Sekitar selusin pria masih berdiri, berjaga-jaga di dekat ketiga jasad penculik, menunggu perintah lainnya dari Tuan Laras.“Tuan Laras,” ujar seorang di antara mereka begitu Tuan Laras keluar dari balai adat bersama dengan yang lainnya. “Apa yang akan kita lakukan pada ketiga jasad ini?”Tuan Laras menghela napas dalam-dalam. “Butuh waktu lima hari pulang-pergi istana, itupun dengan kuda tercepat,” ujarnya. “Kurasa, tidak ada waktu selama itu untuk dapat membuat ketiga jasad ini tetap utuh tanpa mengalami pembusukan sampai para penyidik istana datang ke sini.”“Jadi, apakah Tuan Laras meminta kami untuk membakar jasad mereka?”Meskipun di zaman itu pembakaran mayat adalah hal yang lumrah, namun Puti Bungo Satangkai langsung maju dan menghadap Tuan Laras.“Kau ingin mengatakan sesuatu?” tanyanya pada sang gadis.Bungo mengangguk, Kahar yang sedang menggandeng putrinya lantas mendekati Bungo.“Menurutku,” ujar Kahar menerjemahkan bahasa isyarat Bungo. “Akan lebih baik dikubur saja dari
Tidak menunggu lama, semua orang di dalam lorong dan ruang tahanan itu mulai merasakan kantuk yang luar biasa, kantuk yang tidak dapat mereka tahan yang dalam waktu bersamaan membuat kaki dan tubuh mereka menjadi lemas.Lalu mereka semua tertidur di posisi masing-masing.Si Balam Putiah menggunakan sebuah sapu tangan lebar, lalu menutup mulut dan hidungnya, dan kemudian memasuki lorong tersebut. Ia langsung menuju ke ruang tahanan kelima dari sisi kiri.Ia memandangi Kadik Aruma yang terlihat kurus hingga tulang-tulang rusuknya membayang di permukaan kulitnya.“Siapa menduga, hah?” gumam si Balam Putiah. “Ternyata kau adalah ayah dari Pandan Arum.”Ia mengeluarkan sebuah kunci dari balik pinggangnya, dan menggunakan kunci itu untuk membuka pintu tahanan.Si Balam Putiah langsung mengangkat dan membopong Kadik Aruma yang terasa sangat ringan baginya. Lagi pula, ia tak hendak berlama-lama di dalam penjara bawah tanah tersebut. Bukan lantaran khawatir terhadap orang-orang yang telah tert
Sebuah perahu besar dengan beberapa orang di atasnya sedang menunggu kedatangan Dalan dengan kereta kudanya. Dan begitu kereta kuda itu sudah terlihat, empat orang langsung melompat dengan ringan ke tepian sungai, meninggalkan dua orang saja di atas perahu panjang itu.Dalan menghentikan kereta kudanya. Dua pria yang telah berada di atas keretanya itu sebelumnya langsung melakukan persiapan untuk mengeluarkan Kadik Aruma yang masih dalam kondisi tak sadarkan diri.Empat pria yang melompat tadi menghampiri bagian belakang kereta. Dengan enam orang yang menggotong tubuh Kadik Aruma, ditambah dengan kemampuan meringankan tubuh mereka yang lumayan, sekali lompat saja, mereka telah berada di perahu besar dan panjang itu.“Hei,” panggil pria yang tadi kepada Dalan dari atas perahu. “Kau butuh teman untuk menyembunyikan kereta kudamu itu?”Dalan menyeringai. “Kecuali aku seorang anak kecil yang penakut, berengsek!”Si pria dan yang lainnya tertawa mendengar umpatan Dalan.“Baiklah,” ujarnya.
Untuk menghindari kecurigaan pengawasan para tukang pukul yang berjaga-jaga di jembatan kayu, juga di beberapa titik di kawasan itu, Tarigan lantas membawa dua gadis penghibur berpakaian minim dan sangat terbuka ke kamarnya.Tapi sebelum itu, ia harus membayar kedua gadis tersebut kepada seorang muncikari yang berada di balik meja panjang, meja yang menyedikan berbagai minuman memabukkan.Setelah itu, barulah ia bisa membawa kedua gadis ke kamarnya.Begitu berada di dalam kamarnya, dan ketika gadis-gadis tersebut hendak melepaskan pakaian mereka, Tarigan yang baru saja menutup pintu kamarnya lantas menotok pangkal leher mereka.Keduanya langsung lemas dan pingsan, Tarigan dengan cepat menahan tubuh mereka agar tidak bergedebukkan ke lantai. Ringan saja baginya yang bertubuh besar dan jangkung untuk mengangkat dua gadis sekaligus.Gadis-gadis itu dibaringankan dengan baik oleh Tarigan di atas dipan bambu yang memiliki satu lapisan kasur saja.Ia tersenyum memandangi wajah-wajah ayu ter
“Nama anak itu, Bardan,” ujar Pandan Arum. “Namun aku memintanya menggunakan nama samaran.”“Nama samaran?”“Ya,” Pandan Arum mengangguk. “Lorana.”“Tunggu dulu!” Kadik Aruma membelalak.Pandan Arum tersenyum lebar. “Kurasa Ayah pasti sudah dapat menebak, bukan?”“Aku memang belum bertemu langsung dengannya,” ujar Kadik Aruma. “Akan tetapi, saat di dalam penjara bawah tanah itu, aku memang mendengar bahwa salah seorang dari Tujuh Hulubalang Kerajaan bernama Lorana, dan dia bergelar—”“Si Balam Putiah!”Tarigan menyeringai halus di atas atap. ‘Sesuai dugaanku,’ pikirnya. ‘Kecurigaanku pada si Datuk Hulubalang itu memang sangat beralasan. Dasar sampah!’“Waah!” Kadik Aruma terkekeh-kekeh, mengangguk-angguk sembari mengusap-usap punggung putrinya tersebut. “Sungguh, kau bahkan lebih cerdik dariku, Putriku.”Pandan Arum tersenyum senang. “Ayah terlalu memujiku. Aku hanya melakukan apa yang harus aku lakukan.”“Aku tahu, aku tahu,” ujarnya. “Jadi, dialah yang mengeluarkanku dengan mengguna
“Ayah,” Pandan Arum mencoba menahan perasaannya. “Jangan bercanda! Jangan mengatakan hal yang aneh-aneh.”“Oh, Arum,” Kadik Aruma mendesah panjang dan berat. “Tapi ini adalah kenyataannya, Nak.”“Apakah selama di dalam penjara Ayah mengalami gegar otak, hah?!”Bahkan perempuan itu sampai terlonjak dari duduknya, ia berdiri dengan tatapan yang begitu tajam pada sang ayah, dan harus menahan amarah besar yang meledak di dalam dirinya yang diwakili oleh napasnya yang terengah-engah.”“Arum, dengarkan Ayah, Nak—”“Mereka pasti telah menyiksa Ayah dengan sangat buruk!” sahut Pandan Arum. “Jawab aku! Benar, kan?!”“Arum,” Kadik Aruma berdiri, menyentuh kedua bahu putrinya, menariknya ke dalam pelukannya. “Duduklah, mari bercakap dengan lebih tenang.”Meskipun pikiran Pandan Arum sangat terganggu dengan kenyataan yang disampaikan oleh ayahnya itu, namun tak urung dia juga ingin mendengarkan penjelasan yang lebih baik atas apa yang telah disampaikan sang ayah.“Dengar, Nak,” ujar Kadik Aruma s
“Ayah senang mendengar itu,” Kadik Aruma membelai lagi pipi putri tirinya tersebut. “Sedari kau kecil, Ayah yakin bahwa kau akan menjadi gadis yang cerdas. Di usiamu yang remaja, kau bahkan mampu mengelola tempat pelacuran yang dibangun oleh ibumu.”Di tempat persembunyiannya Tarigan menyeringai. ‘Mengapa aku justru tidak merasa kasihan atas nasib yang menimpa ibu si Pandan Arum? Atau pada si Pandan Arum itu sendiri?’Orang-orang busuk dengan nasib yang sama busuknya. Yeah, mereka pantas mendapatkan itu. Lagi pula, orang-orang bijak berkata, “Air cucuran atap, jatuhnya ke pelimbahan jua!”Sayangnya, tidak semua hal yang disampaikan oleh Kadik Aruma kepada Pandan Arum. Dan itu terkait dengan sifat asli Datuak Sani itu sendiri.Suatu hari, ketika Pandan Arum masih remaja, Kadik Aruma pernah mengunjungi kawasan Tanjung Bunga—yang kini bernama Tanjung Sani—di Danau Maninjau.Saat itu, karena ada satu urusan perdagangan yang akan ia lakukan sehingga membuat ia harus melewati sisi barat Dan
“Aku sudah mengirimkan banyak orang ke berbagai wilayah di Andalas ini,” ujar Pandan Arum. “Tapi sampai sekarang, belum ada satu pun jejak di mana keberadaan pria itu kami temukan. Menyebalkan!”‘Mantiko Sati, hah?’ Tarigan tersenyum hambar di persembunyiannya. ‘Aku pernah bertemu sekali dengan pemuda tampan dan sakti itu. Karena satu dan lain hal, dia melepaskanku.’“Kudengar,” kata Kadik Aruma, “setelah menikahi Ratu Mudo, mereka tinggal di lembah Ngarai Sianok.”“Tidak Ayah,” ucap Pandan Arum. “Aku juga mendengar kabar burung tentang ini. Dan percayalah, sampai sekarang pun, aku masih memiliki mata-mata di sepanjang Ngarai Sianok. Tapi itu tadi, dia dan istri terkutuknya itu hilang seperti ditelan bumi!”‘Istri terkutuk kau bilang?’ Tarigan nyaris saja tertawa di persembunyiannya. ‘Kau hanya iri Pandan Arum sebab Ratu Mudo jauh lebih cantik dan lebih muda darimu!’“Jadi,” Kadik Aruma tertawa seraya mengusap-usap punggung putri tirinya. “Sampai sekarang kau belum mau bersuami karena