Share

Sama dan Tak Biasa

Penulis: Minang KW
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Dengar,” Antaguna kembali membungkuk, menatap ke dalam mata sang remaja. “Uang lima koin perak itu jauh lebih banyak dari apa yang bisa kau hasilkan dalam dua pekan. Kau tahu, orang-orang tua bilang, kalau kau tamak, maka kau akan binasa.”

Sang remaja seperti tertegun, lalu menadang ke kiri dan ke kanan.

“Di mana?” ujarnya dengan wajah yang serius.

Antaguna mengernyit. Apa lagi sekarang? Pikirnya. Dasar bocah aneh!

“Di mana orang tua yang kau maksud barusan itu, Tuan Muda?”

Astaga! Antaguna menepuk keningnya sendiri.

Dan remaja itu, dia tertawa terbahak-bahak, seolah menertawai Antaguna yang baru saja kena dikerjai olehnya.

“Simpan saja ceramahmu itu untuk orang lain,” kata si remaja. “Aku tidak butuh. Sepuluh keping uang perak, dan itu harga mati!”

Berengsek!

Antaguna merasa bodoh dipecundangi remaja belasan tahun tersebut. Tapi kekagumannya belumlah hilang. Paling tidak, sang remaja bersikap jauh lebih dewasa dibanding anak-anak lain seusianya.

“Baiklah,” ujarnya seraya meluruskan
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Sedikit Keseruan

    Dari tempatnya duduk dan menunggu, Puti Bungo Satangkai telah dapat melihat dua orang di ujung jalan, di arah kanannya.Kedua orang itu mengikuti arah jalan yang ada di hadapannya. Salah seorang dari mereka adalah Antaguna. Yah, pria tinggi besar itu akan mudah dikenali walau dari jarak yang jauh sekalipun, pikirnya.Tapi kemudian, dia mengernyit. ‘Seorang remaja?’ tanyanya di dalam hati. ‘Kenapa pula dia meminta tolong pada seseorang yang masih di bawah usia? Apa yang dia pikirkan? Ini bukanlah sebuah permainan, tapi sesuatu yang serius yang bahkan dapat membuat nyawa melayang?’Dan berbagai pertanyaan lainnya yang bermunculan begitu saja di dalam kepala sang gadis.Dia hanya bisa menghela napas dalam-dalam. Setidaknya, dia akan segera mengetahui alasan Antaguna meminta tolong pada si remaja kerempeng.Sementara itu, si Kapuyuak yang tersenyum-senyum sembari menimang-nimang sepuluh koin perak di tangannya itu tidak menyadari bahwa di satu titik, di ujung dari arah yang mereka tuju, t

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Di Balik Sikap

    “Kumohon, Uda,” si Kapuyuak bahkan bersujud di dekat kaki Antaguna, lalu memutar, dan bersujud pula pada si gadis jelita. “Uni, ampunkan aku. Jangan pukuli aku, kumohon …”Kali ini, Antaguna tidak lagi menemukan keberpura-puraan pada si Kapuyuak. Tangisnya itu, gemetar suara dan tubuhnya itu, semua sudah cukup jelas. Dia benar-benar ketakutan.Puti Bungo Satangkai melirik Antaguna dengan sedikit gerakan kepalanya. Seolah dia berkata: Hei, sudahlah. Kasihan dia, sepertinya dia kurang makan.Pria besar tersenyum. Tentu saja, sedari awal dia juga menyadari hal ini. Bila tidak, bagaimana lagi untuk menjelaskan tentang tubuhnya yang kerempeng itu? Bahkan tulang rusuknya membayang di permukaan kulitnya, berjejer seperti rak piring.“Kumohon, Uda,” tangis si Kapuyuak. “Berbelas kasihlah kepadaku.”“Berengsek!” Antaguna mendengus. “Ke mana ucapan-ucapan bijak kau tadi?” dia melirik Bungo. “Kau percaya itu? Dia sudah seperti seorang pujangga di hadapanku tadi.”Bungo menahan senyumnya sembari

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Kehidupan yang Disembunyikan

    Tidak berapa lama kemudian, Sikumbang dan kuda betina itu muncul, mendekati Antaguna. Dan barulah si Kapuyuak paham bahwa siulan pajang tadi itu adalah untuk memanggil kedua kuda tersebut.“Ayo!” pinta Antaguna.Dan mereka pun melangkah, mengiringi si Kapuyuak yang akan membawa mereka ke rumahnya, atau seperti itulah gambaran di dalam kepala Antaguna dan Puti Bungo Satangkai sendiri.Akan tetapi, apa yang dipikirkan keduanya tentang gambaran sebuah rumah tempat di mana si Kapuyuak meninggalkan adik perempuannya, bukanlah sebuah rumah. Tidak pula sebuah gubuk.Antaguna bergetar mengetahui ini. Bungo merapat kepadanya, mengusap-usap punggung Antaguna. Dia lebih daripada tahu dengan apa yang dirasakan oleh Antaguna sekarang, itu sama dengan apa yang ia rasakan sendiri.Bedanya, Antaguna mungkin terbawa perasaan dengan si Kapuyuak yang memiliki adik perempuan, tapi mereka terpaksa tinggal di dalam sebuah cekungan, di salah satu titik yang ada di sebuah tebing rendah, di tengah-tengah bela

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Keadaan yang Genting

    Sementara Puti Bungo Satangkai memeriksa kondisi Ima yang terbaring tak berdaya, Antaguna pula mencoba mengumpulkan jiwanya.Keadaan kakak beradik itu sungguh memukul perasaannya. Kekesalannya pada si Kapuyuak tadi hilang sudah bak ditelan bumi.Terlalu menyakitkan keadaan mereka, pikirnya. Bahkan, meskipun belum bertanya lebih jauh, tapi Antaguna telah dapat menduga bahwa si Kapuyuak dan adiknya itu, Ima adalah anak yatim piatu.Ditambah dengan mereka yang tinggal hanya di goa kecil yang tak lebih dari sebuah cekungan di dinding tebing rendah, telah mengantarkan Antaguna pada bayang penderitaannya sendiri bersama adiknya, Sri Kedasih belasan tahun yang silam.Setelah dia dapat mengumpulkan semangatnya, menekan perasaan yang remuk, Antaguna bangkit dengan masih kehilangan sedikit dari jiwanya.Dia menghampiri Bungo, memandang sekilas kepada si Kapuyuak yang bahkan belum memakan makanan di tangannya.Lagi-lagi ini membuat Antaguna menjadi terenyuh. Si Kapuyuak pasti menunggu adiknya se

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Demi Ima

    Kawasan pasar itu dibatasi sebuah pagar tinggi yang hanya terbuat dari susunan kayu dan bambu. Di sisi kiri, tanah di sekitarnya sedikit landai.“Itu!” si Kapuyuak menunjuk sebuah rumah bambu yang cukup besar dengan pekarangannya yang cukup luas, bersih, dan tertata apik. “Rumah di baruah itulah rumah si tabib, Uda.”Antaguna dan Puti Bungo Satangkai sama memandang ke arah baruah—bawah, tidak ada rumah lainnya di sana kecuali yang satu itu saja.Satu dua orang yang kebetulan berpapasan dengan mereka mengerutkan dahi. Entah apa pun yang orang-orang itu pikirkan, tapi Antaguna dan Bungo tak ambil pusing.Keadaan rumah di belakang pasar itu memang cukup asri. Beberapa jenis tanaman tumbuh terawat di sekitar pekarangannya.Untuk kesekian kalinya Antaguna dan Bungo saling pandang. Tanaman-tanaman itu sepertinya bukanlah sebagai penghias pekarangan saja, tapi lebih daripada itu. Sebagian besar adalah tanaman obat.Saat mereka menjejakkan kaki di pekarang depan, sang tabib sendiri yang merup

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Keinginan Tersembunyi

    Antaguna dan Puti Bungo Satangkai memandang pada si Kapuyuak yang hanya bisa tertunduk dalam ketakutan, dan sedikit penyesalan di sana.Akan tetapi, baik Antaguna maupun Bungo dapat memahami mengapa sang remaja melakukan itu.Pasti, dia pasti melakukan itu untuk mengobati adiknya.Pertanyaanya adalah, apakah tanaman obat yang dicuri itu adalah obat yang tepat untuk Ima?Ini bukanlah hal yang dapat dibuat main-main. Salah sedikit, maka nyawa yang jadi taruhannya.Bungo membelalak, menatap pada Antaguna seolah berkata: Hei, jangan-jangan keadaan gadis kecil itu semakin parah karena kakaknya salah memberi obat?Pria tinggi besar mengangguk memahami arti tatapan sang gadis. Dia mengalihkan pandangannya dari si Kapuyuak kepada si tabib.“Baiklah,” ujarnya dengan menghela napas dalam-dalam. “Kuakui, itu perbuatan yang tidak baik. Akan tetapi, tidak akan ada asap bila tidak ada api, bukan?”Sang tabib menyeringai, kembali menggerak-gerakkan kipasnya di depan dada. “Kau menyindirku, hah?”“Ak

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Sesuatu yang Lebih Berharga

    Tapi ketika sang gadis mengeluarkan koin-koin perak di antara koin-koin tembaga dari dalam kantong itu, sang tabib hanya bisa menggerutu di dalam hati.Sepertinya, dia harus mengubur mimpinya untuk dapat mencumbui si gadis jelita sebab ternyata pria tinggi besar memiliki lebih daripada yang bisa ia bayangkan.Puti Bungo Satangkai menyerahkan seratus lima puluh keping uang perak kepada si tabib. Bahkan masih tersisa dua kali lipat uang yang ada di dalam kantong.Bungo paham itu. Uang-uang ini tentulah didapat oleh Antaguna selama dia menjadi kepala penjahat, Kawanan Berbaju Hitam.Tapi … mungkin ini bukanlah sebuah dosa, pikir sang gadis. Bagaimanapun, uang ini akan digunakan untuk kebaikan.Yah, semoga saja begitu.“Kau sudah mendapatkan bayaranmu,” kata Antaguna pada sang tabib. “Sekarang, mulailah pengobatanmu terhadap adik kecil ini!”“Aku tahu, aku tahu!” sang tabib mengomel panjang-pendek. “Jangan mengguruiku, bajingan!”Antaguna tersenyum sebab dia dapat memperkirakan hal yang m

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Sampai Tuntas

    Menunggu mungkin adalah satu hal yang sangat membosankan. Dan itu pula yang terjadi kepada si Kapuyuak. Berkali-kali dia melirik ke arah pintu depan rumah sang tabib yang tertutup. Atau terkadang dia berdiri, lalu duduk lagi, begitu terus berulang-ulang.Kegelisahannya tidak dapat ia sembunyikan. Puti Bungo Satangkai dan Antaguna dapat memaklumi itu.Menunggu tanpa kepastian, tentu akan lebih tidak menyenangkan.“Duduk gelisah tidak akan dapat membantu adikmu,” ujar Antaguna.“Uda, aku—”“Tenanglah.” Antaguna menjulurkan tangannya, mengusap punggung kurus sang remaja. “Bukankah lebih baik kau berdoa demi kesembuhan adikmu?”Si Kapuyuak menekur, sementara Bungo tersenyum tipis memandangi Antaguna. Tipis, tapi sangat manis.Siapa yang bisa menduga? Pikirnya. Doanya ketika hendak meninggalkan kawasan Pantai Sungai Suci ternyata terwujud.Ya, ketika itu, sang gadis berharap bahwa Antaguna akan berubah, meninggalkan semua jalan keburukan yang ia pilih.Dan di sinilah pria itu kini, selalu

Bab terbaru

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Epilog

    Puti Bungo Satangkai duduk sembari memerhatikan Antaguna dengan dagunya bertopang pada telapak tangannya, dan sikunya bertopang pada lutut yang menekuk ke atas, di bagian depan sampan yang sedang meluncur ke arah barat.Sementara Antaguna, duduk di bagian ujung lain sampan, bagian belakang, sembari mendayung dan membawa sampan ke tengah-tengah laut.Pria besar dan berotot menjadi malu sendiri sebab selalu diperhatikan sang gadis, bahkan sembari tersenyum-senyum menatapnya.“Hei, ermm … apakah pulau itu masih jauh?” Antaguna membuang pandangan ke samping. Terlalu jengah diperhatikan seperti ini, pikirnya.Dan sang gadis hanya mengangguk saja sembari tetap tersenyum-senyum manja.“Kupikir tadinya kau bilang di seberang laut,” Antaguna mendesah panjang. “Ini bukan laut, tapi sebuah samudra, dasar gadis bodoh. Kau mengerjaiku!”Bungo terkikik dan menggeleng-geleng kecil yang semakin membuat Antaguna menjadi jengah dan bimbang. Bimbang sebab ingin saja pada saat itu dia menerkam sang gadis

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Yang Hilang Telah Kembali

    Puti Bungo Satangkai, Antaguna, dan Sondang Tiur akhirnya tiba di Istana Minanga, di Batang Kuantan.Ketiganya disambut dengan cukup meriah oleh Rajo Bungsu dan orang-orang istana. Terlebih lagi, dengan keberhasilan Bungo yang mendapatkan semua kepingan Teratai Abadi. Meskipun, kegembiraan mereka sedikit terusik dengan kematian si Kumbang Janti.Hanya saja, baik Antaguna maupun Bungo sendiri tak hendak membicarakan tentang keburukan yang pernah dilakukan si Kumbang Janti sehingga membuat Antaguna cacat wajahnya. Tidak pula oleh Sondang Tiur yang juga mengetahui alasan di balik hal tersebut.Sama seperti jawaban Antaguna kepada Mantiko Sati dan Puti Pandan Sahalai di Ngarai Sianok, begitu pula yang mereka sampaikan keduanya kepada Rajo Bungsu dan orang banyak ketika sang raja bertanya perihal perubahan di wajah si pria tinggi besar.Rajo Bungsu dan Ratu Nan Sabatang, juga Gadih Cimpago sangat bersuka cita ketika mereka mendengar bahwa Bungo dan dua orang yang menemaninya bertemu dengan

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Demi Kamu

    ‘Katakan padaku,’ Puti Bungo Satangkai menatap ke dalam mata Antaguna. ‘Kenapa kau merahasiakan tentang lukamu itu dariku?’“Bungo …” Antaguna menghela napas dalam-dalam. “Tidak ada gunanya diungkit-ungkit lagi. Aku sudah memberi tahu alasan di balik lukaku ini. Bahkan di depan abangmu, ingat?”‘Apakah kau pikir abangku dan aku sendiri begitu buta untuk tidak menyadari bahwa kau sengaja berbohong?’Sementara itu, Sondang Tiur sengaja menjauh dengan alasan mencari ikan untuk makan mereka di siang itu, di satu aliran sungai kecil yang jernih. Dia tahu dengan baik bahwa Bungo hanya ingin berbicara empat mata saja dengan Antaguna. Tentang, sesuatu yang bersifat sangat pribadi, mungkin, pikirnya.Antaguna mendesah halus dan menunduk.‘Hei!’ Bungo mendorong pelan bahu pria besar. ‘Katakan padaku! Kenapa?’Akan tetapi, sampai beberapa saat lamanya, Antaguna tak hendak memberi tahu alasan sesungguhnya kepada sang gadis.‘Hei, katakan padaku! Apakah kau masih menganggapku temanmu? Beri tahu ak

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Berpisah Bukan Bercerai

    Kicau burung liar terdengar cukup menenangkan pikiran. Ditambah dengan pekik hewan dan suara aliran air di sungai, semua itu menemani sekumpulan orang yang sedang berdiri di satu titik, di sisi timur aliran sungai, di tengah-tengah lembah Ngarai Sianok.Puti Bungo Satangkai berlutut dengan menggenggam sejumput bunga liar yang indah dan masih basah oleh embun. Lalu disusul pula oleh sang kakak, Mantiko Sati, yang berlutut di samping kirinya.Sementara yang lainnya berdiri hening dengan kepala tertunduk.Kakak beradik itu meletakkan bunga-bunga liar di satu titik di permukaan tanah, di antara batu-batu kerikil yang lebih mencolok dengan warna kehitam-hitaman di antara lainnya.Di titik itulah di mana Zuraya pernah tergeletak tak berdaya dan mati. Di titik itu pula Bungo dilahirkan dengan sangat terpaksa. Di titik yang sama pula Inyiak Mudo lantas membakar jasad Zuraya.Mantiko Sati tidak pernah bisa menemukan jasad Zuraya ketika malam jahanam itu terjadi. Dia tidak tahu bahwa di titik i

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Luka yang Terkuak

    Mantiko Sati lantas tersenyum lebar dengan gelengan kepalanya, membuat semua orang menjadi bertanya-tanya. Terutama, bagi Antaguna sendiri.“Uda?”“Wajahmu, Tarigan. Wajahmu.”Antaguna mulai merasakan sesuatu yang mungkin akan menyakitkan beberapa orang di antara mereka. Lagi, dia mereguk ludah sembari melirik Puti Bungo Satangkai dari sudut matanya, lalu tertunduk.“Terakhir kali kita bertemu,” kata Mantiko Sati. “Wajahmu masih terlihat gagah. Dan aku yakin, bekas luka di wajahmu itu adalah akibat dari terkena Cakar Kucing Emas, bukan?”Degh!Tidak Antaguna saja yang berdegup kencang jantungnya, tapi juga Bungo.Sang gadis yang dalam waktu belakangan ini cukup penasaran dengan kecacatan yang didapat Antaguna pada wajahnya memang ingin mengetahui cerita di balik itu semua. Hanya saja, semenjak kembali dari Pulau Telaga Tujuh, Antaguna sama sekali tidak mau menyinggung perihal bekas lukanya tersebut.“Uda, aku―”“Bisakah kau melepas bajumu, Tarigan?”Antaguna semakin menggigil. Bukan l

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Kebahagiaan

    Puti Pandan Sahalai tertawa halus seraya mengusap bahu Sondang Tiur.“Baiklah, baiklah,” ucapnya. “Tapi, jangan sampai terdengar oleh suamiku.”“Kenapa?”Kebingungan si gadis Batak juga menjadi kebingungan Antaguna yang tentu saja mendengar percakapan keduanya.“Sejauh yang aku tahu,” lanjut Sondang Tiur. “Seluruh masyarakat di Minanga ini mengetahui bahwa seorang Mantiko Sati adalah pria rupawan yang sangat sopan dan halus budi bahasa. Kurasa dia tidak akan keberatan.”Lagi, mantan Ratu Minanga itu tertawa halus dan sangat merdu. “Oh, Tiur … kau hanya belum tahu saja bagaimana dalamannya!”“Oops …” Sondang Tiur terkikik.Dan Antaguna hanya bisa tersenyum sembari membuang muka. Dasar perempuan, pikirnya.Dan kemudian si pria berbadan besar membantu Sondang Tiur dan Puti Pandan Sahalai untuk memanggang daging yang tersedia di atas nampan kayu lebar, mempersiapkan makan malam bagi mereka semua.Malam itu berlalu dengan banyak kegembiraan. Sekaligus, ini adalah makan malam paling membaha

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Pertemuan Tak Terduga

    Pria rupawan mengernyit. Dia berhenti tepat dua langkah di hadapan Antaguna.Sementara itu, Puti Bungo Satangkai pun akhirnya menghentikan serangannya sebab dihalangi oleh Antaguna yang berlutut di tengah-tengah di antara dia dan si pria rupawan.‘Apa yang kau lakukan?!’ Bungo menggerak-gerakkan tangannya.“Bungo, jangan teruskan!”“Tarigan!” Pria rupawan memandang si gadis bisu sebelum kembali pada Antaguna. “Apa maksud dari semua ini?”“Uda, kumohon!”“Berdirilah! Kau tahu aku benci seseorang yang berlutut di hadapan orang lainnya, bukan?”Antaguna mengangguk dan berdiri. Bungo menghampirinya dengan tatapan menuntut penjelasan lebih.“Siapa gadis ini, Tarigan?”“Uda …” Antaguna melirik pada Bungo dan mengangguk.Bungo mengernyit. ‘Apa artinya ini?’“Bungo,” ucap pria tinggi besar dan berotot dengan menggenggam tangan sang gadis. Lalu melirik pria rupawan yang juga memaksa sang gadis untuk menatap pria yang sama. “Dia, Uda Buyung. Abangmu, Bungo.”‘Kau bilang apa?’ Bungo membelalak.

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Bukan Orang Lain

    Pria kurus tiba-tiba terdiam dan membelalak. “K-Kau, kau …”‘Tunggulah di sini. Aku akan menghajar orang yang telah melukaimu!’Dan Puti Bungo Satangkai lantas menyerang si pria rupawan. Sementara pria bernama Fèng itu hanya bisa termangu sembari mengusap lelehan darah di sudut bibirnya dengan punggung tangannya.Fèng adalah pria yang sama yang pernah dijumpai oleh Bungo di satu hutan lebat, di seberang sungai di mana si Simpai Gilo tinggal. Pria yang nyaris sepenuhnya menjadi gila itu akhirnya merelakan kematian istrinya setelah bertemu dengan si gadis bisu tersebut.Alasan Bungo ingin melindunginya sebab si Simpai Gilo sendiri sepertinya telah mengawasi Fèng sebelum kematiannya. Atau lebih tepatnya, menjaga Fèng dan rutin memberikannya makanan.Inilah yang diyakini oleh sang gadis sehingga dia menyerang si pria rupawan tanpa tahu duduk permasalahan di antara keduanya terlebih dahulu.“Hei, Nona. Kau tidak harus―”Tapi ucapan si pria rupawan tidak didengar oleh Bungo. Sang gadis tela

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Pertarungan yang Aneh

    Pria rupawan berputar-putar cepat di udara. Di satu ketinggian, dia merentangkan tangan dan kakinya dengan tiba-tiba sehingga gerakan berputar tubuhnya terhenti. Lalu dia menukik ke arah si pria kurus dan pucat.Pria kurus mengibaskan pedangnya ke samping.Swiing!Dan seketika, bilah pedang merah seolah dibungkus oleh lidah api.“Apa pun jurusmu, aku sudah siap menahan itu!” ucapnya dengan sangat percaya diri.Pria rupawan tersenyum lagi. Selagi tubuhnya meluncur ke bawah, dia melenting ke belakang, berjumpalitan sekali, lalu menukik lagi dengan lebih cepat.Pada satu ketinggian yang ia rasa pas, pria rupawan lantas menghantamkan cakar tangan kanannya ke arah si pria pucat di bawah.“Terima seranganku, kawan, Auman Membuncah Samudra!”“Serang aku!” teriak si pria kurus pucat.Swoosh!Lagi-lagi gelombang angin yang dahsyat disertai kilat-kilat kecil kebiru-biruan menderu dari cakar si pria rupawan. Bahkan, suara bergaung yang menyertai serangan itu sendiri laksana auman seekor harimau

DMCA.com Protection Status