“Apa kau pikir kau akan dapat mengalahkan laki-laki yang tersohor itu?”Pandan Arum lantas turun dari beranda depan, lalu mendekati Datuak Sani, dan duduk begitu saja di tanah, di samping kirinya.“Jangan menganggapku remeh, Ayah,” Pandan Arum tersenyum tipis, tapi itu menyiratkan selaksa kelicikan.Datuak Sani terkekeh-kekeh menanggapi seraya mengangguk-angguk.“Putrimu memang tidak lihai dalam bersilat, Sani,” sahut Kadik Aruma. “Tapi dia menguasai berbagai jenis racun.”Pria tua itu cukup terkejut mendengar hal tersebut dan tertawa-tawa nyaris tanpa suara.“Benar-benar pelanduk dua serupa.”“Kau!” lagi-lagi Pandan Arum langsung naik pitam sebab merasa ayah kandungnya itu sedang merendahkan ibu kandungnya.“Aku menyebut kiasan seperti itu bukan berarti aku merendahkan ataupun menghina ibumu,” Datuak Sani melirik ke kiri, menatap ke dalam mata putrinya, lalu tersenyum. “Apa kau tahu bahwa aku sesungguhnya sangat mencintai ibumu?”“Yeah!” Pandan Arum mendengus, membuang wajahnya ke sa
Karena harus memutar jauh ke arah selatan Ngarai Sianok sebelum menuju ke Danau Maninjau di arah barat, itulah sebabnya Antaguna membutuhkan waktu yang lebih lama, dan baru akan mencapai kawasan danau itu paling cepat keesokan pagi.Dia terus memacu kudanya selagi langit masih terang, hanya berhenti sekali dua saja, itu pun lantaran dia yang sudah tidak mampu menahan lapar, atau demi mengistirahatkan Sikumbang yang kelelahan berlari terus menerus.Sedangkan si Kumbang Janti yang menyamar dengan menggunakan pakaian biasa berwarna hitam-hitam telah sampai di pusat Bandar Ombilin, sisi timur Danau Singkarak. Dari sini, dia akan menumpang sebuah perahu besar untuk menuju ke arah utara, lalu berganti perahu dengan melintasi sungai lebar dan berarus.Setelah dia meninggalkan lokasi pelacuran yang telah rata dengan tanah di tengah-tengah hutan itu sebelumnya, si Kumbang Janti juga menyempatkan untuk mengubur lima jasad pesilat yang tewas di tangannya, dua orang justru tewas di tangan rekan m
Semakin lama Puti Bungo Satangkai bersemadi di dasar kolam, buih-buih halus bermunculan di sekeliling tubuhnya. Buih-buih yang dihasilkan oleh energi di dalam tubuhnya yang sedang berputar dengan cepat.Permukaan kolam yang tenang lama kelamaan beriak-riak kecil dengan buih-buih yang mencapai permukaan.Bersemadi menahan napas di dalam air bukanlah hal yang baru bagi sang gadis, semenjak kecil dia sudah terbiasa melakukan itu ketika berada di Pulau Sinaka di bawah gemblengan Inyiak Mudo. Yang tidak biasa adalah kondisi air yang tenang di sekitarnya sekarang itu yang perlahan-lahan bergejolak, lalu berputar dengan cepat, dan menjadikan sang gadis sebagai titik pusatnya.Semakin lama perputaran air semakin cepat, mempengaruhi seluruh air yang ada di dalam kolam, dengan buih dan gelembung-gelumbung yang bermunculan, lalu menyibak ke segala arah.Splash!Seluruh air di dalam kolam alami itu seperti dilontarkan oleh tenaga yang besar ke udara, lalu turun kembali ke bumi laksana hujan.Buru
Pagi ini, Puti Bungo Satangkai bangun dengan semangat yang baru, seolah-olah sesuatu membisikkan kepadanya bahwa dia akan mendapatkan kepingan ketiga yang dipegang oleh Datuak Sani.Apa pun alasan di balik itu semua, nyatanya, sang gadis terlihat begitu ceria, dia bahkan mengerahkan kemampuan meringankan tubuhnya hingga dia laksana angin yang berembus begitu cepat di atas kanopi hutan.Menjelang tengah hari, tanpa sekali pun beritirahat, Bungo akhirnya tiba di sisi timur Danau Maninjau.Dia menjejakkan kakinya dengan begitu ringan laksana seekor burung. Memandang ke sekitar dengan perasaan yang tenang. Pemandangan di sekitar Danau Maninjau mampu mengguratkan senyum keindahan di wajahnya.Lalu tatapannya tertuju ke arah tengah-tengah danau, pada sebidang tanah yang menjorok ke tengah-tengah danau tersebut, Tanjung Sani, tempat di mana tinggalnya si orang tua sakti pemegang kepingan ketika Teratai Abadi.Dari tempatnya berdiri sekarang itu, Bungo sudah dapat melihat asap membubung di de
“Sani,” Kadik Aruma lebih merapat kepada Datuak Sani. “Kurasa dia seorang dari istana.”Datuak Sani menyipitkan pandangannya, seolah memindai sang gadis dari kepala hingga ke kakinya.“Dan dia juga bisu.”Pria sepuh maju selangkah hingga jaraknya hanya terpaut tiga langkah saja dari Puti Bungo Satangkai.“Apakah aku mengenalmu, gadis manis?”Bungo tersenyum dan menggeleng.“Lalu, apa tujuanmu hendak bertemu denganku?”‘Maafkan saya sebelumnya,’ sang gadis membungkuk sedemikian rupa sebagai tanda menghormati Datuak Sani yang lebih tua dan dipercaya oleh raja terdahulu untuk menyimpan salah satu kepingan Teratai Abadi. ‘Saya datang atas perintah Rajo Bungsu.’“Atas perintah Rajo Bungsu, hah?” Datuak Sani terkekeh-kekeh, dan ternyata dia mampu memahami bahasa isyarat sang gadis.Pandan Arum sendiri sudah berada di ruang depan, mengintip orang-orang itu yang sedang berhadapan dengan seorang gadis yang jauh lebih cantik dan menarik daripada dirinya sendiri.Hal ini saja sudah membuat Panda
Sebenarnya, dengan apa yang baru saja dia dengar, juga ditambah dengan tatapan-tatapan mesum kepada dirinya, Puti Bungo Satangkai sudah punya keinginan untuk segera berlalu saja dari sana.Akan tetapi, dia sudah berjanji pada Rajo Bungsu untuk mendapatkan sisa semua kepingan Teratai Abadi. Jadi, bila ini harus dengan pertumpahan darah, maka sang gadis dengan sangat rela melakukannya.Dia menghela napas dalam-dalam, seringai halus muncul di sudut bibirnya, tatapannya juga berkilat menatap pada Datuak Sani, Kadik Aruma, Dalan, dan dua pria berbadan besar itu. Dan terlebih lagi, pada Pandan Arum.‘Kupikir aku sengaja berlaku sopan maka seorang sakti seperti Anda akan bermurah hati memberikan apa yang sudah menjadi kewajiban Anda.’Datuak Sani terkekeh. “Kau masih sangat muda, gadis manis. Tidak lebih daripada delapan belas tahun, kurasa. Tapi kau cukup lancang mengguruiku, padahal kau bisu.”“Tidak ada gunanya berbasa-basi lagi, Sani,” timpal Kadik Aruma yang berahinya sendiri juga sudah
Setelah dipermalukan oleh sang gadis, kini kata-kata Datuak Sani itu membuat wajah si pria besar semakin tebal dan merah padam.Dia lantas berteriak lantang, melompat tinggi, dan menggerakkan kakinya sedemikian rupa.Di lain kesempatan, Puti Bungo Satangkai mungkin akan kagum pada pria berbadan besar itu yang mampu bergerak lincah dan ringan dalam gerakan menyerangnya. Tapi tidak, sekarang adalah waktu dan tempat yang berbeda.Serangan tendangan beruntun itu dengan mudah dielakkan oleh sang gadis hanya dengan melontarkan tubuhnya beberapa langkah ke belakang.Si pria besar semakin menggeram sebab tidak satu tendangannya pun yang mengenai sasaran. Tapi lebih daripada itu, dia merasa si gadis jelita seakan sengaja mempermalukannya dengan tidak mencoba menangkis satu tendangan pun.Amarahnya seakan meledak-ledak hingga membuatnya kalap, terlebih lagi dia mendengar tawa halus Datuak Sani, sehingga membuatnya kembali menyerang sang gadis dengan membabi buta.Bungo tersenyum halus. Persis s
Sang gadis terkesiap, meskipun Kadik Aruma telah berusia setengah abad lebih, namun kecepatan dan kekuatannya masih di atas rata-rata sehingga dia terpaksa mengerahkan tenaga dalamnya lebih besar.Bungo menghentakkan tangan kirinya demi menyongsong serangan cakar tangan kanan Kadik Aruma.Teph!Dua cakar beradu kencang, menahan tubuh Kadik Aruma untuk sesaat di udara, sebelum akhirnya tenaga dalam mereka pecah dan membias ke segala arah.Dhumm!Cras! Cras!Tangan kiri Bungo tercabik-cabik di beberapa sisi, tapi untungnya itu tidak terlalu membahayakannya, dia terseret lagi ke belakang sampai tiga langkah.Sedangkan Kadik Aruma terdorong lebih jauh sebab sebelumnya masih berada di awang-awang. Dia berjumpalitan beberapa kali ke belakang.Dan sebelum Kadik Aruma bisa menjejak tanah, Bungo yang tangan kirinya terluka dan berdarah, menggeram kencang seraya menghentakkan tangan kanannya ke depan, dalam bentuk cakaran dan pengerahan tenaga dalam yang lebih kuat.Kadik Aruma terkesiap, ketik