Si Kumbang Janti berdiri, mencoba memantapkan keputusan yang baru saja melintas dalam pikirannya.Bagaimanapun, dia tak hendak menjadi duri dalam daging bagi Kerajaan Minanga. Meskipun semua orang tahu dan memahami, dia bukanlah jenis manusia yang suka mencari perhatian dengan membuat satu dan lain kegaduhan, tapi tetap saja, dia merasa akan lebih baik baginya untuk menjaga jarak.Yah, menjauh untuk selama-lamanya. Toh, ini juga demi bau bangkai tak mengusik keharuman istana.“Bila kau tak hendak bercerita,” kata Gadih Cimpago setelah satu helaan napas yang panjang, “maka bagaimana mungkin aku, dan kami semua dapat membantumu, Talago?”“Uni,” dia melirik pada wanita itu lewat ujung bahunya, “kumohon. Sudahlah, aku hanya tak hendak melibatkan siapa pun dalam hal ini. Buruk muka biar kutanggung sendiri, hina badan biar kucarikan pengharumnya. Tapi berputih mata dengan apa yang nanti akan menimpa istano, sungguh aku tiada mampu, Uni.”Bulu-bulu halus di sekujur badan Gadih Cimpago seolah
“Uni, kumohon …” si Kumbang Janti menjatuhkan diri di hadapan Gadih Cimpago, berlutut dengan bahunya yang berguncang hebat.Gadih Cimpago tertegun mendapati itu. Bagaimanapun, dia seperti terluka di dalam hati dan pikirannya. Luka yang terlalu dalam, terlalu besar untuk ia bagikan kepada lain orang. Dan itu, berujung dengan dia yang menahan tangisnya sejadi-jadinya.“Ja-Jangan memaksaku lagi, Uni,” pintanya dengan suara serak yang bergetar. “Kumohon. A-Aku tidak bisa kembali lagi ke istano.”“Talago,” Gadih Cimpago menghela napas dalam-dalam agar ia dapat bertutur dengan lebih lunak. Bagaiamanapun, kesedihan pria itu telah memukul pula relung hatinya. “Kau tahu bahwa tidak akan ada yang melarangmu, bukan?”“Aku tahu,” jawabnya. “Dan aku berterima kasih kepada semua orang di istano. Kecil telapak tangan, dulang yang aku tadahkan. Akan tetapi, sungguh aku tiada muka untuk bertemu Paduko Rajo, Bundo Ratu … aku—”Guncangan bahunya kian menjadi-jadi yang mengakibatkan si Kumbang Janti tak
“Terima kasih, dan maafkan aku yang keras kepala ini hingga memaksa Uni untuk mengerti.”“Sudahlah, Talago.”Gadih Cimpago mengusap-usap punggung sang pria dengan penuh perhatian dan kasih sayang.“Aku hanya berpesan satu hal saja padamu,” ia menangkup pipi pria tersebut, menatap wajahnya dengan saksama, sebab mungkin ini untuk yang terkahir kalinya. “Bila aral melintang telah kau singkirkan, ketika hitam arang telah kembali bersih, kembalilah pada kami. Kami pasti akan selalu menunggumu.”Si Kumbang Janti tidak yakin akan hal tersebut. Tapi demi tidak menambah kesedihan wanita tersebut, juga terhadap perasaannya sendiri, dia mengangguk saja menanggapi.“Akan aku ingat-ingat pesan Uni.”“Pergilah,” Gadih Cimpago mencoba tersenyum meskipun rasa sedih begitu besar di dalam hatinya. “Jika kau hendak pergi, aku tidak akan lagi menghalang-halangimu.”Si Kumbang Janti paham itu. Seperti wanita itu sendiri, dia juga sangat membenci perpisahan. Tapi tidak ada yang dapat terpikirkan olehnya de
Ayolah, Antaguna. Tenang, tenanglah! Pusatkan perhatianmu dengan tujuanmu ke pasar ini saja, pada pria tua di hadapanmu itu!“Aah, sayang sekali,” ujar Antaguna. “Padahal, aku hendak berbaik-baik padamu, Pak Tua. Tapi, lupaksan saja!”Dia meninggalkan lapak si pria tua, lalu seorang pemuda mentah yang sedari tadi memerhatikan Antaguna, muncul dan mendekati si pria tinggi, besar, dan berotot itu.“Hei, Tuan Muda!”Antaguna menoleh, mengernyit saat menemukan seorang remaja kisaran lima belas tahun menghampirinya.Sang remaja tidak mengenakan pakaian. Wajah dan tubuhnya kumal, dan dia sedikit kerempeng. Di kepalanya, terikat sebuah kain perca yang aslinya berwarna merah, tapi sekarang terlihat begitu kusam. Sama seperti celana sebetisnya itu. Dia cengangas-cengenges mendekati Antaguna.Apakah dia tidak kenal dengan yang namanya air? Pikir Antaguna.Dia menyeringai sebab cukup mengerti gerak-gerik remaja tersebut. Kau hendak mengerjai aku, hah?Terlalu cepat seratus tahun bagimu, bocah!“
“Dengar,” Antaguna kembali membungkuk, menatap ke dalam mata sang remaja. “Uang lima koin perak itu jauh lebih banyak dari apa yang bisa kau hasilkan dalam dua pekan. Kau tahu, orang-orang tua bilang, kalau kau tamak, maka kau akan binasa.”Sang remaja seperti tertegun, lalu menadang ke kiri dan ke kanan.“Di mana?” ujarnya dengan wajah yang serius.Antaguna mengernyit. Apa lagi sekarang? Pikirnya. Dasar bocah aneh!“Di mana orang tua yang kau maksud barusan itu, Tuan Muda?”Astaga! Antaguna menepuk keningnya sendiri.Dan remaja itu, dia tertawa terbahak-bahak, seolah menertawai Antaguna yang baru saja kena dikerjai olehnya.“Simpan saja ceramahmu itu untuk orang lain,” kata si remaja. “Aku tidak butuh. Sepuluh keping uang perak, dan itu harga mati!”Berengsek!Antaguna merasa bodoh dipecundangi remaja belasan tahun tersebut. Tapi kekagumannya belumlah hilang. Paling tidak, sang remaja bersikap jauh lebih dewasa dibanding anak-anak lain seusianya.“Baiklah,” ujarnya seraya meluruskan
Dari tempatnya duduk dan menunggu, Puti Bungo Satangkai telah dapat melihat dua orang di ujung jalan, di arah kanannya.Kedua orang itu mengikuti arah jalan yang ada di hadapannya. Salah seorang dari mereka adalah Antaguna. Yah, pria tinggi besar itu akan mudah dikenali walau dari jarak yang jauh sekalipun, pikirnya.Tapi kemudian, dia mengernyit. ‘Seorang remaja?’ tanyanya di dalam hati. ‘Kenapa pula dia meminta tolong pada seseorang yang masih di bawah usia? Apa yang dia pikirkan? Ini bukanlah sebuah permainan, tapi sesuatu yang serius yang bahkan dapat membuat nyawa melayang?’Dan berbagai pertanyaan lainnya yang bermunculan begitu saja di dalam kepala sang gadis.Dia hanya bisa menghela napas dalam-dalam. Setidaknya, dia akan segera mengetahui alasan Antaguna meminta tolong pada si remaja kerempeng.Sementara itu, si Kapuyuak yang tersenyum-senyum sembari menimang-nimang sepuluh koin perak di tangannya itu tidak menyadari bahwa di satu titik, di ujung dari arah yang mereka tuju, t
“Kumohon, Uda,” si Kapuyuak bahkan bersujud di dekat kaki Antaguna, lalu memutar, dan bersujud pula pada si gadis jelita. “Uni, ampunkan aku. Jangan pukuli aku, kumohon …”Kali ini, Antaguna tidak lagi menemukan keberpura-puraan pada si Kapuyuak. Tangisnya itu, gemetar suara dan tubuhnya itu, semua sudah cukup jelas. Dia benar-benar ketakutan.Puti Bungo Satangkai melirik Antaguna dengan sedikit gerakan kepalanya. Seolah dia berkata: Hei, sudahlah. Kasihan dia, sepertinya dia kurang makan.Pria besar tersenyum. Tentu saja, sedari awal dia juga menyadari hal ini. Bila tidak, bagaimana lagi untuk menjelaskan tentang tubuhnya yang kerempeng itu? Bahkan tulang rusuknya membayang di permukaan kulitnya, berjejer seperti rak piring.“Kumohon, Uda,” tangis si Kapuyuak. “Berbelas kasihlah kepadaku.”“Berengsek!” Antaguna mendengus. “Ke mana ucapan-ucapan bijak kau tadi?” dia melirik Bungo. “Kau percaya itu? Dia sudah seperti seorang pujangga di hadapanku tadi.”Bungo menahan senyumnya sembari
Tidak berapa lama kemudian, Sikumbang dan kuda betina itu muncul, mendekati Antaguna. Dan barulah si Kapuyuak paham bahwa siulan pajang tadi itu adalah untuk memanggil kedua kuda tersebut.“Ayo!” pinta Antaguna.Dan mereka pun melangkah, mengiringi si Kapuyuak yang akan membawa mereka ke rumahnya, atau seperti itulah gambaran di dalam kepala Antaguna dan Puti Bungo Satangkai sendiri.Akan tetapi, apa yang dipikirkan keduanya tentang gambaran sebuah rumah tempat di mana si Kapuyuak meninggalkan adik perempuannya, bukanlah sebuah rumah. Tidak pula sebuah gubuk.Antaguna bergetar mengetahui ini. Bungo merapat kepadanya, mengusap-usap punggung Antaguna. Dia lebih daripada tahu dengan apa yang dirasakan oleh Antaguna sekarang, itu sama dengan apa yang ia rasakan sendiri.Bedanya, Antaguna mungkin terbawa perasaan dengan si Kapuyuak yang memiliki adik perempuan, tapi mereka terpaksa tinggal di dalam sebuah cekungan, di salah satu titik yang ada di sebuah tebing rendah, di tengah-tengah bela