Lura kesal karena Mario meninggalkannya di sebuah pusat perbelanjaan dan pergi terburu-buru setelah mendapatkan panggilan via telepon. Laura tidak ingin mengasumsikan Mika penyebab Mario pergi tanpa menoleh. Melupakan Laura di tengah keramaian itu. Kekesalan Laura semakin bertambah ketika memasuki sebuah toko buku dan tidak sengaja menjatuhkan beberapa buku. Dia tidak bermaksud melakukannya namun letak buku yang berada di rak paling atas membuatnya kesulitan. Penjaga toko menegurnya dan meminta Laura untuk membereskan buku-buku yang berserakan di lantai. Dia menghentikan kegiatannya ketika melihat sepasang sepatu berada di depannya. Laura mendongak dan menemukan David sedang berdiri sambil membawa kantong belanjaan.
Cartier.
Laura tersenyum samar, laki-laki itu ternyata penggemar barang mewah. Tidak heran jika David tinggal di apartemen elite di sekitar kawasan Manhattan. Sekarang Laura mengerti dengan selera laki-laki itu.
"Laura apa yang kau lakukan?" tanya David membantu memungut buku-buku itu.
"Aku tidak sengaja menjatuhkannya. Dan penjaga itu memintaku meletakkan buku-buku ini di tempatnya semula." ucap Laura.
"Rak itu cukup tinggi, biar aku saja yang meletakkannya. Laura serahkan sisanya padaku."
Laura menyerahkan buku-buku di tangannya pada David dan laki-laki itu meletakkannya di rak paling atas. Postur tubuh yang tinggi tidak menyulitkan David melakukannya. Laura mundur beberapa langkah ke belakang. Dia merasa malu dengan perbedaan tinggi badan yang mencolok mungkin David tidak menyadarinya. Namun, tingkat kepercayaan diri Laura menurun. Dia seperti kurcaci bila berdiri di samping laki-laki itu.
"Selesai." David menepuk kedua tangannya untuk membersihkan debu yang menempel. "Aku kemari mencari temanku. Dia selalu pergi ke toko buku tidak disangka aku bertemu denganmu. Laura apa kau suka membaca?" tanya David.
"Tidak terlalu."
"Temanku menyukai karya-karya Jane Austin. Terkadang dia membeli buku yang sama dan memajangnya di ruang baca. Laura, orang aneh seperti itu, kau harus bertemu dengannya."
Laura tersenyum kaku. David suka sekali berbicara panjang lebar. Dan mengenai temannya itu, Laura sama sekali tidak tertarik. Dia melambaikan tangannya saat David berpamitan meninggalkan tempat itu. Namun, sesuatu di bawah kakinya menarik perhatiannya. Kartu debit milik David terjatuh di lantai dan sepertinya laki-laki itu tidak menyadarinya. Laura berlari dan melihat David diantara kerumunan orang-orang. Dia mengikuti David hingga memasuki sebuah restoran. Laura menghampirinya dan menyerahkan kartu debit itu. Cukup lama David mengajaknya berbicara dan perhatian Laura teralihkan pada seseorang yang sedang membaca buku. Dia berpamitan pada David setelah memberikan pujian pada orang aneh yang membaca buku dengan posisi terbalik.
Memiliki selera yang bagus?
Laura tidak pernah membaca buku itu. Entah kenapa dia justru mengatakan omong kosong seperti itu. Dia hanya mengetahui tokoh utama saja. Selebihnya, jangan tanyakan hal itu.
Ponselnya berbunyi sesaat setelah Laura berada di dalam angkutan umum. Lucy menghubunginya. Perempuan itu masih mengingatnya setelah kembali dari Boston.
"Lala, aku rindu padamu. Aku tidak membawa oleh-oleh karena Jason menculikku. Aku berada di rumah ibuku sekarang."
Lucy masih antusias seperti biasanya. Laura tersenyum kecil. Sepertinya Lucy tidak terbebani dengan masalah pernikahan.
"Mario sedang dalam perjalanan. Dia berada di Queens selama seminggu." ucap Laura.
"Akhirnya kakakku yang bodoh itu merendahkan dirinya. Lala kau pasti tidak percaya jika Mario sangat membenci ibuku. Mereka selalu berdebat, entah apa yang akan terjadi saat Mario pulang ke rumah. Biasanya aku hanya melihatnya sambil makan popcorn."
"Mario tidak pernah membahas tentang ibunya." ucap Laura jujur.
"Aku tidak bisa memberitahumu atau Mario membunuhku. Dia berusaha menjadi kekasih yang baik untukmu. Tapi aku tahu, dia menyembunyikan sifat keras kepalanya itu saat bersamamu. Aku ini hanya pelampiasan kemarahannya. Betapa tidak beruntungnya aku memiliki kakak sepertinya. Lala kau pasti melihat sisi itu ketika Mario menahan amarahnya. Dia memiliki temperamen yang buruk. Dan berhasil mengatasinya hanya karena kau."
Laura tahu meskipun Lucy tidak memberitahunya. Dan kemarahan Mario semakin terlihat jelas saat berhubungan dengan Mika.
"Lucy apa kau mengenal Mika?" tanya Laura memastikan.
Hening. Tidak biasanya Lucy diam untuk waktu yang lama. Ternyata bukan hanya Mario yang menyembunyikan rahasia itu. Lucy juga tidak ingin Laura mengetahuinya.
"Sudahlah Lucy. Aku akan bekerja hari ini."
Laura memutuskan sambungan itu lalu menyimpan ponselnya. Dia melewatkan pemberhentian pertama dan membiarkan kereta itu membawanya entah kemana.
***
Pukul empat sore Laura memutuskan untuk bekerja. Dia tidak memiliki kegiatan dan enggan bermalas-malasan di apartemen seorang diri. Seharusnya besok dia mulai bekerja. Namun, Laura memutuskan bekerja lebih cepat. Selain mendapatkan uang, dia ingin mencari kesibukan. Mungkin dia perlu mencari pekerjaan lain agar waktunya tidak terbuang sia-sia.
Kini Laura sudah berada di apartemen milik David. Dia mengambil sampah-sampah yang berserakan di atas meja dan memasukkannya ke dalam plastik besar. Lalu membuangnya ke tempat sampah yang berada di lantai bawah. Laura kembali ke apartemen dan mulai mengepel lantai. Dia membersihkan seluruh ruangan hingga mengkilap. Merasa lelah Laura duduk di sisi ranjang sambil mengusap keringat di keningnya. Pendingin itu seolah tidak berfungsi dan udara musim di gugur itu Laura merasa kepanasan. Dia melepas pakaiannya dan hanya menyisakan tank top. Tidak ada siapa pun di ruangan itu seharusnya tidak masalah.
"Aku tidak mengambil kasus itu. Cari pengacara lain, aku sudah bilang sejak aku meninggalkan perusahaan. Klien itu bermulut besar dan aku tidak sanggup mendengar omong kosongnya. Aku tidak keberatan jika kau memecatku. Banyak perusahaan lain yang membutuhkan jasaku. Terserah lakukan apa saja, aku tetap menolaknya!"
Laura menoleh ke arah pintu kamar. Dan di sana dia melihatnya. Argino Mahendra. Laki-laki itu sedang menatapnya melupakan ponsel yang terjatuh di lantai. Laura terkejut lalu bangkit dari duduknya. Dia tidak bisa menjelaskan bagaimana perasaannya saat ini. Benci, kecewa, atau bahkan merasa rindu pada sosok itu. Perasaan campur aduk itu Laura benci merasakannya. Dia mundur ketika Gino mendekatinya. Laura menepis tangan Gino kasar. Dia tidak percaya Gino bersikap biasa saja setelah kejadian itu!
"La aku ngerti kamu marah. Kamu kecewa dan kamu berhak ngomong apa aja, tapi aku nggak bisa bohong kalau aku memang kangen sama kamu." Gino menarik gadis itu ke dalam pelukannya. "Sekali ini. Biarkan waktu berhenti sebentar." ucap Gino.
Tenaga Laura habis. Dia tidak bisa mendorong Gino menjauh. Dan pelukan itu semakin erat seolah Gino tidak ingin kehilangannya.
"Kamu masih suka menghindari sesuatu tanpa mendengar penjelasan. Kamu pergi dan melupakan semuanya. Kamu nggak tahu rasanya ditinggalkan dan berusaha untuk melupakan. Kamu berhasil tapi aku nggak. Aku masih berada di tempat yang sama. La, kamu udah berpindah menuju zona nyaman, tapi aku masih nunggu kamu di belakang. Menurutmu apa itu adil?" tanya Gino.
Laura tidak bisa mencegah air matanya menetes. Gino tidak pernah mengatakan apa pun. Dan sekarang muncul secara tiba-tiba. Laura tidak mungkin melukai Mario. Laki-laki itu tidak boleh terluka.
"Kamu pernah tanya. Siapa orang yang paling aku pedulikan. Dan aku cuma bilang dalam hati. La, aku nggak mau simpan apa pun lagi. Aku suka sama kamu dari kecil. Mungkin saat kamu nangis dan aku gendong kamu di tengah hujan. Aku mulai jatuh cinta sama kamu. Diam-diam tanya soal Rahma buat mastiin perasaan kamu. Dan keputusanku saat itu salah besar. Kamu salah paham hanya karena Rahma."
Laura mendorong Gino sekuat tenaganya dan berhasil melepaskan diri. Laura mengambil pakaiannya lalu keluar dari ruangan itu. Dia bertemu David di ruang tamu dan laki-laki itu tampak terkejut. Namun, Laura mengabaikannya dan terus berjalan meninggalkan tempat itu.
***
Gino apa kau menindas Laura?!"David terlihat marah, sepertinya kejadian tadi menyebabkan kesalahpahaman. Dia tidak mengira Laura pergi tanpa mengatakan kalimat apa pun. Gino tahu, menurut informasi David, Laura pendiam. Namun, Gino tidak tahu jika sikap diamnya Laura semakin membuatnya merasa bersalah."Aku akan menyusulnya." ucap Gino lalu meninggalkan kamarnya.Gino mencari keberadaan Laura dan tidak menemukan gadis itu. Dia kehilangan jejaknya lagi. Dia tidak boleh mementingkan perasaannya sementara Laura menghindarinya. Tidak apa-apa meskipun Laura memiliki orang lain di hatinya. Gino hanya ingin berdamai dengan masa lalu.Melupakan kebodohannya dulu membiarkan Laura pergi dari hidupnya.Tidak ada pilihan selain meminta bantuan David untuk mencari alamat Laura. Beruntung saat itu, setelah David mengantar gadis itu ke rumah sakit. Diam-diam David mengikuti Laura hingga ke apartemennya. Alasannya David tidak ingin direpotkan dan Gino bersyukur l
Sebenarnya Laura tidak ingin datang ke apartemen. Namun, dia membutuhkan pekerjaan dan biaya hidup di New York sangat tinggi. Dia tidak bisa mengandalkan orang lain untuk menopang hidupnya. Selama ini Laura mengandalkan diri sendiri agar tetap hidup di kota besar itu. Dia tetap berusaha dan mengesampingkan masalah pribadinya pada Gino. Apa pun yang pernah terjadi semua itu hanya masa lalu.Laura membuka pintu apartemen milik Gino dengan hati-hati. Dia takut laki-laki itu muncul secara tiba-tiba dengan masa lalu biarkan saja Gino teguh dengan pendiriannya. Laura sudah berdamai dengan hal itu.Lebih tepatnya mencoba untuk berdamai.Apartemen itu kosong. Laura menarik napas lega tidak perlu menghadapi Gino dan menahan diri untuk tidak memaki laki-laki itu. Ketenangan yang dipelajarinya dari Jason ternyata cukup berguna. Tidak ingin berdebat dengan pikirannya. Laura segera melakukan pekerjaannya. Dia membersihkan seluruh ruangan dan mengepel lantai. Membuang sampah
"Lala aku minta maaf."Laura menoleh ke samping memperhatikan Lucy yang fokus mengemudi. Perempuan itu terlihat menyedihkan dengan mata panda dan rambut berantakan. Sepertinya masalah pernikahan itu penyebab kekacauan Lucy."Seharusnya kau minta maaf pada David." ucap Laura."Bukan dia tapi Mario."Laura mengalihkan tatapannya ke samping, melihat jalanan yang padat sore itu. Bunyi klakson terdengar di telingannya dan mobil itu berhenti di lampu merah."Mario yang bodoh itu melepaskanmu hanya karena masalah pernikahanku. Aku yang egois ini tidak memahami perasaanmu. Lala aku bukan sahabat yang baik, aku minta maaf.""Kau sudah melakukan yang terbaik Jason pasti mengerti." ucap Laura menenangkan."Jason masih berada di Queens dia tidak kembali hingga Mario menyelesaikan urusannya. Semalam aku mengemudi hingga larut dan bertemu si brengsek i
Setelah Laura meninggalkan apartemennya, Gino berdiri di balkon menatap hujan yang turun dengan deras. Mendung tebal masih menggantung dan suara petir bersahutan. Namun, Gino tidak beranjak dari sana, dia melihat air hujan itu dengan pikiran kosong. Laura tidak menolak ciumannya, artinya gadis itu masih menyukainya. Peluang untuk bersama Laura terbuka lebar. Namun, Gino tetap penasaran tentang kekasih Laura yang misterius itu. Berulangkali Gino meminta David untuk mencari informasi tentang laki-laki itu. Namun, David selalu kembali dengan tangan kosong. Laura menutupi identitas kekasihnya dengan baik. Dan Gino tidak percaya jika Laura sungguh memiliki kekasih sebelum bertemu langsung dengan laki-laki itu. Mengingat Laura tidak pernah membahas mengenai kekasihnya sehingga Gino percaya pada intuisinya. Laura tidak memiliki kekasih! Cukup untuk menenangkan perasaannya saat ini, Gino tidak menganggap perkataan David itu benar adanya. Laki-la
Ruangan bernuansa lembut dengan aroma lavender itu adalah kamar Laura. Gino tidak tahu harus menyalahkan David atau memuji laki-laki itu telah membantunya merebut perhatian Laura. Dia duduk di ranjang empuk itu sambil mengawasi seluruh ruangan. Lemari pakaian berukuran sedang dan meja rias serta peralatan kosmetik milik Laura tersusun rapi. Dia tidak menemukan sampah berserakan di lantai, sebagai gantinya Laura meletakkan tempat sampah di sudut kamar. Dulu, Laura bukan tipe gadis yang suka membereskan kamar. Terkadang saat Gino datang berkunjung, dia mengalah dengan membantu gadis itu menyapu lantai. Kini Laura berubah menjadi perempuan mandiri dan waktu yang merubah semuanya.Gino menghempaskan tubuhnya di ranjang, menatap langit-langit kamar itu dengan pikiran melayang. Pertanyaan tentang kekasih, Laura tidak menjawabnya dan menghindarinya dengan sengaja. Gino penasaran namun tidak bisa melakukan apa-apa melihat Laura enggan membahas hal itu.&nbs
Menghabiskan waktu untuk merawat Mario bukan hal mudah, Laura mengakuinya. Dia membawa Mario ke apartemennya dengan alasan enggan mendengar ocehan Lucy. Setelah kecelakaan itu, Mario mengalami cidera di lengan sehingga laki-laki itu tidak bisa bergerak bebas.Jason menjelaskan tentang kecelakaan yang hampir menewaskan Mario. Sebuah mobil melintas dari arah berlawanan dan menabrak pembatas jalan sehingga Mario terpaksa membanting kemudi untuk menghindari mobil itu. Naasnya dari arah belakang terdapat sebuah truk dan Mario tidak bisa menghindar lagi. Kecelakaan beruntun itu memakan korban jiwa, setidaknya ada dua orang tewas di tempat kejadian.Laura tidak bisa membayangkan jika Mario yang menjadi salah satu korban itu. Dia bersyukur laki-laki itu masih hidup meskipun lengannya terluka. Jason juga menjelaskan Mario bisa pulih jika melakukan pengobatan tradisional Tiongkok. Dokter terbaik pilihan Jason akan membantu Mario hingga pulih. Laura mengucapkan
Langit sudah gelap, Laura melihat pemandangan disekitarnya dalam diam. Dia berada di atap gedung bersama Mario dan Jason. Pekerjaan terbengkalai itu melibatkan Jason untuk menulis naskah sementara Mario mengatakan secara lisan. Keduanya terlihat serius dan Laura seperti orang ketiga di tempat itu. Dia teringat dengan Gino yang ditinggalkannya tanpa pesan, mungkin laki-laki itu panik mencarinya. Laura tersenyum kecil mengingat sikap gugup Gino hari itu. Tentang masker timun, telur gosong dan juga insiden tanaman hias. Semua kenangan itu tersimpan dengan baik di kepalanya, Laura tidak pernah melupakannya bahkan rahasia terkecil Gino, Laura pun mengetahuinya."Lala?"Laura menoleh ke samping, ternyata Jason, Mario tidak ada di sana sepertinya Mingye membawa laki-laki itu pergi."Aku melihatmu di pesta Jean, kau bersama Argino Mahendra. Pengacara muda berbakat dan kalian berasal dari negara yang sama. Lala, apakah dia orang
Menjadi orang jahat yang merebut kekasih orang lain, Gino tidak pernah menyukainya. Namun, menyangkut tentang Laura, dia tidak bisa menahan diri untuk tidak ikut campur. Terlebih urusan itu melibatkan Jean, perempuan rumit yang pernah dikenalnya. Gino hampir tidak percaya ketika David mengirimkan berkas tentang Jean dan hal itu berkaitan dengan Laura. Kekasih gadis itu yang ternyata putra sulung Jean. Artinya Laura menjadi orang kedua dalam hubungan Mario dan Mika.Laura yang dikenalnya tidak mungkin menjadi perusak hubungan orang lain. Melihat reaksi Laura yang kebingungan, Gino menyimpulkan Laura memang tidak tahu apa pun tentang pernikahan itu. Gino tidak terima jika Laura hanya dijadikan pelampiasan. Meskipun alasannya sungguh mencintai gadis itu. Gino tidak menyukainya, seperti lima tahun lalu ketika Laura pergi dengan cara menyakitkan. Kali ini Gino tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Paling tidak, menjauhkan Laura dari Jean untuk sementara.
Ada banyak tempat yang menjadi pilihan, tapi Laura justru memilih Aussie dan tinggal bersama Rahma. Merawat Yuki dan Darren sedikit mengurangi kesedihannya akibat kepergian bayinya. Hubungannya dengan Rahma pun perlahan membaik begitu pula ketika Ajeng berkunjung ke Aussie. Laura sudah bisa tetawa lepas seolah bebannya di masa lalu terangkat. Satu tahun berlalu setelah Laura meninggalkan New York dan memutus komunikasi dengan orang-orang di sana. Dia tidak ingin mengingat semua kejadian yang terjadi di sana, meski Mario dan Lucy bukan orang yang seharusnya dihindari. Namun, mengingat mereka sama saja membuka luka yang berusaha Laura lupakan.Biarkan saja New York menjadi kenangan sama seperti Jogja.Hidup barunya dimulai di Aussie bersama keluarga kecil Rahma.Setahun itu pula Laura menghindari pembahasan yang berkaitan dengan Gino, meski dia mendengar dari Ajeng perihal laki-laki itu yang juga menetap di Aussie. Dia berharap tidak pernah dipertemukan deng
Bab 99“Kalau kamu ngerasa gitu, untuk apa kamu datang ke sini?”Laura tidak bisa untuk tidak melayangkan tatapan sinis. Dia tidak habis pikir Gino mengucapkan kalimat seperti laki-laki brengsek. Jika di dunia ini terdapat banyak bajingan yang berkeliaran, maka Gino adalah salah satunya.“Aku mau lihat kondisi kamu.” Gino mengalihkan tatapannya pada perut Laura yang tertutup selimut. “Juga turut berduka buat bayi itu.”“Kamu brengsek, No,” ucap Laura.“Maaf.”“Kamu nggak ingat?” Laura menatap Gino kecewa. “Kamu nikah sama Ajeng setelah mutusin aku dan kamu balik ke sini ganggu hidupku yang mulai tertata. Kamu buat aku nyakiti Russell padahal dia tulus cinta sama aku. No, kamu nggak tahu gimana sulitnya aku bertahan selama ini?” Laura menggeleng. “Kamu nggak tahu karena kamu cuma peduli sama perasaanmu sendiri. Aku yang bertahan, tapi kamu seenaknya
"Gino, sebaiknya kau datang ke rumah sakit."Di sinilah sekarang Gino berada. Menatap Laura yang terbaring dengan peralatan medis terpasang di tubuh gadis itu. Dia ingin menghampiri Laura, tapi sebuah pukulan lebih dulu melayang di wajahnya. Rasa nyeri menjalar seakan tulang pipinya remuk, tapi dia hanya mematung alih-alih membalas pukulan Mario."Laura hampir tidak tertolong jika Mingye terlambat mengambil tindakan." David menepuk bahu Gino pelan. "Dia juga kehilangan bayinya.""Laura berpesan apa pun yang terjadi, dia ingin bayinya selamat." Mario berujar dengan nada dingin. "Sayangnya dia harus terluka karena bajingan yang tidak mengakui darah dagingnya sendiri."Kaki Gino seolah terpaku di tempat mendengar berita tentang bayi yang dikandung Laura. Maksud ucapan Mario seperti menuduhnya seolah dia adalah ayah dari bayi malang itu."Atas dasar apa kau menuduhku?!" tanya Gino keras."Atas dasar kau laki-laki brengsek!"Sebelum Mario
Guncangan kasar menyebabkan Laura terbangun dan segera bangkit dari ranjang. Dia membuka laci meja riasnya dan mengeluarkan beberapa butir obat. Dalam sekali tegukan obat itu telah berpindah menuju perutnya.Laura kembali mengonsumsi obat, meski Mingye melarangnya. Dia tidak bisa bertahan tanpa obat karena bayangan masa lalunya perlahan muncul.Bayangan yang mati-matian Laura lupakan.Membuka pintu kamarnya dan menemukan keheningan di apartemen. Langit telah gelap, tapi tidak menyurutkan niatnya mendatangi restoran dua puluh empat jam. Dia duduk di salah satu kursi paling pojok untuk mencari ketenangan. Meskipun restoran itu hanya berisi beberapa orang saja. Laura tidak ingin berbaur dengan mereka atau sekadar menatap orang-orang di sana.Pukul tiga dini hari berdiam diri di restoran dua puluh empat jam. Tidak pernah ada dalam bayangan Laura selama tinggal di New York. Namun, malam ini adalah titik di mana dia merasa gagal menjadi manusi
Musim semi telah berakhir digantikan musim panas mewarnai langit New York. Seperti musim yang berganti, maka kehidupan pun terus berjalan. Hari ini Laura menerima tawaran Mario mengunjungi rumah tepi danau. Bukan untuk bernostalgia atau bersantai melainkan ada kabar mengejutkan perihal kehamilannya.Sebenarnya Laura sudah merasakan keanehan di tubuhnya, tapi kesedihan membuatnya mengabaikan perubahan itu. Namun, Mario menghubunginya dan mengajaknya ke rumah tepi danau untuk bertemu Mingye. Dokter bermata sipit itu tinggal di sana selama musim panas. Sehingga bisa dipastikan tidak akan memenuhi permintaan Mario memeriksa kehamilan Laura.Dokter juga membutuhkan liburan.Begitu setidaknya pengakuan Mingye.Dua jam perjalanan akhirnya mobil itu berhenti di rumah kayu. Tempat paling nyaman ketika Laura masih menjalin hubungan dengan Mario. Tidak terasa waktu berputar begitu cepat merubah status mereka menjadi mantan kekasih."Lala, kau mela
Rencana menanyakan perihal kehamilan gagal total saat mendapati Laura menangis di apartemen. Minggu sore Gino berniat mengajak gadis itu keluar. Namun, yang dilihatnya justru Laura yang meringkuk di lantai sambil menangis.Tangisan Laura terdengar sesenggukan menyebabkan hati Gino teriris. Menangisi seseorang yang sudah meninggal memiliki banyak arti. Jika Laura sedih karena rasa bersalah, maka Gino sama sekali tidak keberatan. Namun, jika Laura sedih karena gadis itu mencintai Russell, maka sampai mati pun Gino tidak pernah ikhlas."Aku pikir kamu udah baikan," ucap Gino."Aku takut, No.""Takut kenapa?""Takut jadi orang jahat."Ungkapan itu seolah menyiratkan perasaan Laura pasca kematian Russell. Perlahan Gino merasa lega karena gadis itu tidak mencintai Russell kecuali perasaan bersalah."Manusia pasti punya sisi buruknya
Melihat Laura kehilangan semangat hidup membuat Gino merasa tidak berguna. Dia meminta saran David dan dijawab oleh laki-laki itu agar dia menerima kenyataan Laura terpukul akibat kepergian Russell. Entah benar atau tidak, Gino hanya ingin menjadi orang berguna.Sepulang dari perusahaan dia memutuskan mengunjungi Laura. Pada ketukan kedua gadis itu menyambutnya dengan senyuman. Gino terpaku selama beberapa detik menyadari penampilan Laura jauh lebih baik. Rona wajah gadis itu telah kembali, meski masih sedikit tirus."Aku mau numpang makan malam," ucap Gino mencari alasan."Mie instan?"Gino mengangguk. "Asal kenyang.""Batu rasa apel juga mau, No?"Eh?Laura tertawa pelan membuat Gino terhipnotis dengan tawa gadis itu. Benarkah sosok itu adalah Laura?Seingatnya Laura jarang tertawa bahkan saat dia melontarkan humor garing pun. Gadis itu masih tidak menunjukkan apa-apa. Namun, pemandangan kali ini seperti sebuah ke
Seminggu penuh Laura mengurung diri di apartemen hingga Lucy meminta bantuan Gino. Namun, dia menolak kehadiran laki-laki itu kala mengingat Russell.Laura juga menolak harta yang diwariskan Russell dan meminta Katy menjaga properti di Norwegia. Meskipun perempuan itu keberatan, tapi Laura berhasil meyakinkan jika Russell tidak menginginkan harta peninggalan orangtuanya dipindah tangankan.Urusan harta benda itu tidak menarik minat Laura dan larut pada kepergian Russell yang terlalu mendadak. Fakta jantung laki-laki itu tidak berfungsi setelah mendengar Laura bertemu Gino. Bukankah artinya dia yang membunuh laki-laki itu?Semua orang mengatakan kepergian Russell merupakan takdir yang sudah digariskan. Namun, Laura tidak berhenti menyalahkan diri sendiri. Hingga di sore hari yang tertutup mendung, dia mendengar pintu apartemennya terbuka.Gino, Lucy, David, dan Mario berdiri di sana. Menatapnya seolah dia makhluk paling menyedihkan yang hidup d
Katy langsung menarik Laura menuju ruang perawatan di mana dokter dan perawat sudah berkumpul di sana. Dia melangkahkan kakinya menuju ranjang perawatan Russell. Kain putih menutupi seluruh tubuh laki-laki itu dan peralatan medis telah dimatikan. Laura mencoba memahami situasi tersebut dengan cara mengguncang tubuh Russell. Namun, laki-laki itu tetap diam membiarkan kain putih itu menutupi sekujur tubuh."Dia ingin dikuburkan di Norwegia," ucap Katy."Kenapa kau tidak memberi kabar sebelumnya?" tanya Laura lirih."Russell yang memintanya. Dia tidak ingin memaksamu tinggal di sisinya. Sekarang semuanya sudah berakhir, kau bisa menjalani kehidupan seperti sebelumnya."Katy berserta dokter meninggalkannya di ruangan itu bersama jasad Russell yang terbujur kaku. Laura menyibak kain putih itu dan menatap wajah Russell yang pucat. Tidak ada senyuman atau ucapan perpisahan seperti kebanyakan orang yang akan meninggal. Russell sungguh meminta waktu satu tahun bag