Catatan: Babega sendiri sulit diartikan dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi, kata ini dapat diartikan mengenai sesuatu yang perkasa/megah/kokoh/dsb.
“Kau benar!” sahut pria keenam yang menggunakan sepasang sabit. “Serang…!”Empat orang itu kembali menyerang si Kumbang Janti. Didahului oleh si pria keenam dengan sabit kembarnya, lalu di susul oleh pria kedua dengan melepaskan paku-paku beracunnya, dan kemudian oleh pria keempat dan kelima yang masing-maisng bersenjatakan sebuah keris dan sebuah pedang.Si Kumbang Janti bergeser ke kanan, lalu merunduk, tebasan sabit kembar dapat ia hindari, kemudian dia menjatuhkan tubuhnya, dan berguling menjauh demi menghindari paku-paku beracun.Slap! Slap!Paku-paku beracun menancap ke tanah, dan si Kumbang Janti tertahan oleh sebuah pohon. Dia dengan cepat melontarkan tubuhnya ke atas dengan menggenggam sesuatu.Stak!Serangan pedang dari pria kelima tidak mengenai sasaran dan justru tertancap dalam di batang pohon tersebut.Selagi di udara, si Kumbang Janti memutar tubuhnya sedemikian rupa. Serangan keris datang menghampirinya, namun dia telah lebih dahulu melemparkan sesuatu dalam genggamann
Dari kejauhan mereka sudah melihat asap yang membumbung, berasal dari bagian paling ujung tanjung yang menjorok ke tengah-tengah danau. Meskipun mereka belum dapat melihat rumah di bagian tersebut karena tertutup pepohonan, namun setidaknya, mereka mengetahui bahwa Datuak Sani sedang berada di kediamannya. Asap pembakaran itulah buktinya.Dalan terus memacu dua kuda penarik kereta, menyusuri sisi selatan Danau Maninjau ke arah barat. Sepertinya kawasan itu sudah semakin ramai, sangat berbeda dengan kondisi dua puluh tahun yang lalu, itu di saat terakhir Kadik Aruma pernah mengunjungi Datuak Sani.Menjelang tengah hari, kereta kuda yang dikendalikan oleh Dalan akhirnya tiba di sisi barat Danau Maninjau, di titik di mana daratan di tepian menyatu dengan bagian awal dari tanah memanjang ke arah tengah danau besar.Dalan mengernyitkan kening sebab jalan tanah yang dilalui oleh kuda-kudanya hampir-hampir tidak terlihat sama sekali.“Uni,” ujarnya tanpa berpaling, “apakah Uni yakin Datuak S
“Sani,” Kadik Aruma mendekati si pria tua. “Kami datang dengan sekalian membawakanmu oleh-oleh. Kau tahu, putrimu ini telah mengumpulkan banyak harta benda.”Datuak Sani menyeringai, mengisap lagi rokok daun nipahnya, dan berkata, “Apakah kau pikir aku seorang yang gila harta? Kupikir kau mengenaliku selama ini, ternyata sama saja!”“Eeh, ayolah, Sani, berilah hati padaku, pada putrimu.”Kadik Aruma kembali menghampiri Pandan Arum, menuntunnya mendekati Datuak Sani. Tapi cukup jelas bagi Datuak Sani bahwa putri kandungnya itu justru terkesan tidak suka padanya.Dia memandangi Pandan Arum dari ujung kaki ke ujung kepala, lalu tertawa nyaris tanpa suara. Yah, dia bisa memaklumi itu. Selama ini, hampir tidak pernah dia mengunjungi putrinya itu, jadi tentu saja Pandan Arum menaruh sikap demikian kepadanya.“Sani, lihatlah!” ujar Kadik Aruma. “Bukankah putrimu sangat cantik? Eeh, ngomong-ngomong,” dia mengedarkan pandangannya ke sekitar. “Di mana Arum?”Arum yang dimaksud oleh Kadik Aruma
“Apa kau pikir kau akan dapat mengalahkan laki-laki yang tersohor itu?”Pandan Arum lantas turun dari beranda depan, lalu mendekati Datuak Sani, dan duduk begitu saja di tanah, di samping kirinya.“Jangan menganggapku remeh, Ayah,” Pandan Arum tersenyum tipis, tapi itu menyiratkan selaksa kelicikan.Datuak Sani terkekeh-kekeh menanggapi seraya mengangguk-angguk.“Putrimu memang tidak lihai dalam bersilat, Sani,” sahut Kadik Aruma. “Tapi dia menguasai berbagai jenis racun.”Pria tua itu cukup terkejut mendengar hal tersebut dan tertawa-tawa nyaris tanpa suara.“Benar-benar pelanduk dua serupa.”“Kau!” lagi-lagi Pandan Arum langsung naik pitam sebab merasa ayah kandungnya itu sedang merendahkan ibu kandungnya.“Aku menyebut kiasan seperti itu bukan berarti aku merendahkan ataupun menghina ibumu,” Datuak Sani melirik ke kiri, menatap ke dalam mata putrinya, lalu tersenyum. “Apa kau tahu bahwa aku sesungguhnya sangat mencintai ibumu?”“Yeah!” Pandan Arum mendengus, membuang wajahnya ke sa
Karena harus memutar jauh ke arah selatan Ngarai Sianok sebelum menuju ke Danau Maninjau di arah barat, itulah sebabnya Antaguna membutuhkan waktu yang lebih lama, dan baru akan mencapai kawasan danau itu paling cepat keesokan pagi.Dia terus memacu kudanya selagi langit masih terang, hanya berhenti sekali dua saja, itu pun lantaran dia yang sudah tidak mampu menahan lapar, atau demi mengistirahatkan Sikumbang yang kelelahan berlari terus menerus.Sedangkan si Kumbang Janti yang menyamar dengan menggunakan pakaian biasa berwarna hitam-hitam telah sampai di pusat Bandar Ombilin, sisi timur Danau Singkarak. Dari sini, dia akan menumpang sebuah perahu besar untuk menuju ke arah utara, lalu berganti perahu dengan melintasi sungai lebar dan berarus.Setelah dia meninggalkan lokasi pelacuran yang telah rata dengan tanah di tengah-tengah hutan itu sebelumnya, si Kumbang Janti juga menyempatkan untuk mengubur lima jasad pesilat yang tewas di tangannya, dua orang justru tewas di tangan rekan m
Semakin lama Puti Bungo Satangkai bersemadi di dasar kolam, buih-buih halus bermunculan di sekeliling tubuhnya. Buih-buih yang dihasilkan oleh energi di dalam tubuhnya yang sedang berputar dengan cepat.Permukaan kolam yang tenang lama kelamaan beriak-riak kecil dengan buih-buih yang mencapai permukaan.Bersemadi menahan napas di dalam air bukanlah hal yang baru bagi sang gadis, semenjak kecil dia sudah terbiasa melakukan itu ketika berada di Pulau Sinaka di bawah gemblengan Inyiak Mudo. Yang tidak biasa adalah kondisi air yang tenang di sekitarnya sekarang itu yang perlahan-lahan bergejolak, lalu berputar dengan cepat, dan menjadikan sang gadis sebagai titik pusatnya.Semakin lama perputaran air semakin cepat, mempengaruhi seluruh air yang ada di dalam kolam, dengan buih dan gelembung-gelumbung yang bermunculan, lalu menyibak ke segala arah.Splash!Seluruh air di dalam kolam alami itu seperti dilontarkan oleh tenaga yang besar ke udara, lalu turun kembali ke bumi laksana hujan.Buru
Pagi ini, Puti Bungo Satangkai bangun dengan semangat yang baru, seolah-olah sesuatu membisikkan kepadanya bahwa dia akan mendapatkan kepingan ketiga yang dipegang oleh Datuak Sani.Apa pun alasan di balik itu semua, nyatanya, sang gadis terlihat begitu ceria, dia bahkan mengerahkan kemampuan meringankan tubuhnya hingga dia laksana angin yang berembus begitu cepat di atas kanopi hutan.Menjelang tengah hari, tanpa sekali pun beritirahat, Bungo akhirnya tiba di sisi timur Danau Maninjau.Dia menjejakkan kakinya dengan begitu ringan laksana seekor burung. Memandang ke sekitar dengan perasaan yang tenang. Pemandangan di sekitar Danau Maninjau mampu mengguratkan senyum keindahan di wajahnya.Lalu tatapannya tertuju ke arah tengah-tengah danau, pada sebidang tanah yang menjorok ke tengah-tengah danau tersebut, Tanjung Sani, tempat di mana tinggalnya si orang tua sakti pemegang kepingan ketika Teratai Abadi.Dari tempatnya berdiri sekarang itu, Bungo sudah dapat melihat asap membubung di de
“Sani,” Kadik Aruma lebih merapat kepada Datuak Sani. “Kurasa dia seorang dari istana.”Datuak Sani menyipitkan pandangannya, seolah memindai sang gadis dari kepala hingga ke kakinya.“Dan dia juga bisu.”Pria sepuh maju selangkah hingga jaraknya hanya terpaut tiga langkah saja dari Puti Bungo Satangkai.“Apakah aku mengenalmu, gadis manis?”Bungo tersenyum dan menggeleng.“Lalu, apa tujuanmu hendak bertemu denganku?”‘Maafkan saya sebelumnya,’ sang gadis membungkuk sedemikian rupa sebagai tanda menghormati Datuak Sani yang lebih tua dan dipercaya oleh raja terdahulu untuk menyimpan salah satu kepingan Teratai Abadi. ‘Saya datang atas perintah Rajo Bungsu.’“Atas perintah Rajo Bungsu, hah?” Datuak Sani terkekeh-kekeh, dan ternyata dia mampu memahami bahasa isyarat sang gadis.Pandan Arum sendiri sudah berada di ruang depan, mengintip orang-orang itu yang sedang berhadapan dengan seorang gadis yang jauh lebih cantik dan menarik daripada dirinya sendiri.Hal ini saja sudah membuat Panda