. Sandwich dengan potongan stroberi itu terlihat lezat. Tidak lupa susu putih kesukaan Laura. Mario menarik kursi lalu duduk di sampingnya.
"Makan yang banyak semalam kau tidak makan apa pun." ucap Mario.
"Semalam kau tidur di mana?" tanya Laura.
"Ada orang baik yang membawaku ke apartemennya. Dia juga memasak sup pereda mabuk. Setelah itu meminta temannya mengantarku pulang. Laki-laki yang sangat baik, aku tidak sempat menanyakan namanya. Maaf, aku membuatmu cemas Jason pasti mencariku semalaman." ucap Mario menyesal.
"Mario Kau tidak boleh mempercayai orang asing begitu saja." ucap Laura serius.
"Jangan khawatir sayang. Dia orang yang baik."
Tidak biasanya Mario memuji kebaikan orang lain. Namun, Laura tidak ingin bertanya lebih lanjut. Siapa pun orang itu, Laura mengucapkan terimakasih dalam hati sudah membantu Mario dan menghilangkan kecemasannya. Laura menghabiskan sarapannya lalu mencuci piringnya. Dia mengangguk sekilas ketika Mario masuk ke dalam kamarnya. Ponselnya berbunyi sesaat setelah Laura selesai mengeringkan tangan. Nama Lucy muncul di layar. Laura hampir melupakan perbuatan Lucy. Setelah kembali ke New York, dia akan memberi pelajaran kepada perempuan itu.
"Jason bilang kau mencari Mario ke rumah sakit. Kau pasti cemas tentang kakakku."
"Kau masih memiliki nyali membicarakan hal itu?" tanya Laura menahan amarahnya.
"Hei Lala, jangan terlalu serius. Aku hanya bercanda, aku ini sahabatmu melakukan sesuatu juga demi kebaikanmu. Kau ini sungguh orang yang kaku."
"Aku heran gadis sepertimu bisa memikat Jason yang tenang itu." ucap Laura dengan nada mengejek.
"Jason selalu mencintaiku. Kami saling mengenal sejak kecil. Lala, cinta pertama itu tidak mudah tergantikan. Jangan salahkan aku kalau Jason sangat menyukaiku."
Cinta pertama?
Laura menelan ludahnya susah payah. Dia tidak mendengar kalimat Lucy selanjutnya. Pikirannya melayang entah kemana hingga Mario memeluknya dari belakang. Laura hampir menjatuhkan ponselnya bersamaan dengan teriakan Lucy dari seberang.
"Lala kau tidak mendengarku dan bermesraan dengan Mario. Kau anggap aku radio rusak ya?!"
Laura menjauhkan ponselnya dari telinga membiarkan Lucy meluapkan kekesalannya. Seharusnya dia yang kesal karena perbuatan Lucy semalam. Namun, mengingat karakter Lucy, Laura tidak ingin berdebat. Beberapa saat kemudian, Lucy mulai tenang. Laura bisa mendengar hembusan napas Lucy dari seberang.
"Ibu memiliki pemikiran yang kolot dan tidak mengizinkan aku menikah sebelum Mario menikah. Lala, aku ingin kau memikirkan hal ini. Bagaimanapun ini menyangkut tentang masa depanku. Jason tidak bisa menunggu lebih lama. Mario terlalu keras pada hubungan kami. Lala, aku tahu kau takut dengan pernikahan, tapi kau tidak bisa terus melajang dan membiarkan Mario menunggumu. Aku membahas hal ini karena ibu mendesakku. Dia tidak berani meminta Mario, itu sebabnya ibu menggangguku. Lala, tolong pikirkan masalah ini baik-baik. Aku tutup dulu ya, aku masih ada pekerjaan."
Laura menggenggam erat ponselnya. Lucy tidak pernah membahas masalah pernikahan. Jika orangtua Mario terlibat maka Laura tidak bisa terus menghindar. Namun, pernikahan itu seperti mimpi buruk yang berusaha Laura hindari.
"Abaikan saja ucapan Lucy. Aku akan membahas masalah ini pada ibu." ucap Mario serius.
"Mario, apakah kau sangat ingin menikah?"
"Menikah atau tidak, selama kau ada di sampingku. Aku tidak akan memaksamu melakukan sesuatu yang menjadi ketakutan terbesarmu. Kau tidak boleh sedih karena hal itu. Lala, aku sudah bersiap. Sebaiknya kau mandi, hari ini kita akan ke rumah tepi danau. Cepatlah sebelum hujan turun."
Laura hampir melupakan akhir pekan yang ditunggunya sejak lama. Rumah tepi danau menjadi tempat yang paling dia rindukan. Bukan karena tempat itu terpencil. Melainkan keheningan di rumah itu yang membuatnya merindukan kampung halamannya. Sudah lama, Laura tidak mendengar kabar apa pun dari keluarganya. Dia menghindari semua hal yang berkaitan dengan masa lalu. Terdengar kekanakan dan Laura mengakuinya.
"Lala, aku membawa sebagian pekerjaanku. Mungkin aku sedikit sibuk dan tidak bisa menemanimu memancing."
Laura menoleh ke samping. Dia tidak keberatan dengan kesibukan Mario, lagipula tempat itu cocok untuk mendapatkan inspirasi. "Kau dikejar deadline?" tanya Laura.
"Sutradara memintaku segera menyelesaikan skenario. Syuting film sebentar lagi dimulai dan aku belum menyelesaikan naskahnya."
"Maaf aku tidak bisa membantu,"
"Kau ada di sampingku itu sudah cukup. Lala, kau adalah sumber inspirasiku." ucap Mario mengusap rambut Laura.
"Menjadi penulis kau pasti kesulitan dan suasana hatimu tidak baik. Mario aku minta maaf dan tentang pernikahan itu, aku akan memikirkannya."
"Tidak apa-apa. Aku akan membujuk ibu. Lucy bisa menikah lebih dulu, tidak ada aturan untuk itu, ibu hanya terbiasa dengan pemikiran kuno."
"Bukan karena Lucy, tapi karena kau sangat ingin menikah dan aku sudah menolakmu berkali-kali. Mario beri aku waktu untuk meyakinkan diri. Bagaimanapun aku pernah," Laura menahan kalimatnya.
"Lala kau bicara panjang lebar hari ini hanya karena Lucy. Saat dia kembali, aku akan membahas masalah ini pada ibu. Dia pasti mengerti."
Laura mengangguk. Dia tahu Mario menghiburnya, sebenarnya laki-laki itu juga terbebani dengan masalah Lucy. Mungkin sudah saatnya bagi Laura menyingkirkan ketakutannya akan sebuah pernikahan. Dia tidak bisa berada dalam masa lalu. Mengabaikan masa depan yang terus menunggunya.
"Mario, aku ingin bertemu ibumu."
***
Semula Laura mengira Mario akan bahagia mendengar ucapannya. Namun, setelah Laura mengatakan ingin bertemu orang tua Mario. Laki-laki itu tampak diam dan berusaha untuk menghindari percakapan itu. Tidak biasanya namun Laura tidak ingin bertanya mengapa Mario enggan membahas hal itu. Selama menjadi kekasihnya, Mario nyaris tidak pernah menceritakan tentang keluarganya. Laki-laki itu seolah menyimpan rahasia yang tidak boleh diketahui orang lain. Dan Laura sedikit terganggu dengan hal itu.
"Lala?"
Sentuhan halus di pundaknya menyadarkan Laura dari lamunan. Mereka sudah tiba dan Mario telah mengeluarkan barang-barang dari bagasi. Dia terlalu lama melamun!
"Maaf," ucap Laura lalu membantu Mario membawa barang-barang mereka masuk kedalam rumah.
"Kau selalu melamun. Apa ada seseorang yang kau rindukan?" tanya Mario dengan tatapan menyelidik.
Laura mengabaikan pertanyaan itu dan berpura-pura sibuk memindahkan barang-barangnya. Dia mengeluarkan bahan makanan dan meletakkannya di atas meja makan. Mario membawa banyak sekali bahan makanan. Mereka hanya menginap satu malam dan makanan sebanyak itu tidak mungkin habis dalam satu hari. Laura memasukkan buah ke dalam lemari pendingin kemudian menghampiri Mario yang berada di ruang tengah. Laki-laki itu tampak serius dengan pekerjaannya. Tidak ingin menganggu, Laura memutuskan untuk menghirup udara segar. Dia duduk di tepi danau melihat air danau yang tenang. Angin bertiup menyebabkan udara dingin semakin terasa. Laura urung berenang di musim gugur itu. Dia hanya mencelup sebagian kakinya kedalam air. Memperhatikan bayangan wajahnya dari pantulan air danau.
Ponselnya berbunyi mengalihkan perhatian Laura untuk sesaat. David menghubunginya, Laura lupa mengabari David hari ini tidak bisa datang ke apartemen.
"Laura, kau terlambat satu menit."
Laura mendesah pelan. Mirip sekali dengan nyonya Miranda.
"Aku tidak bekerja hari ini. Maaf," ucap Laura lirih.
"Apa kau sakit?"
"Aku memiliki urusan pribadi. Besok sore baru kembali. David, aku tidak bisa datang ke apartemen selama dua hari ini."
"Baiklah, tapi jangan terkejut saat kau melihat kondisi apartemen yang berantakan. Nikmati waktumu Laura. Aku tidak akan menggangu kalian."
Laura belum membalas ucapan itu ketika David memutuskan sambungan itu. Entah apa yang dipikirkan laki-laki itu. Laura tidak terlalu peduli. Dia bersyukur David mengerti dan tidak menuntut pekerjaannya seperti orang lain. Gaji yang dia dapatkan dari pekerjaan itu menghemat tenaganya untuk bekerja di tempat lain. Laura memangkas dua pekerjaan paruh waktu setelah bekerja di apartemen milik David. Lain kali, Laura akan bersikap lebih baik pada laki-laki itu.
Suasana tenang di tempat itu menyegarkan pikiran Laura dari ucapan Lucy. Desakan pernikahan itu teratasi dengan suasana nyaman itu. Dia tidak membutuhkan obat untuk beberapa hari ini. Mungkin Mario akan bahagia mendengarnya. Sejak Laura mengidap depresi, ketakutan Mario lebih dari apa pun. Membawanya ke psikiater dan terjaga setiap kali Laura mencoba untuk bunuh diri. Dia bahkan hampir melukai pergelangan tangannya jika Mario tidak mencegahnya. Mengingat masa-masa sulit itu jika bukan karena Mario ada di sampingnya. Mungkin saat ini Laura sudah tenang di alam baka.
Waktu cepat sekali berlalu.
Laura kembali ke rumah dan menemukan Mario tertidur di sofa. Beberapa gumpalan kertas tergeletak di meja. Laura membuang kertas-kertas itu ke tempat sampah kemudian membenarkan posisi tidur Mario. Dia meletakkan kepala Mario di pangkuannya. Sudah lama Laura tidak melakukan hal itu. Dia memperhatikan wajah Mario yang terlelap. Wajah yang tampan dengan sepasang alis tebal. Laura membelai rambut Mario disertai senyum tipis. Dia tidak pernah menyadari kelebihan Mario hanya karena masa lalunya. Ketenangan bersama Mario, Laura tidak akan melewatkannya.
"Aku pernah sakit karena kamu No. Kalau waktu bisa diputar ulang, sejak awal aku lebih memilih nggak ketemu sama kamu. Karena kamu, aku bahkan mengabaikan seseorang sebaik Mario. Lima tahun, aku coba untuk ikhlas. Nyatanya mimpi buruk itu terus datang. Aku nggak bisa lupa sama kejadian itu. Kamu,"
Laura menghentikan kalimatnya ketika ponsel Mario yang berada di atas meja berbunyi. Biasanya Laura akan mengabaikan panggilan itu namun melihat Mario tertidur lelap dan takut membangunkan laki-laki itu. Laura meraih ponsel itu dan melihat nama yang muncul di layar.
Mika?
Dengan hati-hati Laura menempelkan ponsel itu di telinga. Dia menunggu hingga seseorang bernama Mika itu mengeluarkan suara.
"Mario aku tiba di New York. Jason menjemputku, setelah kau menyelesaikan naskahmu. Segera hubungi aku. Aku menunggumu di rumah. Sampaikan salamku untuk Lucy. Bocah kecil itu pasti sudah besar sekarang."
Laura diam, membiarkan Mika terus berbicara. Mario tidak pernah membicarakan tentang Mika. Entah apa hubungan keduanya, Laura seolah menjadi orang ketiga yang tidak mengetahui apa-apa.
"Aku akan berkunjung ke rumah ibumu. Aku dengar dia tinggal di Queens. Sudah lama sekali aku tidak merasakan pai buatannya. Saat waktumu luang, bawa aku ke rumah ibumu."
Laura hanya mendengarkan Mika yang antusias. Cara bicara perempuan itu mirip sekali dengan Lucy. Berapi-api akan sesuatu yang menarik perhatiannya.
"Mario aku bicara panjang lebar kau hanya diam. Kau ini membuatku kesal. Baiklah, aku akhiri saja. Jangan lupa kau berjanji untuk membawaku ke taman bermain. Aku tunggu kabar darimu."
Sambungan itu berakhir. Laura meletakkan ponsel itu di meja lalu menatap Mario. Apakah Mario juga akan melukainya?
***
Mood Gino semakin memburuk. Bukan karena kasus perceraian yang sedang ditanganinya. Namun, kabar tentang Laura yang menghabiskan waktu bersama kekasihnya. Setelah David mengabarkan Laura tidak datang ke apartemen dan memilih bersama kekasihnya. Emosi Gino meluap. Dia bangkit dari duduknya mengabaikan kliennya yang masih berada di ruangan itu. Perceraian dan hadirnya orang ketiga, omong kosong itu Gino lelah mendengarnya. Dia meninggalkan gedung perusahaan lalu mengendarai mobilnya melewati jalanan yang padat. Siang itu, jalan macet total. Gino menghempaskan tinjunya pada kemudi mobil. Dia cemburu karena Laura menghabiskan waktu bersama orang lain. Dia tidak rela gadis kecilnya yang polos berubah menjadi orang yang tidak dikenalnya. Gino mengumpat lalu menekan klakson mobilnya. Sebuah mobil tiba-tiba menyalip dan menabrak mobilnya dari sisi kiri. Dia mendengar suara keras dan itu berasal dari mobilnya.
Sialan!
Gino menepikan mobilnya dan hampir terserang penyakit jantung melihat sisi kiri mobilnya tergores, goresan panjang itu menyadarkan Gino. Mobilnya baru saja ditabrak secara brutal. Dia memejamkan matanya untuk meredakan emosinya bersamaan dengan tepukan halus di bahunya.
"Maaf aku tidak sengaja." ucap perempuan itu menyesal.
"Apa kau buta?!" tanya Gino emosi. Dia tidak bisa berteriak menyadari saat ini berada di tempat umum. Meskipun Gino ingin sekali mencekik perempuan itu. "Aku baru membelinya kemarin dan hari ini mobilku cacat!"
"Aku akan mengganti biaya perbaikannya. Maaf, aku tidak bisa menyetir. Aku terpaksa melakukannya untuk menghindari wartawan. Sepupuku berada di toilet dan aku tidak bisa menunggunya. Aku mohon jangan perpanjang masalah ini."
Kerumunan orang membawa kamera membuat perempuan itu panik. Gino menarik perempuan itu masuk ke dalam mobilnya. Akhir-akhir ini kebaikannya meningkat dengan membiarkan orang asing menaiki mobilnya. Setelah laki-laki mabuk malam itu, dia juga membantu perempuan yang bersikap seperti artis. Gino mendengar helaaan napas panjang dari perempuan itu. Dia menoleh ke samping, memperhatikan perempuan itu dengan seksama.
Gino tidak pernah melihatnya. Baik di televisi maupun surat kabar. Jangan-jangan perempuan itu seorang penipu?
"Terimakasih atas bantuanmu. Ambil ini sebagai permintaan maafku."
Gino menatap kartu debit ditangan perempuan itu. "Kau bercanda? Kartu ini tanpa limit. Kau sangat royal." ucap Gino tidak percaya.
"Uang bukan masalah hampir saja reputasiku hancur. Terimakasih tuan tampan semoga di lain waktu kita bertemu lagi."
Gino hanya menatap kepergian perempuan itu. Bunyi klakson di belakangnya menyadarkan Gino dari lamunan. Dia memutuskan kembali ke apartemen, pikirannya yang kacau mungkin David bisa memberikan saran.
***
Suasana malam yang tenang di tepi danau bukanlah apa-apa dibandingkan Mario yang diam membisu di sampingnya. Makan malam yang disiapkan laki-laki itu dibiarkan menjadi hiasan di atas meja. Selera makan Laura menguap, rasa lapar yang dirasakannya sejak siang tadi menghilang entah kemana. Dia hanya diam memperhatikan Mario yang bersikap aneh. Laura tidak sabar melihatnya. Namun, mencoba untuk menangguhkan rasa sabar itu. Jika kesal maka pertengkaran itu akan terjadi dan Laura tidak ingin bertengkar hanya karena seseorang bernama Mika. Satu jam berlalu sup ayam itu mulai mendingin. Laura kehilangan kesabaran, dia beranjak dari duduknya. Mencari udara segar sepertinya ide yang bagus untuk menenangkan pikirannya. Dia menyusuri hutan dalam keremangan cahaya bulan. Suara hewan malam terdengar nyaring di telinganya. Laura bergidik, dia takut bertemu hewan buas. Namun, untuk kembali dan melihat Mario bersikap dingin. Laura lebih memilih untuk bertemu serigala meskipun harus mengorban
Lura kesal karena Mario meninggalkannya di sebuah pusat perbelanjaan dan pergi terburu-buru setelah mendapatkan panggilan via telepon. Laura tidak ingin mengasumsikan Mika penyebab Mario pergi tanpa menoleh. Melupakan Laura di tengah keramaian itu. Kekesalan Laura semakin bertambah ketika memasuki sebuah toko buku dan tidak sengaja menjatuhkan beberapa buku. Dia tidak bermaksud melakukannya namun letak buku yang berada di rak paling atas membuatnya kesulitan. Penjaga toko menegurnya dan meminta Laura untuk membereskan buku-buku yang berserakan di lantai. Dia menghentikan kegiatannya ketika melihat sepasang sepatu berada di depannya. Laura mendongak dan menemukan David sedang berdiri sambil membawa kantong belanjaan.Cartier.Laura tersenyum samar, laki-laki itu ternyata penggemar barang mewah. Tidak heran jika David tinggal di apartemen elite di sekitar kawasan Manhattan. Sekarang Laura mengerti dengan selera laki-laki itu.
Gino apa kau menindas Laura?!"David terlihat marah, sepertinya kejadian tadi menyebabkan kesalahpahaman. Dia tidak mengira Laura pergi tanpa mengatakan kalimat apa pun. Gino tahu, menurut informasi David, Laura pendiam. Namun, Gino tidak tahu jika sikap diamnya Laura semakin membuatnya merasa bersalah."Aku akan menyusulnya." ucap Gino lalu meninggalkan kamarnya.Gino mencari keberadaan Laura dan tidak menemukan gadis itu. Dia kehilangan jejaknya lagi. Dia tidak boleh mementingkan perasaannya sementara Laura menghindarinya. Tidak apa-apa meskipun Laura memiliki orang lain di hatinya. Gino hanya ingin berdamai dengan masa lalu.Melupakan kebodohannya dulu membiarkan Laura pergi dari hidupnya.Tidak ada pilihan selain meminta bantuan David untuk mencari alamat Laura. Beruntung saat itu, setelah David mengantar gadis itu ke rumah sakit. Diam-diam David mengikuti Laura hingga ke apartemennya. Alasannya David tidak ingin direpotkan dan Gino bersyukur l
Sebenarnya Laura tidak ingin datang ke apartemen. Namun, dia membutuhkan pekerjaan dan biaya hidup di New York sangat tinggi. Dia tidak bisa mengandalkan orang lain untuk menopang hidupnya. Selama ini Laura mengandalkan diri sendiri agar tetap hidup di kota besar itu. Dia tetap berusaha dan mengesampingkan masalah pribadinya pada Gino. Apa pun yang pernah terjadi semua itu hanya masa lalu.Laura membuka pintu apartemen milik Gino dengan hati-hati. Dia takut laki-laki itu muncul secara tiba-tiba dengan masa lalu biarkan saja Gino teguh dengan pendiriannya. Laura sudah berdamai dengan hal itu.Lebih tepatnya mencoba untuk berdamai.Apartemen itu kosong. Laura menarik napas lega tidak perlu menghadapi Gino dan menahan diri untuk tidak memaki laki-laki itu. Ketenangan yang dipelajarinya dari Jason ternyata cukup berguna. Tidak ingin berdebat dengan pikirannya. Laura segera melakukan pekerjaannya. Dia membersihkan seluruh ruangan dan mengepel lantai. Membuang sampah
"Lala aku minta maaf."Laura menoleh ke samping memperhatikan Lucy yang fokus mengemudi. Perempuan itu terlihat menyedihkan dengan mata panda dan rambut berantakan. Sepertinya masalah pernikahan itu penyebab kekacauan Lucy."Seharusnya kau minta maaf pada David." ucap Laura."Bukan dia tapi Mario."Laura mengalihkan tatapannya ke samping, melihat jalanan yang padat sore itu. Bunyi klakson terdengar di telingannya dan mobil itu berhenti di lampu merah."Mario yang bodoh itu melepaskanmu hanya karena masalah pernikahanku. Aku yang egois ini tidak memahami perasaanmu. Lala aku bukan sahabat yang baik, aku minta maaf.""Kau sudah melakukan yang terbaik Jason pasti mengerti." ucap Laura menenangkan."Jason masih berada di Queens dia tidak kembali hingga Mario menyelesaikan urusannya. Semalam aku mengemudi hingga larut dan bertemu si brengsek i
Setelah Laura meninggalkan apartemennya, Gino berdiri di balkon menatap hujan yang turun dengan deras. Mendung tebal masih menggantung dan suara petir bersahutan. Namun, Gino tidak beranjak dari sana, dia melihat air hujan itu dengan pikiran kosong. Laura tidak menolak ciumannya, artinya gadis itu masih menyukainya. Peluang untuk bersama Laura terbuka lebar. Namun, Gino tetap penasaran tentang kekasih Laura yang misterius itu. Berulangkali Gino meminta David untuk mencari informasi tentang laki-laki itu. Namun, David selalu kembali dengan tangan kosong. Laura menutupi identitas kekasihnya dengan baik. Dan Gino tidak percaya jika Laura sungguh memiliki kekasih sebelum bertemu langsung dengan laki-laki itu. Mengingat Laura tidak pernah membahas mengenai kekasihnya sehingga Gino percaya pada intuisinya. Laura tidak memiliki kekasih! Cukup untuk menenangkan perasaannya saat ini, Gino tidak menganggap perkataan David itu benar adanya. Laki-la
Ruangan bernuansa lembut dengan aroma lavender itu adalah kamar Laura. Gino tidak tahu harus menyalahkan David atau memuji laki-laki itu telah membantunya merebut perhatian Laura. Dia duduk di ranjang empuk itu sambil mengawasi seluruh ruangan. Lemari pakaian berukuran sedang dan meja rias serta peralatan kosmetik milik Laura tersusun rapi. Dia tidak menemukan sampah berserakan di lantai, sebagai gantinya Laura meletakkan tempat sampah di sudut kamar. Dulu, Laura bukan tipe gadis yang suka membereskan kamar. Terkadang saat Gino datang berkunjung, dia mengalah dengan membantu gadis itu menyapu lantai. Kini Laura berubah menjadi perempuan mandiri dan waktu yang merubah semuanya.Gino menghempaskan tubuhnya di ranjang, menatap langit-langit kamar itu dengan pikiran melayang. Pertanyaan tentang kekasih, Laura tidak menjawabnya dan menghindarinya dengan sengaja. Gino penasaran namun tidak bisa melakukan apa-apa melihat Laura enggan membahas hal itu.&nbs
Menghabiskan waktu untuk merawat Mario bukan hal mudah, Laura mengakuinya. Dia membawa Mario ke apartemennya dengan alasan enggan mendengar ocehan Lucy. Setelah kecelakaan itu, Mario mengalami cidera di lengan sehingga laki-laki itu tidak bisa bergerak bebas.Jason menjelaskan tentang kecelakaan yang hampir menewaskan Mario. Sebuah mobil melintas dari arah berlawanan dan menabrak pembatas jalan sehingga Mario terpaksa membanting kemudi untuk menghindari mobil itu. Naasnya dari arah belakang terdapat sebuah truk dan Mario tidak bisa menghindar lagi. Kecelakaan beruntun itu memakan korban jiwa, setidaknya ada dua orang tewas di tempat kejadian.Laura tidak bisa membayangkan jika Mario yang menjadi salah satu korban itu. Dia bersyukur laki-laki itu masih hidup meskipun lengannya terluka. Jason juga menjelaskan Mario bisa pulih jika melakukan pengobatan tradisional Tiongkok. Dokter terbaik pilihan Jason akan membantu Mario hingga pulih. Laura mengucapkan
Ada banyak tempat yang menjadi pilihan, tapi Laura justru memilih Aussie dan tinggal bersama Rahma. Merawat Yuki dan Darren sedikit mengurangi kesedihannya akibat kepergian bayinya. Hubungannya dengan Rahma pun perlahan membaik begitu pula ketika Ajeng berkunjung ke Aussie. Laura sudah bisa tetawa lepas seolah bebannya di masa lalu terangkat. Satu tahun berlalu setelah Laura meninggalkan New York dan memutus komunikasi dengan orang-orang di sana. Dia tidak ingin mengingat semua kejadian yang terjadi di sana, meski Mario dan Lucy bukan orang yang seharusnya dihindari. Namun, mengingat mereka sama saja membuka luka yang berusaha Laura lupakan.Biarkan saja New York menjadi kenangan sama seperti Jogja.Hidup barunya dimulai di Aussie bersama keluarga kecil Rahma.Setahun itu pula Laura menghindari pembahasan yang berkaitan dengan Gino, meski dia mendengar dari Ajeng perihal laki-laki itu yang juga menetap di Aussie. Dia berharap tidak pernah dipertemukan deng
Bab 99“Kalau kamu ngerasa gitu, untuk apa kamu datang ke sini?”Laura tidak bisa untuk tidak melayangkan tatapan sinis. Dia tidak habis pikir Gino mengucapkan kalimat seperti laki-laki brengsek. Jika di dunia ini terdapat banyak bajingan yang berkeliaran, maka Gino adalah salah satunya.“Aku mau lihat kondisi kamu.” Gino mengalihkan tatapannya pada perut Laura yang tertutup selimut. “Juga turut berduka buat bayi itu.”“Kamu brengsek, No,” ucap Laura.“Maaf.”“Kamu nggak ingat?” Laura menatap Gino kecewa. “Kamu nikah sama Ajeng setelah mutusin aku dan kamu balik ke sini ganggu hidupku yang mulai tertata. Kamu buat aku nyakiti Russell padahal dia tulus cinta sama aku. No, kamu nggak tahu gimana sulitnya aku bertahan selama ini?” Laura menggeleng. “Kamu nggak tahu karena kamu cuma peduli sama perasaanmu sendiri. Aku yang bertahan, tapi kamu seenaknya
"Gino, sebaiknya kau datang ke rumah sakit."Di sinilah sekarang Gino berada. Menatap Laura yang terbaring dengan peralatan medis terpasang di tubuh gadis itu. Dia ingin menghampiri Laura, tapi sebuah pukulan lebih dulu melayang di wajahnya. Rasa nyeri menjalar seakan tulang pipinya remuk, tapi dia hanya mematung alih-alih membalas pukulan Mario."Laura hampir tidak tertolong jika Mingye terlambat mengambil tindakan." David menepuk bahu Gino pelan. "Dia juga kehilangan bayinya.""Laura berpesan apa pun yang terjadi, dia ingin bayinya selamat." Mario berujar dengan nada dingin. "Sayangnya dia harus terluka karena bajingan yang tidak mengakui darah dagingnya sendiri."Kaki Gino seolah terpaku di tempat mendengar berita tentang bayi yang dikandung Laura. Maksud ucapan Mario seperti menuduhnya seolah dia adalah ayah dari bayi malang itu."Atas dasar apa kau menuduhku?!" tanya Gino keras."Atas dasar kau laki-laki brengsek!"Sebelum Mario
Guncangan kasar menyebabkan Laura terbangun dan segera bangkit dari ranjang. Dia membuka laci meja riasnya dan mengeluarkan beberapa butir obat. Dalam sekali tegukan obat itu telah berpindah menuju perutnya.Laura kembali mengonsumsi obat, meski Mingye melarangnya. Dia tidak bisa bertahan tanpa obat karena bayangan masa lalunya perlahan muncul.Bayangan yang mati-matian Laura lupakan.Membuka pintu kamarnya dan menemukan keheningan di apartemen. Langit telah gelap, tapi tidak menyurutkan niatnya mendatangi restoran dua puluh empat jam. Dia duduk di salah satu kursi paling pojok untuk mencari ketenangan. Meskipun restoran itu hanya berisi beberapa orang saja. Laura tidak ingin berbaur dengan mereka atau sekadar menatap orang-orang di sana.Pukul tiga dini hari berdiam diri di restoran dua puluh empat jam. Tidak pernah ada dalam bayangan Laura selama tinggal di New York. Namun, malam ini adalah titik di mana dia merasa gagal menjadi manusi
Musim semi telah berakhir digantikan musim panas mewarnai langit New York. Seperti musim yang berganti, maka kehidupan pun terus berjalan. Hari ini Laura menerima tawaran Mario mengunjungi rumah tepi danau. Bukan untuk bernostalgia atau bersantai melainkan ada kabar mengejutkan perihal kehamilannya.Sebenarnya Laura sudah merasakan keanehan di tubuhnya, tapi kesedihan membuatnya mengabaikan perubahan itu. Namun, Mario menghubunginya dan mengajaknya ke rumah tepi danau untuk bertemu Mingye. Dokter bermata sipit itu tinggal di sana selama musim panas. Sehingga bisa dipastikan tidak akan memenuhi permintaan Mario memeriksa kehamilan Laura.Dokter juga membutuhkan liburan.Begitu setidaknya pengakuan Mingye.Dua jam perjalanan akhirnya mobil itu berhenti di rumah kayu. Tempat paling nyaman ketika Laura masih menjalin hubungan dengan Mario. Tidak terasa waktu berputar begitu cepat merubah status mereka menjadi mantan kekasih."Lala, kau mela
Rencana menanyakan perihal kehamilan gagal total saat mendapati Laura menangis di apartemen. Minggu sore Gino berniat mengajak gadis itu keluar. Namun, yang dilihatnya justru Laura yang meringkuk di lantai sambil menangis.Tangisan Laura terdengar sesenggukan menyebabkan hati Gino teriris. Menangisi seseorang yang sudah meninggal memiliki banyak arti. Jika Laura sedih karena rasa bersalah, maka Gino sama sekali tidak keberatan. Namun, jika Laura sedih karena gadis itu mencintai Russell, maka sampai mati pun Gino tidak pernah ikhlas."Aku pikir kamu udah baikan," ucap Gino."Aku takut, No.""Takut kenapa?""Takut jadi orang jahat."Ungkapan itu seolah menyiratkan perasaan Laura pasca kematian Russell. Perlahan Gino merasa lega karena gadis itu tidak mencintai Russell kecuali perasaan bersalah."Manusia pasti punya sisi buruknya
Melihat Laura kehilangan semangat hidup membuat Gino merasa tidak berguna. Dia meminta saran David dan dijawab oleh laki-laki itu agar dia menerima kenyataan Laura terpukul akibat kepergian Russell. Entah benar atau tidak, Gino hanya ingin menjadi orang berguna.Sepulang dari perusahaan dia memutuskan mengunjungi Laura. Pada ketukan kedua gadis itu menyambutnya dengan senyuman. Gino terpaku selama beberapa detik menyadari penampilan Laura jauh lebih baik. Rona wajah gadis itu telah kembali, meski masih sedikit tirus."Aku mau numpang makan malam," ucap Gino mencari alasan."Mie instan?"Gino mengangguk. "Asal kenyang.""Batu rasa apel juga mau, No?"Eh?Laura tertawa pelan membuat Gino terhipnotis dengan tawa gadis itu. Benarkah sosok itu adalah Laura?Seingatnya Laura jarang tertawa bahkan saat dia melontarkan humor garing pun. Gadis itu masih tidak menunjukkan apa-apa. Namun, pemandangan kali ini seperti sebuah ke
Seminggu penuh Laura mengurung diri di apartemen hingga Lucy meminta bantuan Gino. Namun, dia menolak kehadiran laki-laki itu kala mengingat Russell.Laura juga menolak harta yang diwariskan Russell dan meminta Katy menjaga properti di Norwegia. Meskipun perempuan itu keberatan, tapi Laura berhasil meyakinkan jika Russell tidak menginginkan harta peninggalan orangtuanya dipindah tangankan.Urusan harta benda itu tidak menarik minat Laura dan larut pada kepergian Russell yang terlalu mendadak. Fakta jantung laki-laki itu tidak berfungsi setelah mendengar Laura bertemu Gino. Bukankah artinya dia yang membunuh laki-laki itu?Semua orang mengatakan kepergian Russell merupakan takdir yang sudah digariskan. Namun, Laura tidak berhenti menyalahkan diri sendiri. Hingga di sore hari yang tertutup mendung, dia mendengar pintu apartemennya terbuka.Gino, Lucy, David, dan Mario berdiri di sana. Menatapnya seolah dia makhluk paling menyedihkan yang hidup d
Katy langsung menarik Laura menuju ruang perawatan di mana dokter dan perawat sudah berkumpul di sana. Dia melangkahkan kakinya menuju ranjang perawatan Russell. Kain putih menutupi seluruh tubuh laki-laki itu dan peralatan medis telah dimatikan. Laura mencoba memahami situasi tersebut dengan cara mengguncang tubuh Russell. Namun, laki-laki itu tetap diam membiarkan kain putih itu menutupi sekujur tubuh."Dia ingin dikuburkan di Norwegia," ucap Katy."Kenapa kau tidak memberi kabar sebelumnya?" tanya Laura lirih."Russell yang memintanya. Dia tidak ingin memaksamu tinggal di sisinya. Sekarang semuanya sudah berakhir, kau bisa menjalani kehidupan seperti sebelumnya."Katy berserta dokter meninggalkannya di ruangan itu bersama jasad Russell yang terbujur kaku. Laura menyibak kain putih itu dan menatap wajah Russell yang pucat. Tidak ada senyuman atau ucapan perpisahan seperti kebanyakan orang yang akan meninggal. Russell sungguh meminta waktu satu tahun bag