Sang ratu seakan terlonjak dari posisi duduknya di tepi ranjang, ia mendekati Puti Bungo Satangkai. Tidak ada lagi sorot kecemburuan ataupun perasaan risih sang ratu terhadap gadis tersebut seperti sebelumnya.“B—Benarkah?” tanya sang ratu seraya memegang kedua bahu sang gadis.Bungo yang tentu saja belum mengetahui siapa sesungguhnya sang ratu hanya mengangguk dengan mencoba tersenyum.“Oh, Dewi Yang Mulia!”Sang ratu langsung memeluk Bungo, dan Bungo menjadi ragu-ragu untuk membalas pelukan sang ratu, lebih kepada rasa canggung.Namun lama kelamaan, ia mendengar sang ratu yang tiba-tiba terisak, juga lantaran getaran tubuh sang ratu sendiri yang ia rasakan.“Oh, Dewa Yang Agung,” sang ratu menangkup pipi sang gadis dengan telapak tangannya, menatapinya dengan mata yang berlinangan, serta ada senyum dan kebahagiaan yang terlihat di wajahnya. “Kau anak Zuraya, oh, Dewa…”Kembali sang ratu memeluk sang gadis.“Sayang,” ujar Rajo Bungsu. “Bungo bisu sedari lahir sebab Zuraya yang jatuh
Meskipun kondisi malam ini bukanlah malam bulan purnama, namun setidaknya, langit yang bersih membuat cahaya sang rembulan cukup mampu menerangi halaman di belakang istana. Taman bunga dengan sebuah kolam besar dan airnya yang mengalir itu terlihat cukup indah.Rajo Bungsu sendiri telah kembali membaik, ia menemani Puti Bungo Satangkai di taman belakang tersebut. Hanya mereka bedua saja di sana, ditemani oleh beberapa prajurit dan dayang-dayang yang berdiri di dekat dinding belakang istana, siap menerima perintah kapan saja dibutuhkan.Sama saat kejadian di kamarnya sore tadi, Rajo Bungsu tidak membutuhkan penerjemah bahasa isyarat sebab ia memahami setiap isyarat yang diberikan oleh gadis itu kepadanya.Satu-satunya alasan ia membutuhkan penerjemah ketika bertanya ini dan itu kepada Bungo saat di balai pertemuan sebelumnya itu, adalah disebabkan itu bukan hanya tentang dirinya saja, tapi tentang orang banyak ketika itu yang tidak semua dari mereka mampu memahami bahasa isyarat sang g
Ya, itu sudah pasti, pikir Puti Bungo Satangkai. Tujuh kelopak Teratai Abadi bila digabungkan, maka akan muncul petunjuk tentang kemunculan sebuah kerajaan baru yang akan menggantikan Kerajaan Minanga itu sendiri di masa mendatang.Hanya itu, tidak akan ada kesaktian ini dan itu yang akan didapat oleh siapa pun yang berhasil menyatukan ketujuh kelopak Teratai Abadi tersebut. Konon pula mengubah manusia menjadi abadi seperti para dewa dan dewi.“Kau juga pasti mengetahui,” ujar Rajo Bungsu. “Telah banyak nyawa melayang sia-sia hanya karena kabar burung yang ditambahkan orang-orang terhadap Teratai Abadi.”Ya, itulah alasan yang sangat disayangkan, pikir Bungo. Tidak saja oleh dirinya, tapi juga oleh Inyiak Mudo dan Inyiak Gadih. Terlebih lagi, keluarganya sendiri telah menjadi korban dari kabar burung itu sendiri.“Inilah alasanku memintamu untuk mengumpulkan empat kelopak Teratai Abadi lainnya, Bungo,” ujar sang raja. “Juga,” ia melirik lagi sang gadis. “Sekaligus mengembalikan kelopa
Seorang pria lainnya segera meraih sebuah kursi bambu dengan bantalan empuk sebagai alasnya untuk Pandan Arum.Pandan Arum duduk di kursi itu dengan gayanya yang sangat memperlihatkan betapa ia sangat berkuasa di wilayah tersebut. Dan ia masih menunggu si Balam Putiah untuk menanggapi pertanyaannya tadi.Dua pria berbadan kekar dan terlihat sangat tangguh itu, masing-masing berdiri di belakang sang pemilik pelacuran tersebut.Si Balam Putiah akhirnya mengerang panjang dan terputus-putus dengan tubuh mengejang hebat, untuk kesekian kalinya ia menyemburkan benihnya begitu saja di dalam liang sanggama salah seorang dari tiga pelacur yang melayaninya.Ia lantas menghempaskan tubuhnya ke salah satu kursi panjang berlapis bantalan empuk. Dengan napas terengah-engah, dan tubuh telanjang yang basah kuyub oleh keringatnya sendiri, ia memandang pada Pandan Arum.Ketiga gadis pelacur itu juga sudah sangat kelelahan, jadi mereka hanya berbaring saja di ranjang itu dengan kondisi yang telanjang bu
“Kadik Aruma,” ujar Pandan Arum, “mantan Hulubalang Kerajaan yang sezaman dengan si Kuciang Ameh.”“Dia ayahmu?” si Balam Putiah masih sulit untuk mempercayai ucapan si pemilik tempat pelacuran tersembunyi tersebut.Ia terdiam untuk sejenak. Siapa Kadik Aruma, di tahu dengan jelas, juga alasan mengapa dia dipenjara.Kadik Aruma ketika itu hendak membunuh Mantiko Sati yang masih terluka setelah pertarungan dengan Darna Dalun. Tapi aksinya itu dipergoki oleh si Kuciang Ameh yang kini telah menjadi raja, beserta kakaknya, Bungo Kanduang.Alasannya ketika itu, sebab Kadik Aruma tidak ingin usaha putrinya—sebuah tempat pelacuran yang berdekatan dengan Batang Ombilin di dekat Danau Singkarak. Sebab, dengan tewasnya Darna Dalun, maka kerajaan yang diambil alih oleh si Kuciang Ameh akan memberangus semua kegiatan asusila tersebut.Tapi yang tidak disangka-sangka oleh si Balam Putiah adalah Pandan Arum sendiri yang ternyata adalah putri Kadik Aruma dan sekaligus pengelola tempat pelacuran ters
Puti Bungo Satangkai harus mengakui bahwa kamar yang ia tempati kini itu sangat luas dan indah, bahkan terbilang megah. Tapi, tentu saja itu dapat diperkirakan mengingat ia sekarang berada di dalam Istana Minanga. Dan menurut Gadih Cimpago, kamar ini adalah kamar yang sama yang dahulu pernah digunakan oleh kakaknya, Mantiko Sati.Hanya saja, entah ia yang sudah terbiasa tidur di gubuk yang sempit, atau terkadang di alam liar, Bungo sama sekali tidak dapat menikmati ranjang besar yang empuk itu. Terlelap hanya sekejap, lalu terbangun lagi. Begitu terus berulang-ulang.Karena tidak jua bisa tidur, ia memilih duduk di dekat jendela setelah jendela kamarnya itu ia buka. Posisi kamarnya berada di lantai dua di sayap kanan dari bangunan istana, menghadap ke belakang.Dari posisi duduknya itu, ia dapat melihat taman istana, juga kolam besar dengan airnya mengalir.Tiba-tiba ia terpikirkan tentang Antaguna, lalu ada senyum di sudut bibirnya.‘Bagaimana keadaan pria berengsek itu sekarang? Kuh
Puti Bungo Satangkai menunggu cukup lama kehadiran Rajo Bungsu di taman belakang istana. Pagi itu, ia hendak meninggalkan istana untuk mengunjungi makam ayahnya, Sialang Babega, sekaligus akan menyampaikan keputusannya kepada sang raja.Masalahnya, Rajo Bungsu sedang ada pembicaraan khusus bersama Sembilan Cadiak Pandai dan para Datuk Hulubalang Kerajaan. Jadilah sang gadis harus menunggu sampai pembicaraan pejabat-pejabat istana selesai.Tapi ia tidak sendirian di taman belakang tersebut. Ada sang ratu, Gadih Cimpago, dan putra mahkota yang masih kecil dan sedang bermain-main dengan beberapa dayang dan Gadih Cimpago mengawasi mereka.Sebenarnya sang ratu hendak mengajak Bungo untuk sekadar bercakap-cakap, namun lantaran ia yang tidak memahami bahasa isyarat, itu hanya akan menjadi canggung saja. Lagi pula, sang ratu tak hendak mengganggu Gadih Cimpago dengan memintanya menjadi penerjemah.Bungo juga ikut mengawasi sang putra mahkota yang terlihat begitu ceria bermain bersama dayang-d
Puti Bungo Satangkai tersenyum dan mengangguk, ia mencoba untuk tidak menangis lagi meskipun ia tahu matanya sudah berkaca-kaca.Ia melepaskan pelukannya dari sang ratu, lalu melirik ke arah Gadih Cimpago. Wanita sakti itu menganggukkan kepalanya, ia paham dan mendengar itu meskipun dari jarak yang cukup jauh.Lalu tatapannya tertuju lagi pada sang ratu dan sang raja, dan Bungo sedikit membungkukkan badannya sebagai salam perpisahannya dengan mereka semua.“Pergilah, Bungo,” ujar Rajo Bungsu seraya meletakkan telapak tangan kanannya di kepala sang gadis. “Semoga para Dewa dan Dewi melindungimu.”Bungo menghela napas dalam-dalam, lalu meluruskan punggungnya. Sekali lagi, ia tersenyum dan mengangguk sebelum akhirnya memutar langkah, menuju ke sisi barat istana.Rajo Bungsu merangkul bahu sang permaisuri, menariknya ke dalam pelukannya.“Tidak bisa kubayangkan seperti apa kerinduannya…” sang ratu tidak dapat melanjutkan ucapannya sebab keharuan begitu besar melandanya.Rajo Bungsu mengec
Puti Bungo Satangkai duduk sembari memerhatikan Antaguna dengan dagunya bertopang pada telapak tangannya, dan sikunya bertopang pada lutut yang menekuk ke atas, di bagian depan sampan yang sedang meluncur ke arah barat.Sementara Antaguna, duduk di bagian ujung lain sampan, bagian belakang, sembari mendayung dan membawa sampan ke tengah-tengah laut.Pria besar dan berotot menjadi malu sendiri sebab selalu diperhatikan sang gadis, bahkan sembari tersenyum-senyum menatapnya.“Hei, ermm … apakah pulau itu masih jauh?” Antaguna membuang pandangan ke samping. Terlalu jengah diperhatikan seperti ini, pikirnya.Dan sang gadis hanya mengangguk saja sembari tetap tersenyum-senyum manja.“Kupikir tadinya kau bilang di seberang laut,” Antaguna mendesah panjang. “Ini bukan laut, tapi sebuah samudra, dasar gadis bodoh. Kau mengerjaiku!”Bungo terkikik dan menggeleng-geleng kecil yang semakin membuat Antaguna menjadi jengah dan bimbang. Bimbang sebab ingin saja pada saat itu dia menerkam sang gadis
Puti Bungo Satangkai, Antaguna, dan Sondang Tiur akhirnya tiba di Istana Minanga, di Batang Kuantan.Ketiganya disambut dengan cukup meriah oleh Rajo Bungsu dan orang-orang istana. Terlebih lagi, dengan keberhasilan Bungo yang mendapatkan semua kepingan Teratai Abadi. Meskipun, kegembiraan mereka sedikit terusik dengan kematian si Kumbang Janti.Hanya saja, baik Antaguna maupun Bungo sendiri tak hendak membicarakan tentang keburukan yang pernah dilakukan si Kumbang Janti sehingga membuat Antaguna cacat wajahnya. Tidak pula oleh Sondang Tiur yang juga mengetahui alasan di balik hal tersebut.Sama seperti jawaban Antaguna kepada Mantiko Sati dan Puti Pandan Sahalai di Ngarai Sianok, begitu pula yang mereka sampaikan keduanya kepada Rajo Bungsu dan orang banyak ketika sang raja bertanya perihal perubahan di wajah si pria tinggi besar.Rajo Bungsu dan Ratu Nan Sabatang, juga Gadih Cimpago sangat bersuka cita ketika mereka mendengar bahwa Bungo dan dua orang yang menemaninya bertemu dengan
‘Katakan padaku,’ Puti Bungo Satangkai menatap ke dalam mata Antaguna. ‘Kenapa kau merahasiakan tentang lukamu itu dariku?’“Bungo …” Antaguna menghela napas dalam-dalam. “Tidak ada gunanya diungkit-ungkit lagi. Aku sudah memberi tahu alasan di balik lukaku ini. Bahkan di depan abangmu, ingat?”‘Apakah kau pikir abangku dan aku sendiri begitu buta untuk tidak menyadari bahwa kau sengaja berbohong?’Sementara itu, Sondang Tiur sengaja menjauh dengan alasan mencari ikan untuk makan mereka di siang itu, di satu aliran sungai kecil yang jernih. Dia tahu dengan baik bahwa Bungo hanya ingin berbicara empat mata saja dengan Antaguna. Tentang, sesuatu yang bersifat sangat pribadi, mungkin, pikirnya.Antaguna mendesah halus dan menunduk.‘Hei!’ Bungo mendorong pelan bahu pria besar. ‘Katakan padaku! Kenapa?’Akan tetapi, sampai beberapa saat lamanya, Antaguna tak hendak memberi tahu alasan sesungguhnya kepada sang gadis.‘Hei, katakan padaku! Apakah kau masih menganggapku temanmu? Beri tahu ak
Kicau burung liar terdengar cukup menenangkan pikiran. Ditambah dengan pekik hewan dan suara aliran air di sungai, semua itu menemani sekumpulan orang yang sedang berdiri di satu titik, di sisi timur aliran sungai, di tengah-tengah lembah Ngarai Sianok.Puti Bungo Satangkai berlutut dengan menggenggam sejumput bunga liar yang indah dan masih basah oleh embun. Lalu disusul pula oleh sang kakak, Mantiko Sati, yang berlutut di samping kirinya.Sementara yang lainnya berdiri hening dengan kepala tertunduk.Kakak beradik itu meletakkan bunga-bunga liar di satu titik di permukaan tanah, di antara batu-batu kerikil yang lebih mencolok dengan warna kehitam-hitaman di antara lainnya.Di titik itulah di mana Zuraya pernah tergeletak tak berdaya dan mati. Di titik itu pula Bungo dilahirkan dengan sangat terpaksa. Di titik yang sama pula Inyiak Mudo lantas membakar jasad Zuraya.Mantiko Sati tidak pernah bisa menemukan jasad Zuraya ketika malam jahanam itu terjadi. Dia tidak tahu bahwa di titik i
Mantiko Sati lantas tersenyum lebar dengan gelengan kepalanya, membuat semua orang menjadi bertanya-tanya. Terutama, bagi Antaguna sendiri.“Uda?”“Wajahmu, Tarigan. Wajahmu.”Antaguna mulai merasakan sesuatu yang mungkin akan menyakitkan beberapa orang di antara mereka. Lagi, dia mereguk ludah sembari melirik Puti Bungo Satangkai dari sudut matanya, lalu tertunduk.“Terakhir kali kita bertemu,” kata Mantiko Sati. “Wajahmu masih terlihat gagah. Dan aku yakin, bekas luka di wajahmu itu adalah akibat dari terkena Cakar Kucing Emas, bukan?”Degh!Tidak Antaguna saja yang berdegup kencang jantungnya, tapi juga Bungo.Sang gadis yang dalam waktu belakangan ini cukup penasaran dengan kecacatan yang didapat Antaguna pada wajahnya memang ingin mengetahui cerita di balik itu semua. Hanya saja, semenjak kembali dari Pulau Telaga Tujuh, Antaguna sama sekali tidak mau menyinggung perihal bekas lukanya tersebut.“Uda, aku―”“Bisakah kau melepas bajumu, Tarigan?”Antaguna semakin menggigil. Bukan l
Puti Pandan Sahalai tertawa halus seraya mengusap bahu Sondang Tiur.“Baiklah, baiklah,” ucapnya. “Tapi, jangan sampai terdengar oleh suamiku.”“Kenapa?”Kebingungan si gadis Batak juga menjadi kebingungan Antaguna yang tentu saja mendengar percakapan keduanya.“Sejauh yang aku tahu,” lanjut Sondang Tiur. “Seluruh masyarakat di Minanga ini mengetahui bahwa seorang Mantiko Sati adalah pria rupawan yang sangat sopan dan halus budi bahasa. Kurasa dia tidak akan keberatan.”Lagi, mantan Ratu Minanga itu tertawa halus dan sangat merdu. “Oh, Tiur … kau hanya belum tahu saja bagaimana dalamannya!”“Oops …” Sondang Tiur terkikik.Dan Antaguna hanya bisa tersenyum sembari membuang muka. Dasar perempuan, pikirnya.Dan kemudian si pria berbadan besar membantu Sondang Tiur dan Puti Pandan Sahalai untuk memanggang daging yang tersedia di atas nampan kayu lebar, mempersiapkan makan malam bagi mereka semua.Malam itu berlalu dengan banyak kegembiraan. Sekaligus, ini adalah makan malam paling membaha
Pria rupawan mengernyit. Dia berhenti tepat dua langkah di hadapan Antaguna.Sementara itu, Puti Bungo Satangkai pun akhirnya menghentikan serangannya sebab dihalangi oleh Antaguna yang berlutut di tengah-tengah di antara dia dan si pria rupawan.‘Apa yang kau lakukan?!’ Bungo menggerak-gerakkan tangannya.“Bungo, jangan teruskan!”“Tarigan!” Pria rupawan memandang si gadis bisu sebelum kembali pada Antaguna. “Apa maksud dari semua ini?”“Uda, kumohon!”“Berdirilah! Kau tahu aku benci seseorang yang berlutut di hadapan orang lainnya, bukan?”Antaguna mengangguk dan berdiri. Bungo menghampirinya dengan tatapan menuntut penjelasan lebih.“Siapa gadis ini, Tarigan?”“Uda …” Antaguna melirik pada Bungo dan mengangguk.Bungo mengernyit. ‘Apa artinya ini?’“Bungo,” ucap pria tinggi besar dan berotot dengan menggenggam tangan sang gadis. Lalu melirik pria rupawan yang juga memaksa sang gadis untuk menatap pria yang sama. “Dia, Uda Buyung. Abangmu, Bungo.”‘Kau bilang apa?’ Bungo membelalak.
Pria kurus tiba-tiba terdiam dan membelalak. “K-Kau, kau …”‘Tunggulah di sini. Aku akan menghajar orang yang telah melukaimu!’Dan Puti Bungo Satangkai lantas menyerang si pria rupawan. Sementara pria bernama Fèng itu hanya bisa termangu sembari mengusap lelehan darah di sudut bibirnya dengan punggung tangannya.Fèng adalah pria yang sama yang pernah dijumpai oleh Bungo di satu hutan lebat, di seberang sungai di mana si Simpai Gilo tinggal. Pria yang nyaris sepenuhnya menjadi gila itu akhirnya merelakan kematian istrinya setelah bertemu dengan si gadis bisu tersebut.Alasan Bungo ingin melindunginya sebab si Simpai Gilo sendiri sepertinya telah mengawasi Fèng sebelum kematiannya. Atau lebih tepatnya, menjaga Fèng dan rutin memberikannya makanan.Inilah yang diyakini oleh sang gadis sehingga dia menyerang si pria rupawan tanpa tahu duduk permasalahan di antara keduanya terlebih dahulu.“Hei, Nona. Kau tidak harus―”Tapi ucapan si pria rupawan tidak didengar oleh Bungo. Sang gadis tela
Pria rupawan berputar-putar cepat di udara. Di satu ketinggian, dia merentangkan tangan dan kakinya dengan tiba-tiba sehingga gerakan berputar tubuhnya terhenti. Lalu dia menukik ke arah si pria kurus dan pucat.Pria kurus mengibaskan pedangnya ke samping.Swiing!Dan seketika, bilah pedang merah seolah dibungkus oleh lidah api.“Apa pun jurusmu, aku sudah siap menahan itu!” ucapnya dengan sangat percaya diri.Pria rupawan tersenyum lagi. Selagi tubuhnya meluncur ke bawah, dia melenting ke belakang, berjumpalitan sekali, lalu menukik lagi dengan lebih cepat.Pada satu ketinggian yang ia rasa pas, pria rupawan lantas menghantamkan cakar tangan kanannya ke arah si pria pucat di bawah.“Terima seranganku, kawan, Auman Membuncah Samudra!”“Serang aku!” teriak si pria kurus pucat.Swoosh!Lagi-lagi gelombang angin yang dahsyat disertai kilat-kilat kecil kebiru-biruan menderu dari cakar si pria rupawan. Bahkan, suara bergaung yang menyertai serangan itu sendiri laksana auman seekor harimau