Untuk menghindari kecurigaan pengawasan para tukang pukul yang berjaga-jaga di jembatan kayu, juga di beberapa titik di kawasan itu, Tarigan lantas membawa dua gadis penghibur berpakaian minim dan sangat terbuka ke kamarnya.Tapi sebelum itu, ia harus membayar kedua gadis tersebut kepada seorang muncikari yang berada di balik meja panjang, meja yang menyedikan berbagai minuman memabukkan.Setelah itu, barulah ia bisa membawa kedua gadis ke kamarnya.Begitu berada di dalam kamarnya, dan ketika gadis-gadis tersebut hendak melepaskan pakaian mereka, Tarigan yang baru saja menutup pintu kamarnya lantas menotok pangkal leher mereka.Keduanya langsung lemas dan pingsan, Tarigan dengan cepat menahan tubuh mereka agar tidak bergedebukkan ke lantai. Ringan saja baginya yang bertubuh besar dan jangkung untuk mengangkat dua gadis sekaligus.Gadis-gadis itu dibaringankan dengan baik oleh Tarigan di atas dipan bambu yang memiliki satu lapisan kasur saja.Ia tersenyum memandangi wajah-wajah ayu ter
“Nama anak itu, Bardan,” ujar Pandan Arum. “Namun aku memintanya menggunakan nama samaran.”“Nama samaran?”“Ya,” Pandan Arum mengangguk. “Lorana.”“Tunggu dulu!” Kadik Aruma membelalak.Pandan Arum tersenyum lebar. “Kurasa Ayah pasti sudah dapat menebak, bukan?”“Aku memang belum bertemu langsung dengannya,” ujar Kadik Aruma. “Akan tetapi, saat di dalam penjara bawah tanah itu, aku memang mendengar bahwa salah seorang dari Tujuh Hulubalang Kerajaan bernama Lorana, dan dia bergelar—”“Si Balam Putiah!”Tarigan menyeringai halus di atas atap. ‘Sesuai dugaanku,’ pikirnya. ‘Kecurigaanku pada si Datuk Hulubalang itu memang sangat beralasan. Dasar sampah!’“Waah!” Kadik Aruma terkekeh-kekeh, mengangguk-angguk sembari mengusap-usap punggung putrinya tersebut. “Sungguh, kau bahkan lebih cerdik dariku, Putriku.”Pandan Arum tersenyum senang. “Ayah terlalu memujiku. Aku hanya melakukan apa yang harus aku lakukan.”“Aku tahu, aku tahu,” ujarnya. “Jadi, dialah yang mengeluarkanku dengan mengguna
“Ayah,” Pandan Arum mencoba menahan perasaannya. “Jangan bercanda! Jangan mengatakan hal yang aneh-aneh.”“Oh, Arum,” Kadik Aruma mendesah panjang dan berat. “Tapi ini adalah kenyataannya, Nak.”“Apakah selama di dalam penjara Ayah mengalami gegar otak, hah?!”Bahkan perempuan itu sampai terlonjak dari duduknya, ia berdiri dengan tatapan yang begitu tajam pada sang ayah, dan harus menahan amarah besar yang meledak di dalam dirinya yang diwakili oleh napasnya yang terengah-engah.”“Arum, dengarkan Ayah, Nak—”“Mereka pasti telah menyiksa Ayah dengan sangat buruk!” sahut Pandan Arum. “Jawab aku! Benar, kan?!”“Arum,” Kadik Aruma berdiri, menyentuh kedua bahu putrinya, menariknya ke dalam pelukannya. “Duduklah, mari bercakap dengan lebih tenang.”Meskipun pikiran Pandan Arum sangat terganggu dengan kenyataan yang disampaikan oleh ayahnya itu, namun tak urung dia juga ingin mendengarkan penjelasan yang lebih baik atas apa yang telah disampaikan sang ayah.“Dengar, Nak,” ujar Kadik Aruma s
“Ayah senang mendengar itu,” Kadik Aruma membelai lagi pipi putri tirinya tersebut. “Sedari kau kecil, Ayah yakin bahwa kau akan menjadi gadis yang cerdas. Di usiamu yang remaja, kau bahkan mampu mengelola tempat pelacuran yang dibangun oleh ibumu.”Di tempat persembunyiannya Tarigan menyeringai. ‘Mengapa aku justru tidak merasa kasihan atas nasib yang menimpa ibu si Pandan Arum? Atau pada si Pandan Arum itu sendiri?’Orang-orang busuk dengan nasib yang sama busuknya. Yeah, mereka pantas mendapatkan itu. Lagi pula, orang-orang bijak berkata, “Air cucuran atap, jatuhnya ke pelimbahan jua!”Sayangnya, tidak semua hal yang disampaikan oleh Kadik Aruma kepada Pandan Arum. Dan itu terkait dengan sifat asli Datuak Sani itu sendiri.Suatu hari, ketika Pandan Arum masih remaja, Kadik Aruma pernah mengunjungi kawasan Tanjung Bunga—yang kini bernama Tanjung Sani—di Danau Maninjau.Saat itu, karena ada satu urusan perdagangan yang akan ia lakukan sehingga membuat ia harus melewati sisi barat Dan
“Aku sudah mengirimkan banyak orang ke berbagai wilayah di Andalas ini,” ujar Pandan Arum. “Tapi sampai sekarang, belum ada satu pun jejak di mana keberadaan pria itu kami temukan. Menyebalkan!”‘Mantiko Sati, hah?’ Tarigan tersenyum hambar di persembunyiannya. ‘Aku pernah bertemu sekali dengan pemuda tampan dan sakti itu. Karena satu dan lain hal, dia melepaskanku.’“Kudengar,” kata Kadik Aruma, “setelah menikahi Ratu Mudo, mereka tinggal di lembah Ngarai Sianok.”“Tidak Ayah,” ucap Pandan Arum. “Aku juga mendengar kabar burung tentang ini. Dan percayalah, sampai sekarang pun, aku masih memiliki mata-mata di sepanjang Ngarai Sianok. Tapi itu tadi, dia dan istri terkutuknya itu hilang seperti ditelan bumi!”‘Istri terkutuk kau bilang?’ Tarigan nyaris saja tertawa di persembunyiannya. ‘Kau hanya iri Pandan Arum sebab Ratu Mudo jauh lebih cantik dan lebih muda darimu!’“Jadi,” Kadik Aruma tertawa seraya mengusap-usap punggung putri tirinya. “Sampai sekarang kau belum mau bersuami karena
Tarigan menghentikan langkahnya, ia menyeringai halus, lalu berbalik menanggapi panggilan dari Pandan Arum.“Ya?” ujarnya dengan santai. “Anda butuh sesuatu, Nona?”Dua pengawal itu sepertinya tidak begitu suka dengan sikap yang ditunjukkan oleh Tarigan, Pandan Arum menghentikan keduanya dengan menahan dada mereka.Tarigan tersenyum tipis. Meskipun kedua pengawal itu berbadan besar dan berotot sebagaimana dengan dirinya, namun dia lebih tinggi dari mereka. Jadi, Tarigan tidak merasa risih sedikit pun dengan gertakan keduanya.Pandan Arum menyeringai, mendekati Tarigan dengan tatapan yang menelisik dari kepala hingga ke kaki.“Hmm, sepertinya aku mengenalmu,” Pandan Arum bahkan sampai mengelilingi Tarigan yang berdiri diam.“Aku meragukan itu,” sanggahnya. “Aah, saat kemarin aku baru menempati kamar ini, aku berpapasan denganmu. Jadi, kurasa mungkin karena hal ini Anda—”“Tidak,” Pandan Arum tersenyum dengan tatapan tajam kepada Tarigan, ia berhenti lagi selangkah di hadapannya. “Aku m
Di halaman depan dari tempat hiburan tersebut, Antaguna dihampiri oleh seorang kacung yang membawakan kuda hitamnya dari halaman di bagian barat.“Hei!” ia melemparkan sekeping koin perak pada si kacung.“Terima kasih, Tuan,” ujar si kacung dengan mata berbinar-binar dan senyum kebahagiaan. Mungkin itu adalah persenan terbesar yang pernah ia terima selama bekerja di tempat hiburan tersebut. “Terima kasih.”Antaguna tersenyum, lantas melompat ringan menaiki kudanya. “Ayo, Kumbang, kita tinggalkan tempat ini!”Kuda hitam bernama Sikumbang itu meringkik halus sebelum akhirnya berlalu dari halaman depan tersebut.Seorang penjaga memerhatikan Antaguna alias Tarigan sedari tadi, setelah pria tinggi besar itu pergi, barulah dia kembali masuk ke dalam kawasan hiburan. Seterusnya, dia menuju ke satu bangunan.“Masuklah!” ujar seorang pengawal berbadan besar dari balik pintu.“Uni,” ucap penjaga itu pada Pandan Arum yang sedang duduk di satu kursi mewah. “Pria tinggi besar itu telah meninggalka
Puti Bungo Satangkai telah cukup jauh meninggalkan kawasan Laras Sumpur, namun ia merasa belum lelah sama sekali, ia tetap melangkahkan kakinya, dan sampailah ia di satu persimpangan jalan.Cabang di kiri yang mengarah ke selatan, dan cabang di kanan yang akan membawanya ke arah barat laut, di ujung sana, Gunung Sago telah semakin terlihat jelas.Tentu saja, tujuannya adalah Gunung Sago. Dari sana nanti, bila ia terus mengarah ke barat, sebagaimana keterangan yang ia peroleh dari Kahar si pemilik penginapan itu, maka ia akan tiba di kawasan Ngarai Sianok.Sang gadis tersenyum menahan tawanya sebab ia mengingat lagi ucapan Kahar yang mengatakan ia akan sampai dalam tiga atau empat hari perjalanan menggunakan kuda.Tapi itu tidak masalah, pikirnya. Ia melirik ke kanan dan ke kiri, sepi, tidak seorang pun yang terlihat, tapi mungkin juga rumpun belukar yang tebal dan tinggi menghalangi pandangan.Lalu…Swoosh!Sekali ia bergerak, sosoknya sudah menghilang dari pandangan. Hanya gerak reru