Puti Bungo Satangkai telah cukup jauh meninggalkan kawasan Laras Sumpur, namun ia merasa belum lelah sama sekali, ia tetap melangkahkan kakinya, dan sampailah ia di satu persimpangan jalan.Cabang di kiri yang mengarah ke selatan, dan cabang di kanan yang akan membawanya ke arah barat laut, di ujung sana, Gunung Sago telah semakin terlihat jelas.Tentu saja, tujuannya adalah Gunung Sago. Dari sana nanti, bila ia terus mengarah ke barat, sebagaimana keterangan yang ia peroleh dari Kahar si pemilik penginapan itu, maka ia akan tiba di kawasan Ngarai Sianok.Sang gadis tersenyum menahan tawanya sebab ia mengingat lagi ucapan Kahar yang mengatakan ia akan sampai dalam tiga atau empat hari perjalanan menggunakan kuda.Tapi itu tidak masalah, pikirnya. Ia melirik ke kanan dan ke kiri, sepi, tidak seorang pun yang terlihat, tapi mungkin juga rumpun belukar yang tebal dan tinggi menghalangi pandangan.Lalu…Swoosh!Sekali ia bergerak, sosoknya sudah menghilang dari pandangan. Hanya gerak reru
Baru saja Puti Bungo Satangkai berpikir seperti itu, sesuatu melesat ke arahnya dengan begitu cepat, dan hal itu memaksa dia untuk keluar dari persembunyiannya dengan melompat turun, berjumpalitan beberapa kali sebelum menjejak tanah.Pria sepuh yang duduk membelakangi sungai itu terkekeh, sementara pria paruh baya yang tadi menjerit-jerit menjadi terkejut ketika dia melihat gadis itu muncul beberapa langkah di samping kirinya.“Kau!” ia menggeram kencang, menunjuk Bungo dengan tangan kirinya. “Guru!” teriaknya pada pria sepuh yang masih mengobati luka di tangan kanannya yang buntung. “Dia! Dialah yang telah memutus tanganku!”Sang gadis menyeringai memandangi si pria buntung, tatapan membunuhnya begitu kuat terhadap pria yang tidak menghargai nyawa manusia itu dengan baik.Lalu tatapannya tertuju pada pria sepuh yang ia yakin bahwa pria sepuh itulah yang barusan melemparkan ranting kecil laksana panah kepadanya saat di atas pohon barusan.“Katakan,” ujar pria sepuh tanpa memindahkan
Swing!Zlept!Pria paruh baya terdiam dengan mata membelalak lebar. Keris Narako menancap di keningnya, dan dengan sekejap, wajahnya seperti hangus terbakar, begitu juga dengan rambut hingga ke bagian belakang kepalanya.Tidak hanya sampai di situ, keadaan hangus terbakar itu terus menjalar ke seluruh tubuhnya hingga ke ujung kaki. Dan si pria paruh baya telah tewas semenjak Keris Narako menembus batok kepalanya.Puti Bungo Satangkai sungguh bergidik menyaksikan kematian si pria buntung tersebut. Itu pasti bukan kematian yang menyenangkan untuk dialami sendiri, pikirnya.Pria sepuh tetap berada di titik ia duduk, tidak bergeser sedikit pun. Hanya saja, tatapannya terlihat begitu sendu terhadap jasad muridnya yang menghitam seperti batu lahar di kawah gunung berapi, bahkan mengepulkan asap tipis.Bungo menghela napas dalam-dalam sebelum pandangannya beralih dari jasad menghitam itu kepada si pria sepuh di depan sana.‘Kenapa Anda membunuh murid Anda sendiri?’ tanyanya dengan gerakan is
“Kau tidak datang ke wilayah ini hanya sekadar mengejar murid durhakaku itu, bukan?”Puti Bungo Satangkai mengernyit memandangi pria sepuh di samping kirinya itu. Tidak bisa tidak, pikirnya. Orang tua yang satu ini benar-benar sakti.“Apakah kau benar-benar hendak menuntut dosa muridku itu?” tanya si pria sepuh. “Kau tahu, ada ujar-ujar tua yang mengatakan, murid adalah anak, dan guru adalah orang tua. Dosa murid adalah dosa guru pula.”‘Tidak,’ Bungo menggelengkan kepalanya. ‘Aku tidak berani lancang seperti itu kepada Anda, Tetua. Lagi pula, Anda sendiri sudah turun tangan memberikan hukuman pada murid Anda itu. Aku tidak punya hak lebih daripada itu.’Pria sepuh tertawa halus seraya mengangguk-anggukkan kepalanya. “Lalu apa?” tanyanya lagi. “Kulihat, pakaianmu sangat berbeda. Jika mata tuaku ini tidak salah menilai, pakaianmu itu pasti dari kain benang suto, bukan? Dan itu artinya, kau berasal dari istana.”Bungo tersenyum, lagi-lagi hal ini mendatangkan kekagumannya terhadap si p
Si Simpai Gilo melirik pada gadis di belakangnya itu, ia menggerakkan sedikit kepalanya, isyarat untuk meminta gadis itu mendekatinya.Pada akhirnya, Puti Bungo Satangkai menuruti permintaan si pria sepuh. Lagi pula, seperti sebelumnya, dia tidak merasakan adanya hawa membunuh atau sesuatu yang jahat dari si orang tua.Dan seperti tadi pula, Bungo berdiri di samping kanan si Simpai Gilo, terpaut satu langkah saja.“Dengan kehadiranmu di gubukku ini,” ujar si Simpai Gilo. “Aku merasakan satu hal tentang Teratai Abadi, sebuah firasat, mungkin.”Bungo melirik si pria tua, lalu tatapannya tertuju ke seberang sungai, pada hutan lebat yang juga sedang diperhatikan oleh si Simpai Gilo.“Entahlah,” ujar si pria sepuh kemudian, ia mendesah berat dan panjang. Satu tangannya masih memuar-mutar sedemikian rupa kepingan Teratai Abadi sementara tangan lainnya masih berada di belakang pinggangnya. “Kupikir, mungkin sudah saatnya ketujuh kelopak Teratai Abadi disatukan.”‘Rajo Bungsu juga mengatakan
“Siapa?!” tanya si Simpai Gilo dengan lantang, bahkan tatapannya membersitkan aura mengerikan. “Siapa yang membunuh mereka? Katakan padaku?!”Puti Bungo Satangkai menyadari perubahan seketika pada sikap pria sepuh tersebut, ia dengan serta merta mengambil jarak beberapa langkah ke belakang sembari menggerak-gerakkan tangannya sedemikian rupa.‘Tidak, Tetua. Inyiak Mudo dan Inyiak Gadih wafat setelah mereka saling bertarung dan kehabisan tenaga.’Simpai Gilo berteriak sembari mengangkat dua tangannya lebar-lebar, kilatan di bola matanya laksana petir yang menyambar-nyambar. Pusaran angin muncul begitu saja di sekitar ia berpijak yang membuat debu, pasir, dan daun-daun kering berterbangan.“Kau berbohong!”Bungo menggeleng. ‘Saya tidak berani, Tetua!’ ia langsung berlutut dan merendahkan kepalanya.“Kemari kau!”Simpai Gilo mengentakkan satu tangannya ke depan, seperti mencakar angin, dan saat itu juga Bungo merasakan tubuhnya tertarik dengan kuat.Sang gadis terperangah dan mencoba mel
Puti Bungo Satankai mereguk ludah, Simpai Gilo sudah kembali tenang dengan tiba-tiba terduduk bersila di tanah, namun tubuhnya terangkat dan tidak menyentuh permukaan tanah.Bayangkan kekuatan sebesar itu digunakan untuk hal-hal mengerikan? Pikir sang gadis. Butuh berapa tahun bagiku untuk dapat menyamai kekuatan tenaga dalam seperti beliau?Rambut panjang kemerah-merahan itu semakin terlihat awut-awutan dengan pusaran angin yang belum berhenti di sekitar tubuh si Simpai Gilo, begitu juga dengan pakaiannya yang berkibar-kibar.Sang gadis tahu, Simpai Gilo pasti sedang melakukan semadi demi menentramkan hati dan pikirannya.Dugaan itu tidak salah sebab perlahan-lahan pusaran angin itu menghilang seiring tubuh pria sepuh kembali turun dengan perlahan dan mencecah permukaan tanah.Lalu tiba-tiba si Simpai Gilo tersedu-sedu sembari tertunduk. Bahunya terlihat berguncang sebab ia duduk membelakangi sang gadis.Bungo membelalak, lalu segera mendekati pria sepuh dari samping kanan. Sebab ia
Simpai Gilo akhirnya keluar dari persembunyiannya setelah belasan tahun melatih silat dan kesaktiannya hanya seorang diri. Ketika itu, ia sudah berusia sekitar 30 tahunan.Dia yang dengan percaya diri dan dengan segala kecerdasannya hingga mampu menyelesaikan pengajaran sang guru meski tanpa pembimbing, dan bahkan mengembangkan setiap jurus dan kesaktian yang telah ia pelajari ke tahap yang lebih jauh, memulai langkahnya di dunia persilatan Tanah Andalas.Ia mengembara ke sana kemari demi mencari di mana keberadaan Sabai Nan Manih yang ketika itu belum bergelar Inyiak Gadih.Tentu saja, tempat yang pertama kali ia datangi adalah perguruan lamanya. Akan tetapi ia tidak menemukan seorang pun di perguruan itu, tidak pula sang guru sendiri.Dari masyarakat sekitar, Simpai Gilo akhirnya mengetahui bahwa perguruan itu sudah lama ditinggalkan semenjak sang guru tewas diracun seseorang.Kabar ini membuat Simpai Gilo menjadi memendam amarah yang besar. Ia tidak menyangka bahwa akan ada orang y