“Aku sudah mengirimkan banyak orang ke berbagai wilayah di Andalas ini,” ujar Pandan Arum. “Tapi sampai sekarang, belum ada satu pun jejak di mana keberadaan pria itu kami temukan. Menyebalkan!”‘Mantiko Sati, hah?’ Tarigan tersenyum hambar di persembunyiannya. ‘Aku pernah bertemu sekali dengan pemuda tampan dan sakti itu. Karena satu dan lain hal, dia melepaskanku.’“Kudengar,” kata Kadik Aruma, “setelah menikahi Ratu Mudo, mereka tinggal di lembah Ngarai Sianok.”“Tidak Ayah,” ucap Pandan Arum. “Aku juga mendengar kabar burung tentang ini. Dan percayalah, sampai sekarang pun, aku masih memiliki mata-mata di sepanjang Ngarai Sianok. Tapi itu tadi, dia dan istri terkutuknya itu hilang seperti ditelan bumi!”‘Istri terkutuk kau bilang?’ Tarigan nyaris saja tertawa di persembunyiannya. ‘Kau hanya iri Pandan Arum sebab Ratu Mudo jauh lebih cantik dan lebih muda darimu!’“Jadi,” Kadik Aruma tertawa seraya mengusap-usap punggung putri tirinya. “Sampai sekarang kau belum mau bersuami karena
Tarigan menghentikan langkahnya, ia menyeringai halus, lalu berbalik menanggapi panggilan dari Pandan Arum.“Ya?” ujarnya dengan santai. “Anda butuh sesuatu, Nona?”Dua pengawal itu sepertinya tidak begitu suka dengan sikap yang ditunjukkan oleh Tarigan, Pandan Arum menghentikan keduanya dengan menahan dada mereka.Tarigan tersenyum tipis. Meskipun kedua pengawal itu berbadan besar dan berotot sebagaimana dengan dirinya, namun dia lebih tinggi dari mereka. Jadi, Tarigan tidak merasa risih sedikit pun dengan gertakan keduanya.Pandan Arum menyeringai, mendekati Tarigan dengan tatapan yang menelisik dari kepala hingga ke kaki.“Hmm, sepertinya aku mengenalmu,” Pandan Arum bahkan sampai mengelilingi Tarigan yang berdiri diam.“Aku meragukan itu,” sanggahnya. “Aah, saat kemarin aku baru menempati kamar ini, aku berpapasan denganmu. Jadi, kurasa mungkin karena hal ini Anda—”“Tidak,” Pandan Arum tersenyum dengan tatapan tajam kepada Tarigan, ia berhenti lagi selangkah di hadapannya. “Aku m
Di halaman depan dari tempat hiburan tersebut, Antaguna dihampiri oleh seorang kacung yang membawakan kuda hitamnya dari halaman di bagian barat.“Hei!” ia melemparkan sekeping koin perak pada si kacung.“Terima kasih, Tuan,” ujar si kacung dengan mata berbinar-binar dan senyum kebahagiaan. Mungkin itu adalah persenan terbesar yang pernah ia terima selama bekerja di tempat hiburan tersebut. “Terima kasih.”Antaguna tersenyum, lantas melompat ringan menaiki kudanya. “Ayo, Kumbang, kita tinggalkan tempat ini!”Kuda hitam bernama Sikumbang itu meringkik halus sebelum akhirnya berlalu dari halaman depan tersebut.Seorang penjaga memerhatikan Antaguna alias Tarigan sedari tadi, setelah pria tinggi besar itu pergi, barulah dia kembali masuk ke dalam kawasan hiburan. Seterusnya, dia menuju ke satu bangunan.“Masuklah!” ujar seorang pengawal berbadan besar dari balik pintu.“Uni,” ucap penjaga itu pada Pandan Arum yang sedang duduk di satu kursi mewah. “Pria tinggi besar itu telah meninggalka
Puti Bungo Satangkai telah cukup jauh meninggalkan kawasan Laras Sumpur, namun ia merasa belum lelah sama sekali, ia tetap melangkahkan kakinya, dan sampailah ia di satu persimpangan jalan.Cabang di kiri yang mengarah ke selatan, dan cabang di kanan yang akan membawanya ke arah barat laut, di ujung sana, Gunung Sago telah semakin terlihat jelas.Tentu saja, tujuannya adalah Gunung Sago. Dari sana nanti, bila ia terus mengarah ke barat, sebagaimana keterangan yang ia peroleh dari Kahar si pemilik penginapan itu, maka ia akan tiba di kawasan Ngarai Sianok.Sang gadis tersenyum menahan tawanya sebab ia mengingat lagi ucapan Kahar yang mengatakan ia akan sampai dalam tiga atau empat hari perjalanan menggunakan kuda.Tapi itu tidak masalah, pikirnya. Ia melirik ke kanan dan ke kiri, sepi, tidak seorang pun yang terlihat, tapi mungkin juga rumpun belukar yang tebal dan tinggi menghalangi pandangan.Lalu…Swoosh!Sekali ia bergerak, sosoknya sudah menghilang dari pandangan. Hanya gerak reru
Baru saja Puti Bungo Satangkai berpikir seperti itu, sesuatu melesat ke arahnya dengan begitu cepat, dan hal itu memaksa dia untuk keluar dari persembunyiannya dengan melompat turun, berjumpalitan beberapa kali sebelum menjejak tanah.Pria sepuh yang duduk membelakangi sungai itu terkekeh, sementara pria paruh baya yang tadi menjerit-jerit menjadi terkejut ketika dia melihat gadis itu muncul beberapa langkah di samping kirinya.“Kau!” ia menggeram kencang, menunjuk Bungo dengan tangan kirinya. “Guru!” teriaknya pada pria sepuh yang masih mengobati luka di tangan kanannya yang buntung. “Dia! Dialah yang telah memutus tanganku!”Sang gadis menyeringai memandangi si pria buntung, tatapan membunuhnya begitu kuat terhadap pria yang tidak menghargai nyawa manusia itu dengan baik.Lalu tatapannya tertuju pada pria sepuh yang ia yakin bahwa pria sepuh itulah yang barusan melemparkan ranting kecil laksana panah kepadanya saat di atas pohon barusan.“Katakan,” ujar pria sepuh tanpa memindahkan
Swing!Zlept!Pria paruh baya terdiam dengan mata membelalak lebar. Keris Narako menancap di keningnya, dan dengan sekejap, wajahnya seperti hangus terbakar, begitu juga dengan rambut hingga ke bagian belakang kepalanya.Tidak hanya sampai di situ, keadaan hangus terbakar itu terus menjalar ke seluruh tubuhnya hingga ke ujung kaki. Dan si pria paruh baya telah tewas semenjak Keris Narako menembus batok kepalanya.Puti Bungo Satangkai sungguh bergidik menyaksikan kematian si pria buntung tersebut. Itu pasti bukan kematian yang menyenangkan untuk dialami sendiri, pikirnya.Pria sepuh tetap berada di titik ia duduk, tidak bergeser sedikit pun. Hanya saja, tatapannya terlihat begitu sendu terhadap jasad muridnya yang menghitam seperti batu lahar di kawah gunung berapi, bahkan mengepulkan asap tipis.Bungo menghela napas dalam-dalam sebelum pandangannya beralih dari jasad menghitam itu kepada si pria sepuh di depan sana.‘Kenapa Anda membunuh murid Anda sendiri?’ tanyanya dengan gerakan is
“Kau tidak datang ke wilayah ini hanya sekadar mengejar murid durhakaku itu, bukan?”Puti Bungo Satangkai mengernyit memandangi pria sepuh di samping kirinya itu. Tidak bisa tidak, pikirnya. Orang tua yang satu ini benar-benar sakti.“Apakah kau benar-benar hendak menuntut dosa muridku itu?” tanya si pria sepuh. “Kau tahu, ada ujar-ujar tua yang mengatakan, murid adalah anak, dan guru adalah orang tua. Dosa murid adalah dosa guru pula.”‘Tidak,’ Bungo menggelengkan kepalanya. ‘Aku tidak berani lancang seperti itu kepada Anda, Tetua. Lagi pula, Anda sendiri sudah turun tangan memberikan hukuman pada murid Anda itu. Aku tidak punya hak lebih daripada itu.’Pria sepuh tertawa halus seraya mengangguk-anggukkan kepalanya. “Lalu apa?” tanyanya lagi. “Kulihat, pakaianmu sangat berbeda. Jika mata tuaku ini tidak salah menilai, pakaianmu itu pasti dari kain benang suto, bukan? Dan itu artinya, kau berasal dari istana.”Bungo tersenyum, lagi-lagi hal ini mendatangkan kekagumannya terhadap si p
Si Simpai Gilo melirik pada gadis di belakangnya itu, ia menggerakkan sedikit kepalanya, isyarat untuk meminta gadis itu mendekatinya.Pada akhirnya, Puti Bungo Satangkai menuruti permintaan si pria sepuh. Lagi pula, seperti sebelumnya, dia tidak merasakan adanya hawa membunuh atau sesuatu yang jahat dari si orang tua.Dan seperti tadi pula, Bungo berdiri di samping kanan si Simpai Gilo, terpaut satu langkah saja.“Dengan kehadiranmu di gubukku ini,” ujar si Simpai Gilo. “Aku merasakan satu hal tentang Teratai Abadi, sebuah firasat, mungkin.”Bungo melirik si pria tua, lalu tatapannya tertuju ke seberang sungai, pada hutan lebat yang juga sedang diperhatikan oleh si Simpai Gilo.“Entahlah,” ujar si pria sepuh kemudian, ia mendesah berat dan panjang. Satu tangannya masih memuar-mutar sedemikian rupa kepingan Teratai Abadi sementara tangan lainnya masih berada di belakang pinggangnya. “Kupikir, mungkin sudah saatnya ketujuh kelopak Teratai Abadi disatukan.”‘Rajo Bungsu juga mengatakan