Puti Bungo Satangkai menunggu cukup lama kehadiran Rajo Bungsu di taman belakang istana. Pagi itu, ia hendak meninggalkan istana untuk mengunjungi makam ayahnya, Sialang Babega, sekaligus akan menyampaikan keputusannya kepada sang raja.Masalahnya, Rajo Bungsu sedang ada pembicaraan khusus bersama Sembilan Cadiak Pandai dan para Datuk Hulubalang Kerajaan. Jadilah sang gadis harus menunggu sampai pembicaraan pejabat-pejabat istana selesai.Tapi ia tidak sendirian di taman belakang tersebut. Ada sang ratu, Gadih Cimpago, dan putra mahkota yang masih kecil dan sedang bermain-main dengan beberapa dayang dan Gadih Cimpago mengawasi mereka.Sebenarnya sang ratu hendak mengajak Bungo untuk sekadar bercakap-cakap, namun lantaran ia yang tidak memahami bahasa isyarat, itu hanya akan menjadi canggung saja. Lagi pula, sang ratu tak hendak mengganggu Gadih Cimpago dengan memintanya menjadi penerjemah.Bungo juga ikut mengawasi sang putra mahkota yang terlihat begitu ceria bermain bersama dayang-d
Puti Bungo Satangkai tersenyum dan mengangguk, ia mencoba untuk tidak menangis lagi meskipun ia tahu matanya sudah berkaca-kaca.Ia melepaskan pelukannya dari sang ratu, lalu melirik ke arah Gadih Cimpago. Wanita sakti itu menganggukkan kepalanya, ia paham dan mendengar itu meskipun dari jarak yang cukup jauh.Lalu tatapannya tertuju lagi pada sang ratu dan sang raja, dan Bungo sedikit membungkukkan badannya sebagai salam perpisahannya dengan mereka semua.“Pergilah, Bungo,” ujar Rajo Bungsu seraya meletakkan telapak tangan kanannya di kepala sang gadis. “Semoga para Dewa dan Dewi melindungimu.”Bungo menghela napas dalam-dalam, lalu meluruskan punggungnya. Sekali lagi, ia tersenyum dan mengangguk sebelum akhirnya memutar langkah, menuju ke sisi barat istana.Rajo Bungsu merangkul bahu sang permaisuri, menariknya ke dalam pelukannya.“Tidak bisa kubayangkan seperti apa kerinduannya…” sang ratu tidak dapat melanjutkan ucapannya sebab keharuan begitu besar melandanya.Rajo Bungsu mengec
“Baiklah,” ujarnya dengan membawa sebuah buku yang sudah lecek dan sebuah alat tulis. “Katakan, siapa namamu?”“Apa itu satu keharusan?”Si pria paruh baya terkekeh seraya mengusap-usap paha gadis yang bermanja kepadanya.“Dengar,” ujarnya. “Semua ini diperlukan untuk menghindari hal-hal yang akan merugikan tuan kami. Kau sepertinya orang yang baru pertama kali mengunjungi kami, jadi kau camkan itu baik-baik.”“Baiklah,” ujar si pria tinggi, “tidak masalah bagiku selama aku bisa bersenang-senang.”Pria paruh baya tertawa-tawa, ia mencubit gemas hidung sang gadis penghibur. “Dia pasti akan betah dan tinggal lebih lama di sini untuk menghambur-hamburkan uangnya.”Sang gadis terkikik, ia melirik pada si pria tinggi, lalu mengedipkan sebelah matanya.Si pria tinggi mendengus. “Tarigan,” ujarnya. “Namaku, Tarigan.”“Hmm,” pria paruh baya terkekeh-kekeh lagi, mungkin ia merasa lucu dengan nama tamunya yang aneh itu yang seolah tidak selaras dengan bentuk tubuhnya yang besar dan tinggi. “Bai
“Anda bisa melihat yang ada di lantai ini, bukan?” tanya si gadis pemandu.Yah, itu sudah sangat jelas, pikir Tarigan.“Di sini Anda bisa makan dan minum sembari menikmati layanan gadis-gadis kami, tapi tidak dengan menyetubuhi mereka.”“Baiklah,” Tarigan menghela napas dalam-dalam, dua tangannya berada di pinggang. “Lalu yang lainnya? Bagaimana dengan lantai di atas?”“Beberapa kamar istimewa yang tentu saja, jauh lebih mahal.”“Bisa kuperkirakan itu,” sahut Tarigan. “Selain daripada itu?”“Di lantai yang sama, Anda bisa—yaa, sesuatu yang lebih menyenangkan untuk Anda lakukan bila Anda bosan mencumbui para gadis di kamar Anda sendiri, bersama dengan tamu-tamu lainnya.”“Hmm, cukup menarik. Lalu?”“Lantai di atasnya terlarang untuk Anda kunjungi,” ujar sang gadis. “Hanya itu yang bisa aku katakan.”Itu berarti lantai tertinggi itu tempat tinggal si pemilik kawasan hiburan ini, pikir Tarigan. Dan itu juga berarti lebih berbahaya untuk didatangi sebab pasti akan ada orang-orang semacam
Tapi sepertinya keributan yang terjadi di salah satu meja itu tidak menjadi perhatian khusus bagi Pandan Arum. Ia dan dua pria yang mengawalnya tetap melangkah menuju lorong untuk keluar, dan itu satu-satunya jalan keluar-masuk bagian dalam kawasan tersebut.Tarigan masih memandangi Pandan Arum dan kedua pengawalnya itu hingga mereka menghilang ke dalam lorong.Sepertinya si pemilik hendak keluar untuk melakukan sesuatu, pikirnya.Kembali tatapannya tertuju pada empat pria yang saling baku hantam di depan sana. Dengan langkah santai, Tarigan mendekati keramaian itu, tujuannya bukan untuk ikut terlibat dalam perkelahian tersebut, melainkan untuk memesan makanan sebab ia sudah lapar.Di saat empat orang itu saling baku pukul, yang lainnya justru terlihat tenang-tenang saja. Mereka tetap makan dan minum dengan santai sembari ditemani gadis-gadis penghibur.Lalu muncul beberapa tukang pukul yang menjadi keamanan bagi tempat pelacuran tersebut. Barulah setelah itu kericuhan itu bisa direda
Puti Bungo Satangaki belum akan bertindak sebab ia ingin memastikan dugaannya lebih jauh. Bila sembarangan bertindak, mungkin saja ia akan mengganggu hukum adat atau hal-hal semacam itu—katakanlah, bila pasangan suami-istri itu ternyata telah berbuat salah.Di bawah sana, setelah pasangan muda itu diikatkan ke tiang dengan saling membelakangi. Dua pria tersebut menjauh dan berdiri sejajar dengan para pembawa enam suluh.Pria muda dan wanita muda yang sebelumnya berdiri di belakang si pria paruh baya lantas melangkah mendekati pasangan suami-istri yang masih meratap dan memohon dilepaskan itu.Sang wanita mendekati si suami, dan sang pria mendekati si istri. Lalu, tanpa ada sepatah kata pun, keduanya merobek-robek pakaian pasangan suami-istri tersebut.Tentu saja, hal ini semakin membuat pasangan suami-istri itu menjerit-jerit ketakutan. Mereka memohon lagi dan lagi. Tapi tangisan mereka tidak berarti apa-apa bagi muda-mudi tersebut hingga keduanya kini menjadi telanjang bulat.Kembali
Sebentar saja, sepuluh orang telah tergeletak menjadi mayat. Pasangan suami-istri itu mereguk ludah. Dan mereka semakin terperanjat sekaligus ketakutan ketika sesosok yang sangat cantik tiba-tiba telah berdiri di hadapan mereka, terpaut kurang dari selangkah.“M—Maafkan kami,” ucap si suami. “K—Kami tidak bersalah.”“B—Benar,” sahut si istri. “Kami hanya korban. Orang-orang ini yang salah.”Puti Bungo Satangkai dapat menebak itu. Bagaimanapun, di tengah-tengah masyarakat Minanga, berkembang satu ujar-ujar yang berbunyi, jika kau bertelanjang dan melakukan perbuatan asusila di tengah hutan, maka penunggu hutan akan mendatangimu.Dan itulah yang memang diyakini oleh pasangan suami-istri tersebut mengingat keadaan mereka yang sama telanjang.Saat Bungo menjulurkan tangannya, keduanya malah semakin ketakutan dan memohon-mohon. Tapi setelah mereka tahu bahwa Bungo hanya bermaksud melepaskan tali yang mengikat tubuh mereka, barulah mereka bisa lebih tenang.Dengan sedikit takut-takut, kedua
Menjelang tengah hari, Puti Bungo Satangkai tiba di satu kawasan berbukit-bukit yang sangat luas, juga dengan hutan rimbanya yang sangat lebat.‘Aah, sial! Seharusnya aku menempuh jalan umum,’ ia mendesah panjang lalu memerhatikan kondisi di sekitarnya.Tidak ada jalan besar yang ia temukan di sekitar itu selain jalan setapak yang bahkan terlihat sangat jarang dilalui orang-orang.Namun telinganya menangkap derap kaki kuda, dan itu sepertinya lebih dari satu. Bungo melirik ke arah kanan, sepertinya kuda-kuda itu datang dari arah timur. Lalu, ia memilih untuk bersembunyi saja di balik sebuah pohon besar.Tidak berapa lama, tiga penunggang kuda sudah terlihat dari arah kanan itu. Semakin mereka mendekati titik di mana Bungo bersembunyi, semakin jelas ketiga orang tersebut, yang di depan dan yang di samping kanan adalah pria, sedangkan yang di samping kiri adalah perempuan.Tidak ada yang mencurigakan dari ketiganya. Mereka mungkin penduduk setempat atau pejabat satu negeri yang hendak b