Share

Hal yang Disepelekan

Penulis: Minang KW
last update Terakhir Diperbarui: 2022-11-13 03:56:44

“Aku senang sebab kalian dapat menjalankan perintahku dengan baik,” ujar Rajo Bungsu pada Enam Hulubalang Kerajaan. “Tapi di waktu yang bersamaan,” dia berbalik, menatap setiap orang di hadapannya, “aku juga sangat bersedih. Bersedih atas apa yang telah dialami para gadis itu.”

Pagi itu, sang raja beserta Sembilan Cadiak Pandai dan Enam Hulubalang Kerajaan sedang berada di taman belakang istana, di dekat kolam besar yang airnya mengalir dari sungai di belakang tembok.

Sembilan Cadiak Pandai berdiri di dekat teras sedangkan Enam Hulubalang Kerajaan berdiri tiga langkah di hadapan sang raja.

“Bagaimana mungkin,” Rajo Bungsu juga melirik kepada Sembilan Cadiak Pandai, “hal hina semacam ini tidak kita ketahui, dan itu telah terjadi selama bertahun-tahun?”

Tidak ada yang dapat menjawab pertanyaan sang raja. Tidak enam pendekar pelindung kerajaan itu, tidak pula sembilan pemikir di belakang sana. Bagaimanapun, mereka sama-sama terkecoh oleh sifat dan sikap si Balam Putiah selama ini.

Rajo B
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Munculnya Seorang Pesaing

    “Apakah gadis-gadis itu sudah engkau pastikan mendapatkan perlindungan sebelum dipulangkan ke keluarga mereka masing-masing?”Si Kumbang Janti membungkuk. “Sudah, Paduko. Kami sudah memastikan itu, dan setiap gadis didampingi oleh tujuh prajurit untuk sampai ke keluarga mereka dengan selamat.”Rajo Bungsu menghela napas dalam-dalam. “Aku ingin memintamu melakukan sesuatu,” dia menatap ke dalam mata si Kumbang Janti. “Tapi aku ragu apakah engkau bersedia atau tidak.”“Paduko,” si Kumbang Janti menundukkan kepalanya. “Katakan saja, patik pasti akan melakukan yang terbaik yang patik bisa.”“Mencari keberadaan Kadik Aruma dan putrinya.”“Dengan senang hati akan patik laksanakan titah Anda, Paduko.”“Bagus!” sang raja mengangguk-angguk. “Aku mempercayakan hal ini kepadamu. Apakah selama berada di dalam penjara telah membuatmu manja, Talago?”Si Kumbang Janti tersenyum dan menggeleng. “Setiap malam, patik selalu melatih diri dalam keheningan, Paduko.”Rajo Bungsu menepuk-nepuk pelan punggun

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-13
  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Sebab Akibat

    Si Kumbang Janti mendesah berat dan panjang. “Dengar, Lorana,” ujarnya, “aku tahu seperti apa perasaanmu saat ini. Akan tetapi—”“Kau tidak akan tahu, Talago!” kembali si Balam Putiah beratap muka dengan si Kumbang Janti. “Tidak akan pernah! Jangan mengingau di hadapanku!”Yah, pikir si Kumbang Janti. Harga dirinya yang pecah berderai telah membuatnya menjadi lebih kasar. Atau, memang seperti inilah sifat aslinya.“Kau lupa,” ujar si Kumbang Janti, “bahwa aku pernah merasa sangat malu dan hina dengan fitnah yang ditujukan kepadaku, dan kau yang menuduhku dengan menggebu-gebu… aku sama, Lorana. Hanya manusia biasa yang juga punya perasaan yang bisa terluka. Tapi setidaknya, aku menjadikan hal itu sebagai pembelajaran bagiku.”“Jadi kau datang hanya untuk mengejekku, hah?” si Balam Putiah menyeringai semakin lebar. “Kau datang untuk membalaskan sakit hatimu padaku!”“Sudah kukatakan, bukan?” sanggah si Kumbang Janti. “Aku datang bukan untuk menghinakanmu apalagi untuk membalaskan sakit

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-13
  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Kutang Berenda

    Si Kumbang Janti akhirnya berdiri, dan melangkah mendekati pintu jeruji, lalu dia berhenti sejenak, melirik si Balam Putiah dari ujung bahunya. “Kau tahu,” ujarnya, “setelah semua yang terjadi, aku masih menaruh harapan padamu. Dan aku akan melakukan yang terbaik yang bisa kulakukan untuk membersihkan namamu. Lagi pula, Paduko Rajo melarang kami untuk menyebarkan perihal keterlibatanmu dengan tempat pelacuran itu.” Si Balam Putiah mengangkat kepalanya. Menatap punggung pria di dekat pintu jeruji tersebut. “Kau!” “Aku hanya ingi mencoba mengembalikan temanku yang dulu,” si Kumbang Janti tersenyum tanpa berpaling. “Teman seperjuangan demi negeri ini.” “K-Kau yang menyarankan itu pada Paduko?” Kembali dia tersenyum. “Apakah itu sesuatu yang salah?” Si Balam Putaih terdiam dan tertunduk lemah. “Kau memang bodoh!” “Aku tahu,” si Kumbang Janti menghela napas dalam-dalam. Setelah itu, dia keluar dari ruang penjara tersebut, ketika dua prajurit itu hendak mengunci kembali pintu itu, s

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-13
  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Kumbang Babega

    “Keparat!” teriak yang lainnya. “Bunuh dia! Dia bukan orang biasa!” Mereka dengan serentak menghunus senjata masing-masing, lalu menyerang si Kumbang Janti secara bersamaan. Celah kosong akibat satu pria terjengkang oleh tinju si Kumbang Janti menjadi arah baginya untuk menghindari tebasan dari berbagai jenis senjata tajam kelima orang tersebut. Dia dengan cepat mencengkeram kerah baju pria yang tertelentang itu, memaksanya berdiri, dan menjadikan pria tersebut sebagai tamengnya. “Bagaimana,” bisik si Kumbang Janti, “kau menyukai kutang itu?” “Bangsat!” tapi gerakan tangan si pria telah lebih dahulu dipatahkan oleh si Kumbang Janti, dengan dua kali totokan saja, pria tersebut tidak lagi bisa menggerakkan tangannya. “J-Jangan serang!” teriaknya kepada teman-temannya yang mencoba untuk menyerang pria yang menahannya dari belakang. “Apakah kalian cukup gila untuk membunuh teman kalian sendiri?” “Tentu saja!” sahut seseorang dan lantas melontarkan beberapa senjata rahasia sekaligus.

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-13
  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Orang-Orang yang Kejam

    “Kau benar!” sahut pria keenam yang menggunakan sepasang sabit. “Serang…!”Empat orang itu kembali menyerang si Kumbang Janti. Didahului oleh si pria keenam dengan sabit kembarnya, lalu di susul oleh pria kedua dengan melepaskan paku-paku beracunnya, dan kemudian oleh pria keempat dan kelima yang masing-maisng bersenjatakan sebuah keris dan sebuah pedang.Si Kumbang Janti bergeser ke kanan, lalu merunduk, tebasan sabit kembar dapat ia hindari, kemudian dia menjatuhkan tubuhnya, dan berguling menjauh demi menghindari paku-paku beracun.Slap! Slap!Paku-paku beracun menancap ke tanah, dan si Kumbang Janti tertahan oleh sebuah pohon. Dia dengan cepat melontarkan tubuhnya ke atas dengan menggenggam sesuatu.Stak!Serangan pedang dari pria kelima tidak mengenai sasaran dan justru tertancap dalam di batang pohon tersebut.Selagi di udara, si Kumbang Janti memutar tubuhnya sedemikian rupa. Serangan keris datang menghampirinya, namun dia telah lebih dahulu melemparkan sesuatu dalam genggamann

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-13
  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Pelanduk Dua Serupa

    Dari kejauhan mereka sudah melihat asap yang membumbung, berasal dari bagian paling ujung tanjung yang menjorok ke tengah-tengah danau. Meskipun mereka belum dapat melihat rumah di bagian tersebut karena tertutup pepohonan, namun setidaknya, mereka mengetahui bahwa Datuak Sani sedang berada di kediamannya. Asap pembakaran itulah buktinya.Dalan terus memacu dua kuda penarik kereta, menyusuri sisi selatan Danau Maninjau ke arah barat. Sepertinya kawasan itu sudah semakin ramai, sangat berbeda dengan kondisi dua puluh tahun yang lalu, itu di saat terakhir Kadik Aruma pernah mengunjungi Datuak Sani.Menjelang tengah hari, kereta kuda yang dikendalikan oleh Dalan akhirnya tiba di sisi barat Danau Maninjau, di titik di mana daratan di tepian menyatu dengan bagian awal dari tanah memanjang ke arah tengah danau besar.Dalan mengernyitkan kening sebab jalan tanah yang dilalui oleh kuda-kudanya hampir-hampir tidak terlihat sama sekali.“Uni,” ujarnya tanpa berpaling, “apakah Uni yakin Datuak S

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-21
  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Meracuni Pikiran

    “Sani,” Kadik Aruma mendekati si pria tua. “Kami datang dengan sekalian membawakanmu oleh-oleh. Kau tahu, putrimu ini telah mengumpulkan banyak harta benda.”Datuak Sani menyeringai, mengisap lagi rokok daun nipahnya, dan berkata, “Apakah kau pikir aku seorang yang gila harta? Kupikir kau mengenaliku selama ini, ternyata sama saja!”“Eeh, ayolah, Sani, berilah hati padaku, pada putrimu.”Kadik Aruma kembali menghampiri Pandan Arum, menuntunnya mendekati Datuak Sani. Tapi cukup jelas bagi Datuak Sani bahwa putri kandungnya itu justru terkesan tidak suka padanya.Dia memandangi Pandan Arum dari ujung kaki ke ujung kepala, lalu tertawa nyaris tanpa suara. Yah, dia bisa memaklumi itu. Selama ini, hampir tidak pernah dia mengunjungi putrinya itu, jadi tentu saja Pandan Arum menaruh sikap demikian kepadanya.“Sani, lihatlah!” ujar Kadik Aruma. “Bukankah putrimu sangat cantik? Eeh, ngomong-ngomong,” dia mengedarkan pandangannya ke sekitar. “Di mana Arum?”Arum yang dimaksud oleh Kadik Aruma

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-21
  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Canggung

    “Apa kau pikir kau akan dapat mengalahkan laki-laki yang tersohor itu?”Pandan Arum lantas turun dari beranda depan, lalu mendekati Datuak Sani, dan duduk begitu saja di tanah, di samping kirinya.“Jangan menganggapku remeh, Ayah,” Pandan Arum tersenyum tipis, tapi itu menyiratkan selaksa kelicikan.Datuak Sani terkekeh-kekeh menanggapi seraya mengangguk-angguk.“Putrimu memang tidak lihai dalam bersilat, Sani,” sahut Kadik Aruma. “Tapi dia menguasai berbagai jenis racun.”Pria tua itu cukup terkejut mendengar hal tersebut dan tertawa-tawa nyaris tanpa suara.“Benar-benar pelanduk dua serupa.”“Kau!” lagi-lagi Pandan Arum langsung naik pitam sebab merasa ayah kandungnya itu sedang merendahkan ibu kandungnya.“Aku menyebut kiasan seperti itu bukan berarti aku merendahkan ataupun menghina ibumu,” Datuak Sani melirik ke kiri, menatap ke dalam mata putrinya, lalu tersenyum. “Apa kau tahu bahwa aku sesungguhnya sangat mencintai ibumu?”“Yeah!” Pandan Arum mendengus, membuang wajahnya ke sa

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-21

Bab terbaru

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Epilog

    Puti Bungo Satangkai duduk sembari memerhatikan Antaguna dengan dagunya bertopang pada telapak tangannya, dan sikunya bertopang pada lutut yang menekuk ke atas, di bagian depan sampan yang sedang meluncur ke arah barat.Sementara Antaguna, duduk di bagian ujung lain sampan, bagian belakang, sembari mendayung dan membawa sampan ke tengah-tengah laut.Pria besar dan berotot menjadi malu sendiri sebab selalu diperhatikan sang gadis, bahkan sembari tersenyum-senyum menatapnya.“Hei, ermm … apakah pulau itu masih jauh?” Antaguna membuang pandangan ke samping. Terlalu jengah diperhatikan seperti ini, pikirnya.Dan sang gadis hanya mengangguk saja sembari tetap tersenyum-senyum manja.“Kupikir tadinya kau bilang di seberang laut,” Antaguna mendesah panjang. “Ini bukan laut, tapi sebuah samudra, dasar gadis bodoh. Kau mengerjaiku!”Bungo terkikik dan menggeleng-geleng kecil yang semakin membuat Antaguna menjadi jengah dan bimbang. Bimbang sebab ingin saja pada saat itu dia menerkam sang gadis

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Yang Hilang Telah Kembali

    Puti Bungo Satangkai, Antaguna, dan Sondang Tiur akhirnya tiba di Istana Minanga, di Batang Kuantan.Ketiganya disambut dengan cukup meriah oleh Rajo Bungsu dan orang-orang istana. Terlebih lagi, dengan keberhasilan Bungo yang mendapatkan semua kepingan Teratai Abadi. Meskipun, kegembiraan mereka sedikit terusik dengan kematian si Kumbang Janti.Hanya saja, baik Antaguna maupun Bungo sendiri tak hendak membicarakan tentang keburukan yang pernah dilakukan si Kumbang Janti sehingga membuat Antaguna cacat wajahnya. Tidak pula oleh Sondang Tiur yang juga mengetahui alasan di balik hal tersebut.Sama seperti jawaban Antaguna kepada Mantiko Sati dan Puti Pandan Sahalai di Ngarai Sianok, begitu pula yang mereka sampaikan keduanya kepada Rajo Bungsu dan orang banyak ketika sang raja bertanya perihal perubahan di wajah si pria tinggi besar.Rajo Bungsu dan Ratu Nan Sabatang, juga Gadih Cimpago sangat bersuka cita ketika mereka mendengar bahwa Bungo dan dua orang yang menemaninya bertemu dengan

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Demi Kamu

    ‘Katakan padaku,’ Puti Bungo Satangkai menatap ke dalam mata Antaguna. ‘Kenapa kau merahasiakan tentang lukamu itu dariku?’“Bungo …” Antaguna menghela napas dalam-dalam. “Tidak ada gunanya diungkit-ungkit lagi. Aku sudah memberi tahu alasan di balik lukaku ini. Bahkan di depan abangmu, ingat?”‘Apakah kau pikir abangku dan aku sendiri begitu buta untuk tidak menyadari bahwa kau sengaja berbohong?’Sementara itu, Sondang Tiur sengaja menjauh dengan alasan mencari ikan untuk makan mereka di siang itu, di satu aliran sungai kecil yang jernih. Dia tahu dengan baik bahwa Bungo hanya ingin berbicara empat mata saja dengan Antaguna. Tentang, sesuatu yang bersifat sangat pribadi, mungkin, pikirnya.Antaguna mendesah halus dan menunduk.‘Hei!’ Bungo mendorong pelan bahu pria besar. ‘Katakan padaku! Kenapa?’Akan tetapi, sampai beberapa saat lamanya, Antaguna tak hendak memberi tahu alasan sesungguhnya kepada sang gadis.‘Hei, katakan padaku! Apakah kau masih menganggapku temanmu? Beri tahu ak

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Berpisah Bukan Bercerai

    Kicau burung liar terdengar cukup menenangkan pikiran. Ditambah dengan pekik hewan dan suara aliran air di sungai, semua itu menemani sekumpulan orang yang sedang berdiri di satu titik, di sisi timur aliran sungai, di tengah-tengah lembah Ngarai Sianok.Puti Bungo Satangkai berlutut dengan menggenggam sejumput bunga liar yang indah dan masih basah oleh embun. Lalu disusul pula oleh sang kakak, Mantiko Sati, yang berlutut di samping kirinya.Sementara yang lainnya berdiri hening dengan kepala tertunduk.Kakak beradik itu meletakkan bunga-bunga liar di satu titik di permukaan tanah, di antara batu-batu kerikil yang lebih mencolok dengan warna kehitam-hitaman di antara lainnya.Di titik itulah di mana Zuraya pernah tergeletak tak berdaya dan mati. Di titik itu pula Bungo dilahirkan dengan sangat terpaksa. Di titik yang sama pula Inyiak Mudo lantas membakar jasad Zuraya.Mantiko Sati tidak pernah bisa menemukan jasad Zuraya ketika malam jahanam itu terjadi. Dia tidak tahu bahwa di titik i

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Luka yang Terkuak

    Mantiko Sati lantas tersenyum lebar dengan gelengan kepalanya, membuat semua orang menjadi bertanya-tanya. Terutama, bagi Antaguna sendiri.“Uda?”“Wajahmu, Tarigan. Wajahmu.”Antaguna mulai merasakan sesuatu yang mungkin akan menyakitkan beberapa orang di antara mereka. Lagi, dia mereguk ludah sembari melirik Puti Bungo Satangkai dari sudut matanya, lalu tertunduk.“Terakhir kali kita bertemu,” kata Mantiko Sati. “Wajahmu masih terlihat gagah. Dan aku yakin, bekas luka di wajahmu itu adalah akibat dari terkena Cakar Kucing Emas, bukan?”Degh!Tidak Antaguna saja yang berdegup kencang jantungnya, tapi juga Bungo.Sang gadis yang dalam waktu belakangan ini cukup penasaran dengan kecacatan yang didapat Antaguna pada wajahnya memang ingin mengetahui cerita di balik itu semua. Hanya saja, semenjak kembali dari Pulau Telaga Tujuh, Antaguna sama sekali tidak mau menyinggung perihal bekas lukanya tersebut.“Uda, aku―”“Bisakah kau melepas bajumu, Tarigan?”Antaguna semakin menggigil. Bukan l

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Kebahagiaan

    Puti Pandan Sahalai tertawa halus seraya mengusap bahu Sondang Tiur.“Baiklah, baiklah,” ucapnya. “Tapi, jangan sampai terdengar oleh suamiku.”“Kenapa?”Kebingungan si gadis Batak juga menjadi kebingungan Antaguna yang tentu saja mendengar percakapan keduanya.“Sejauh yang aku tahu,” lanjut Sondang Tiur. “Seluruh masyarakat di Minanga ini mengetahui bahwa seorang Mantiko Sati adalah pria rupawan yang sangat sopan dan halus budi bahasa. Kurasa dia tidak akan keberatan.”Lagi, mantan Ratu Minanga itu tertawa halus dan sangat merdu. “Oh, Tiur … kau hanya belum tahu saja bagaimana dalamannya!”“Oops …” Sondang Tiur terkikik.Dan Antaguna hanya bisa tersenyum sembari membuang muka. Dasar perempuan, pikirnya.Dan kemudian si pria berbadan besar membantu Sondang Tiur dan Puti Pandan Sahalai untuk memanggang daging yang tersedia di atas nampan kayu lebar, mempersiapkan makan malam bagi mereka semua.Malam itu berlalu dengan banyak kegembiraan. Sekaligus, ini adalah makan malam paling membaha

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Pertemuan Tak Terduga

    Pria rupawan mengernyit. Dia berhenti tepat dua langkah di hadapan Antaguna.Sementara itu, Puti Bungo Satangkai pun akhirnya menghentikan serangannya sebab dihalangi oleh Antaguna yang berlutut di tengah-tengah di antara dia dan si pria rupawan.‘Apa yang kau lakukan?!’ Bungo menggerak-gerakkan tangannya.“Bungo, jangan teruskan!”“Tarigan!” Pria rupawan memandang si gadis bisu sebelum kembali pada Antaguna. “Apa maksud dari semua ini?”“Uda, kumohon!”“Berdirilah! Kau tahu aku benci seseorang yang berlutut di hadapan orang lainnya, bukan?”Antaguna mengangguk dan berdiri. Bungo menghampirinya dengan tatapan menuntut penjelasan lebih.“Siapa gadis ini, Tarigan?”“Uda …” Antaguna melirik pada Bungo dan mengangguk.Bungo mengernyit. ‘Apa artinya ini?’“Bungo,” ucap pria tinggi besar dan berotot dengan menggenggam tangan sang gadis. Lalu melirik pria rupawan yang juga memaksa sang gadis untuk menatap pria yang sama. “Dia, Uda Buyung. Abangmu, Bungo.”‘Kau bilang apa?’ Bungo membelalak.

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Bukan Orang Lain

    Pria kurus tiba-tiba terdiam dan membelalak. “K-Kau, kau …”‘Tunggulah di sini. Aku akan menghajar orang yang telah melukaimu!’Dan Puti Bungo Satangkai lantas menyerang si pria rupawan. Sementara pria bernama Fèng itu hanya bisa termangu sembari mengusap lelehan darah di sudut bibirnya dengan punggung tangannya.Fèng adalah pria yang sama yang pernah dijumpai oleh Bungo di satu hutan lebat, di seberang sungai di mana si Simpai Gilo tinggal. Pria yang nyaris sepenuhnya menjadi gila itu akhirnya merelakan kematian istrinya setelah bertemu dengan si gadis bisu tersebut.Alasan Bungo ingin melindunginya sebab si Simpai Gilo sendiri sepertinya telah mengawasi Fèng sebelum kematiannya. Atau lebih tepatnya, menjaga Fèng dan rutin memberikannya makanan.Inilah yang diyakini oleh sang gadis sehingga dia menyerang si pria rupawan tanpa tahu duduk permasalahan di antara keduanya terlebih dahulu.“Hei, Nona. Kau tidak harus―”Tapi ucapan si pria rupawan tidak didengar oleh Bungo. Sang gadis tela

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Pertarungan yang Aneh

    Pria rupawan berputar-putar cepat di udara. Di satu ketinggian, dia merentangkan tangan dan kakinya dengan tiba-tiba sehingga gerakan berputar tubuhnya terhenti. Lalu dia menukik ke arah si pria kurus dan pucat.Pria kurus mengibaskan pedangnya ke samping.Swiing!Dan seketika, bilah pedang merah seolah dibungkus oleh lidah api.“Apa pun jurusmu, aku sudah siap menahan itu!” ucapnya dengan sangat percaya diri.Pria rupawan tersenyum lagi. Selagi tubuhnya meluncur ke bawah, dia melenting ke belakang, berjumpalitan sekali, lalu menukik lagi dengan lebih cepat.Pada satu ketinggian yang ia rasa pas, pria rupawan lantas menghantamkan cakar tangan kanannya ke arah si pria pucat di bawah.“Terima seranganku, kawan, Auman Membuncah Samudra!”“Serang aku!” teriak si pria kurus pucat.Swoosh!Lagi-lagi gelombang angin yang dahsyat disertai kilat-kilat kecil kebiru-biruan menderu dari cakar si pria rupawan. Bahkan, suara bergaung yang menyertai serangan itu sendiri laksana auman seekor harimau

DMCA.com Protection Status