Puti Bungo Satangkai tersenyum dan mengangguk, ia mencoba untuk tidak menangis lagi meskipun ia tahu matanya sudah berkaca-kaca.Ia melepaskan pelukannya dari sang ratu, lalu melirik ke arah Gadih Cimpago. Wanita sakti itu menganggukkan kepalanya, ia paham dan mendengar itu meskipun dari jarak yang cukup jauh.Lalu tatapannya tertuju lagi pada sang ratu dan sang raja, dan Bungo sedikit membungkukkan badannya sebagai salam perpisahannya dengan mereka semua.“Pergilah, Bungo,” ujar Rajo Bungsu seraya meletakkan telapak tangan kanannya di kepala sang gadis. “Semoga para Dewa dan Dewi melindungimu.”Bungo menghela napas dalam-dalam, lalu meluruskan punggungnya. Sekali lagi, ia tersenyum dan mengangguk sebelum akhirnya memutar langkah, menuju ke sisi barat istana.Rajo Bungsu merangkul bahu sang permaisuri, menariknya ke dalam pelukannya.“Tidak bisa kubayangkan seperti apa kerinduannya…” sang ratu tidak dapat melanjutkan ucapannya sebab keharuan begitu besar melandanya.Rajo Bungsu mengec
“Baiklah,” ujarnya dengan membawa sebuah buku yang sudah lecek dan sebuah alat tulis. “Katakan, siapa namamu?”“Apa itu satu keharusan?”Si pria paruh baya terkekeh seraya mengusap-usap paha gadis yang bermanja kepadanya.“Dengar,” ujarnya. “Semua ini diperlukan untuk menghindari hal-hal yang akan merugikan tuan kami. Kau sepertinya orang yang baru pertama kali mengunjungi kami, jadi kau camkan itu baik-baik.”“Baiklah,” ujar si pria tinggi, “tidak masalah bagiku selama aku bisa bersenang-senang.”Pria paruh baya tertawa-tawa, ia mencubit gemas hidung sang gadis penghibur. “Dia pasti akan betah dan tinggal lebih lama di sini untuk menghambur-hamburkan uangnya.”Sang gadis terkikik, ia melirik pada si pria tinggi, lalu mengedipkan sebelah matanya.Si pria tinggi mendengus. “Tarigan,” ujarnya. “Namaku, Tarigan.”“Hmm,” pria paruh baya terkekeh-kekeh lagi, mungkin ia merasa lucu dengan nama tamunya yang aneh itu yang seolah tidak selaras dengan bentuk tubuhnya yang besar dan tinggi. “Bai
“Anda bisa melihat yang ada di lantai ini, bukan?” tanya si gadis pemandu.Yah, itu sudah sangat jelas, pikir Tarigan.“Di sini Anda bisa makan dan minum sembari menikmati layanan gadis-gadis kami, tapi tidak dengan menyetubuhi mereka.”“Baiklah,” Tarigan menghela napas dalam-dalam, dua tangannya berada di pinggang. “Lalu yang lainnya? Bagaimana dengan lantai di atas?”“Beberapa kamar istimewa yang tentu saja, jauh lebih mahal.”“Bisa kuperkirakan itu,” sahut Tarigan. “Selain daripada itu?”“Di lantai yang sama, Anda bisa—yaa, sesuatu yang lebih menyenangkan untuk Anda lakukan bila Anda bosan mencumbui para gadis di kamar Anda sendiri, bersama dengan tamu-tamu lainnya.”“Hmm, cukup menarik. Lalu?”“Lantai di atasnya terlarang untuk Anda kunjungi,” ujar sang gadis. “Hanya itu yang bisa aku katakan.”Itu berarti lantai tertinggi itu tempat tinggal si pemilik kawasan hiburan ini, pikir Tarigan. Dan itu juga berarti lebih berbahaya untuk didatangi sebab pasti akan ada orang-orang semacam
Tapi sepertinya keributan yang terjadi di salah satu meja itu tidak menjadi perhatian khusus bagi Pandan Arum. Ia dan dua pria yang mengawalnya tetap melangkah menuju lorong untuk keluar, dan itu satu-satunya jalan keluar-masuk bagian dalam kawasan tersebut.Tarigan masih memandangi Pandan Arum dan kedua pengawalnya itu hingga mereka menghilang ke dalam lorong.Sepertinya si pemilik hendak keluar untuk melakukan sesuatu, pikirnya.Kembali tatapannya tertuju pada empat pria yang saling baku hantam di depan sana. Dengan langkah santai, Tarigan mendekati keramaian itu, tujuannya bukan untuk ikut terlibat dalam perkelahian tersebut, melainkan untuk memesan makanan sebab ia sudah lapar.Di saat empat orang itu saling baku pukul, yang lainnya justru terlihat tenang-tenang saja. Mereka tetap makan dan minum dengan santai sembari ditemani gadis-gadis penghibur.Lalu muncul beberapa tukang pukul yang menjadi keamanan bagi tempat pelacuran tersebut. Barulah setelah itu kericuhan itu bisa direda
Puti Bungo Satangaki belum akan bertindak sebab ia ingin memastikan dugaannya lebih jauh. Bila sembarangan bertindak, mungkin saja ia akan mengganggu hukum adat atau hal-hal semacam itu—katakanlah, bila pasangan suami-istri itu ternyata telah berbuat salah.Di bawah sana, setelah pasangan muda itu diikatkan ke tiang dengan saling membelakangi. Dua pria tersebut menjauh dan berdiri sejajar dengan para pembawa enam suluh.Pria muda dan wanita muda yang sebelumnya berdiri di belakang si pria paruh baya lantas melangkah mendekati pasangan suami-istri yang masih meratap dan memohon dilepaskan itu.Sang wanita mendekati si suami, dan sang pria mendekati si istri. Lalu, tanpa ada sepatah kata pun, keduanya merobek-robek pakaian pasangan suami-istri tersebut.Tentu saja, hal ini semakin membuat pasangan suami-istri itu menjerit-jerit ketakutan. Mereka memohon lagi dan lagi. Tapi tangisan mereka tidak berarti apa-apa bagi muda-mudi tersebut hingga keduanya kini menjadi telanjang bulat.Kembali
Sebentar saja, sepuluh orang telah tergeletak menjadi mayat. Pasangan suami-istri itu mereguk ludah. Dan mereka semakin terperanjat sekaligus ketakutan ketika sesosok yang sangat cantik tiba-tiba telah berdiri di hadapan mereka, terpaut kurang dari selangkah.“M—Maafkan kami,” ucap si suami. “K—Kami tidak bersalah.”“B—Benar,” sahut si istri. “Kami hanya korban. Orang-orang ini yang salah.”Puti Bungo Satangkai dapat menebak itu. Bagaimanapun, di tengah-tengah masyarakat Minanga, berkembang satu ujar-ujar yang berbunyi, jika kau bertelanjang dan melakukan perbuatan asusila di tengah hutan, maka penunggu hutan akan mendatangimu.Dan itulah yang memang diyakini oleh pasangan suami-istri tersebut mengingat keadaan mereka yang sama telanjang.Saat Bungo menjulurkan tangannya, keduanya malah semakin ketakutan dan memohon-mohon. Tapi setelah mereka tahu bahwa Bungo hanya bermaksud melepaskan tali yang mengikat tubuh mereka, barulah mereka bisa lebih tenang.Dengan sedikit takut-takut, kedua
Menjelang tengah hari, Puti Bungo Satangkai tiba di satu kawasan berbukit-bukit yang sangat luas, juga dengan hutan rimbanya yang sangat lebat.‘Aah, sial! Seharusnya aku menempuh jalan umum,’ ia mendesah panjang lalu memerhatikan kondisi di sekitarnya.Tidak ada jalan besar yang ia temukan di sekitar itu selain jalan setapak yang bahkan terlihat sangat jarang dilalui orang-orang.Namun telinganya menangkap derap kaki kuda, dan itu sepertinya lebih dari satu. Bungo melirik ke arah kanan, sepertinya kuda-kuda itu datang dari arah timur. Lalu, ia memilih untuk bersembunyi saja di balik sebuah pohon besar.Tidak berapa lama, tiga penunggang kuda sudah terlihat dari arah kanan itu. Semakin mereka mendekati titik di mana Bungo bersembunyi, semakin jelas ketiga orang tersebut, yang di depan dan yang di samping kanan adalah pria, sedangkan yang di samping kiri adalah perempuan.Tidak ada yang mencurigakan dari ketiganya. Mereka mungkin penduduk setempat atau pejabat satu negeri yang hendak b
Puti Bungo Satangkai mengangguk. ‘Bisakah Anda memberi tahu saya, ke arah mana yang harus saya tuju?’Pria paruh baya tersenyum. Ia menunjuk ke arah kiri.“Kau ikuti saja labuah gadang di depan,” ujarnya. “Ke arah timur. Hei, kau memiliki kuda?”Sang gadis menggelengkan kepala. Ia memandang ke arah labuah—jalan—tanah yang tadi ia lewati untuk mendekati penginapan tersebut. Lalu memandang ke arah bayangan hitam tinggi di ujung barat sana.“Aah,” pria paruh baya mengangguk-angguk. “Kalau kau mengendarai kuda, aku rasa dalam empat sampai lima hari kau akan tiba di Ngarai Sianok setelah melewati Gunung Sago.”Aah, jadi itu nama gunung di sisi barat itu? Bungo mengangguk-angguk.“Setelah kau sampai di kawasan ngarai,” ujar si pria paruh baya. “Terus ikuti ngarai itu ke arah hulunya, nanti kau akan bertemu dengan nagari Bukit Apit.”Bungo menggerakkan empat jari tangan kanannya ke mulutnya.Pria paruh baya tertawa halus. “Sama-sama,” ujarnya. “Hemm, apa kau juga menginginkanku menyediakan m
Puti Bungo Satangkai duduk sembari memerhatikan Antaguna dengan dagunya bertopang pada telapak tangannya, dan sikunya bertopang pada lutut yang menekuk ke atas, di bagian depan sampan yang sedang meluncur ke arah barat.Sementara Antaguna, duduk di bagian ujung lain sampan, bagian belakang, sembari mendayung dan membawa sampan ke tengah-tengah laut.Pria besar dan berotot menjadi malu sendiri sebab selalu diperhatikan sang gadis, bahkan sembari tersenyum-senyum menatapnya.“Hei, ermm … apakah pulau itu masih jauh?” Antaguna membuang pandangan ke samping. Terlalu jengah diperhatikan seperti ini, pikirnya.Dan sang gadis hanya mengangguk saja sembari tetap tersenyum-senyum manja.“Kupikir tadinya kau bilang di seberang laut,” Antaguna mendesah panjang. “Ini bukan laut, tapi sebuah samudra, dasar gadis bodoh. Kau mengerjaiku!”Bungo terkikik dan menggeleng-geleng kecil yang semakin membuat Antaguna menjadi jengah dan bimbang. Bimbang sebab ingin saja pada saat itu dia menerkam sang gadis
Puti Bungo Satangkai, Antaguna, dan Sondang Tiur akhirnya tiba di Istana Minanga, di Batang Kuantan.Ketiganya disambut dengan cukup meriah oleh Rajo Bungsu dan orang-orang istana. Terlebih lagi, dengan keberhasilan Bungo yang mendapatkan semua kepingan Teratai Abadi. Meskipun, kegembiraan mereka sedikit terusik dengan kematian si Kumbang Janti.Hanya saja, baik Antaguna maupun Bungo sendiri tak hendak membicarakan tentang keburukan yang pernah dilakukan si Kumbang Janti sehingga membuat Antaguna cacat wajahnya. Tidak pula oleh Sondang Tiur yang juga mengetahui alasan di balik hal tersebut.Sama seperti jawaban Antaguna kepada Mantiko Sati dan Puti Pandan Sahalai di Ngarai Sianok, begitu pula yang mereka sampaikan keduanya kepada Rajo Bungsu dan orang banyak ketika sang raja bertanya perihal perubahan di wajah si pria tinggi besar.Rajo Bungsu dan Ratu Nan Sabatang, juga Gadih Cimpago sangat bersuka cita ketika mereka mendengar bahwa Bungo dan dua orang yang menemaninya bertemu dengan
‘Katakan padaku,’ Puti Bungo Satangkai menatap ke dalam mata Antaguna. ‘Kenapa kau merahasiakan tentang lukamu itu dariku?’“Bungo …” Antaguna menghela napas dalam-dalam. “Tidak ada gunanya diungkit-ungkit lagi. Aku sudah memberi tahu alasan di balik lukaku ini. Bahkan di depan abangmu, ingat?”‘Apakah kau pikir abangku dan aku sendiri begitu buta untuk tidak menyadari bahwa kau sengaja berbohong?’Sementara itu, Sondang Tiur sengaja menjauh dengan alasan mencari ikan untuk makan mereka di siang itu, di satu aliran sungai kecil yang jernih. Dia tahu dengan baik bahwa Bungo hanya ingin berbicara empat mata saja dengan Antaguna. Tentang, sesuatu yang bersifat sangat pribadi, mungkin, pikirnya.Antaguna mendesah halus dan menunduk.‘Hei!’ Bungo mendorong pelan bahu pria besar. ‘Katakan padaku! Kenapa?’Akan tetapi, sampai beberapa saat lamanya, Antaguna tak hendak memberi tahu alasan sesungguhnya kepada sang gadis.‘Hei, katakan padaku! Apakah kau masih menganggapku temanmu? Beri tahu ak
Kicau burung liar terdengar cukup menenangkan pikiran. Ditambah dengan pekik hewan dan suara aliran air di sungai, semua itu menemani sekumpulan orang yang sedang berdiri di satu titik, di sisi timur aliran sungai, di tengah-tengah lembah Ngarai Sianok.Puti Bungo Satangkai berlutut dengan menggenggam sejumput bunga liar yang indah dan masih basah oleh embun. Lalu disusul pula oleh sang kakak, Mantiko Sati, yang berlutut di samping kirinya.Sementara yang lainnya berdiri hening dengan kepala tertunduk.Kakak beradik itu meletakkan bunga-bunga liar di satu titik di permukaan tanah, di antara batu-batu kerikil yang lebih mencolok dengan warna kehitam-hitaman di antara lainnya.Di titik itulah di mana Zuraya pernah tergeletak tak berdaya dan mati. Di titik itu pula Bungo dilahirkan dengan sangat terpaksa. Di titik yang sama pula Inyiak Mudo lantas membakar jasad Zuraya.Mantiko Sati tidak pernah bisa menemukan jasad Zuraya ketika malam jahanam itu terjadi. Dia tidak tahu bahwa di titik i
Mantiko Sati lantas tersenyum lebar dengan gelengan kepalanya, membuat semua orang menjadi bertanya-tanya. Terutama, bagi Antaguna sendiri.“Uda?”“Wajahmu, Tarigan. Wajahmu.”Antaguna mulai merasakan sesuatu yang mungkin akan menyakitkan beberapa orang di antara mereka. Lagi, dia mereguk ludah sembari melirik Puti Bungo Satangkai dari sudut matanya, lalu tertunduk.“Terakhir kali kita bertemu,” kata Mantiko Sati. “Wajahmu masih terlihat gagah. Dan aku yakin, bekas luka di wajahmu itu adalah akibat dari terkena Cakar Kucing Emas, bukan?”Degh!Tidak Antaguna saja yang berdegup kencang jantungnya, tapi juga Bungo.Sang gadis yang dalam waktu belakangan ini cukup penasaran dengan kecacatan yang didapat Antaguna pada wajahnya memang ingin mengetahui cerita di balik itu semua. Hanya saja, semenjak kembali dari Pulau Telaga Tujuh, Antaguna sama sekali tidak mau menyinggung perihal bekas lukanya tersebut.“Uda, aku―”“Bisakah kau melepas bajumu, Tarigan?”Antaguna semakin menggigil. Bukan l
Puti Pandan Sahalai tertawa halus seraya mengusap bahu Sondang Tiur.“Baiklah, baiklah,” ucapnya. “Tapi, jangan sampai terdengar oleh suamiku.”“Kenapa?”Kebingungan si gadis Batak juga menjadi kebingungan Antaguna yang tentu saja mendengar percakapan keduanya.“Sejauh yang aku tahu,” lanjut Sondang Tiur. “Seluruh masyarakat di Minanga ini mengetahui bahwa seorang Mantiko Sati adalah pria rupawan yang sangat sopan dan halus budi bahasa. Kurasa dia tidak akan keberatan.”Lagi, mantan Ratu Minanga itu tertawa halus dan sangat merdu. “Oh, Tiur … kau hanya belum tahu saja bagaimana dalamannya!”“Oops …” Sondang Tiur terkikik.Dan Antaguna hanya bisa tersenyum sembari membuang muka. Dasar perempuan, pikirnya.Dan kemudian si pria berbadan besar membantu Sondang Tiur dan Puti Pandan Sahalai untuk memanggang daging yang tersedia di atas nampan kayu lebar, mempersiapkan makan malam bagi mereka semua.Malam itu berlalu dengan banyak kegembiraan. Sekaligus, ini adalah makan malam paling membaha
Pria rupawan mengernyit. Dia berhenti tepat dua langkah di hadapan Antaguna.Sementara itu, Puti Bungo Satangkai pun akhirnya menghentikan serangannya sebab dihalangi oleh Antaguna yang berlutut di tengah-tengah di antara dia dan si pria rupawan.‘Apa yang kau lakukan?!’ Bungo menggerak-gerakkan tangannya.“Bungo, jangan teruskan!”“Tarigan!” Pria rupawan memandang si gadis bisu sebelum kembali pada Antaguna. “Apa maksud dari semua ini?”“Uda, kumohon!”“Berdirilah! Kau tahu aku benci seseorang yang berlutut di hadapan orang lainnya, bukan?”Antaguna mengangguk dan berdiri. Bungo menghampirinya dengan tatapan menuntut penjelasan lebih.“Siapa gadis ini, Tarigan?”“Uda …” Antaguna melirik pada Bungo dan mengangguk.Bungo mengernyit. ‘Apa artinya ini?’“Bungo,” ucap pria tinggi besar dan berotot dengan menggenggam tangan sang gadis. Lalu melirik pria rupawan yang juga memaksa sang gadis untuk menatap pria yang sama. “Dia, Uda Buyung. Abangmu, Bungo.”‘Kau bilang apa?’ Bungo membelalak.
Pria kurus tiba-tiba terdiam dan membelalak. “K-Kau, kau …”‘Tunggulah di sini. Aku akan menghajar orang yang telah melukaimu!’Dan Puti Bungo Satangkai lantas menyerang si pria rupawan. Sementara pria bernama Fèng itu hanya bisa termangu sembari mengusap lelehan darah di sudut bibirnya dengan punggung tangannya.Fèng adalah pria yang sama yang pernah dijumpai oleh Bungo di satu hutan lebat, di seberang sungai di mana si Simpai Gilo tinggal. Pria yang nyaris sepenuhnya menjadi gila itu akhirnya merelakan kematian istrinya setelah bertemu dengan si gadis bisu tersebut.Alasan Bungo ingin melindunginya sebab si Simpai Gilo sendiri sepertinya telah mengawasi Fèng sebelum kematiannya. Atau lebih tepatnya, menjaga Fèng dan rutin memberikannya makanan.Inilah yang diyakini oleh sang gadis sehingga dia menyerang si pria rupawan tanpa tahu duduk permasalahan di antara keduanya terlebih dahulu.“Hei, Nona. Kau tidak harus―”Tapi ucapan si pria rupawan tidak didengar oleh Bungo. Sang gadis tela
Pria rupawan berputar-putar cepat di udara. Di satu ketinggian, dia merentangkan tangan dan kakinya dengan tiba-tiba sehingga gerakan berputar tubuhnya terhenti. Lalu dia menukik ke arah si pria kurus dan pucat.Pria kurus mengibaskan pedangnya ke samping.Swiing!Dan seketika, bilah pedang merah seolah dibungkus oleh lidah api.“Apa pun jurusmu, aku sudah siap menahan itu!” ucapnya dengan sangat percaya diri.Pria rupawan tersenyum lagi. Selagi tubuhnya meluncur ke bawah, dia melenting ke belakang, berjumpalitan sekali, lalu menukik lagi dengan lebih cepat.Pada satu ketinggian yang ia rasa pas, pria rupawan lantas menghantamkan cakar tangan kanannya ke arah si pria pucat di bawah.“Terima seranganku, kawan, Auman Membuncah Samudra!”“Serang aku!” teriak si pria kurus pucat.Swoosh!Lagi-lagi gelombang angin yang dahsyat disertai kilat-kilat kecil kebiru-biruan menderu dari cakar si pria rupawan. Bahkan, suara bergaung yang menyertai serangan itu sendiri laksana auman seekor harimau