Puti Bungo Satangkai mengangguk. ‘Bisakah Anda memberi tahu saya, ke arah mana yang harus saya tuju?’Pria paruh baya tersenyum. Ia menunjuk ke arah kiri.“Kau ikuti saja labuah gadang di depan,” ujarnya. “Ke arah timur. Hei, kau memiliki kuda?”Sang gadis menggelengkan kepala. Ia memandang ke arah labuah—jalan—tanah yang tadi ia lewati untuk mendekati penginapan tersebut. Lalu memandang ke arah bayangan hitam tinggi di ujung barat sana.“Aah,” pria paruh baya mengangguk-angguk. “Kalau kau mengendarai kuda, aku rasa dalam empat sampai lima hari kau akan tiba di Ngarai Sianok setelah melewati Gunung Sago.”Aah, jadi itu nama gunung di sisi barat itu? Bungo mengangguk-angguk.“Setelah kau sampai di kawasan ngarai,” ujar si pria paruh baya. “Terus ikuti ngarai itu ke arah hulunya, nanti kau akan bertemu dengan nagari Bukit Apit.”Bungo menggerakkan empat jari tangan kanannya ke mulutnya.Pria paruh baya tertawa halus. “Sama-sama,” ujarnya. “Hemm, apa kau juga menginginkanku menyediakan m
“Pasti sangat sulit bagimu,” ujar si pria paruh baya.Eeh? Puti Bungo Satangkai mengernyit memandang pada si pemilik penginapan.“Maksudku,” ia mencoba tersenyum. “Dengan kondisimu yang tidak bisa bicara.”Sang gadis mengangguk. Tentu saja, pikirnya. Tidak semua orang memahami bahasa isyarat.Lalu pria paruh baya itu mendesah berat dan panjang, tatapannya tertuju pada keramaian di depan sana.Bungo dapat menangkap kegelisahan pria baik hati tersebut. Namun ia tidak berani lancang untuk bertanya tentang itu kepada orangnya langsung.“Orang-orang itu,” ujar si pria paruh baya. “Padahal mereka tahu bahwa akhir-akhir ini banyak terjadi penculikan.”Tunggu dulu! Bungo langsung menatap ke arah yang sama. Benar! Pikirnya. Kondisi keramaian seperti itu justru mempermudah orang-orang jahat untuk melancarkan aksi mereka. Seperti penculikan para gadis, misalnya.“Tadinya,” kata si pemilik. “Aku mengajukan keberatan pada Tuan Laras—yah, agar tahun ini Pesta Panen tidak diadakan saja. Mungkin meng
Sang kusir terpelanting ke arah kanan, lalu terhempas dan terguling-guling hingga terhenti dua langkah di dekat dua ekor kuda yang akan digunakan istri dan muridnya.Sang istri dan sang murid terkesiap mendapati pria tersebut tergeletak di dekat mereka, bahkan tidak bergerak sama sekali.“Guru!” sang murid memeriksa kondisi si kusir sementara si wanita mengedarkan pandangannya ke sekliling. “Guru!”Tapi ia menjadi semakin terkejut sebab mendapati bagian kiri kepala dan wajah sang guru remuk, dan darah mengalir begitu banyak dari telinga, mulut, dan lubang hidungnya. Dia telah tewas.“Siapa?!” teriak si wanita. Ia langsung menghunus pedangnya.Begitu juga dengan sang murid yang langsung berdiri di samping sang guru wanita. Lalu ia berbisik, “Guru, Tuan Guru telah meninggal!”“Aku tahu!” ucap si wanita yang mengetahui itu hanya dengan melihat kondisi suaminya yang tergeletak tak bergerak sebelumnya itu. “Bagaimanapun, Tuan Gurumu bukanlah pesilat kelas rendahan.”Tentu saja, dengan demi
“Kau tidak akan bisa lari, gadis keparat!” teriak si guru wanita.Bersamaan itu, ia kembali mengayunkan jaring hitamnya yang bergulung itu menyerang Puti Bungo Satangkai.‘Benar!’ gumam Bungo di dalam hati. ‘Jurus wanita itu memang sama dengan Antaguna, juga jaringnya itu meski dengan warna berbeda. Tapi, gerakannya lebih kasar.’Bungo melontarkan tubuhnya ke belakang, jaring hitam menderu, lewat sejengkal di atas tubuhnya.“Mati kau!”Seolah hidup, ujung jaring yang menyatu meliuk ke atas, lalu menukik ke arah dada sang gadis.Bungo melemparkan tubuhnya ke samping kanan, berputar kencang laksana kitiran.Crass!Ujung jaring hitam menembus permukaan tanah dan mengepulkan asap tipis. Benar-benar seperti gerakan seekor naga yang sedang mematuk, pikir Bungo.“Guru!” teriak si murid pria yang langsung melesat menyerang sang gadis dengan jurus pedangnya yang unik itu.Seolah memahami apa yang dikehendaki oleh muridnya, si guru wanita memutar jaring hitamnya hingga jaring itu kembali melili
Membiarkan dua orang itu bergabung menyerangnya adalah hal yang akan menyulitkan saja, sebab ia tidak menggunakan satu senjata pun. Oleh sebab itulah, Puti Bungo Satangkai, begitu berhasil melontarkan pedang si guru wanita, ia langsung melesat dengan ajian Kabut Kahyangannya ke arah si murid pria.Begitu sosok sang gadis lenyap dari pandangan, si murid pria masih dapat merasakan datangnya angin serangan kepadanya, ia dengan cepat melintangkan pedangnya di depan dadanya, tangan kirinya menahan ujung pedangnya.Deung!Sret! Sret!Tendangan Bungo dapat ditangkis oleh si murid pria meskipun ia harus terpental dan terhempas ke tanah untuk kedua kalinya, terguling-guling, dan bangkit dengan menancapkan pedangnya ke tanah, itupun dia masih terseret hingga tiga langkah sebelum berhenti sepenuhnya.Ia tersedak dan memuntahkan darah lebih banyak. “Berengsek!” makinya sebab ia sadar tenaga dalamnya kalah jauh dibanding lawannya.Sesaat setelah Bungo melancarkan tendangan keras dan dapat ditangki
Bukan hanya si guru wanita saja yang terperangah sebab baru kali ini ada lawan yang mampu membuat Jaring Jerat Naganya terpental sedemikian rupa, murid prianya pun sama.Terlebih lagi, bagi si murid pria, sosok lawanya itu masihlah terlihat belia, seperti gadis 18 tahun saja, tidak mungkin dia memiliki kekuatan yang besar.Sayangnya, penilaiannya sangat salah. Puti Bungo Satangkai memang terlihat masih seperti gadis 18 tahun, namun usia sebenarnya sudah mencapai 30 tahun.Si pemilik penginapan juga demikian. Wajahnya semakin pucat, berkali-kali ia mereguk ludah.“N-Naga?” gumamnya. “M-Mana mungkin! I-Itu hanya takhayul!”Tapi matanya tidak menipu dirinya, si guru wanita dan muridnya itu juga melihat hal yang sama ketika Bungo melepaskan tenaga yang begitu besar dan melesat ke atas laksana seekor naga yang meliuk-liuk mendaki langit.Memanfaatkan keterkejutan orang-orang itu, Bungo yang masih berada di satu ketinggian menyeringai, bola matanya membersitkan lidah api kemerah-merahan.Ha
Meskipun sang rembulan telah sedikit tergelincir dari titik tertingginya, orang-orang Laras Sumpur justru masih terlihat ramai di luar rumah, bukan untuk menyaksikan kesenian daerah—sebab acara itu sendiri sudah berakhir sedari tadi—tapi mengerubungi balai adat.Tiga jasad penculik yang tewas mengenaskan di tangan Puti Bungo Satangkai dibawa serta, menjadi tontonan warga. Tentu saja, demi menghindari satu dan lain hal, oleh Tuan Laras, mayat-mayat itu ditutupi dengan kain terlebih dahulu.“Jadi,” ujar Tuan Laras seraya menghela napas dalam-dalam, “tidak seorang pun dari kita di sini yang mengenal ketiga penculik ini.”Bungo ada di antara para tetua kampung tersebut dna juga Kahar, ia duduk mengapit putri Kahar. Sebelumnya, dengan kesaktiannya, ia membantu menyadarkan lima gadis yang diculik dan dalam kondisi tak sadarkan diri. Ternyata kelimanya telah diminumkan semacam racun ringan yang hanya membuat mereka pingsan.Dan setelah itu, masing-masing dikembalikan pada orang tua mereka.“
Sekitar selusin pria masih berdiri, berjaga-jaga di dekat ketiga jasad penculik, menunggu perintah lainnya dari Tuan Laras.“Tuan Laras,” ujar seorang di antara mereka begitu Tuan Laras keluar dari balai adat bersama dengan yang lainnya. “Apa yang akan kita lakukan pada ketiga jasad ini?”Tuan Laras menghela napas dalam-dalam. “Butuh waktu lima hari pulang-pergi istana, itupun dengan kuda tercepat,” ujarnya. “Kurasa, tidak ada waktu selama itu untuk dapat membuat ketiga jasad ini tetap utuh tanpa mengalami pembusukan sampai para penyidik istana datang ke sini.”“Jadi, apakah Tuan Laras meminta kami untuk membakar jasad mereka?”Meskipun di zaman itu pembakaran mayat adalah hal yang lumrah, namun Puti Bungo Satangkai langsung maju dan menghadap Tuan Laras.“Kau ingin mengatakan sesuatu?” tanyanya pada sang gadis.Bungo mengangguk, Kahar yang sedang menggandeng putrinya lantas mendekati Bungo.“Menurutku,” ujar Kahar menerjemahkan bahasa isyarat Bungo. “Akan lebih baik dikubur saja dari
Puti Bungo Satangkai duduk sembari memerhatikan Antaguna dengan dagunya bertopang pada telapak tangannya, dan sikunya bertopang pada lutut yang menekuk ke atas, di bagian depan sampan yang sedang meluncur ke arah barat.Sementara Antaguna, duduk di bagian ujung lain sampan, bagian belakang, sembari mendayung dan membawa sampan ke tengah-tengah laut.Pria besar dan berotot menjadi malu sendiri sebab selalu diperhatikan sang gadis, bahkan sembari tersenyum-senyum menatapnya.“Hei, ermm … apakah pulau itu masih jauh?” Antaguna membuang pandangan ke samping. Terlalu jengah diperhatikan seperti ini, pikirnya.Dan sang gadis hanya mengangguk saja sembari tetap tersenyum-senyum manja.“Kupikir tadinya kau bilang di seberang laut,” Antaguna mendesah panjang. “Ini bukan laut, tapi sebuah samudra, dasar gadis bodoh. Kau mengerjaiku!”Bungo terkikik dan menggeleng-geleng kecil yang semakin membuat Antaguna menjadi jengah dan bimbang. Bimbang sebab ingin saja pada saat itu dia menerkam sang gadis
Puti Bungo Satangkai, Antaguna, dan Sondang Tiur akhirnya tiba di Istana Minanga, di Batang Kuantan.Ketiganya disambut dengan cukup meriah oleh Rajo Bungsu dan orang-orang istana. Terlebih lagi, dengan keberhasilan Bungo yang mendapatkan semua kepingan Teratai Abadi. Meskipun, kegembiraan mereka sedikit terusik dengan kematian si Kumbang Janti.Hanya saja, baik Antaguna maupun Bungo sendiri tak hendak membicarakan tentang keburukan yang pernah dilakukan si Kumbang Janti sehingga membuat Antaguna cacat wajahnya. Tidak pula oleh Sondang Tiur yang juga mengetahui alasan di balik hal tersebut.Sama seperti jawaban Antaguna kepada Mantiko Sati dan Puti Pandan Sahalai di Ngarai Sianok, begitu pula yang mereka sampaikan keduanya kepada Rajo Bungsu dan orang banyak ketika sang raja bertanya perihal perubahan di wajah si pria tinggi besar.Rajo Bungsu dan Ratu Nan Sabatang, juga Gadih Cimpago sangat bersuka cita ketika mereka mendengar bahwa Bungo dan dua orang yang menemaninya bertemu dengan
‘Katakan padaku,’ Puti Bungo Satangkai menatap ke dalam mata Antaguna. ‘Kenapa kau merahasiakan tentang lukamu itu dariku?’“Bungo …” Antaguna menghela napas dalam-dalam. “Tidak ada gunanya diungkit-ungkit lagi. Aku sudah memberi tahu alasan di balik lukaku ini. Bahkan di depan abangmu, ingat?”‘Apakah kau pikir abangku dan aku sendiri begitu buta untuk tidak menyadari bahwa kau sengaja berbohong?’Sementara itu, Sondang Tiur sengaja menjauh dengan alasan mencari ikan untuk makan mereka di siang itu, di satu aliran sungai kecil yang jernih. Dia tahu dengan baik bahwa Bungo hanya ingin berbicara empat mata saja dengan Antaguna. Tentang, sesuatu yang bersifat sangat pribadi, mungkin, pikirnya.Antaguna mendesah halus dan menunduk.‘Hei!’ Bungo mendorong pelan bahu pria besar. ‘Katakan padaku! Kenapa?’Akan tetapi, sampai beberapa saat lamanya, Antaguna tak hendak memberi tahu alasan sesungguhnya kepada sang gadis.‘Hei, katakan padaku! Apakah kau masih menganggapku temanmu? Beri tahu ak
Kicau burung liar terdengar cukup menenangkan pikiran. Ditambah dengan pekik hewan dan suara aliran air di sungai, semua itu menemani sekumpulan orang yang sedang berdiri di satu titik, di sisi timur aliran sungai, di tengah-tengah lembah Ngarai Sianok.Puti Bungo Satangkai berlutut dengan menggenggam sejumput bunga liar yang indah dan masih basah oleh embun. Lalu disusul pula oleh sang kakak, Mantiko Sati, yang berlutut di samping kirinya.Sementara yang lainnya berdiri hening dengan kepala tertunduk.Kakak beradik itu meletakkan bunga-bunga liar di satu titik di permukaan tanah, di antara batu-batu kerikil yang lebih mencolok dengan warna kehitam-hitaman di antara lainnya.Di titik itulah di mana Zuraya pernah tergeletak tak berdaya dan mati. Di titik itu pula Bungo dilahirkan dengan sangat terpaksa. Di titik yang sama pula Inyiak Mudo lantas membakar jasad Zuraya.Mantiko Sati tidak pernah bisa menemukan jasad Zuraya ketika malam jahanam itu terjadi. Dia tidak tahu bahwa di titik i
Mantiko Sati lantas tersenyum lebar dengan gelengan kepalanya, membuat semua orang menjadi bertanya-tanya. Terutama, bagi Antaguna sendiri.“Uda?”“Wajahmu, Tarigan. Wajahmu.”Antaguna mulai merasakan sesuatu yang mungkin akan menyakitkan beberapa orang di antara mereka. Lagi, dia mereguk ludah sembari melirik Puti Bungo Satangkai dari sudut matanya, lalu tertunduk.“Terakhir kali kita bertemu,” kata Mantiko Sati. “Wajahmu masih terlihat gagah. Dan aku yakin, bekas luka di wajahmu itu adalah akibat dari terkena Cakar Kucing Emas, bukan?”Degh!Tidak Antaguna saja yang berdegup kencang jantungnya, tapi juga Bungo.Sang gadis yang dalam waktu belakangan ini cukup penasaran dengan kecacatan yang didapat Antaguna pada wajahnya memang ingin mengetahui cerita di balik itu semua. Hanya saja, semenjak kembali dari Pulau Telaga Tujuh, Antaguna sama sekali tidak mau menyinggung perihal bekas lukanya tersebut.“Uda, aku―”“Bisakah kau melepas bajumu, Tarigan?”Antaguna semakin menggigil. Bukan l
Puti Pandan Sahalai tertawa halus seraya mengusap bahu Sondang Tiur.“Baiklah, baiklah,” ucapnya. “Tapi, jangan sampai terdengar oleh suamiku.”“Kenapa?”Kebingungan si gadis Batak juga menjadi kebingungan Antaguna yang tentu saja mendengar percakapan keduanya.“Sejauh yang aku tahu,” lanjut Sondang Tiur. “Seluruh masyarakat di Minanga ini mengetahui bahwa seorang Mantiko Sati adalah pria rupawan yang sangat sopan dan halus budi bahasa. Kurasa dia tidak akan keberatan.”Lagi, mantan Ratu Minanga itu tertawa halus dan sangat merdu. “Oh, Tiur … kau hanya belum tahu saja bagaimana dalamannya!”“Oops …” Sondang Tiur terkikik.Dan Antaguna hanya bisa tersenyum sembari membuang muka. Dasar perempuan, pikirnya.Dan kemudian si pria berbadan besar membantu Sondang Tiur dan Puti Pandan Sahalai untuk memanggang daging yang tersedia di atas nampan kayu lebar, mempersiapkan makan malam bagi mereka semua.Malam itu berlalu dengan banyak kegembiraan. Sekaligus, ini adalah makan malam paling membaha
Pria rupawan mengernyit. Dia berhenti tepat dua langkah di hadapan Antaguna.Sementara itu, Puti Bungo Satangkai pun akhirnya menghentikan serangannya sebab dihalangi oleh Antaguna yang berlutut di tengah-tengah di antara dia dan si pria rupawan.‘Apa yang kau lakukan?!’ Bungo menggerak-gerakkan tangannya.“Bungo, jangan teruskan!”“Tarigan!” Pria rupawan memandang si gadis bisu sebelum kembali pada Antaguna. “Apa maksud dari semua ini?”“Uda, kumohon!”“Berdirilah! Kau tahu aku benci seseorang yang berlutut di hadapan orang lainnya, bukan?”Antaguna mengangguk dan berdiri. Bungo menghampirinya dengan tatapan menuntut penjelasan lebih.“Siapa gadis ini, Tarigan?”“Uda …” Antaguna melirik pada Bungo dan mengangguk.Bungo mengernyit. ‘Apa artinya ini?’“Bungo,” ucap pria tinggi besar dan berotot dengan menggenggam tangan sang gadis. Lalu melirik pria rupawan yang juga memaksa sang gadis untuk menatap pria yang sama. “Dia, Uda Buyung. Abangmu, Bungo.”‘Kau bilang apa?’ Bungo membelalak.
Pria kurus tiba-tiba terdiam dan membelalak. “K-Kau, kau …”‘Tunggulah di sini. Aku akan menghajar orang yang telah melukaimu!’Dan Puti Bungo Satangkai lantas menyerang si pria rupawan. Sementara pria bernama Fèng itu hanya bisa termangu sembari mengusap lelehan darah di sudut bibirnya dengan punggung tangannya.Fèng adalah pria yang sama yang pernah dijumpai oleh Bungo di satu hutan lebat, di seberang sungai di mana si Simpai Gilo tinggal. Pria yang nyaris sepenuhnya menjadi gila itu akhirnya merelakan kematian istrinya setelah bertemu dengan si gadis bisu tersebut.Alasan Bungo ingin melindunginya sebab si Simpai Gilo sendiri sepertinya telah mengawasi Fèng sebelum kematiannya. Atau lebih tepatnya, menjaga Fèng dan rutin memberikannya makanan.Inilah yang diyakini oleh sang gadis sehingga dia menyerang si pria rupawan tanpa tahu duduk permasalahan di antara keduanya terlebih dahulu.“Hei, Nona. Kau tidak harus―”Tapi ucapan si pria rupawan tidak didengar oleh Bungo. Sang gadis tela
Pria rupawan berputar-putar cepat di udara. Di satu ketinggian, dia merentangkan tangan dan kakinya dengan tiba-tiba sehingga gerakan berputar tubuhnya terhenti. Lalu dia menukik ke arah si pria kurus dan pucat.Pria kurus mengibaskan pedangnya ke samping.Swiing!Dan seketika, bilah pedang merah seolah dibungkus oleh lidah api.“Apa pun jurusmu, aku sudah siap menahan itu!” ucapnya dengan sangat percaya diri.Pria rupawan tersenyum lagi. Selagi tubuhnya meluncur ke bawah, dia melenting ke belakang, berjumpalitan sekali, lalu menukik lagi dengan lebih cepat.Pada satu ketinggian yang ia rasa pas, pria rupawan lantas menghantamkan cakar tangan kanannya ke arah si pria pucat di bawah.“Terima seranganku, kawan, Auman Membuncah Samudra!”“Serang aku!” teriak si pria kurus pucat.Swoosh!Lagi-lagi gelombang angin yang dahsyat disertai kilat-kilat kecil kebiru-biruan menderu dari cakar si pria rupawan. Bahkan, suara bergaung yang menyertai serangan itu sendiri laksana auman seekor harimau