Puti Bungo Satangaki belum akan bertindak sebab ia ingin memastikan dugaannya lebih jauh. Bila sembarangan bertindak, mungkin saja ia akan mengganggu hukum adat atau hal-hal semacam itu—katakanlah, bila pasangan suami-istri itu ternyata telah berbuat salah.Di bawah sana, setelah pasangan muda itu diikatkan ke tiang dengan saling membelakangi. Dua pria tersebut menjauh dan berdiri sejajar dengan para pembawa enam suluh.Pria muda dan wanita muda yang sebelumnya berdiri di belakang si pria paruh baya lantas melangkah mendekati pasangan suami-istri yang masih meratap dan memohon dilepaskan itu.Sang wanita mendekati si suami, dan sang pria mendekati si istri. Lalu, tanpa ada sepatah kata pun, keduanya merobek-robek pakaian pasangan suami-istri tersebut.Tentu saja, hal ini semakin membuat pasangan suami-istri itu menjerit-jerit ketakutan. Mereka memohon lagi dan lagi. Tapi tangisan mereka tidak berarti apa-apa bagi muda-mudi tersebut hingga keduanya kini menjadi telanjang bulat.Kembali
Sebentar saja, sepuluh orang telah tergeletak menjadi mayat. Pasangan suami-istri itu mereguk ludah. Dan mereka semakin terperanjat sekaligus ketakutan ketika sesosok yang sangat cantik tiba-tiba telah berdiri di hadapan mereka, terpaut kurang dari selangkah.“M—Maafkan kami,” ucap si suami. “K—Kami tidak bersalah.”“B—Benar,” sahut si istri. “Kami hanya korban. Orang-orang ini yang salah.”Puti Bungo Satangkai dapat menebak itu. Bagaimanapun, di tengah-tengah masyarakat Minanga, berkembang satu ujar-ujar yang berbunyi, jika kau bertelanjang dan melakukan perbuatan asusila di tengah hutan, maka penunggu hutan akan mendatangimu.Dan itulah yang memang diyakini oleh pasangan suami-istri tersebut mengingat keadaan mereka yang sama telanjang.Saat Bungo menjulurkan tangannya, keduanya malah semakin ketakutan dan memohon-mohon. Tapi setelah mereka tahu bahwa Bungo hanya bermaksud melepaskan tali yang mengikat tubuh mereka, barulah mereka bisa lebih tenang.Dengan sedikit takut-takut, kedua
Menjelang tengah hari, Puti Bungo Satangkai tiba di satu kawasan berbukit-bukit yang sangat luas, juga dengan hutan rimbanya yang sangat lebat.‘Aah, sial! Seharusnya aku menempuh jalan umum,’ ia mendesah panjang lalu memerhatikan kondisi di sekitarnya.Tidak ada jalan besar yang ia temukan di sekitar itu selain jalan setapak yang bahkan terlihat sangat jarang dilalui orang-orang.Namun telinganya menangkap derap kaki kuda, dan itu sepertinya lebih dari satu. Bungo melirik ke arah kanan, sepertinya kuda-kuda itu datang dari arah timur. Lalu, ia memilih untuk bersembunyi saja di balik sebuah pohon besar.Tidak berapa lama, tiga penunggang kuda sudah terlihat dari arah kanan itu. Semakin mereka mendekati titik di mana Bungo bersembunyi, semakin jelas ketiga orang tersebut, yang di depan dan yang di samping kanan adalah pria, sedangkan yang di samping kiri adalah perempuan.Tidak ada yang mencurigakan dari ketiganya. Mereka mungkin penduduk setempat atau pejabat satu negeri yang hendak b
Puti Bungo Satangkai mengangguk. ‘Bisakah Anda memberi tahu saya, ke arah mana yang harus saya tuju?’Pria paruh baya tersenyum. Ia menunjuk ke arah kiri.“Kau ikuti saja labuah gadang di depan,” ujarnya. “Ke arah timur. Hei, kau memiliki kuda?”Sang gadis menggelengkan kepala. Ia memandang ke arah labuah—jalan—tanah yang tadi ia lewati untuk mendekati penginapan tersebut. Lalu memandang ke arah bayangan hitam tinggi di ujung barat sana.“Aah,” pria paruh baya mengangguk-angguk. “Kalau kau mengendarai kuda, aku rasa dalam empat sampai lima hari kau akan tiba di Ngarai Sianok setelah melewati Gunung Sago.”Aah, jadi itu nama gunung di sisi barat itu? Bungo mengangguk-angguk.“Setelah kau sampai di kawasan ngarai,” ujar si pria paruh baya. “Terus ikuti ngarai itu ke arah hulunya, nanti kau akan bertemu dengan nagari Bukit Apit.”Bungo menggerakkan empat jari tangan kanannya ke mulutnya.Pria paruh baya tertawa halus. “Sama-sama,” ujarnya. “Hemm, apa kau juga menginginkanku menyediakan m
“Pasti sangat sulit bagimu,” ujar si pria paruh baya.Eeh? Puti Bungo Satangkai mengernyit memandang pada si pemilik penginapan.“Maksudku,” ia mencoba tersenyum. “Dengan kondisimu yang tidak bisa bicara.”Sang gadis mengangguk. Tentu saja, pikirnya. Tidak semua orang memahami bahasa isyarat.Lalu pria paruh baya itu mendesah berat dan panjang, tatapannya tertuju pada keramaian di depan sana.Bungo dapat menangkap kegelisahan pria baik hati tersebut. Namun ia tidak berani lancang untuk bertanya tentang itu kepada orangnya langsung.“Orang-orang itu,” ujar si pria paruh baya. “Padahal mereka tahu bahwa akhir-akhir ini banyak terjadi penculikan.”Tunggu dulu! Bungo langsung menatap ke arah yang sama. Benar! Pikirnya. Kondisi keramaian seperti itu justru mempermudah orang-orang jahat untuk melancarkan aksi mereka. Seperti penculikan para gadis, misalnya.“Tadinya,” kata si pemilik. “Aku mengajukan keberatan pada Tuan Laras—yah, agar tahun ini Pesta Panen tidak diadakan saja. Mungkin meng
Sang kusir terpelanting ke arah kanan, lalu terhempas dan terguling-guling hingga terhenti dua langkah di dekat dua ekor kuda yang akan digunakan istri dan muridnya.Sang istri dan sang murid terkesiap mendapati pria tersebut tergeletak di dekat mereka, bahkan tidak bergerak sama sekali.“Guru!” sang murid memeriksa kondisi si kusir sementara si wanita mengedarkan pandangannya ke sekliling. “Guru!”Tapi ia menjadi semakin terkejut sebab mendapati bagian kiri kepala dan wajah sang guru remuk, dan darah mengalir begitu banyak dari telinga, mulut, dan lubang hidungnya. Dia telah tewas.“Siapa?!” teriak si wanita. Ia langsung menghunus pedangnya.Begitu juga dengan sang murid yang langsung berdiri di samping sang guru wanita. Lalu ia berbisik, “Guru, Tuan Guru telah meninggal!”“Aku tahu!” ucap si wanita yang mengetahui itu hanya dengan melihat kondisi suaminya yang tergeletak tak bergerak sebelumnya itu. “Bagaimanapun, Tuan Gurumu bukanlah pesilat kelas rendahan.”Tentu saja, dengan demi
“Kau tidak akan bisa lari, gadis keparat!” teriak si guru wanita.Bersamaan itu, ia kembali mengayunkan jaring hitamnya yang bergulung itu menyerang Puti Bungo Satangkai.‘Benar!’ gumam Bungo di dalam hati. ‘Jurus wanita itu memang sama dengan Antaguna, juga jaringnya itu meski dengan warna berbeda. Tapi, gerakannya lebih kasar.’Bungo melontarkan tubuhnya ke belakang, jaring hitam menderu, lewat sejengkal di atas tubuhnya.“Mati kau!”Seolah hidup, ujung jaring yang menyatu meliuk ke atas, lalu menukik ke arah dada sang gadis.Bungo melemparkan tubuhnya ke samping kanan, berputar kencang laksana kitiran.Crass!Ujung jaring hitam menembus permukaan tanah dan mengepulkan asap tipis. Benar-benar seperti gerakan seekor naga yang sedang mematuk, pikir Bungo.“Guru!” teriak si murid pria yang langsung melesat menyerang sang gadis dengan jurus pedangnya yang unik itu.Seolah memahami apa yang dikehendaki oleh muridnya, si guru wanita memutar jaring hitamnya hingga jaring itu kembali melili
Membiarkan dua orang itu bergabung menyerangnya adalah hal yang akan menyulitkan saja, sebab ia tidak menggunakan satu senjata pun. Oleh sebab itulah, Puti Bungo Satangkai, begitu berhasil melontarkan pedang si guru wanita, ia langsung melesat dengan ajian Kabut Kahyangannya ke arah si murid pria.Begitu sosok sang gadis lenyap dari pandangan, si murid pria masih dapat merasakan datangnya angin serangan kepadanya, ia dengan cepat melintangkan pedangnya di depan dadanya, tangan kirinya menahan ujung pedangnya.Deung!Sret! Sret!Tendangan Bungo dapat ditangkis oleh si murid pria meskipun ia harus terpental dan terhempas ke tanah untuk kedua kalinya, terguling-guling, dan bangkit dengan menancapkan pedangnya ke tanah, itupun dia masih terseret hingga tiga langkah sebelum berhenti sepenuhnya.Ia tersedak dan memuntahkan darah lebih banyak. “Berengsek!” makinya sebab ia sadar tenaga dalamnya kalah jauh dibanding lawannya.Sesaat setelah Bungo melancarkan tendangan keras dan dapat ditangki