“Dengarkan titahku!” ujar Rajo Bungsu yang akhirnya berdiri lagi dengan dibantu oleh Puti Bungo Satangkai.Semua kepala langsung menunduk mendengar ucapan sang raja. Kecuali, yah, sang gadis seorang yang tidak terbiasa dengan segala tata krama dalam istana.“Talago!”“Duli Paduko,” si Kumbang Janti menjatuhkan keningnya ke lantai.“Tidak akan ada asap jikalau tidak ada api,” ujar Rajo Bungsu. “Bagaimanapun, kabar burung telah merebak di tengah-tengah masyarakat. Meskipun aku percaya dan yakin bahwa engkau tidak melakukan hal yang dituduhkan itu, akan tetapi, demi untuk meredam gunjingan-gunjingan yang hanya akan merugikan kerajaan. Dengan ini, aku menjatuhkan hukuman kurungan selama tujuh purnama kepadamu.”Si Kumbang Janti menghela napas dalam-dalam. Itu lebih baik daripada segala sesuatu menjadi semakin kusut, pikirnya.“Bagaimana tanggapanmu?”“Duli Paduko,” ujar si Kumbang Janti tanpa mengangkat keningnya dari lantai. “Patik siap menjalankan hukuman demi marwah kerajaan.”“Bagus!”
Sang ratu seakan terlonjak dari posisi duduknya di tepi ranjang, ia mendekati Puti Bungo Satangkai. Tidak ada lagi sorot kecemburuan ataupun perasaan risih sang ratu terhadap gadis tersebut seperti sebelumnya.“B—Benarkah?” tanya sang ratu seraya memegang kedua bahu sang gadis.Bungo yang tentu saja belum mengetahui siapa sesungguhnya sang ratu hanya mengangguk dengan mencoba tersenyum.“Oh, Dewi Yang Mulia!”Sang ratu langsung memeluk Bungo, dan Bungo menjadi ragu-ragu untuk membalas pelukan sang ratu, lebih kepada rasa canggung.Namun lama kelamaan, ia mendengar sang ratu yang tiba-tiba terisak, juga lantaran getaran tubuh sang ratu sendiri yang ia rasakan.“Oh, Dewa Yang Agung,” sang ratu menangkup pipi sang gadis dengan telapak tangannya, menatapinya dengan mata yang berlinangan, serta ada senyum dan kebahagiaan yang terlihat di wajahnya. “Kau anak Zuraya, oh, Dewa…”Kembali sang ratu memeluk sang gadis.“Sayang,” ujar Rajo Bungsu. “Bungo bisu sedari lahir sebab Zuraya yang jatuh
Meskipun kondisi malam ini bukanlah malam bulan purnama, namun setidaknya, langit yang bersih membuat cahaya sang rembulan cukup mampu menerangi halaman di belakang istana. Taman bunga dengan sebuah kolam besar dan airnya yang mengalir itu terlihat cukup indah.Rajo Bungsu sendiri telah kembali membaik, ia menemani Puti Bungo Satangkai di taman belakang tersebut. Hanya mereka bedua saja di sana, ditemani oleh beberapa prajurit dan dayang-dayang yang berdiri di dekat dinding belakang istana, siap menerima perintah kapan saja dibutuhkan.Sama saat kejadian di kamarnya sore tadi, Rajo Bungsu tidak membutuhkan penerjemah bahasa isyarat sebab ia memahami setiap isyarat yang diberikan oleh gadis itu kepadanya.Satu-satunya alasan ia membutuhkan penerjemah ketika bertanya ini dan itu kepada Bungo saat di balai pertemuan sebelumnya itu, adalah disebabkan itu bukan hanya tentang dirinya saja, tapi tentang orang banyak ketika itu yang tidak semua dari mereka mampu memahami bahasa isyarat sang g
Ya, itu sudah pasti, pikir Puti Bungo Satangkai. Tujuh kelopak Teratai Abadi bila digabungkan, maka akan muncul petunjuk tentang kemunculan sebuah kerajaan baru yang akan menggantikan Kerajaan Minanga itu sendiri di masa mendatang.Hanya itu, tidak akan ada kesaktian ini dan itu yang akan didapat oleh siapa pun yang berhasil menyatukan ketujuh kelopak Teratai Abadi tersebut. Konon pula mengubah manusia menjadi abadi seperti para dewa dan dewi.“Kau juga pasti mengetahui,” ujar Rajo Bungsu. “Telah banyak nyawa melayang sia-sia hanya karena kabar burung yang ditambahkan orang-orang terhadap Teratai Abadi.”Ya, itulah alasan yang sangat disayangkan, pikir Bungo. Tidak saja oleh dirinya, tapi juga oleh Inyiak Mudo dan Inyiak Gadih. Terlebih lagi, keluarganya sendiri telah menjadi korban dari kabar burung itu sendiri.“Inilah alasanku memintamu untuk mengumpulkan empat kelopak Teratai Abadi lainnya, Bungo,” ujar sang raja. “Juga,” ia melirik lagi sang gadis. “Sekaligus mengembalikan kelopa
Seorang pria lainnya segera meraih sebuah kursi bambu dengan bantalan empuk sebagai alasnya untuk Pandan Arum.Pandan Arum duduk di kursi itu dengan gayanya yang sangat memperlihatkan betapa ia sangat berkuasa di wilayah tersebut. Dan ia masih menunggu si Balam Putiah untuk menanggapi pertanyaannya tadi.Dua pria berbadan kekar dan terlihat sangat tangguh itu, masing-masing berdiri di belakang sang pemilik pelacuran tersebut.Si Balam Putiah akhirnya mengerang panjang dan terputus-putus dengan tubuh mengejang hebat, untuk kesekian kalinya ia menyemburkan benihnya begitu saja di dalam liang sanggama salah seorang dari tiga pelacur yang melayaninya.Ia lantas menghempaskan tubuhnya ke salah satu kursi panjang berlapis bantalan empuk. Dengan napas terengah-engah, dan tubuh telanjang yang basah kuyub oleh keringatnya sendiri, ia memandang pada Pandan Arum.Ketiga gadis pelacur itu juga sudah sangat kelelahan, jadi mereka hanya berbaring saja di ranjang itu dengan kondisi yang telanjang bu
“Kadik Aruma,” ujar Pandan Arum, “mantan Hulubalang Kerajaan yang sezaman dengan si Kuciang Ameh.”“Dia ayahmu?” si Balam Putiah masih sulit untuk mempercayai ucapan si pemilik tempat pelacuran tersembunyi tersebut.Ia terdiam untuk sejenak. Siapa Kadik Aruma, di tahu dengan jelas, juga alasan mengapa dia dipenjara.Kadik Aruma ketika itu hendak membunuh Mantiko Sati yang masih terluka setelah pertarungan dengan Darna Dalun. Tapi aksinya itu dipergoki oleh si Kuciang Ameh yang kini telah menjadi raja, beserta kakaknya, Bungo Kanduang.Alasannya ketika itu, sebab Kadik Aruma tidak ingin usaha putrinya—sebuah tempat pelacuran yang berdekatan dengan Batang Ombilin di dekat Danau Singkarak. Sebab, dengan tewasnya Darna Dalun, maka kerajaan yang diambil alih oleh si Kuciang Ameh akan memberangus semua kegiatan asusila tersebut.Tapi yang tidak disangka-sangka oleh si Balam Putiah adalah Pandan Arum sendiri yang ternyata adalah putri Kadik Aruma dan sekaligus pengelola tempat pelacuran ters
Puti Bungo Satangkai harus mengakui bahwa kamar yang ia tempati kini itu sangat luas dan indah, bahkan terbilang megah. Tapi, tentu saja itu dapat diperkirakan mengingat ia sekarang berada di dalam Istana Minanga. Dan menurut Gadih Cimpago, kamar ini adalah kamar yang sama yang dahulu pernah digunakan oleh kakaknya, Mantiko Sati.Hanya saja, entah ia yang sudah terbiasa tidur di gubuk yang sempit, atau terkadang di alam liar, Bungo sama sekali tidak dapat menikmati ranjang besar yang empuk itu. Terlelap hanya sekejap, lalu terbangun lagi. Begitu terus berulang-ulang.Karena tidak jua bisa tidur, ia memilih duduk di dekat jendela setelah jendela kamarnya itu ia buka. Posisi kamarnya berada di lantai dua di sayap kanan dari bangunan istana, menghadap ke belakang.Dari posisi duduknya itu, ia dapat melihat taman istana, juga kolam besar dengan airnya mengalir.Tiba-tiba ia terpikirkan tentang Antaguna, lalu ada senyum di sudut bibirnya.‘Bagaimana keadaan pria berengsek itu sekarang? Kuh
Puti Bungo Satangkai menunggu cukup lama kehadiran Rajo Bungsu di taman belakang istana. Pagi itu, ia hendak meninggalkan istana untuk mengunjungi makam ayahnya, Sialang Babega, sekaligus akan menyampaikan keputusannya kepada sang raja.Masalahnya, Rajo Bungsu sedang ada pembicaraan khusus bersama Sembilan Cadiak Pandai dan para Datuk Hulubalang Kerajaan. Jadilah sang gadis harus menunggu sampai pembicaraan pejabat-pejabat istana selesai.Tapi ia tidak sendirian di taman belakang tersebut. Ada sang ratu, Gadih Cimpago, dan putra mahkota yang masih kecil dan sedang bermain-main dengan beberapa dayang dan Gadih Cimpago mengawasi mereka.Sebenarnya sang ratu hendak mengajak Bungo untuk sekadar bercakap-cakap, namun lantaran ia yang tidak memahami bahasa isyarat, itu hanya akan menjadi canggung saja. Lagi pula, sang ratu tak hendak mengganggu Gadih Cimpago dengan memintanya menjadi penerjemah.Bungo juga ikut mengawasi sang putra mahkota yang terlihat begitu ceria bermain bersama dayang-d