Tidak menunggu lama, semua orang di dalam lorong dan ruang tahanan itu mulai merasakan kantuk yang luar biasa, kantuk yang tidak dapat mereka tahan yang dalam waktu bersamaan membuat kaki dan tubuh mereka menjadi lemas.Lalu mereka semua tertidur di posisi masing-masing.Si Balam Putiah menggunakan sebuah sapu tangan lebar, lalu menutup mulut dan hidungnya, dan kemudian memasuki lorong tersebut. Ia langsung menuju ke ruang tahanan kelima dari sisi kiri.Ia memandangi Kadik Aruma yang terlihat kurus hingga tulang-tulang rusuknya membayang di permukaan kulitnya.“Siapa menduga, hah?” gumam si Balam Putiah. “Ternyata kau adalah ayah dari Pandan Arum.”Ia mengeluarkan sebuah kunci dari balik pinggangnya, dan menggunakan kunci itu untuk membuka pintu tahanan.Si Balam Putiah langsung mengangkat dan membopong Kadik Aruma yang terasa sangat ringan baginya. Lagi pula, ia tak hendak berlama-lama di dalam penjara bawah tanah tersebut. Bukan lantaran khawatir terhadap orang-orang yang telah tert
Sebuah perahu besar dengan beberapa orang di atasnya sedang menunggu kedatangan Dalan dengan kereta kudanya. Dan begitu kereta kuda itu sudah terlihat, empat orang langsung melompat dengan ringan ke tepian sungai, meninggalkan dua orang saja di atas perahu panjang itu.Dalan menghentikan kereta kudanya. Dua pria yang telah berada di atas keretanya itu sebelumnya langsung melakukan persiapan untuk mengeluarkan Kadik Aruma yang masih dalam kondisi tak sadarkan diri.Empat pria yang melompat tadi menghampiri bagian belakang kereta. Dengan enam orang yang menggotong tubuh Kadik Aruma, ditambah dengan kemampuan meringankan tubuh mereka yang lumayan, sekali lompat saja, mereka telah berada di perahu besar dan panjang itu.“Hei,” panggil pria yang tadi kepada Dalan dari atas perahu. “Kau butuh teman untuk menyembunyikan kereta kudamu itu?”Dalan menyeringai. “Kecuali aku seorang anak kecil yang penakut, berengsek!”Si pria dan yang lainnya tertawa mendengar umpatan Dalan.“Baiklah,” ujarnya.
Untuk menghindari kecurigaan pengawasan para tukang pukul yang berjaga-jaga di jembatan kayu, juga di beberapa titik di kawasan itu, Tarigan lantas membawa dua gadis penghibur berpakaian minim dan sangat terbuka ke kamarnya.Tapi sebelum itu, ia harus membayar kedua gadis tersebut kepada seorang muncikari yang berada di balik meja panjang, meja yang menyedikan berbagai minuman memabukkan.Setelah itu, barulah ia bisa membawa kedua gadis ke kamarnya.Begitu berada di dalam kamarnya, dan ketika gadis-gadis tersebut hendak melepaskan pakaian mereka, Tarigan yang baru saja menutup pintu kamarnya lantas menotok pangkal leher mereka.Keduanya langsung lemas dan pingsan, Tarigan dengan cepat menahan tubuh mereka agar tidak bergedebukkan ke lantai. Ringan saja baginya yang bertubuh besar dan jangkung untuk mengangkat dua gadis sekaligus.Gadis-gadis itu dibaringankan dengan baik oleh Tarigan di atas dipan bambu yang memiliki satu lapisan kasur saja.Ia tersenyum memandangi wajah-wajah ayu ter
“Nama anak itu, Bardan,” ujar Pandan Arum. “Namun aku memintanya menggunakan nama samaran.”“Nama samaran?”“Ya,” Pandan Arum mengangguk. “Lorana.”“Tunggu dulu!” Kadik Aruma membelalak.Pandan Arum tersenyum lebar. “Kurasa Ayah pasti sudah dapat menebak, bukan?”“Aku memang belum bertemu langsung dengannya,” ujar Kadik Aruma. “Akan tetapi, saat di dalam penjara bawah tanah itu, aku memang mendengar bahwa salah seorang dari Tujuh Hulubalang Kerajaan bernama Lorana, dan dia bergelar—”“Si Balam Putiah!”Tarigan menyeringai halus di atas atap. ‘Sesuai dugaanku,’ pikirnya. ‘Kecurigaanku pada si Datuk Hulubalang itu memang sangat beralasan. Dasar sampah!’“Waah!” Kadik Aruma terkekeh-kekeh, mengangguk-angguk sembari mengusap-usap punggung putrinya tersebut. “Sungguh, kau bahkan lebih cerdik dariku, Putriku.”Pandan Arum tersenyum senang. “Ayah terlalu memujiku. Aku hanya melakukan apa yang harus aku lakukan.”“Aku tahu, aku tahu,” ujarnya. “Jadi, dialah yang mengeluarkanku dengan mengguna
“Ayah,” Pandan Arum mencoba menahan perasaannya. “Jangan bercanda! Jangan mengatakan hal yang aneh-aneh.”“Oh, Arum,” Kadik Aruma mendesah panjang dan berat. “Tapi ini adalah kenyataannya, Nak.”“Apakah selama di dalam penjara Ayah mengalami gegar otak, hah?!”Bahkan perempuan itu sampai terlonjak dari duduknya, ia berdiri dengan tatapan yang begitu tajam pada sang ayah, dan harus menahan amarah besar yang meledak di dalam dirinya yang diwakili oleh napasnya yang terengah-engah.”“Arum, dengarkan Ayah, Nak—”“Mereka pasti telah menyiksa Ayah dengan sangat buruk!” sahut Pandan Arum. “Jawab aku! Benar, kan?!”“Arum,” Kadik Aruma berdiri, menyentuh kedua bahu putrinya, menariknya ke dalam pelukannya. “Duduklah, mari bercakap dengan lebih tenang.”Meskipun pikiran Pandan Arum sangat terganggu dengan kenyataan yang disampaikan oleh ayahnya itu, namun tak urung dia juga ingin mendengarkan penjelasan yang lebih baik atas apa yang telah disampaikan sang ayah.“Dengar, Nak,” ujar Kadik Aruma s
“Ayah senang mendengar itu,” Kadik Aruma membelai lagi pipi putri tirinya tersebut. “Sedari kau kecil, Ayah yakin bahwa kau akan menjadi gadis yang cerdas. Di usiamu yang remaja, kau bahkan mampu mengelola tempat pelacuran yang dibangun oleh ibumu.”Di tempat persembunyiannya Tarigan menyeringai. ‘Mengapa aku justru tidak merasa kasihan atas nasib yang menimpa ibu si Pandan Arum? Atau pada si Pandan Arum itu sendiri?’Orang-orang busuk dengan nasib yang sama busuknya. Yeah, mereka pantas mendapatkan itu. Lagi pula, orang-orang bijak berkata, “Air cucuran atap, jatuhnya ke pelimbahan jua!”Sayangnya, tidak semua hal yang disampaikan oleh Kadik Aruma kepada Pandan Arum. Dan itu terkait dengan sifat asli Datuak Sani itu sendiri.Suatu hari, ketika Pandan Arum masih remaja, Kadik Aruma pernah mengunjungi kawasan Tanjung Bunga—yang kini bernama Tanjung Sani—di Danau Maninjau.Saat itu, karena ada satu urusan perdagangan yang akan ia lakukan sehingga membuat ia harus melewati sisi barat Dan
“Aku sudah mengirimkan banyak orang ke berbagai wilayah di Andalas ini,” ujar Pandan Arum. “Tapi sampai sekarang, belum ada satu pun jejak di mana keberadaan pria itu kami temukan. Menyebalkan!”‘Mantiko Sati, hah?’ Tarigan tersenyum hambar di persembunyiannya. ‘Aku pernah bertemu sekali dengan pemuda tampan dan sakti itu. Karena satu dan lain hal, dia melepaskanku.’“Kudengar,” kata Kadik Aruma, “setelah menikahi Ratu Mudo, mereka tinggal di lembah Ngarai Sianok.”“Tidak Ayah,” ucap Pandan Arum. “Aku juga mendengar kabar burung tentang ini. Dan percayalah, sampai sekarang pun, aku masih memiliki mata-mata di sepanjang Ngarai Sianok. Tapi itu tadi, dia dan istri terkutuknya itu hilang seperti ditelan bumi!”‘Istri terkutuk kau bilang?’ Tarigan nyaris saja tertawa di persembunyiannya. ‘Kau hanya iri Pandan Arum sebab Ratu Mudo jauh lebih cantik dan lebih muda darimu!’“Jadi,” Kadik Aruma tertawa seraya mengusap-usap punggung putri tirinya. “Sampai sekarang kau belum mau bersuami karena
Tarigan menghentikan langkahnya, ia menyeringai halus, lalu berbalik menanggapi panggilan dari Pandan Arum.“Ya?” ujarnya dengan santai. “Anda butuh sesuatu, Nona?”Dua pengawal itu sepertinya tidak begitu suka dengan sikap yang ditunjukkan oleh Tarigan, Pandan Arum menghentikan keduanya dengan menahan dada mereka.Tarigan tersenyum tipis. Meskipun kedua pengawal itu berbadan besar dan berotot sebagaimana dengan dirinya, namun dia lebih tinggi dari mereka. Jadi, Tarigan tidak merasa risih sedikit pun dengan gertakan keduanya.Pandan Arum menyeringai, mendekati Tarigan dengan tatapan yang menelisik dari kepala hingga ke kaki.“Hmm, sepertinya aku mengenalmu,” Pandan Arum bahkan sampai mengelilingi Tarigan yang berdiri diam.“Aku meragukan itu,” sanggahnya. “Aah, saat kemarin aku baru menempati kamar ini, aku berpapasan denganmu. Jadi, kurasa mungkin karena hal ini Anda—”“Tidak,” Pandan Arum tersenyum dengan tatapan tajam kepada Tarigan, ia berhenti lagi selangkah di hadapannya. “Aku m
Puti Bungo Satangkai duduk sembari memerhatikan Antaguna dengan dagunya bertopang pada telapak tangannya, dan sikunya bertopang pada lutut yang menekuk ke atas, di bagian depan sampan yang sedang meluncur ke arah barat.Sementara Antaguna, duduk di bagian ujung lain sampan, bagian belakang, sembari mendayung dan membawa sampan ke tengah-tengah laut.Pria besar dan berotot menjadi malu sendiri sebab selalu diperhatikan sang gadis, bahkan sembari tersenyum-senyum menatapnya.“Hei, ermm … apakah pulau itu masih jauh?” Antaguna membuang pandangan ke samping. Terlalu jengah diperhatikan seperti ini, pikirnya.Dan sang gadis hanya mengangguk saja sembari tetap tersenyum-senyum manja.“Kupikir tadinya kau bilang di seberang laut,” Antaguna mendesah panjang. “Ini bukan laut, tapi sebuah samudra, dasar gadis bodoh. Kau mengerjaiku!”Bungo terkikik dan menggeleng-geleng kecil yang semakin membuat Antaguna menjadi jengah dan bimbang. Bimbang sebab ingin saja pada saat itu dia menerkam sang gadis
Puti Bungo Satangkai, Antaguna, dan Sondang Tiur akhirnya tiba di Istana Minanga, di Batang Kuantan.Ketiganya disambut dengan cukup meriah oleh Rajo Bungsu dan orang-orang istana. Terlebih lagi, dengan keberhasilan Bungo yang mendapatkan semua kepingan Teratai Abadi. Meskipun, kegembiraan mereka sedikit terusik dengan kematian si Kumbang Janti.Hanya saja, baik Antaguna maupun Bungo sendiri tak hendak membicarakan tentang keburukan yang pernah dilakukan si Kumbang Janti sehingga membuat Antaguna cacat wajahnya. Tidak pula oleh Sondang Tiur yang juga mengetahui alasan di balik hal tersebut.Sama seperti jawaban Antaguna kepada Mantiko Sati dan Puti Pandan Sahalai di Ngarai Sianok, begitu pula yang mereka sampaikan keduanya kepada Rajo Bungsu dan orang banyak ketika sang raja bertanya perihal perubahan di wajah si pria tinggi besar.Rajo Bungsu dan Ratu Nan Sabatang, juga Gadih Cimpago sangat bersuka cita ketika mereka mendengar bahwa Bungo dan dua orang yang menemaninya bertemu dengan
‘Katakan padaku,’ Puti Bungo Satangkai menatap ke dalam mata Antaguna. ‘Kenapa kau merahasiakan tentang lukamu itu dariku?’“Bungo …” Antaguna menghela napas dalam-dalam. “Tidak ada gunanya diungkit-ungkit lagi. Aku sudah memberi tahu alasan di balik lukaku ini. Bahkan di depan abangmu, ingat?”‘Apakah kau pikir abangku dan aku sendiri begitu buta untuk tidak menyadari bahwa kau sengaja berbohong?’Sementara itu, Sondang Tiur sengaja menjauh dengan alasan mencari ikan untuk makan mereka di siang itu, di satu aliran sungai kecil yang jernih. Dia tahu dengan baik bahwa Bungo hanya ingin berbicara empat mata saja dengan Antaguna. Tentang, sesuatu yang bersifat sangat pribadi, mungkin, pikirnya.Antaguna mendesah halus dan menunduk.‘Hei!’ Bungo mendorong pelan bahu pria besar. ‘Katakan padaku! Kenapa?’Akan tetapi, sampai beberapa saat lamanya, Antaguna tak hendak memberi tahu alasan sesungguhnya kepada sang gadis.‘Hei, katakan padaku! Apakah kau masih menganggapku temanmu? Beri tahu ak
Kicau burung liar terdengar cukup menenangkan pikiran. Ditambah dengan pekik hewan dan suara aliran air di sungai, semua itu menemani sekumpulan orang yang sedang berdiri di satu titik, di sisi timur aliran sungai, di tengah-tengah lembah Ngarai Sianok.Puti Bungo Satangkai berlutut dengan menggenggam sejumput bunga liar yang indah dan masih basah oleh embun. Lalu disusul pula oleh sang kakak, Mantiko Sati, yang berlutut di samping kirinya.Sementara yang lainnya berdiri hening dengan kepala tertunduk.Kakak beradik itu meletakkan bunga-bunga liar di satu titik di permukaan tanah, di antara batu-batu kerikil yang lebih mencolok dengan warna kehitam-hitaman di antara lainnya.Di titik itulah di mana Zuraya pernah tergeletak tak berdaya dan mati. Di titik itu pula Bungo dilahirkan dengan sangat terpaksa. Di titik yang sama pula Inyiak Mudo lantas membakar jasad Zuraya.Mantiko Sati tidak pernah bisa menemukan jasad Zuraya ketika malam jahanam itu terjadi. Dia tidak tahu bahwa di titik i
Mantiko Sati lantas tersenyum lebar dengan gelengan kepalanya, membuat semua orang menjadi bertanya-tanya. Terutama, bagi Antaguna sendiri.“Uda?”“Wajahmu, Tarigan. Wajahmu.”Antaguna mulai merasakan sesuatu yang mungkin akan menyakitkan beberapa orang di antara mereka. Lagi, dia mereguk ludah sembari melirik Puti Bungo Satangkai dari sudut matanya, lalu tertunduk.“Terakhir kali kita bertemu,” kata Mantiko Sati. “Wajahmu masih terlihat gagah. Dan aku yakin, bekas luka di wajahmu itu adalah akibat dari terkena Cakar Kucing Emas, bukan?”Degh!Tidak Antaguna saja yang berdegup kencang jantungnya, tapi juga Bungo.Sang gadis yang dalam waktu belakangan ini cukup penasaran dengan kecacatan yang didapat Antaguna pada wajahnya memang ingin mengetahui cerita di balik itu semua. Hanya saja, semenjak kembali dari Pulau Telaga Tujuh, Antaguna sama sekali tidak mau menyinggung perihal bekas lukanya tersebut.“Uda, aku―”“Bisakah kau melepas bajumu, Tarigan?”Antaguna semakin menggigil. Bukan l
Puti Pandan Sahalai tertawa halus seraya mengusap bahu Sondang Tiur.“Baiklah, baiklah,” ucapnya. “Tapi, jangan sampai terdengar oleh suamiku.”“Kenapa?”Kebingungan si gadis Batak juga menjadi kebingungan Antaguna yang tentu saja mendengar percakapan keduanya.“Sejauh yang aku tahu,” lanjut Sondang Tiur. “Seluruh masyarakat di Minanga ini mengetahui bahwa seorang Mantiko Sati adalah pria rupawan yang sangat sopan dan halus budi bahasa. Kurasa dia tidak akan keberatan.”Lagi, mantan Ratu Minanga itu tertawa halus dan sangat merdu. “Oh, Tiur … kau hanya belum tahu saja bagaimana dalamannya!”“Oops …” Sondang Tiur terkikik.Dan Antaguna hanya bisa tersenyum sembari membuang muka. Dasar perempuan, pikirnya.Dan kemudian si pria berbadan besar membantu Sondang Tiur dan Puti Pandan Sahalai untuk memanggang daging yang tersedia di atas nampan kayu lebar, mempersiapkan makan malam bagi mereka semua.Malam itu berlalu dengan banyak kegembiraan. Sekaligus, ini adalah makan malam paling membaha
Pria rupawan mengernyit. Dia berhenti tepat dua langkah di hadapan Antaguna.Sementara itu, Puti Bungo Satangkai pun akhirnya menghentikan serangannya sebab dihalangi oleh Antaguna yang berlutut di tengah-tengah di antara dia dan si pria rupawan.‘Apa yang kau lakukan?!’ Bungo menggerak-gerakkan tangannya.“Bungo, jangan teruskan!”“Tarigan!” Pria rupawan memandang si gadis bisu sebelum kembali pada Antaguna. “Apa maksud dari semua ini?”“Uda, kumohon!”“Berdirilah! Kau tahu aku benci seseorang yang berlutut di hadapan orang lainnya, bukan?”Antaguna mengangguk dan berdiri. Bungo menghampirinya dengan tatapan menuntut penjelasan lebih.“Siapa gadis ini, Tarigan?”“Uda …” Antaguna melirik pada Bungo dan mengangguk.Bungo mengernyit. ‘Apa artinya ini?’“Bungo,” ucap pria tinggi besar dan berotot dengan menggenggam tangan sang gadis. Lalu melirik pria rupawan yang juga memaksa sang gadis untuk menatap pria yang sama. “Dia, Uda Buyung. Abangmu, Bungo.”‘Kau bilang apa?’ Bungo membelalak.
Pria kurus tiba-tiba terdiam dan membelalak. “K-Kau, kau …”‘Tunggulah di sini. Aku akan menghajar orang yang telah melukaimu!’Dan Puti Bungo Satangkai lantas menyerang si pria rupawan. Sementara pria bernama Fèng itu hanya bisa termangu sembari mengusap lelehan darah di sudut bibirnya dengan punggung tangannya.Fèng adalah pria yang sama yang pernah dijumpai oleh Bungo di satu hutan lebat, di seberang sungai di mana si Simpai Gilo tinggal. Pria yang nyaris sepenuhnya menjadi gila itu akhirnya merelakan kematian istrinya setelah bertemu dengan si gadis bisu tersebut.Alasan Bungo ingin melindunginya sebab si Simpai Gilo sendiri sepertinya telah mengawasi Fèng sebelum kematiannya. Atau lebih tepatnya, menjaga Fèng dan rutin memberikannya makanan.Inilah yang diyakini oleh sang gadis sehingga dia menyerang si pria rupawan tanpa tahu duduk permasalahan di antara keduanya terlebih dahulu.“Hei, Nona. Kau tidak harus―”Tapi ucapan si pria rupawan tidak didengar oleh Bungo. Sang gadis tela
Pria rupawan berputar-putar cepat di udara. Di satu ketinggian, dia merentangkan tangan dan kakinya dengan tiba-tiba sehingga gerakan berputar tubuhnya terhenti. Lalu dia menukik ke arah si pria kurus dan pucat.Pria kurus mengibaskan pedangnya ke samping.Swiing!Dan seketika, bilah pedang merah seolah dibungkus oleh lidah api.“Apa pun jurusmu, aku sudah siap menahan itu!” ucapnya dengan sangat percaya diri.Pria rupawan tersenyum lagi. Selagi tubuhnya meluncur ke bawah, dia melenting ke belakang, berjumpalitan sekali, lalu menukik lagi dengan lebih cepat.Pada satu ketinggian yang ia rasa pas, pria rupawan lantas menghantamkan cakar tangan kanannya ke arah si pria pucat di bawah.“Terima seranganku, kawan, Auman Membuncah Samudra!”“Serang aku!” teriak si pria kurus pucat.Swoosh!Lagi-lagi gelombang angin yang dahsyat disertai kilat-kilat kecil kebiru-biruan menderu dari cakar si pria rupawan. Bahkan, suara bergaung yang menyertai serangan itu sendiri laksana auman seekor harimau