Share

Ludah yang Terbuang

Penulis: Minang KW
last update Terakhir Diperbarui: 2022-12-24 18:55:27

“Tapi Karin,” ujar Karan membujuk istrinya. “Kita sudah bersumpah setia pada Datuk Ambisar saat masuk dan mengikuti ajarannya.”

“Apa Uda tega?” Karin mengangkat wajahnya, memandangi sang suami dengan pipi yang telah basah oleh air matanya. “Uda tega melihat mereka mengagahiku? La-Lalu, untuk apa kita menikah, Uda? Untuk apa…?!”

Karan terdiam. Tentu saja, jawabannya hanya satu, untuk membina biduk rumah tangga. Tapi yang terjadi kali ini, bukan biduk rumah tangga yang akan terbina melainkan kendaraan menuju neraka.

Dan pria 30 tahun itu justru menyeringai halus. Bagaimanapun, Karan punya selera yang bagus terhadap wanita, pikirnya. Karin cukup manis dengan lekuk tubuh yang cukup membuat para pria meneteskan air liur.

Tentu saja, pikirnya. Bayangkan akan seperti apa rasanya menyetubuhi Karin semalam suntuk bersama yang lainnya? Dan dia, tertawa-tawa di dalam hatinya.

“Aslan,” Karan melirik pada pria 30 tahun, “tolong, lalukan sesuatu untuk kami berdua. A-Aku, aku tidak mau lagi mengikut
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Ajo Manday
lamo update nyo lai thor??
goodnovel comment avatar
Dadang Purnama
terima kasih updatenya uda author...mantap bana
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Hati yang Risau

    Di pagi yang sama, Gadih Cimpago yang telah dimintai langsung oleh Rajo Bungsu beserta Ratu Nan Sabatang telah mengikuti si Kumbang Janti semenjak dia keluar dari istana.Tentang mengawasi seseorang atau sesuatu, Gadih Cimpago sangat dapat diandalkan. Bahkan kelihaiannya dalam hal ini pernah membantu dan menyelamatkan nyawa Mantiko Sati.Hanya saja, tidak ada yang dapat ia tangkap dari tindak-tanduk si Kumbang Janti sedari tadi. Pria muda itu terlihat bertanya sesuatu pada beberapa orang di kawasan dermaga, tepi Sungai Batang Kuantan. Dan itu, bukanlah seseorang yang khusus. Atau setidaknya, orang-orang yang dapat dikelompokkan sebagai mereka-mereka yang mencurigakan.Tidak sama sekali.“Lalu apa yang sebenarnya dicari oleh si Talago?”Gadih Cimpago mengernyitkan dahi, mengawasi semua itu dari satu atap bangunan di kawasan dermaga.“Apa yang dia khawatirkan? Apa yang membuat dia menjadi sangat risau?”Dia juga menemukan bahwa setiap kali orang yang ditanya oleh si Kumbang Janti mengge

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-30
  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Jiwa yang Rapuh

    Sementara itu, si Kumbang Janti sendiri seolah buntu pikiran, tentang harus mencari ke mana Nilam dan Suan.Bukannya dia tidak bisa melakukan hal yang lebih terhadap hal yang satu ini. Hanya saja, gerak-geriknya menjadi terbatas sebab dia adalah salah satu Hulubalang Kerajaan. Dan juga, tentang nama baiknya yang sempat tercemar.Kedua hal ini, menjadi pembatas hingga pada nilai-nilai tertentu dengan apa yang akan ia lakukan.Itulah sebabnya dia terlihat seperti orang yang bingung. Seperti anak ayam yang kehilangan induk, tapi tak mampu menciap sedikit pun untuk meminta perhatian orang-orang terdekatnya. Dalam hal ini, Rajo Bungsu, Ratu Nan Sabatang, dan bahkan kepada Gadih Cimpago sendiri.Tidak. Dia seolah menutupi semuanya dari orang-orang. Atau seperti itulah yang sedang dipikirkan Gadih Cimpago terhadap sepupu jauh si Mantiko Sati itu.Si Kumbang Janti menghela napas lebih dalam demi mencoba untuk menenangkan pikirannya.Sembari menatap ke arah hutan lebat di seberang sungai, dia

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-30
  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Ketakutan yang Terlalu Besar

    Si Kumbang Janti berdiri, mencoba memantapkan keputusan yang baru saja melintas dalam pikirannya.Bagaimanapun, dia tak hendak menjadi duri dalam daging bagi Kerajaan Minanga. Meskipun semua orang tahu dan memahami, dia bukanlah jenis manusia yang suka mencari perhatian dengan membuat satu dan lain kegaduhan, tapi tetap saja, dia merasa akan lebih baik baginya untuk menjaga jarak.Yah, menjauh untuk selama-lamanya. Toh, ini juga demi bau bangkai tak mengusik keharuman istana.“Bila kau tak hendak bercerita,” kata Gadih Cimpago setelah satu helaan napas yang panjang, “maka bagaimana mungkin aku, dan kami semua dapat membantumu, Talago?”“Uni,” dia melirik pada wanita itu lewat ujung bahunya, “kumohon. Sudahlah, aku hanya tak hendak melibatkan siapa pun dalam hal ini. Buruk muka biar kutanggung sendiri, hina badan biar kucarikan pengharumnya. Tapi berputih mata dengan apa yang nanti akan menimpa istano, sungguh aku tiada mampu, Uni.”Bulu-bulu halus di sekujur badan Gadih Cimpago seolah

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-30
  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Tak Tergoyahkan

    “Uni, kumohon …” si Kumbang Janti menjatuhkan diri di hadapan Gadih Cimpago, berlutut dengan bahunya yang berguncang hebat.Gadih Cimpago tertegun mendapati itu. Bagaimanapun, dia seperti terluka di dalam hati dan pikirannya. Luka yang terlalu dalam, terlalu besar untuk ia bagikan kepada lain orang. Dan itu, berujung dengan dia yang menahan tangisnya sejadi-jadinya.“Ja-Jangan memaksaku lagi, Uni,” pintanya dengan suara serak yang bergetar. “Kumohon. A-Aku tidak bisa kembali lagi ke istano.”“Talago,” Gadih Cimpago menghela napas dalam-dalam agar ia dapat bertutur dengan lebih lunak. Bagaiamanapun, kesedihan pria itu telah memukul pula relung hatinya. “Kau tahu bahwa tidak akan ada yang melarangmu, bukan?”“Aku tahu,” jawabnya. “Dan aku berterima kasih kepada semua orang di istano. Kecil telapak tangan, dulang yang aku tadahkan. Akan tetapi, sungguh aku tiada muka untuk bertemu Paduko Rajo, Bundo Ratu … aku—”Guncangan bahunya kian menjadi-jadi yang mengakibatkan si Kumbang Janti tak

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-30
  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Selamat Tinggal Kenangan

    “Terima kasih, dan maafkan aku yang keras kepala ini hingga memaksa Uni untuk mengerti.”“Sudahlah, Talago.”Gadih Cimpago mengusap-usap punggung sang pria dengan penuh perhatian dan kasih sayang.“Aku hanya berpesan satu hal saja padamu,” ia menangkup pipi pria tersebut, menatap wajahnya dengan saksama, sebab mungkin ini untuk yang terkahir kalinya. “Bila aral melintang telah kau singkirkan, ketika hitam arang telah kembali bersih, kembalilah pada kami. Kami pasti akan selalu menunggumu.”Si Kumbang Janti tidak yakin akan hal tersebut. Tapi demi tidak menambah kesedihan wanita tersebut, juga terhadap perasaannya sendiri, dia mengangguk saja menanggapi.“Akan aku ingat-ingat pesan Uni.”“Pergilah,” Gadih Cimpago mencoba tersenyum meskipun rasa sedih begitu besar di dalam hatinya. “Jika kau hendak pergi, aku tidak akan lagi menghalang-halangimu.”Si Kumbang Janti paham itu. Seperti wanita itu sendiri, dia juga sangat membenci perpisahan. Tapi tidak ada yang dapat terpikirkan olehnya de

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-30
  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Bocah Tanpa Rasa Takut

    Ayolah, Antaguna. Tenang, tenanglah! Pusatkan perhatianmu dengan tujuanmu ke pasar ini saja, pada pria tua di hadapanmu itu!“Aah, sayang sekali,” ujar Antaguna. “Padahal, aku hendak berbaik-baik padamu, Pak Tua. Tapi, lupaksan saja!”Dia meninggalkan lapak si pria tua, lalu seorang pemuda mentah yang sedari tadi memerhatikan Antaguna, muncul dan mendekati si pria tinggi, besar, dan berotot itu.“Hei, Tuan Muda!”Antaguna menoleh, mengernyit saat menemukan seorang remaja kisaran lima belas tahun menghampirinya.Sang remaja tidak mengenakan pakaian. Wajah dan tubuhnya kumal, dan dia sedikit kerempeng. Di kepalanya, terikat sebuah kain perca yang aslinya berwarna merah, tapi sekarang terlihat begitu kusam. Sama seperti celana sebetisnya itu. Dia cengangas-cengenges mendekati Antaguna.Apakah dia tidak kenal dengan yang namanya air? Pikir Antaguna.Dia menyeringai sebab cukup mengerti gerak-gerik remaja tersebut. Kau hendak mengerjai aku, hah?Terlalu cepat seratus tahun bagimu, bocah!“

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-30
  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Sama dan Tak Biasa

    “Dengar,” Antaguna kembali membungkuk, menatap ke dalam mata sang remaja. “Uang lima koin perak itu jauh lebih banyak dari apa yang bisa kau hasilkan dalam dua pekan. Kau tahu, orang-orang tua bilang, kalau kau tamak, maka kau akan binasa.”Sang remaja seperti tertegun, lalu menadang ke kiri dan ke kanan.“Di mana?” ujarnya dengan wajah yang serius.Antaguna mengernyit. Apa lagi sekarang? Pikirnya. Dasar bocah aneh!“Di mana orang tua yang kau maksud barusan itu, Tuan Muda?”Astaga! Antaguna menepuk keningnya sendiri.Dan remaja itu, dia tertawa terbahak-bahak, seolah menertawai Antaguna yang baru saja kena dikerjai olehnya.“Simpan saja ceramahmu itu untuk orang lain,” kata si remaja. “Aku tidak butuh. Sepuluh keping uang perak, dan itu harga mati!”Berengsek!Antaguna merasa bodoh dipecundangi remaja belasan tahun tersebut. Tapi kekagumannya belumlah hilang. Paling tidak, sang remaja bersikap jauh lebih dewasa dibanding anak-anak lain seusianya.“Baiklah,” ujarnya seraya meluruskan

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-30
  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Sedikit Keseruan

    Dari tempatnya duduk dan menunggu, Puti Bungo Satangkai telah dapat melihat dua orang di ujung jalan, di arah kanannya.Kedua orang itu mengikuti arah jalan yang ada di hadapannya. Salah seorang dari mereka adalah Antaguna. Yah, pria tinggi besar itu akan mudah dikenali walau dari jarak yang jauh sekalipun, pikirnya.Tapi kemudian, dia mengernyit. ‘Seorang remaja?’ tanyanya di dalam hati. ‘Kenapa pula dia meminta tolong pada seseorang yang masih di bawah usia? Apa yang dia pikirkan? Ini bukanlah sebuah permainan, tapi sesuatu yang serius yang bahkan dapat membuat nyawa melayang?’Dan berbagai pertanyaan lainnya yang bermunculan begitu saja di dalam kepala sang gadis.Dia hanya bisa menghela napas dalam-dalam. Setidaknya, dia akan segera mengetahui alasan Antaguna meminta tolong pada si remaja kerempeng.Sementara itu, si Kapuyuak yang tersenyum-senyum sembari menimang-nimang sepuluh koin perak di tangannya itu tidak menyadari bahwa di satu titik, di ujung dari arah yang mereka tuju, t

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-30

Bab terbaru

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Epilog

    Puti Bungo Satangkai duduk sembari memerhatikan Antaguna dengan dagunya bertopang pada telapak tangannya, dan sikunya bertopang pada lutut yang menekuk ke atas, di bagian depan sampan yang sedang meluncur ke arah barat.Sementara Antaguna, duduk di bagian ujung lain sampan, bagian belakang, sembari mendayung dan membawa sampan ke tengah-tengah laut.Pria besar dan berotot menjadi malu sendiri sebab selalu diperhatikan sang gadis, bahkan sembari tersenyum-senyum menatapnya.“Hei, ermm … apakah pulau itu masih jauh?” Antaguna membuang pandangan ke samping. Terlalu jengah diperhatikan seperti ini, pikirnya.Dan sang gadis hanya mengangguk saja sembari tetap tersenyum-senyum manja.“Kupikir tadinya kau bilang di seberang laut,” Antaguna mendesah panjang. “Ini bukan laut, tapi sebuah samudra, dasar gadis bodoh. Kau mengerjaiku!”Bungo terkikik dan menggeleng-geleng kecil yang semakin membuat Antaguna menjadi jengah dan bimbang. Bimbang sebab ingin saja pada saat itu dia menerkam sang gadis

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Yang Hilang Telah Kembali

    Puti Bungo Satangkai, Antaguna, dan Sondang Tiur akhirnya tiba di Istana Minanga, di Batang Kuantan.Ketiganya disambut dengan cukup meriah oleh Rajo Bungsu dan orang-orang istana. Terlebih lagi, dengan keberhasilan Bungo yang mendapatkan semua kepingan Teratai Abadi. Meskipun, kegembiraan mereka sedikit terusik dengan kematian si Kumbang Janti.Hanya saja, baik Antaguna maupun Bungo sendiri tak hendak membicarakan tentang keburukan yang pernah dilakukan si Kumbang Janti sehingga membuat Antaguna cacat wajahnya. Tidak pula oleh Sondang Tiur yang juga mengetahui alasan di balik hal tersebut.Sama seperti jawaban Antaguna kepada Mantiko Sati dan Puti Pandan Sahalai di Ngarai Sianok, begitu pula yang mereka sampaikan keduanya kepada Rajo Bungsu dan orang banyak ketika sang raja bertanya perihal perubahan di wajah si pria tinggi besar.Rajo Bungsu dan Ratu Nan Sabatang, juga Gadih Cimpago sangat bersuka cita ketika mereka mendengar bahwa Bungo dan dua orang yang menemaninya bertemu dengan

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Demi Kamu

    ‘Katakan padaku,’ Puti Bungo Satangkai menatap ke dalam mata Antaguna. ‘Kenapa kau merahasiakan tentang lukamu itu dariku?’“Bungo …” Antaguna menghela napas dalam-dalam. “Tidak ada gunanya diungkit-ungkit lagi. Aku sudah memberi tahu alasan di balik lukaku ini. Bahkan di depan abangmu, ingat?”‘Apakah kau pikir abangku dan aku sendiri begitu buta untuk tidak menyadari bahwa kau sengaja berbohong?’Sementara itu, Sondang Tiur sengaja menjauh dengan alasan mencari ikan untuk makan mereka di siang itu, di satu aliran sungai kecil yang jernih. Dia tahu dengan baik bahwa Bungo hanya ingin berbicara empat mata saja dengan Antaguna. Tentang, sesuatu yang bersifat sangat pribadi, mungkin, pikirnya.Antaguna mendesah halus dan menunduk.‘Hei!’ Bungo mendorong pelan bahu pria besar. ‘Katakan padaku! Kenapa?’Akan tetapi, sampai beberapa saat lamanya, Antaguna tak hendak memberi tahu alasan sesungguhnya kepada sang gadis.‘Hei, katakan padaku! Apakah kau masih menganggapku temanmu? Beri tahu ak

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Berpisah Bukan Bercerai

    Kicau burung liar terdengar cukup menenangkan pikiran. Ditambah dengan pekik hewan dan suara aliran air di sungai, semua itu menemani sekumpulan orang yang sedang berdiri di satu titik, di sisi timur aliran sungai, di tengah-tengah lembah Ngarai Sianok.Puti Bungo Satangkai berlutut dengan menggenggam sejumput bunga liar yang indah dan masih basah oleh embun. Lalu disusul pula oleh sang kakak, Mantiko Sati, yang berlutut di samping kirinya.Sementara yang lainnya berdiri hening dengan kepala tertunduk.Kakak beradik itu meletakkan bunga-bunga liar di satu titik di permukaan tanah, di antara batu-batu kerikil yang lebih mencolok dengan warna kehitam-hitaman di antara lainnya.Di titik itulah di mana Zuraya pernah tergeletak tak berdaya dan mati. Di titik itu pula Bungo dilahirkan dengan sangat terpaksa. Di titik yang sama pula Inyiak Mudo lantas membakar jasad Zuraya.Mantiko Sati tidak pernah bisa menemukan jasad Zuraya ketika malam jahanam itu terjadi. Dia tidak tahu bahwa di titik i

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Luka yang Terkuak

    Mantiko Sati lantas tersenyum lebar dengan gelengan kepalanya, membuat semua orang menjadi bertanya-tanya. Terutama, bagi Antaguna sendiri.“Uda?”“Wajahmu, Tarigan. Wajahmu.”Antaguna mulai merasakan sesuatu yang mungkin akan menyakitkan beberapa orang di antara mereka. Lagi, dia mereguk ludah sembari melirik Puti Bungo Satangkai dari sudut matanya, lalu tertunduk.“Terakhir kali kita bertemu,” kata Mantiko Sati. “Wajahmu masih terlihat gagah. Dan aku yakin, bekas luka di wajahmu itu adalah akibat dari terkena Cakar Kucing Emas, bukan?”Degh!Tidak Antaguna saja yang berdegup kencang jantungnya, tapi juga Bungo.Sang gadis yang dalam waktu belakangan ini cukup penasaran dengan kecacatan yang didapat Antaguna pada wajahnya memang ingin mengetahui cerita di balik itu semua. Hanya saja, semenjak kembali dari Pulau Telaga Tujuh, Antaguna sama sekali tidak mau menyinggung perihal bekas lukanya tersebut.“Uda, aku―”“Bisakah kau melepas bajumu, Tarigan?”Antaguna semakin menggigil. Bukan l

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Kebahagiaan

    Puti Pandan Sahalai tertawa halus seraya mengusap bahu Sondang Tiur.“Baiklah, baiklah,” ucapnya. “Tapi, jangan sampai terdengar oleh suamiku.”“Kenapa?”Kebingungan si gadis Batak juga menjadi kebingungan Antaguna yang tentu saja mendengar percakapan keduanya.“Sejauh yang aku tahu,” lanjut Sondang Tiur. “Seluruh masyarakat di Minanga ini mengetahui bahwa seorang Mantiko Sati adalah pria rupawan yang sangat sopan dan halus budi bahasa. Kurasa dia tidak akan keberatan.”Lagi, mantan Ratu Minanga itu tertawa halus dan sangat merdu. “Oh, Tiur … kau hanya belum tahu saja bagaimana dalamannya!”“Oops …” Sondang Tiur terkikik.Dan Antaguna hanya bisa tersenyum sembari membuang muka. Dasar perempuan, pikirnya.Dan kemudian si pria berbadan besar membantu Sondang Tiur dan Puti Pandan Sahalai untuk memanggang daging yang tersedia di atas nampan kayu lebar, mempersiapkan makan malam bagi mereka semua.Malam itu berlalu dengan banyak kegembiraan. Sekaligus, ini adalah makan malam paling membaha

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Pertemuan Tak Terduga

    Pria rupawan mengernyit. Dia berhenti tepat dua langkah di hadapan Antaguna.Sementara itu, Puti Bungo Satangkai pun akhirnya menghentikan serangannya sebab dihalangi oleh Antaguna yang berlutut di tengah-tengah di antara dia dan si pria rupawan.‘Apa yang kau lakukan?!’ Bungo menggerak-gerakkan tangannya.“Bungo, jangan teruskan!”“Tarigan!” Pria rupawan memandang si gadis bisu sebelum kembali pada Antaguna. “Apa maksud dari semua ini?”“Uda, kumohon!”“Berdirilah! Kau tahu aku benci seseorang yang berlutut di hadapan orang lainnya, bukan?”Antaguna mengangguk dan berdiri. Bungo menghampirinya dengan tatapan menuntut penjelasan lebih.“Siapa gadis ini, Tarigan?”“Uda …” Antaguna melirik pada Bungo dan mengangguk.Bungo mengernyit. ‘Apa artinya ini?’“Bungo,” ucap pria tinggi besar dan berotot dengan menggenggam tangan sang gadis. Lalu melirik pria rupawan yang juga memaksa sang gadis untuk menatap pria yang sama. “Dia, Uda Buyung. Abangmu, Bungo.”‘Kau bilang apa?’ Bungo membelalak.

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Bukan Orang Lain

    Pria kurus tiba-tiba terdiam dan membelalak. “K-Kau, kau …”‘Tunggulah di sini. Aku akan menghajar orang yang telah melukaimu!’Dan Puti Bungo Satangkai lantas menyerang si pria rupawan. Sementara pria bernama Fèng itu hanya bisa termangu sembari mengusap lelehan darah di sudut bibirnya dengan punggung tangannya.Fèng adalah pria yang sama yang pernah dijumpai oleh Bungo di satu hutan lebat, di seberang sungai di mana si Simpai Gilo tinggal. Pria yang nyaris sepenuhnya menjadi gila itu akhirnya merelakan kematian istrinya setelah bertemu dengan si gadis bisu tersebut.Alasan Bungo ingin melindunginya sebab si Simpai Gilo sendiri sepertinya telah mengawasi Fèng sebelum kematiannya. Atau lebih tepatnya, menjaga Fèng dan rutin memberikannya makanan.Inilah yang diyakini oleh sang gadis sehingga dia menyerang si pria rupawan tanpa tahu duduk permasalahan di antara keduanya terlebih dahulu.“Hei, Nona. Kau tidak harus―”Tapi ucapan si pria rupawan tidak didengar oleh Bungo. Sang gadis tela

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Pertarungan yang Aneh

    Pria rupawan berputar-putar cepat di udara. Di satu ketinggian, dia merentangkan tangan dan kakinya dengan tiba-tiba sehingga gerakan berputar tubuhnya terhenti. Lalu dia menukik ke arah si pria kurus dan pucat.Pria kurus mengibaskan pedangnya ke samping.Swiing!Dan seketika, bilah pedang merah seolah dibungkus oleh lidah api.“Apa pun jurusmu, aku sudah siap menahan itu!” ucapnya dengan sangat percaya diri.Pria rupawan tersenyum lagi. Selagi tubuhnya meluncur ke bawah, dia melenting ke belakang, berjumpalitan sekali, lalu menukik lagi dengan lebih cepat.Pada satu ketinggian yang ia rasa pas, pria rupawan lantas menghantamkan cakar tangan kanannya ke arah si pria pucat di bawah.“Terima seranganku, kawan, Auman Membuncah Samudra!”“Serang aku!” teriak si pria kurus pucat.Swoosh!Lagi-lagi gelombang angin yang dahsyat disertai kilat-kilat kecil kebiru-biruan menderu dari cakar si pria rupawan. Bahkan, suara bergaung yang menyertai serangan itu sendiri laksana auman seekor harimau

DMCA.com Protection Status