Bukan hanya si guru wanita saja yang terperangah sebab baru kali ini ada lawan yang mampu membuat Jaring Jerat Naganya terpental sedemikian rupa, murid prianya pun sama.Terlebih lagi, bagi si murid pria, sosok lawanya itu masihlah terlihat belia, seperti gadis 18 tahun saja, tidak mungkin dia memiliki kekuatan yang besar.Sayangnya, penilaiannya sangat salah. Puti Bungo Satangkai memang terlihat masih seperti gadis 18 tahun, namun usia sebenarnya sudah mencapai 30 tahun.Si pemilik penginapan juga demikian. Wajahnya semakin pucat, berkali-kali ia mereguk ludah.“N-Naga?” gumamnya. “M-Mana mungkin! I-Itu hanya takhayul!”Tapi matanya tidak menipu dirinya, si guru wanita dan muridnya itu juga melihat hal yang sama ketika Bungo melepaskan tenaga yang begitu besar dan melesat ke atas laksana seekor naga yang meliuk-liuk mendaki langit.Memanfaatkan keterkejutan orang-orang itu, Bungo yang masih berada di satu ketinggian menyeringai, bola matanya membersitkan lidah api kemerah-merahan.Ha
Meskipun sang rembulan telah sedikit tergelincir dari titik tertingginya, orang-orang Laras Sumpur justru masih terlihat ramai di luar rumah, bukan untuk menyaksikan kesenian daerah—sebab acara itu sendiri sudah berakhir sedari tadi—tapi mengerubungi balai adat.Tiga jasad penculik yang tewas mengenaskan di tangan Puti Bungo Satangkai dibawa serta, menjadi tontonan warga. Tentu saja, demi menghindari satu dan lain hal, oleh Tuan Laras, mayat-mayat itu ditutupi dengan kain terlebih dahulu.“Jadi,” ujar Tuan Laras seraya menghela napas dalam-dalam, “tidak seorang pun dari kita di sini yang mengenal ketiga penculik ini.”Bungo ada di antara para tetua kampung tersebut dna juga Kahar, ia duduk mengapit putri Kahar. Sebelumnya, dengan kesaktiannya, ia membantu menyadarkan lima gadis yang diculik dan dalam kondisi tak sadarkan diri. Ternyata kelimanya telah diminumkan semacam racun ringan yang hanya membuat mereka pingsan.Dan setelah itu, masing-masing dikembalikan pada orang tua mereka.“
Sekitar selusin pria masih berdiri, berjaga-jaga di dekat ketiga jasad penculik, menunggu perintah lainnya dari Tuan Laras.“Tuan Laras,” ujar seorang di antara mereka begitu Tuan Laras keluar dari balai adat bersama dengan yang lainnya. “Apa yang akan kita lakukan pada ketiga jasad ini?”Tuan Laras menghela napas dalam-dalam. “Butuh waktu lima hari pulang-pergi istana, itupun dengan kuda tercepat,” ujarnya. “Kurasa, tidak ada waktu selama itu untuk dapat membuat ketiga jasad ini tetap utuh tanpa mengalami pembusukan sampai para penyidik istana datang ke sini.”“Jadi, apakah Tuan Laras meminta kami untuk membakar jasad mereka?”Meskipun di zaman itu pembakaran mayat adalah hal yang lumrah, namun Puti Bungo Satangkai langsung maju dan menghadap Tuan Laras.“Kau ingin mengatakan sesuatu?” tanyanya pada sang gadis.Bungo mengangguk, Kahar yang sedang menggandeng putrinya lantas mendekati Bungo.“Menurutku,” ujar Kahar menerjemahkan bahasa isyarat Bungo. “Akan lebih baik dikubur saja dari
Tidak menunggu lama, semua orang di dalam lorong dan ruang tahanan itu mulai merasakan kantuk yang luar biasa, kantuk yang tidak dapat mereka tahan yang dalam waktu bersamaan membuat kaki dan tubuh mereka menjadi lemas.Lalu mereka semua tertidur di posisi masing-masing.Si Balam Putiah menggunakan sebuah sapu tangan lebar, lalu menutup mulut dan hidungnya, dan kemudian memasuki lorong tersebut. Ia langsung menuju ke ruang tahanan kelima dari sisi kiri.Ia memandangi Kadik Aruma yang terlihat kurus hingga tulang-tulang rusuknya membayang di permukaan kulitnya.“Siapa menduga, hah?” gumam si Balam Putiah. “Ternyata kau adalah ayah dari Pandan Arum.”Ia mengeluarkan sebuah kunci dari balik pinggangnya, dan menggunakan kunci itu untuk membuka pintu tahanan.Si Balam Putiah langsung mengangkat dan membopong Kadik Aruma yang terasa sangat ringan baginya. Lagi pula, ia tak hendak berlama-lama di dalam penjara bawah tanah tersebut. Bukan lantaran khawatir terhadap orang-orang yang telah tert
Sebuah perahu besar dengan beberapa orang di atasnya sedang menunggu kedatangan Dalan dengan kereta kudanya. Dan begitu kereta kuda itu sudah terlihat, empat orang langsung melompat dengan ringan ke tepian sungai, meninggalkan dua orang saja di atas perahu panjang itu.Dalan menghentikan kereta kudanya. Dua pria yang telah berada di atas keretanya itu sebelumnya langsung melakukan persiapan untuk mengeluarkan Kadik Aruma yang masih dalam kondisi tak sadarkan diri.Empat pria yang melompat tadi menghampiri bagian belakang kereta. Dengan enam orang yang menggotong tubuh Kadik Aruma, ditambah dengan kemampuan meringankan tubuh mereka yang lumayan, sekali lompat saja, mereka telah berada di perahu besar dan panjang itu.“Hei,” panggil pria yang tadi kepada Dalan dari atas perahu. “Kau butuh teman untuk menyembunyikan kereta kudamu itu?”Dalan menyeringai. “Kecuali aku seorang anak kecil yang penakut, berengsek!”Si pria dan yang lainnya tertawa mendengar umpatan Dalan.“Baiklah,” ujarnya.
Untuk menghindari kecurigaan pengawasan para tukang pukul yang berjaga-jaga di jembatan kayu, juga di beberapa titik di kawasan itu, Tarigan lantas membawa dua gadis penghibur berpakaian minim dan sangat terbuka ke kamarnya.Tapi sebelum itu, ia harus membayar kedua gadis tersebut kepada seorang muncikari yang berada di balik meja panjang, meja yang menyedikan berbagai minuman memabukkan.Setelah itu, barulah ia bisa membawa kedua gadis ke kamarnya.Begitu berada di dalam kamarnya, dan ketika gadis-gadis tersebut hendak melepaskan pakaian mereka, Tarigan yang baru saja menutup pintu kamarnya lantas menotok pangkal leher mereka.Keduanya langsung lemas dan pingsan, Tarigan dengan cepat menahan tubuh mereka agar tidak bergedebukkan ke lantai. Ringan saja baginya yang bertubuh besar dan jangkung untuk mengangkat dua gadis sekaligus.Gadis-gadis itu dibaringankan dengan baik oleh Tarigan di atas dipan bambu yang memiliki satu lapisan kasur saja.Ia tersenyum memandangi wajah-wajah ayu ter
“Nama anak itu, Bardan,” ujar Pandan Arum. “Namun aku memintanya menggunakan nama samaran.”“Nama samaran?”“Ya,” Pandan Arum mengangguk. “Lorana.”“Tunggu dulu!” Kadik Aruma membelalak.Pandan Arum tersenyum lebar. “Kurasa Ayah pasti sudah dapat menebak, bukan?”“Aku memang belum bertemu langsung dengannya,” ujar Kadik Aruma. “Akan tetapi, saat di dalam penjara bawah tanah itu, aku memang mendengar bahwa salah seorang dari Tujuh Hulubalang Kerajaan bernama Lorana, dan dia bergelar—”“Si Balam Putiah!”Tarigan menyeringai halus di atas atap. ‘Sesuai dugaanku,’ pikirnya. ‘Kecurigaanku pada si Datuk Hulubalang itu memang sangat beralasan. Dasar sampah!’“Waah!” Kadik Aruma terkekeh-kekeh, mengangguk-angguk sembari mengusap-usap punggung putrinya tersebut. “Sungguh, kau bahkan lebih cerdik dariku, Putriku.”Pandan Arum tersenyum senang. “Ayah terlalu memujiku. Aku hanya melakukan apa yang harus aku lakukan.”“Aku tahu, aku tahu,” ujarnya. “Jadi, dialah yang mengeluarkanku dengan mengguna
“Ayah,” Pandan Arum mencoba menahan perasaannya. “Jangan bercanda! Jangan mengatakan hal yang aneh-aneh.”“Oh, Arum,” Kadik Aruma mendesah panjang dan berat. “Tapi ini adalah kenyataannya, Nak.”“Apakah selama di dalam penjara Ayah mengalami gegar otak, hah?!”Bahkan perempuan itu sampai terlonjak dari duduknya, ia berdiri dengan tatapan yang begitu tajam pada sang ayah, dan harus menahan amarah besar yang meledak di dalam dirinya yang diwakili oleh napasnya yang terengah-engah.”“Arum, dengarkan Ayah, Nak—”“Mereka pasti telah menyiksa Ayah dengan sangat buruk!” sahut Pandan Arum. “Jawab aku! Benar, kan?!”“Arum,” Kadik Aruma berdiri, menyentuh kedua bahu putrinya, menariknya ke dalam pelukannya. “Duduklah, mari bercakap dengan lebih tenang.”Meskipun pikiran Pandan Arum sangat terganggu dengan kenyataan yang disampaikan oleh ayahnya itu, namun tak urung dia juga ingin mendengarkan penjelasan yang lebih baik atas apa yang telah disampaikan sang ayah.“Dengar, Nak,” ujar Kadik Aruma s