“Sani,” Kadik Aruma lebih merapat kepada Datuak Sani. “Kurasa dia seorang dari istana.”Datuak Sani menyipitkan pandangannya, seolah memindai sang gadis dari kepala hingga ke kakinya.“Dan dia juga bisu.”Pria sepuh maju selangkah hingga jaraknya hanya terpaut tiga langkah saja dari Puti Bungo Satangkai.“Apakah aku mengenalmu, gadis manis?”Bungo tersenyum dan menggeleng.“Lalu, apa tujuanmu hendak bertemu denganku?”‘Maafkan saya sebelumnya,’ sang gadis membungkuk sedemikian rupa sebagai tanda menghormati Datuak Sani yang lebih tua dan dipercaya oleh raja terdahulu untuk menyimpan salah satu kepingan Teratai Abadi. ‘Saya datang atas perintah Rajo Bungsu.’“Atas perintah Rajo Bungsu, hah?” Datuak Sani terkekeh-kekeh, dan ternyata dia mampu memahami bahasa isyarat sang gadis.Pandan Arum sendiri sudah berada di ruang depan, mengintip orang-orang itu yang sedang berhadapan dengan seorang gadis yang jauh lebih cantik dan menarik daripada dirinya sendiri.Hal ini saja sudah membuat Panda
Sebenarnya, dengan apa yang baru saja dia dengar, juga ditambah dengan tatapan-tatapan mesum kepada dirinya, Puti Bungo Satangkai sudah punya keinginan untuk segera berlalu saja dari sana.Akan tetapi, dia sudah berjanji pada Rajo Bungsu untuk mendapatkan sisa semua kepingan Teratai Abadi. Jadi, bila ini harus dengan pertumpahan darah, maka sang gadis dengan sangat rela melakukannya.Dia menghela napas dalam-dalam, seringai halus muncul di sudut bibirnya, tatapannya juga berkilat menatap pada Datuak Sani, Kadik Aruma, Dalan, dan dua pria berbadan besar itu. Dan terlebih lagi, pada Pandan Arum.‘Kupikir aku sengaja berlaku sopan maka seorang sakti seperti Anda akan bermurah hati memberikan apa yang sudah menjadi kewajiban Anda.’Datuak Sani terkekeh. “Kau masih sangat muda, gadis manis. Tidak lebih daripada delapan belas tahun, kurasa. Tapi kau cukup lancang mengguruiku, padahal kau bisu.”“Tidak ada gunanya berbasa-basi lagi, Sani,” timpal Kadik Aruma yang berahinya sendiri juga sudah
Setelah dipermalukan oleh sang gadis, kini kata-kata Datuak Sani itu membuat wajah si pria besar semakin tebal dan merah padam.Dia lantas berteriak lantang, melompat tinggi, dan menggerakkan kakinya sedemikian rupa.Di lain kesempatan, Puti Bungo Satangkai mungkin akan kagum pada pria berbadan besar itu yang mampu bergerak lincah dan ringan dalam gerakan menyerangnya. Tapi tidak, sekarang adalah waktu dan tempat yang berbeda.Serangan tendangan beruntun itu dengan mudah dielakkan oleh sang gadis hanya dengan melontarkan tubuhnya beberapa langkah ke belakang.Si pria besar semakin menggeram sebab tidak satu tendangannya pun yang mengenai sasaran. Tapi lebih daripada itu, dia merasa si gadis jelita seakan sengaja mempermalukannya dengan tidak mencoba menangkis satu tendangan pun.Amarahnya seakan meledak-ledak hingga membuatnya kalap, terlebih lagi dia mendengar tawa halus Datuak Sani, sehingga membuatnya kembali menyerang sang gadis dengan membabi buta.Bungo tersenyum halus. Persis s
Sang gadis terkesiap, meskipun Kadik Aruma telah berusia setengah abad lebih, namun kecepatan dan kekuatannya masih di atas rata-rata sehingga dia terpaksa mengerahkan tenaga dalamnya lebih besar.Bungo menghentakkan tangan kirinya demi menyongsong serangan cakar tangan kanan Kadik Aruma.Teph!Dua cakar beradu kencang, menahan tubuh Kadik Aruma untuk sesaat di udara, sebelum akhirnya tenaga dalam mereka pecah dan membias ke segala arah.Dhumm!Cras! Cras!Tangan kiri Bungo tercabik-cabik di beberapa sisi, tapi untungnya itu tidak terlalu membahayakannya, dia terseret lagi ke belakang sampai tiga langkah.Sedangkan Kadik Aruma terdorong lebih jauh sebab sebelumnya masih berada di awang-awang. Dia berjumpalitan beberapa kali ke belakang.Dan sebelum Kadik Aruma bisa menjejak tanah, Bungo yang tangan kirinya terluka dan berdarah, menggeram kencang seraya menghentakkan tangan kanannya ke depan, dalam bentuk cakaran dan pengerahan tenaga dalam yang lebih kuat.Kadik Aruma terkesiap, ketik
Tentu saja! pikir Kadik Aruma. Ini adalah kesempatan baik untuk menangkap gadis jelita tersebut. Jadi, tidak menunggu lama, dia langsung menghambur, dan berhasil menangkap bahu sang gadis.Puti Bungo Satangkai yang tidak lagi mungkin menggunakan matanya—kecuali bila dia sudah dapat menghilangkan pengaruh Serbuk Pelangi itu dari tubuhnya—hanya bisa mengandalkan pada pendengarannya saja, juga nalurinya.Begitu Kadik Aruma mencengkeram bahunya dan sebelum pria tersebut hendak melayangkan satu totokan ke pangkal lehernya, Bungo menggerakkan bahu yang dicengkeram sedemikian rupa sehingga terlepas dari cengkeraman Kadik Aruma, dan langsung melentingkan tubuhnya ke belakang.“Ternyata kau keras kepala juga, hah?!” Kadik Aruma menyeringai menyembunyikan keterkejutannya bahwa sang gadis dapat lepas dari cengkeramannya dengan mudah meski kedua matanya tertutup.‘Cih! Aku tidak akan menyerah begitu saja darimu, laki-laki busuk!’ gumam Bungo di dalam hatinya.Dan sampai sejauh itu, Datuak Sani ha
Ketika Kadik Aruma dan Pandan Arum kembali melancarkan serangan mereka, Puti Bungo Satangkai telah bersiap-siap dengan ajian Kabut Kahyangan-nya.Begitu keduanya semakin mendekat, sang gadis tiba-tiba menghilang dari pandangan keduanya.Tapi tidak bagi Datuak Sani, dia masih dapat melihat pergerakan cepat si gadis bisu yang berpindah ke belakang Pandan Arum.Bugh!Pandan Arum melenguh pendek, langkahnya menjadi kacau hingga huyung, dan menubruk Kadik Aruma.Tentu saja, Kadik Aruma dengan cepat menangkap dan menolong putri tirinya terlebih dahulu dibandingkan dengan keharusan meneruskan serangannya yang bisa-bisa justru melukai putrinya itu sendiri.Datuak Sani menyeringai, merasa cukup kagum dengan kepintaran si gadis bisu untuk dapat keluar dari serangan Kadik Aruma dan Pandan Arum.Ya, gadis bisu itu tidak berhenti sama sekali. Setelah dia berhasil mendorong Pandan Arum hingga kehilangan keseimbangannya, lalu dia melesat lagi, dan berpindah ke belakang Kadik Aruma.Teph!Kadik Aruma
Melihat benda besar dan berdesing kencang ke arahnya itu, Datuak Sani melecutkan Rantai Narako hingga beradu kuat dengan benda tersebut, menimbulkan suara berdenting kencang, dan dia memanfaatkan tenaga dorongan benda tersebut untuk melontarkan tubuhnya ke belakang.Crash!Benda itu ternyata sebuah pedang lebar dan tertancap ke tanah, dua langkah di hadapan Puti Bungo Satangkai.“Siapa?” teriak Datuak Sani ketika kakinya menjejak tanah. “Keluarlah, jangan menjadi pengecut dengan menyerang secara sembunyi-sembunyi!”“Aku tidak berniat sama sekali sembunyi darimu!”Seseorang melesat, berjumpalitan, dan mendarat di samping kanan Bungo. Datuak Sani menyipitkan matanya untuk dapat mengenali pria tinggi besar yang baru saja muncul itu.“Hei,” bisik pria yang baru muncul itu kepada Bungo. “Kau baik-baik saja?”Sang gadis terkejut sebab dia merasa mengenali suara itu.“Antaguna…!” teriak Pandan Arum. “Jangan bilang padaku bahwa kau bersekongkol dengan gadis sialan itu!”“Antaguna?” Datuak San
Tapi Antaguna hanya tersenyum saja menanggapi pertanyaan berbalut kemarahan dari Pandan Arum tersebut. Baginya, terlalu banyak alasan mengapa dia harus membela Puti Bungo Satangkai, dan salah satunya adalah dengan alasan perasaannya yang tidak bisa lepas dari gadis tersebut.“Hei!” seru Datuak Sani. “Apakah kau murid seorang tua di Ujung Kulon?”Antaguna tersenyum dan sedikit menjura kepada Datuak Sani sembari tetap menggenggam pedang besarnya.“Mata Anda sangat tajam, Datuak Sani,” ujarnya. “Guruku, Sami Agung Laut Selatan.”Datuak Sani menyeringai. “Tidak kusangka,” gumamnya seolah kepada dirinya sendiri. “Sekian puluh tahun menghilang, ternyata dia mengangkat seorang murid sepertimu.”“Apakah itu satu kesalahan?” Antaguna menanggapi dengan santai saja sebab tujuan utamanya adalah memberikan waktu lebih bagi Bungo untuk menghilangkan pengaruh racun di dalam tubuhnya.Datuak Sani tertawa-tawa. “Kurasa, seandainya si Sami Agung itu mengetahui bahwa muridnya ternyata adalah seorang kep