“Apakah gadis-gadis itu sudah engkau pastikan mendapatkan perlindungan sebelum dipulangkan ke keluarga mereka masing-masing?”Si Kumbang Janti membungkuk. “Sudah, Paduko. Kami sudah memastikan itu, dan setiap gadis didampingi oleh tujuh prajurit untuk sampai ke keluarga mereka dengan selamat.”Rajo Bungsu menghela napas dalam-dalam. “Aku ingin memintamu melakukan sesuatu,” dia menatap ke dalam mata si Kumbang Janti. “Tapi aku ragu apakah engkau bersedia atau tidak.”“Paduko,” si Kumbang Janti menundukkan kepalanya. “Katakan saja, patik pasti akan melakukan yang terbaik yang patik bisa.”“Mencari keberadaan Kadik Aruma dan putrinya.”“Dengan senang hati akan patik laksanakan titah Anda, Paduko.”“Bagus!” sang raja mengangguk-angguk. “Aku mempercayakan hal ini kepadamu. Apakah selama berada di dalam penjara telah membuatmu manja, Talago?”Si Kumbang Janti tersenyum dan menggeleng. “Setiap malam, patik selalu melatih diri dalam keheningan, Paduko.”Rajo Bungsu menepuk-nepuk pelan punggun
Si Kumbang Janti mendesah berat dan panjang. “Dengar, Lorana,” ujarnya, “aku tahu seperti apa perasaanmu saat ini. Akan tetapi—”“Kau tidak akan tahu, Talago!” kembali si Balam Putiah beratap muka dengan si Kumbang Janti. “Tidak akan pernah! Jangan mengingau di hadapanku!”Yah, pikir si Kumbang Janti. Harga dirinya yang pecah berderai telah membuatnya menjadi lebih kasar. Atau, memang seperti inilah sifat aslinya.“Kau lupa,” ujar si Kumbang Janti, “bahwa aku pernah merasa sangat malu dan hina dengan fitnah yang ditujukan kepadaku, dan kau yang menuduhku dengan menggebu-gebu… aku sama, Lorana. Hanya manusia biasa yang juga punya perasaan yang bisa terluka. Tapi setidaknya, aku menjadikan hal itu sebagai pembelajaran bagiku.”“Jadi kau datang hanya untuk mengejekku, hah?” si Balam Putiah menyeringai semakin lebar. “Kau datang untuk membalaskan sakit hatimu padaku!”“Sudah kukatakan, bukan?” sanggah si Kumbang Janti. “Aku datang bukan untuk menghinakanmu apalagi untuk membalaskan sakit
Si Kumbang Janti akhirnya berdiri, dan melangkah mendekati pintu jeruji, lalu dia berhenti sejenak, melirik si Balam Putiah dari ujung bahunya. “Kau tahu,” ujarnya, “setelah semua yang terjadi, aku masih menaruh harapan padamu. Dan aku akan melakukan yang terbaik yang bisa kulakukan untuk membersihkan namamu. Lagi pula, Paduko Rajo melarang kami untuk menyebarkan perihal keterlibatanmu dengan tempat pelacuran itu.” Si Balam Putiah mengangkat kepalanya. Menatap punggung pria di dekat pintu jeruji tersebut. “Kau!” “Aku hanya ingi mencoba mengembalikan temanku yang dulu,” si Kumbang Janti tersenyum tanpa berpaling. “Teman seperjuangan demi negeri ini.” “K-Kau yang menyarankan itu pada Paduko?” Kembali dia tersenyum. “Apakah itu sesuatu yang salah?” Si Balam Putaih terdiam dan tertunduk lemah. “Kau memang bodoh!” “Aku tahu,” si Kumbang Janti menghela napas dalam-dalam. Setelah itu, dia keluar dari ruang penjara tersebut, ketika dua prajurit itu hendak mengunci kembali pintu itu, s
“Keparat!” teriak yang lainnya. “Bunuh dia! Dia bukan orang biasa!” Mereka dengan serentak menghunus senjata masing-masing, lalu menyerang si Kumbang Janti secara bersamaan. Celah kosong akibat satu pria terjengkang oleh tinju si Kumbang Janti menjadi arah baginya untuk menghindari tebasan dari berbagai jenis senjata tajam kelima orang tersebut. Dia dengan cepat mencengkeram kerah baju pria yang tertelentang itu, memaksanya berdiri, dan menjadikan pria tersebut sebagai tamengnya. “Bagaimana,” bisik si Kumbang Janti, “kau menyukai kutang itu?” “Bangsat!” tapi gerakan tangan si pria telah lebih dahulu dipatahkan oleh si Kumbang Janti, dengan dua kali totokan saja, pria tersebut tidak lagi bisa menggerakkan tangannya. “J-Jangan serang!” teriaknya kepada teman-temannya yang mencoba untuk menyerang pria yang menahannya dari belakang. “Apakah kalian cukup gila untuk membunuh teman kalian sendiri?” “Tentu saja!” sahut seseorang dan lantas melontarkan beberapa senjata rahasia sekaligus.
“Kau benar!” sahut pria keenam yang menggunakan sepasang sabit. “Serang…!”Empat orang itu kembali menyerang si Kumbang Janti. Didahului oleh si pria keenam dengan sabit kembarnya, lalu di susul oleh pria kedua dengan melepaskan paku-paku beracunnya, dan kemudian oleh pria keempat dan kelima yang masing-maisng bersenjatakan sebuah keris dan sebuah pedang.Si Kumbang Janti bergeser ke kanan, lalu merunduk, tebasan sabit kembar dapat ia hindari, kemudian dia menjatuhkan tubuhnya, dan berguling menjauh demi menghindari paku-paku beracun.Slap! Slap!Paku-paku beracun menancap ke tanah, dan si Kumbang Janti tertahan oleh sebuah pohon. Dia dengan cepat melontarkan tubuhnya ke atas dengan menggenggam sesuatu.Stak!Serangan pedang dari pria kelima tidak mengenai sasaran dan justru tertancap dalam di batang pohon tersebut.Selagi di udara, si Kumbang Janti memutar tubuhnya sedemikian rupa. Serangan keris datang menghampirinya, namun dia telah lebih dahulu melemparkan sesuatu dalam genggamann
Dari kejauhan mereka sudah melihat asap yang membumbung, berasal dari bagian paling ujung tanjung yang menjorok ke tengah-tengah danau. Meskipun mereka belum dapat melihat rumah di bagian tersebut karena tertutup pepohonan, namun setidaknya, mereka mengetahui bahwa Datuak Sani sedang berada di kediamannya. Asap pembakaran itulah buktinya.Dalan terus memacu dua kuda penarik kereta, menyusuri sisi selatan Danau Maninjau ke arah barat. Sepertinya kawasan itu sudah semakin ramai, sangat berbeda dengan kondisi dua puluh tahun yang lalu, itu di saat terakhir Kadik Aruma pernah mengunjungi Datuak Sani.Menjelang tengah hari, kereta kuda yang dikendalikan oleh Dalan akhirnya tiba di sisi barat Danau Maninjau, di titik di mana daratan di tepian menyatu dengan bagian awal dari tanah memanjang ke arah tengah danau besar.Dalan mengernyitkan kening sebab jalan tanah yang dilalui oleh kuda-kudanya hampir-hampir tidak terlihat sama sekali.“Uni,” ujarnya tanpa berpaling, “apakah Uni yakin Datuak S
“Sani,” Kadik Aruma mendekati si pria tua. “Kami datang dengan sekalian membawakanmu oleh-oleh. Kau tahu, putrimu ini telah mengumpulkan banyak harta benda.”Datuak Sani menyeringai, mengisap lagi rokok daun nipahnya, dan berkata, “Apakah kau pikir aku seorang yang gila harta? Kupikir kau mengenaliku selama ini, ternyata sama saja!”“Eeh, ayolah, Sani, berilah hati padaku, pada putrimu.”Kadik Aruma kembali menghampiri Pandan Arum, menuntunnya mendekati Datuak Sani. Tapi cukup jelas bagi Datuak Sani bahwa putri kandungnya itu justru terkesan tidak suka padanya.Dia memandangi Pandan Arum dari ujung kaki ke ujung kepala, lalu tertawa nyaris tanpa suara. Yah, dia bisa memaklumi itu. Selama ini, hampir tidak pernah dia mengunjungi putrinya itu, jadi tentu saja Pandan Arum menaruh sikap demikian kepadanya.“Sani, lihatlah!” ujar Kadik Aruma. “Bukankah putrimu sangat cantik? Eeh, ngomong-ngomong,” dia mengedarkan pandangannya ke sekitar. “Di mana Arum?”Arum yang dimaksud oleh Kadik Aruma
“Apa kau pikir kau akan dapat mengalahkan laki-laki yang tersohor itu?”Pandan Arum lantas turun dari beranda depan, lalu mendekati Datuak Sani, dan duduk begitu saja di tanah, di samping kirinya.“Jangan menganggapku remeh, Ayah,” Pandan Arum tersenyum tipis, tapi itu menyiratkan selaksa kelicikan.Datuak Sani terkekeh-kekeh menanggapi seraya mengangguk-angguk.“Putrimu memang tidak lihai dalam bersilat, Sani,” sahut Kadik Aruma. “Tapi dia menguasai berbagai jenis racun.”Pria tua itu cukup terkejut mendengar hal tersebut dan tertawa-tawa nyaris tanpa suara.“Benar-benar pelanduk dua serupa.”“Kau!” lagi-lagi Pandan Arum langsung naik pitam sebab merasa ayah kandungnya itu sedang merendahkan ibu kandungnya.“Aku menyebut kiasan seperti itu bukan berarti aku merendahkan ataupun menghina ibumu,” Datuak Sani melirik ke kiri, menatap ke dalam mata putrinya, lalu tersenyum. “Apa kau tahu bahwa aku sesungguhnya sangat mencintai ibumu?”“Yeah!” Pandan Arum mendengus, membuang wajahnya ke sa