“Kau tidak datang ke wilayah ini hanya sekadar mengejar murid durhakaku itu, bukan?”Puti Bungo Satangkai mengernyit memandangi pria sepuh di samping kirinya itu. Tidak bisa tidak, pikirnya. Orang tua yang satu ini benar-benar sakti.“Apakah kau benar-benar hendak menuntut dosa muridku itu?” tanya si pria sepuh. “Kau tahu, ada ujar-ujar tua yang mengatakan, murid adalah anak, dan guru adalah orang tua. Dosa murid adalah dosa guru pula.”‘Tidak,’ Bungo menggelengkan kepalanya. ‘Aku tidak berani lancang seperti itu kepada Anda, Tetua. Lagi pula, Anda sendiri sudah turun tangan memberikan hukuman pada murid Anda itu. Aku tidak punya hak lebih daripada itu.’Pria sepuh tertawa halus seraya mengangguk-anggukkan kepalanya. “Lalu apa?” tanyanya lagi. “Kulihat, pakaianmu sangat berbeda. Jika mata tuaku ini tidak salah menilai, pakaianmu itu pasti dari kain benang suto, bukan? Dan itu artinya, kau berasal dari istana.”Bungo tersenyum, lagi-lagi hal ini mendatangkan kekagumannya terhadap si p
Si Simpai Gilo melirik pada gadis di belakangnya itu, ia menggerakkan sedikit kepalanya, isyarat untuk meminta gadis itu mendekatinya.Pada akhirnya, Puti Bungo Satangkai menuruti permintaan si pria sepuh. Lagi pula, seperti sebelumnya, dia tidak merasakan adanya hawa membunuh atau sesuatu yang jahat dari si orang tua.Dan seperti tadi pula, Bungo berdiri di samping kanan si Simpai Gilo, terpaut satu langkah saja.“Dengan kehadiranmu di gubukku ini,” ujar si Simpai Gilo. “Aku merasakan satu hal tentang Teratai Abadi, sebuah firasat, mungkin.”Bungo melirik si pria tua, lalu tatapannya tertuju ke seberang sungai, pada hutan lebat yang juga sedang diperhatikan oleh si Simpai Gilo.“Entahlah,” ujar si pria sepuh kemudian, ia mendesah berat dan panjang. Satu tangannya masih memuar-mutar sedemikian rupa kepingan Teratai Abadi sementara tangan lainnya masih berada di belakang pinggangnya. “Kupikir, mungkin sudah saatnya ketujuh kelopak Teratai Abadi disatukan.”‘Rajo Bungsu juga mengatakan
“Siapa?!” tanya si Simpai Gilo dengan lantang, bahkan tatapannya membersitkan aura mengerikan. “Siapa yang membunuh mereka? Katakan padaku?!”Puti Bungo Satangkai menyadari perubahan seketika pada sikap pria sepuh tersebut, ia dengan serta merta mengambil jarak beberapa langkah ke belakang sembari menggerak-gerakkan tangannya sedemikian rupa.‘Tidak, Tetua. Inyiak Mudo dan Inyiak Gadih wafat setelah mereka saling bertarung dan kehabisan tenaga.’Simpai Gilo berteriak sembari mengangkat dua tangannya lebar-lebar, kilatan di bola matanya laksana petir yang menyambar-nyambar. Pusaran angin muncul begitu saja di sekitar ia berpijak yang membuat debu, pasir, dan daun-daun kering berterbangan.“Kau berbohong!”Bungo menggeleng. ‘Saya tidak berani, Tetua!’ ia langsung berlutut dan merendahkan kepalanya.“Kemari kau!”Simpai Gilo mengentakkan satu tangannya ke depan, seperti mencakar angin, dan saat itu juga Bungo merasakan tubuhnya tertarik dengan kuat.Sang gadis terperangah dan mencoba mel
Puti Bungo Satankai mereguk ludah, Simpai Gilo sudah kembali tenang dengan tiba-tiba terduduk bersila di tanah, namun tubuhnya terangkat dan tidak menyentuh permukaan tanah.Bayangkan kekuatan sebesar itu digunakan untuk hal-hal mengerikan? Pikir sang gadis. Butuh berapa tahun bagiku untuk dapat menyamai kekuatan tenaga dalam seperti beliau?Rambut panjang kemerah-merahan itu semakin terlihat awut-awutan dengan pusaran angin yang belum berhenti di sekitar tubuh si Simpai Gilo, begitu juga dengan pakaiannya yang berkibar-kibar.Sang gadis tahu, Simpai Gilo pasti sedang melakukan semadi demi menentramkan hati dan pikirannya.Dugaan itu tidak salah sebab perlahan-lahan pusaran angin itu menghilang seiring tubuh pria sepuh kembali turun dengan perlahan dan mencecah permukaan tanah.Lalu tiba-tiba si Simpai Gilo tersedu-sedu sembari tertunduk. Bahunya terlihat berguncang sebab ia duduk membelakangi sang gadis.Bungo membelalak, lalu segera mendekati pria sepuh dari samping kanan. Sebab ia
Simpai Gilo akhirnya keluar dari persembunyiannya setelah belasan tahun melatih silat dan kesaktiannya hanya seorang diri. Ketika itu, ia sudah berusia sekitar 30 tahunan.Dia yang dengan percaya diri dan dengan segala kecerdasannya hingga mampu menyelesaikan pengajaran sang guru meski tanpa pembimbing, dan bahkan mengembangkan setiap jurus dan kesaktian yang telah ia pelajari ke tahap yang lebih jauh, memulai langkahnya di dunia persilatan Tanah Andalas.Ia mengembara ke sana kemari demi mencari di mana keberadaan Sabai Nan Manih yang ketika itu belum bergelar Inyiak Gadih.Tentu saja, tempat yang pertama kali ia datangi adalah perguruan lamanya. Akan tetapi ia tidak menemukan seorang pun di perguruan itu, tidak pula sang guru sendiri.Dari masyarakat sekitar, Simpai Gilo akhirnya mengetahui bahwa perguruan itu sudah lama ditinggalkan semenjak sang guru tewas diracun seseorang.Kabar ini membuat Simpai Gilo menjadi memendam amarah yang besar. Ia tidak menyangka bahwa akan ada orang y
“Aku tidak tahu kau siapa, gadis manis,” ucap Dharma Aji, “tapi kau telah memfitnahku di hadapan orang banyak dan Paduko Rajo sendiri.”“Baiklah,” Sabai menggeram, ia kembali memandang pada sang raja. “Paduko,” ujarnya, “silakan perintahkan orang-orang Anda untuk menggeledah pakaiannya!”Sang raja mengernyit, memiringkan sedikit kepalanya demi memandang pada Dharma Aji. Bila gadis itu seyakin ini, tidak mungkin tidak, pasti ada sesuatu yang dirahasiakan Dharma Aji, pikirnya.“Jika kau tidak keberatan—”“Paduko,” Dharma Aji dengan cepat membungkuk. “Jangan percaya ucapan gadis gila itu. Dia memang sangat cantik, tapi sayangnya, dia sepertinya sedang mengadu domba saya dengan semua orang.”“Kurasa tidak ada alasan bagimu menolak untuk digeledah, bukan?” ujar sang raja. “Lagi pula, jika memang tidak terbukti, berarti namamu akan dibersihkan di hadapan semua orang. Dan gadis itu akan menanggung atas fitnah yang ia sebarkan.”“Hamba siap dihukum, Paduko,” ucap Sabai. “Jiak terbukti hamba m
Selama ini, Keris Tumbal Nyawa tidak pernah dikeluarkan oleh Datuk Parmato Nan Tongga sebab keris itu boleh dibilang memiliki hawa yang jahat. Kelak, keris itu jatuh ke tangan Simpai Gilo dan berubah nama menjadi Keris Narako.“Lalu, siapa itu si Kaciak yang kau sebutkan tadi?”“Aah, maafkan hamba, Paduko,” kembali Sabai membungkuk dan sesungguhnya ia sedikit gelisah, keinginannya begitu kuat untuk mengejar si pembunuh gurunya itu, namun berhubung sepertinya sang raja masih ingin bertanya lebih banyak kepadanya, itu sebabnya Sabai menahan diri. “Dia adalah adik seperguruan hamba, si Kaciak Lidi, dan hamba sendiri, Sabai.”“Aah, begitu, ya?” sang raja sepertinya sangat terpesona oleh kecantikan wanita di hadapannya itu. “Kupikir, namamu akan lebih indah bila ditambahkan menjadi Sabai Nan Manih.”Sabai terdiam, tertunduk, dan tersenyum. “T-Terima kasih, Paduko.”“Kau sudah menikah?”Sabai mengangkat wajahnya, menatap sang raja setengah tak percaya, juga dengan wajah yang tiba-tiba meron
“Apa pedulimu, hah?!” si Baluik Ameh mendelik, ia menyeringai sembari memandangi bilah Keris Tumbal Nyawa yang mulai membersitkan cahaya kemerah-merahan dari setiap retakan yang terdapat pada bilahnya. “Lagi pula, apa kau tidak mendengar ucapan si cantik murid Datuk Parmato itu tadi? Aku telah membunuh gurunya! Itu artinya, keris ini adalah milikku!”Lalu dengan gerakan yang cukup cepat, Baluik Ameh melakukan gerakan menebas dari kiri rata ke kanan, bersamaan itu, ia langsung melesat laksana gerakan belut ke arah kanan, namun tentunya dengan gerakan yang sangat cepat pula yang bahkan seolah tak terhalang oleh kerapatan pepohonan.Si pemuda pendek sudah menduga akan hal tersebut. Jadi, begitu si Baluik Ameh menebaskan keris sakti tersebut ke arahnya, ia telah lebih dahulu menghilang dari posisinya berdiri, meninggalkan kepulan asap tipis, seperti embun yang berguguran ke bumi.Swiing!Blaarr!Pada saat yang bersamaan pula, Simpai Gilo tiba di titik yang sama.“Hei!” teriaknya pada si B