Tarigan menghentikan langkahnya, ia menyeringai halus, lalu berbalik menanggapi panggilan dari Pandan Arum.“Ya?” ujarnya dengan santai. “Anda butuh sesuatu, Nona?”Dua pengawal itu sepertinya tidak begitu suka dengan sikap yang ditunjukkan oleh Tarigan, Pandan Arum menghentikan keduanya dengan menahan dada mereka.Tarigan tersenyum tipis. Meskipun kedua pengawal itu berbadan besar dan berotot sebagaimana dengan dirinya, namun dia lebih tinggi dari mereka. Jadi, Tarigan tidak merasa risih sedikit pun dengan gertakan keduanya.Pandan Arum menyeringai, mendekati Tarigan dengan tatapan yang menelisik dari kepala hingga ke kaki.“Hmm, sepertinya aku mengenalmu,” Pandan Arum bahkan sampai mengelilingi Tarigan yang berdiri diam.“Aku meragukan itu,” sanggahnya. “Aah, saat kemarin aku baru menempati kamar ini, aku berpapasan denganmu. Jadi, kurasa mungkin karena hal ini Anda—”“Tidak,” Pandan Arum tersenyum dengan tatapan tajam kepada Tarigan, ia berhenti lagi selangkah di hadapannya. “Aku m
Di halaman depan dari tempat hiburan tersebut, Antaguna dihampiri oleh seorang kacung yang membawakan kuda hitamnya dari halaman di bagian barat.“Hei!” ia melemparkan sekeping koin perak pada si kacung.“Terima kasih, Tuan,” ujar si kacung dengan mata berbinar-binar dan senyum kebahagiaan. Mungkin itu adalah persenan terbesar yang pernah ia terima selama bekerja di tempat hiburan tersebut. “Terima kasih.”Antaguna tersenyum, lantas melompat ringan menaiki kudanya. “Ayo, Kumbang, kita tinggalkan tempat ini!”Kuda hitam bernama Sikumbang itu meringkik halus sebelum akhirnya berlalu dari halaman depan tersebut.Seorang penjaga memerhatikan Antaguna alias Tarigan sedari tadi, setelah pria tinggi besar itu pergi, barulah dia kembali masuk ke dalam kawasan hiburan. Seterusnya, dia menuju ke satu bangunan.“Masuklah!” ujar seorang pengawal berbadan besar dari balik pintu.“Uni,” ucap penjaga itu pada Pandan Arum yang sedang duduk di satu kursi mewah. “Pria tinggi besar itu telah meninggalka
Puti Bungo Satangkai telah cukup jauh meninggalkan kawasan Laras Sumpur, namun ia merasa belum lelah sama sekali, ia tetap melangkahkan kakinya, dan sampailah ia di satu persimpangan jalan.Cabang di kiri yang mengarah ke selatan, dan cabang di kanan yang akan membawanya ke arah barat laut, di ujung sana, Gunung Sago telah semakin terlihat jelas.Tentu saja, tujuannya adalah Gunung Sago. Dari sana nanti, bila ia terus mengarah ke barat, sebagaimana keterangan yang ia peroleh dari Kahar si pemilik penginapan itu, maka ia akan tiba di kawasan Ngarai Sianok.Sang gadis tersenyum menahan tawanya sebab ia mengingat lagi ucapan Kahar yang mengatakan ia akan sampai dalam tiga atau empat hari perjalanan menggunakan kuda.Tapi itu tidak masalah, pikirnya. Ia melirik ke kanan dan ke kiri, sepi, tidak seorang pun yang terlihat, tapi mungkin juga rumpun belukar yang tebal dan tinggi menghalangi pandangan.Lalu…Swoosh!Sekali ia bergerak, sosoknya sudah menghilang dari pandangan. Hanya gerak reru
Baru saja Puti Bungo Satangkai berpikir seperti itu, sesuatu melesat ke arahnya dengan begitu cepat, dan hal itu memaksa dia untuk keluar dari persembunyiannya dengan melompat turun, berjumpalitan beberapa kali sebelum menjejak tanah.Pria sepuh yang duduk membelakangi sungai itu terkekeh, sementara pria paruh baya yang tadi menjerit-jerit menjadi terkejut ketika dia melihat gadis itu muncul beberapa langkah di samping kirinya.“Kau!” ia menggeram kencang, menunjuk Bungo dengan tangan kirinya. “Guru!” teriaknya pada pria sepuh yang masih mengobati luka di tangan kanannya yang buntung. “Dia! Dialah yang telah memutus tanganku!”Sang gadis menyeringai memandangi si pria buntung, tatapan membunuhnya begitu kuat terhadap pria yang tidak menghargai nyawa manusia itu dengan baik.Lalu tatapannya tertuju pada pria sepuh yang ia yakin bahwa pria sepuh itulah yang barusan melemparkan ranting kecil laksana panah kepadanya saat di atas pohon barusan.“Katakan,” ujar pria sepuh tanpa memindahkan
Swing!Zlept!Pria paruh baya terdiam dengan mata membelalak lebar. Keris Narako menancap di keningnya, dan dengan sekejap, wajahnya seperti hangus terbakar, begitu juga dengan rambut hingga ke bagian belakang kepalanya.Tidak hanya sampai di situ, keadaan hangus terbakar itu terus menjalar ke seluruh tubuhnya hingga ke ujung kaki. Dan si pria paruh baya telah tewas semenjak Keris Narako menembus batok kepalanya.Puti Bungo Satangkai sungguh bergidik menyaksikan kematian si pria buntung tersebut. Itu pasti bukan kematian yang menyenangkan untuk dialami sendiri, pikirnya.Pria sepuh tetap berada di titik ia duduk, tidak bergeser sedikit pun. Hanya saja, tatapannya terlihat begitu sendu terhadap jasad muridnya yang menghitam seperti batu lahar di kawah gunung berapi, bahkan mengepulkan asap tipis.Bungo menghela napas dalam-dalam sebelum pandangannya beralih dari jasad menghitam itu kepada si pria sepuh di depan sana.‘Kenapa Anda membunuh murid Anda sendiri?’ tanyanya dengan gerakan is
“Kau tidak datang ke wilayah ini hanya sekadar mengejar murid durhakaku itu, bukan?”Puti Bungo Satangkai mengernyit memandangi pria sepuh di samping kirinya itu. Tidak bisa tidak, pikirnya. Orang tua yang satu ini benar-benar sakti.“Apakah kau benar-benar hendak menuntut dosa muridku itu?” tanya si pria sepuh. “Kau tahu, ada ujar-ujar tua yang mengatakan, murid adalah anak, dan guru adalah orang tua. Dosa murid adalah dosa guru pula.”‘Tidak,’ Bungo menggelengkan kepalanya. ‘Aku tidak berani lancang seperti itu kepada Anda, Tetua. Lagi pula, Anda sendiri sudah turun tangan memberikan hukuman pada murid Anda itu. Aku tidak punya hak lebih daripada itu.’Pria sepuh tertawa halus seraya mengangguk-anggukkan kepalanya. “Lalu apa?” tanyanya lagi. “Kulihat, pakaianmu sangat berbeda. Jika mata tuaku ini tidak salah menilai, pakaianmu itu pasti dari kain benang suto, bukan? Dan itu artinya, kau berasal dari istana.”Bungo tersenyum, lagi-lagi hal ini mendatangkan kekagumannya terhadap si p
Si Simpai Gilo melirik pada gadis di belakangnya itu, ia menggerakkan sedikit kepalanya, isyarat untuk meminta gadis itu mendekatinya.Pada akhirnya, Puti Bungo Satangkai menuruti permintaan si pria sepuh. Lagi pula, seperti sebelumnya, dia tidak merasakan adanya hawa membunuh atau sesuatu yang jahat dari si orang tua.Dan seperti tadi pula, Bungo berdiri di samping kanan si Simpai Gilo, terpaut satu langkah saja.“Dengan kehadiranmu di gubukku ini,” ujar si Simpai Gilo. “Aku merasakan satu hal tentang Teratai Abadi, sebuah firasat, mungkin.”Bungo melirik si pria tua, lalu tatapannya tertuju ke seberang sungai, pada hutan lebat yang juga sedang diperhatikan oleh si Simpai Gilo.“Entahlah,” ujar si pria sepuh kemudian, ia mendesah berat dan panjang. Satu tangannya masih memuar-mutar sedemikian rupa kepingan Teratai Abadi sementara tangan lainnya masih berada di belakang pinggangnya. “Kupikir, mungkin sudah saatnya ketujuh kelopak Teratai Abadi disatukan.”‘Rajo Bungsu juga mengatakan
“Siapa?!” tanya si Simpai Gilo dengan lantang, bahkan tatapannya membersitkan aura mengerikan. “Siapa yang membunuh mereka? Katakan padaku?!”Puti Bungo Satangkai menyadari perubahan seketika pada sikap pria sepuh tersebut, ia dengan serta merta mengambil jarak beberapa langkah ke belakang sembari menggerak-gerakkan tangannya sedemikian rupa.‘Tidak, Tetua. Inyiak Mudo dan Inyiak Gadih wafat setelah mereka saling bertarung dan kehabisan tenaga.’Simpai Gilo berteriak sembari mengangkat dua tangannya lebar-lebar, kilatan di bola matanya laksana petir yang menyambar-nyambar. Pusaran angin muncul begitu saja di sekitar ia berpijak yang membuat debu, pasir, dan daun-daun kering berterbangan.“Kau berbohong!”Bungo menggeleng. ‘Saya tidak berani, Tetua!’ ia langsung berlutut dan merendahkan kepalanya.“Kemari kau!”Simpai Gilo mengentakkan satu tangannya ke depan, seperti mencakar angin, dan saat itu juga Bungo merasakan tubuhnya tertarik dengan kuat.Sang gadis terperangah dan mencoba mel
Puti Bungo Satangkai duduk sembari memerhatikan Antaguna dengan dagunya bertopang pada telapak tangannya, dan sikunya bertopang pada lutut yang menekuk ke atas, di bagian depan sampan yang sedang meluncur ke arah barat.Sementara Antaguna, duduk di bagian ujung lain sampan, bagian belakang, sembari mendayung dan membawa sampan ke tengah-tengah laut.Pria besar dan berotot menjadi malu sendiri sebab selalu diperhatikan sang gadis, bahkan sembari tersenyum-senyum menatapnya.“Hei, ermm … apakah pulau itu masih jauh?” Antaguna membuang pandangan ke samping. Terlalu jengah diperhatikan seperti ini, pikirnya.Dan sang gadis hanya mengangguk saja sembari tetap tersenyum-senyum manja.“Kupikir tadinya kau bilang di seberang laut,” Antaguna mendesah panjang. “Ini bukan laut, tapi sebuah samudra, dasar gadis bodoh. Kau mengerjaiku!”Bungo terkikik dan menggeleng-geleng kecil yang semakin membuat Antaguna menjadi jengah dan bimbang. Bimbang sebab ingin saja pada saat itu dia menerkam sang gadis
Puti Bungo Satangkai, Antaguna, dan Sondang Tiur akhirnya tiba di Istana Minanga, di Batang Kuantan.Ketiganya disambut dengan cukup meriah oleh Rajo Bungsu dan orang-orang istana. Terlebih lagi, dengan keberhasilan Bungo yang mendapatkan semua kepingan Teratai Abadi. Meskipun, kegembiraan mereka sedikit terusik dengan kematian si Kumbang Janti.Hanya saja, baik Antaguna maupun Bungo sendiri tak hendak membicarakan tentang keburukan yang pernah dilakukan si Kumbang Janti sehingga membuat Antaguna cacat wajahnya. Tidak pula oleh Sondang Tiur yang juga mengetahui alasan di balik hal tersebut.Sama seperti jawaban Antaguna kepada Mantiko Sati dan Puti Pandan Sahalai di Ngarai Sianok, begitu pula yang mereka sampaikan keduanya kepada Rajo Bungsu dan orang banyak ketika sang raja bertanya perihal perubahan di wajah si pria tinggi besar.Rajo Bungsu dan Ratu Nan Sabatang, juga Gadih Cimpago sangat bersuka cita ketika mereka mendengar bahwa Bungo dan dua orang yang menemaninya bertemu dengan
‘Katakan padaku,’ Puti Bungo Satangkai menatap ke dalam mata Antaguna. ‘Kenapa kau merahasiakan tentang lukamu itu dariku?’“Bungo …” Antaguna menghela napas dalam-dalam. “Tidak ada gunanya diungkit-ungkit lagi. Aku sudah memberi tahu alasan di balik lukaku ini. Bahkan di depan abangmu, ingat?”‘Apakah kau pikir abangku dan aku sendiri begitu buta untuk tidak menyadari bahwa kau sengaja berbohong?’Sementara itu, Sondang Tiur sengaja menjauh dengan alasan mencari ikan untuk makan mereka di siang itu, di satu aliran sungai kecil yang jernih. Dia tahu dengan baik bahwa Bungo hanya ingin berbicara empat mata saja dengan Antaguna. Tentang, sesuatu yang bersifat sangat pribadi, mungkin, pikirnya.Antaguna mendesah halus dan menunduk.‘Hei!’ Bungo mendorong pelan bahu pria besar. ‘Katakan padaku! Kenapa?’Akan tetapi, sampai beberapa saat lamanya, Antaguna tak hendak memberi tahu alasan sesungguhnya kepada sang gadis.‘Hei, katakan padaku! Apakah kau masih menganggapku temanmu? Beri tahu ak
Kicau burung liar terdengar cukup menenangkan pikiran. Ditambah dengan pekik hewan dan suara aliran air di sungai, semua itu menemani sekumpulan orang yang sedang berdiri di satu titik, di sisi timur aliran sungai, di tengah-tengah lembah Ngarai Sianok.Puti Bungo Satangkai berlutut dengan menggenggam sejumput bunga liar yang indah dan masih basah oleh embun. Lalu disusul pula oleh sang kakak, Mantiko Sati, yang berlutut di samping kirinya.Sementara yang lainnya berdiri hening dengan kepala tertunduk.Kakak beradik itu meletakkan bunga-bunga liar di satu titik di permukaan tanah, di antara batu-batu kerikil yang lebih mencolok dengan warna kehitam-hitaman di antara lainnya.Di titik itulah di mana Zuraya pernah tergeletak tak berdaya dan mati. Di titik itu pula Bungo dilahirkan dengan sangat terpaksa. Di titik yang sama pula Inyiak Mudo lantas membakar jasad Zuraya.Mantiko Sati tidak pernah bisa menemukan jasad Zuraya ketika malam jahanam itu terjadi. Dia tidak tahu bahwa di titik i
Mantiko Sati lantas tersenyum lebar dengan gelengan kepalanya, membuat semua orang menjadi bertanya-tanya. Terutama, bagi Antaguna sendiri.“Uda?”“Wajahmu, Tarigan. Wajahmu.”Antaguna mulai merasakan sesuatu yang mungkin akan menyakitkan beberapa orang di antara mereka. Lagi, dia mereguk ludah sembari melirik Puti Bungo Satangkai dari sudut matanya, lalu tertunduk.“Terakhir kali kita bertemu,” kata Mantiko Sati. “Wajahmu masih terlihat gagah. Dan aku yakin, bekas luka di wajahmu itu adalah akibat dari terkena Cakar Kucing Emas, bukan?”Degh!Tidak Antaguna saja yang berdegup kencang jantungnya, tapi juga Bungo.Sang gadis yang dalam waktu belakangan ini cukup penasaran dengan kecacatan yang didapat Antaguna pada wajahnya memang ingin mengetahui cerita di balik itu semua. Hanya saja, semenjak kembali dari Pulau Telaga Tujuh, Antaguna sama sekali tidak mau menyinggung perihal bekas lukanya tersebut.“Uda, aku―”“Bisakah kau melepas bajumu, Tarigan?”Antaguna semakin menggigil. Bukan l
Puti Pandan Sahalai tertawa halus seraya mengusap bahu Sondang Tiur.“Baiklah, baiklah,” ucapnya. “Tapi, jangan sampai terdengar oleh suamiku.”“Kenapa?”Kebingungan si gadis Batak juga menjadi kebingungan Antaguna yang tentu saja mendengar percakapan keduanya.“Sejauh yang aku tahu,” lanjut Sondang Tiur. “Seluruh masyarakat di Minanga ini mengetahui bahwa seorang Mantiko Sati adalah pria rupawan yang sangat sopan dan halus budi bahasa. Kurasa dia tidak akan keberatan.”Lagi, mantan Ratu Minanga itu tertawa halus dan sangat merdu. “Oh, Tiur … kau hanya belum tahu saja bagaimana dalamannya!”“Oops …” Sondang Tiur terkikik.Dan Antaguna hanya bisa tersenyum sembari membuang muka. Dasar perempuan, pikirnya.Dan kemudian si pria berbadan besar membantu Sondang Tiur dan Puti Pandan Sahalai untuk memanggang daging yang tersedia di atas nampan kayu lebar, mempersiapkan makan malam bagi mereka semua.Malam itu berlalu dengan banyak kegembiraan. Sekaligus, ini adalah makan malam paling membaha
Pria rupawan mengernyit. Dia berhenti tepat dua langkah di hadapan Antaguna.Sementara itu, Puti Bungo Satangkai pun akhirnya menghentikan serangannya sebab dihalangi oleh Antaguna yang berlutut di tengah-tengah di antara dia dan si pria rupawan.‘Apa yang kau lakukan?!’ Bungo menggerak-gerakkan tangannya.“Bungo, jangan teruskan!”“Tarigan!” Pria rupawan memandang si gadis bisu sebelum kembali pada Antaguna. “Apa maksud dari semua ini?”“Uda, kumohon!”“Berdirilah! Kau tahu aku benci seseorang yang berlutut di hadapan orang lainnya, bukan?”Antaguna mengangguk dan berdiri. Bungo menghampirinya dengan tatapan menuntut penjelasan lebih.“Siapa gadis ini, Tarigan?”“Uda …” Antaguna melirik pada Bungo dan mengangguk.Bungo mengernyit. ‘Apa artinya ini?’“Bungo,” ucap pria tinggi besar dan berotot dengan menggenggam tangan sang gadis. Lalu melirik pria rupawan yang juga memaksa sang gadis untuk menatap pria yang sama. “Dia, Uda Buyung. Abangmu, Bungo.”‘Kau bilang apa?’ Bungo membelalak.
Pria kurus tiba-tiba terdiam dan membelalak. “K-Kau, kau …”‘Tunggulah di sini. Aku akan menghajar orang yang telah melukaimu!’Dan Puti Bungo Satangkai lantas menyerang si pria rupawan. Sementara pria bernama Fèng itu hanya bisa termangu sembari mengusap lelehan darah di sudut bibirnya dengan punggung tangannya.Fèng adalah pria yang sama yang pernah dijumpai oleh Bungo di satu hutan lebat, di seberang sungai di mana si Simpai Gilo tinggal. Pria yang nyaris sepenuhnya menjadi gila itu akhirnya merelakan kematian istrinya setelah bertemu dengan si gadis bisu tersebut.Alasan Bungo ingin melindunginya sebab si Simpai Gilo sendiri sepertinya telah mengawasi Fèng sebelum kematiannya. Atau lebih tepatnya, menjaga Fèng dan rutin memberikannya makanan.Inilah yang diyakini oleh sang gadis sehingga dia menyerang si pria rupawan tanpa tahu duduk permasalahan di antara keduanya terlebih dahulu.“Hei, Nona. Kau tidak harus―”Tapi ucapan si pria rupawan tidak didengar oleh Bungo. Sang gadis tela
Pria rupawan berputar-putar cepat di udara. Di satu ketinggian, dia merentangkan tangan dan kakinya dengan tiba-tiba sehingga gerakan berputar tubuhnya terhenti. Lalu dia menukik ke arah si pria kurus dan pucat.Pria kurus mengibaskan pedangnya ke samping.Swiing!Dan seketika, bilah pedang merah seolah dibungkus oleh lidah api.“Apa pun jurusmu, aku sudah siap menahan itu!” ucapnya dengan sangat percaya diri.Pria rupawan tersenyum lagi. Selagi tubuhnya meluncur ke bawah, dia melenting ke belakang, berjumpalitan sekali, lalu menukik lagi dengan lebih cepat.Pada satu ketinggian yang ia rasa pas, pria rupawan lantas menghantamkan cakar tangan kanannya ke arah si pria pucat di bawah.“Terima seranganku, kawan, Auman Membuncah Samudra!”“Serang aku!” teriak si pria kurus pucat.Swoosh!Lagi-lagi gelombang angin yang dahsyat disertai kilat-kilat kecil kebiru-biruan menderu dari cakar si pria rupawan. Bahkan, suara bergaung yang menyertai serangan itu sendiri laksana auman seekor harimau