“Kamu itu tuli, ya?! Udah disuruh pakai kaus kaki hijau kenapa malah memakai kaus kaki biru?!” Seorang senior berteriak pada Starla yang tengah memunguti sampah di lapangan basket. Tampak jelas wajah Starla menatap kesal senior kampusnya yang sangat cerewet.
“Lupa, Kak. Yang aku inget biru bukan hijau. Lagian juga biru sama hijau saudaraan. Beda dikit doang.” Starla menjawab enteng tanpa merasa dosa sama sekali. Yang dia ingat jadwal hari ini dirinya memakai kaus kaki biru, bukan hijau. Lagi pula warna biru dan hijau beda sedikit kan? Ah, ya sudahlah. Starla pun sudah mendapatkan hukuman.
Amanda yang merupakan senior di kampus bertolak pinggang menatap jengkel Starla. “Kamu itu bodoh, ya?! Biru sama hijau beda jauh! Kamu malah bilang beda sedikit! Buta warna ya, kamu!”
Starla Moonlight Darma menatap kesal senior kampusnya yang begitu cerewet. Ya, gadis berusia 18 tahun itu hari ini adalah hari keduaya melewati masa OSPEK. Masa di mana yang bisa dikatakan akan selalu dikenang di masa depan, tapi tetap saja menjengkelkan bagi Starla.
Bagaimana tidak? Hari ini jadwal Starla harusnya memakai kaus kaki berwarna hijau, tapi dia salah malah memakai kaus kaki berwarna biru. Entah bagaimana dirinya bisa salah. Di buku catatan, dirinya sudah mencatat dengan baik—bahwa hari ini jadwalnya memakai kaus kaki berwarna biru, bukan hijau. Mungkin kemarin dirinya mengantuk sampai salah mendengar informasi penting.
Kecerobohan Starla membuatnya mendapatkan hukuman memunguti sampah yang ada di lapangan basket. Masalah utamanya adalah meskipun Starla sudah memunguti sampah tetap saja dia dilabrak oleh seniornya yang tidak jelas.
Starla menatap jengkel sang senior. “Kak, aku udah dapet hukuman. Terus apa ini belum cukup? Aku aja mungutin sampah di siang hari gini. Panas tau, Kak.”
Amanda semakin menatap tajam Starla. “Ini semua belum cukup! Kamu masih harus dapetin hukuman lagi!”
Starla mengembuskan napas kasar. Dia ingin sekali menjambak rambut Amanda yang begitu cerewet, tapi Starla harus berusaha sesabar mungkin. Dia masih baru di kampus. Tidak mungkin dirinya membuat ulah.
“Oke, fine, apa yang kamu mau, Kak?” Starla memutuskan untuk mengalah, membiarkan dirinya mendapatkan hukuman lagi. Entah hukuman apa yang harus dijalani. Padahal memunguti sampah di siang hari seperti ini sudah sangat berat. Kulit Starla sudah memerah seperti kepiting rebus.
Amanda menatap dingin dan tajam Starla. “Setelah jam makan siang, kamu harus dapetin minimal sepuluh tanda tangan senior!”
Starla melebarkan mata tak percaya dengan permintaan ajaib Amanda. “Kak, emangnya para senior itu artis sampe aku harus minta tanda tangan mereka?”
“Kamu jangan ngelawan! Turutin aja perintahku! Kalau kamu nggak mau, aku bakal kasih hukuman lebih berat ke kamu!” bentak Amanda.
Starla mengumpat dalam hati. Apa-apaan ini. Meminta tanda tangan senior? Memangnya para senior itu artis sampai dirinya harus minta tanda tangan? Astaga, Starla bersumpah jika nanti dirinya sudah tidak lagi menjadi junior, dia akan melakukan pembalasan dendam.
Starla mengatur perasaan kesal dalam dirinya. “Oke, nanti setelah jam makan siang, aku bakalan minta tanda tangan sama senior. Udah puas?” Gadis itu menatap jengkel Amanda. Dari tadi mati-matian dia menahan diri untuk tak menjambak rambut seniornya itu.
“Awas kamu kalau sampe nggak nurutin perintah aku! Hukuman bakal jauh lebih berat!” Amanda menunjuk Starla dengan telunjuknya, lalu dia melangkah pergi meninggalkan Starla yang masih bergeming di tempatnya.
Starla mendengkus sebal di kala Amanda sudah pergi. Bibirnya mencebik kesal. Hari ini adalah hari tersial Starla Moonlight. Gadis cantik itu tak mengira hari kedua OSPEK sudah mendapatkan banyak hukuman akibat kecerobohannya.
“Starla.” Dini—teman Starla—melangkah menghampiri gadis itu.
Starla menatap Dini yang mendekat ke arahnya. “Hari ini aku sial banget.”
Dini tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kamu ajaib sih, disuruh pake kaus kaki warna hijau kenapa malah kamu pakai kaus kaki warna biru?”
Starla menekuk bibirnya. “Seinget aku hari ini pake kaus kaki warna biru, bukan hijau. Lagian biru sama hijau kan beda dikit.”
Dini menoyor kepala Starla. “Ngaco kamu. Biru sama hijau beda dikit. Biru ya biru. Hijau ya hijau. Gimana sih kamu.”
Starla mencebik bibirnya di kala Dini tak sependapat dengannya.
Dini menghela napas dalam. “Udah mau jam istirahat. Kamu udah selesaikan hukumannya? Atau masih berlanjut.”
“Masih berlanjut. Tapi kali ini hukumannya bukan mungutin sampah di lapangan basket,” ucap Starla kesal.
Mata Dini melebar. “Kamu dapet hukuman lagi? Hukuman apa?”
Starla kian menekuk bibirnya. “Aku dapet hukuman harus minta tanda tangan sama senior. Minimal sepuluh orang. Nyebelin banget, kan? Emangnya senior kampus itu artis apa sampe harus minta tanda tangan?!”
“What the hell.” Dini menggeleng-gelengkan kepalanya takjub mendengar hukuman yang harus dijalani teman dekatnya itu. Dia sama sekali tak menyangka kalau Starla harus mendapatkan dua hukuman dalam satu hari.
Starla mendesah panjang. “Duh, gimana nih, Din? Bantuin dong. Aku bingung gimana caranya harus minta tanda tangan ke senior. Males banget ih.”
Dini terdiam sebentar sambil mengetuk-ngetuk dagunya menggunakan telunjuknya. Selanjutnya, sesuatu ide muncul di dalam benak Dini. “Ah, aku tau, Starla.”
“Tau apa?” tanya Starla penasaran.
“Gini, setelah kita makan siang, aku bakalan bantu kamu minta tanda tangan ke sepuluh senior kita. Tenang aja, aku yakin pasti kamu dapetin sepuluh tanda tangan itu.”
“Kamu yakin? Nanti malah senior pada sombong. Sebel aku.”
“Nggak akan. Tenang aja. Ya udah, ayo ke kantin.”
Starla mengangguk setuju merespon ucapan Dini. Detik selanjutnya, dia melangkah bersama dengan teman dekatnya itu menuju kantin. Makan siang dulu baru setelah itu dirinya menjalankan hukuman.
***
Gampang susah mendapatkan tanda tangan para senior. Jika senior laki-laki, pasti Starla selalu saja digoda, dan tak sedikit dimintai nomor telepon. Jika senior perempuan pasti Starla mendapatkan sikap dingin.
Starla tak peduli, yang dia pikirkan adalah mendapatkan tanda tangan para senior demi menjalankan hukuman dari Amanda. Menyadari masih anak baru, membuatnya enggan untuk mencari masalah.
“Starla, udah sembilan nih. Kurang satu lagi,” ucap Dini menatap selembar kertas Starla sudah lengkap sembilan, tinggal kurang satu.
Starla menatap selembar kertas di tangannya yang sudah ada sembilan tanda tangan. “Iya, satu lagi siapa, ya?” gumamnya pelan.
Tiba-tiba para mahasiwi baru mengalihkan pandangan mereka pada sosok laki-laki yang baru saja datang dan kebetulan sedang berjalan. Refleks, Starla mengalihkan pandangannya ikut penasaran ingin tahu apa yang menjadi pusat perhatian dari mahasiswi baru itu.
Seketika mata Starla melebar. Jantungnya berdebar tak karuan melihat seorang laki-laki dengan tubuh tinggi tegap, berparas tampan yang dekat dengannya. Bibir Starla melebar bersamaan dengan matanya. Rasa kagum, suka, jatuh cinta melebur menjadi satu.
“Ah, Starla. Itu Kak Elang. Kamu bisa minta tanda tangan dia. Eh, tapi jangan deh. Dia galak banget,” gumam Dini tak jadi menyarankan.
Starla tak mengiraukan ucapan Dini. Dia langsung mendekat ke arah laki-laki bernama Elang yang jaraknya tak jauh darinya. Gadis itu tak menggubris ucapannya. Hatinya mendorongnya untuk mendekat ke sosok laki-laki itu.
Dini terkejut akan tindakan Starla yang menghampiri Elang.
“Hi, Kak!” Starla menatap binar sosok laki-laki yang bernama Elang.
Elang menatap dingin Starla. “Minggir,” usirnya.
Starla tetap berdiri di depan Elang. “Aku Starla.”
Elang mengembuskan napas kasar, dan langsung memilih untuk menyingkir pergi dari Starla, tapi sayangnya gerak Elang terhenti karena Starla mencegahnya. Gadis itu mengikuti setiap langkah Elang.
“Kamu tuli?! Aku bilang minggir!” seru Elang mulai emosi.
Starla menggigit bibir bawahnya dengan pipi yang merona malu. “Kak, aku mau minta tanda tangan. Aku baru aja dapet hukuman dari Kak Amanda. Kesalahanku hari ini aku salah pakai warna kaus kaki. Harusnya aku pakai kaus kaki warna hijau, tapi malah kaus kaki warna biru. Kakak mau kan tanda tangan di kertasku. Ah, sama tanda tangan di kausku juga, Kak. Jangan kertas aja.”
Mendengar ucapan Starla, membuat Elang melihat ke arah kaus kaki gadis itu—benar bahwa Starla memakai kaus kaki biru, bukan kaus kaki hijau. Namun sayangnya Elang tak peduli.
“Udah ngomongnya?” Elang menatap dingin dan tajam Starla.
Starla tersenyum dengan pipi merona malu. “Belum, Kak. Aku kayanya kalau sama kamu bakalan banyak ngomong. Kita makan bareng yuk, Kak.”
“Gila!” Elang langsung pergi begitu saja meninggalkan Starla.
“Eh, tunggu, Kak.” Starla mengejar Elang tanpa peduli teriakan Dini yang memanggilnya. Lagi dan lagi dia mencegat sosok laki-laki yang membuat perasaannya begitu campur aduk.
Elang kembali menghentikan langkahnya ketika Starla mencegatnya. “Kamu itu udah gila dan tuli?! Aku bilang minggir kenapa malah kamu deket-deket terus!”
Starla tersipu malu. “Aku belum selesai ngomong, Kak.”
Elang kian menatap tajam Starla. Tanpa banyak bicara, Elang pergi meninggalkan Starla.
“Kak—” Starla hendak mengejar Elang lagi, tapi kali ini Dini berhasil menahan lengan Starla untuk tak berbuat nekat.
“Starla, duh kamu gila banget sih!” Dini kesal melihat kegilaan Starla.
Starla menatap Dini dengan tatapan seperti seorang remaja yang jatuh cinta. “Din, dia ganteng banget. Namanya Elang, ya? Itu mata tajem kaya Burung Elang, tapi memesona, Din. Aku jatuh cinta banget sama Kak Elang.”
Dini menggeleng-gelengkan kepalanya menatap takjub Starla. “Otak kamu udah nggak waras, Starla. Yang aku denger, Kak Elang itu senior yang terkenal galak dan bahkan nggak suka ada yang deket-deket sama dia. Eh, malah kamu nekat. Tadi kan aku udah kasih tau kalau Kak Elang galak. Kenapa malah kamu nekat? Lihat kan kamu nggak dapet tanda tangannya, malah cuman diketusin aja.”
Starla sedikit memutarkan tubuhnya. “Nggak apa-apa aku nggak dapet tanda tangannya. Yang penting aku udah ngomong sama dia. Ah, tau, Nggak? Dia itu harum banget. Duh, Din! Kayanya Kak Elang jodoh aku deh.”
Dini menoyor kepala Starla. “Ngaco kalau ngomong!”
Starla mendengkus sebal. “Ucapan kan doa. Siapa tau malaikat dateng nyatet ucapan aku.”
Dini tak bisa berkata-kata. Dia hanya menatap jengkel temannya yang berpikir konyol.
Starla menghempaskan tubuhnya ke kamarnya. Sekujur tubuhnya benar-benar terasa sangatlah lelah akibat memunguti sampah-sampah yang ada di lapangan basket. Hukuman hari ini bukan hanya memunguti sampah-sampah saja, tapi dia juga harus mendapatkan tanda tangan dari sepuluh senior di kampusnya. Meskipun tak mendapatkan tanda tangan Elang, tapi Starla tetap berhasil mendapatkan sepuluh tanda tangan dari senior kampusnya. Tak dipungkiri dia kesal tak mendapatkan tanda tangan Elang.“Ah, dia ganteng banget!” gumam Starla yang kini membayangkan wajah Elang.Wajah tampan Elang membuat Starla tidak bisa berhenti memikirkan laki-laki itu. Pesona Elang yang kuat mampu menyihir hati Starla. Sayangnya tadi sepulang dari kampus, Starla tak bertemu Elang. Gadis itu sudah mencari Elang ke seluruh titik kampus, tapi tidak berhasil menemukannya.“Starla.” Lestari—ibu Starla—melangkah menghampiri Starla.Starla bangun dari tempat tidurnya, menatap ibunya. “Ya, Ma? Ada apa?”Lestari mendekat. “Duh, Saya
Nama itu tercetus pelan lolos di bibir Starla. Berkali-kali Starla mengedipkan matanya bahkan sampai dia menepuk-nepuk tangannya sendiri. Dia meyakinkan bahwa apa yang dia lihat ini adalah mimpi, tapi tidak mungkin. Starla merasakan sakit di kala dirinya menepuk tangannya. Itu menandakan bahwa apa yang dia lihat ini nyata.Elang …Laki-laki tampan di kampusnya sekarang ada di hadapannya. Perasaan Starla begitu campur aduk tak menentu. Keterkejutaannya sekarang menimbulkan jutaan pertanyaan di dalam pikirannya. “Starla, ini Elang.” Gauri melangkah menghampiri Elang dan memeluk lengan putranya itu. “Elang, ini Starla, anaknya Om Erwin sama Tante Lestari. Dia calon istri kamu. Cantik kan?” Gauri melanjutkan ucapannya sambil tersenyum.Elang bergeming di tempatnya menatap lekat Starla yang ada di hadapannya. Napasnya sedikit memburu. Pancaran matanya memancarkan rasa terkejut melihat Starla ada di hadapannya. Laki-laki itu sama sekali tidak menyangka gadis yang akan dijodohkan padanya a
Starla tak pernah mengira kalau dirinya dan Elang ternyata telah dijodohkan sejak mereka kecil. Pun Starla tak pernah tahu kalau teman dekat ayahnya ternyata keluarga Elang. Kemarin adalah hari di mana campur aduk bagi Starla.Starla bertemu siang hari dengan Elang di kampus, dan malamnya Starla mengetahui fakta di mana Elang—senior kampusnya—ternyata malah sosok laki-laki yang dijodohkan oleh keluarganya.Tentu mengetahui fakta itu membuat Starla tersenyum-senyum dimabuk kepayang. Awalnya memang Starla menolak keras karena tak ingin menikah muda. Banyak sekali impian-impian yang dirinya belum capai, tapi karena laki-laki yang dijodohkan Starla adalah Elang—itu membuat Starla begitu amat bersemangat.Sekarang malah Starla tak memedulikan meskipun harus menikah muda. Elang telah berhasil memorakporandakan hati Starla Moonlight. Biar saja nikah muda. Yang Starla nikahi adalah sosok laki-laki yang dia puja.“Starla, kamu ngapain sih pagi-pagi senyum-senyum nggak jelas?” Dini menghampiri
“Elang, akhirnya kamu pulang. Mama udah masakin makanan kesukaan kamu.” Gauri menangkup kedua pipi Elang, dan memberikan putranya itu kecupan bertubi-tubi di pipi putranya itu.“Ma, aku pengen ngomong,” ucap Elang dingin dengan sorot mata membendung sesuatu.“Ya, Sayang? Kamu mau ngomong apa?” Gauri membelai rahang putranya yang tampan.“Kenapa harus aku menikah muda? Apa nggak bisa aku nikahnya nanti aja?” Elang meminta penjelasan ibunya. Laki-laki tampan itu tak pernah ingin menikah diusianya yang masih menginjak 20 tahun. Akan tetapi desakan dari orang tua yang membuat Elang terpaksa menyetujui keinginan kedua orang tuanya.Gauri mendesah panjang. “Sayang, kamu dan Starla itu udah dijodohin sejak kalian masih kecil. Dari awal kalian emang udah direncanain untuk nikah muda. Alasannya supaya kalian nggak coba-coba pacaran dengan orang lain. Lagi pula, kalau nikah muda itu enak loh, Sayang. Dulu Mama nikah sama Papa kamu aja pas usia Mama masih 20 tahun. Lihat deh Mama masih muda, dan
“Elang, akhirnya kamu pulang. Mama udah masakin makanan kesukaan kamu.” Gauri menangkup kedua pipi Elang, dan memberikan putranya itu kecupan bertubi-tubi di pipi putranya itu.“Ma, aku pengen ngomong,” ucap Elang dingin dengan sorot mata membendung sesuatu.“Ya, Sayang? Kamu mau ngomong apa?” Gauri membelai rahang putranya yang tampan.“Kenapa harus aku menikah muda? Apa nggak bisa aku nikahnya nanti aja?” Elang meminta penjelasan ibunya. Laki-laki tampan itu tak pernah ingin menikah diusianya yang masih menginjak 20 tahun. Akan tetapi desakan dari orang tua yang membuat Elang terpaksa menyetujui keinginan kedua orang tuanya.Gauri mendesah panjang. “Sayang, kamu dan Starla itu udah dijodohin sejak kalian masih kecil. Dari awal kalian emang udah direncanain untuk nikah muda. Alasannya supaya kalian nggak coba-coba pacaran dengan orang lain. Lagi pula, kalau nikah muda itu enak loh, Sayang. Dulu Mama nikah sama Papa kamu aja pas usia Mama masih 20 tahun. Lihat deh Mama masih muda, dan
Starla tak pernah mengira kalau dirinya dan Elang ternyata telah dijodohkan sejak mereka kecil. Pun Starla tak pernah tahu kalau teman dekat ayahnya ternyata keluarga Elang. Kemarin adalah hari di mana campur aduk bagi Starla.Starla bertemu siang hari dengan Elang di kampus, dan malamnya Starla mengetahui fakta di mana Elang—senior kampusnya—ternyata malah sosok laki-laki yang dijodohkan oleh keluarganya.Tentu mengetahui fakta itu membuat Starla tersenyum-senyum dimabuk kepayang. Awalnya memang Starla menolak keras karena tak ingin menikah muda. Banyak sekali impian-impian yang dirinya belum capai, tapi karena laki-laki yang dijodohkan Starla adalah Elang—itu membuat Starla begitu amat bersemangat.Sekarang malah Starla tak memedulikan meskipun harus menikah muda. Elang telah berhasil memorakporandakan hati Starla Moonlight. Biar saja nikah muda. Yang Starla nikahi adalah sosok laki-laki yang dia puja.“Starla, kamu ngapain sih pagi-pagi senyum-senyum nggak jelas?” Dini menghampiri
Nama itu tercetus pelan lolos di bibir Starla. Berkali-kali Starla mengedipkan matanya bahkan sampai dia menepuk-nepuk tangannya sendiri. Dia meyakinkan bahwa apa yang dia lihat ini adalah mimpi, tapi tidak mungkin. Starla merasakan sakit di kala dirinya menepuk tangannya. Itu menandakan bahwa apa yang dia lihat ini nyata.Elang …Laki-laki tampan di kampusnya sekarang ada di hadapannya. Perasaan Starla begitu campur aduk tak menentu. Keterkejutaannya sekarang menimbulkan jutaan pertanyaan di dalam pikirannya. “Starla, ini Elang.” Gauri melangkah menghampiri Elang dan memeluk lengan putranya itu. “Elang, ini Starla, anaknya Om Erwin sama Tante Lestari. Dia calon istri kamu. Cantik kan?” Gauri melanjutkan ucapannya sambil tersenyum.Elang bergeming di tempatnya menatap lekat Starla yang ada di hadapannya. Napasnya sedikit memburu. Pancaran matanya memancarkan rasa terkejut melihat Starla ada di hadapannya. Laki-laki itu sama sekali tidak menyangka gadis yang akan dijodohkan padanya a
Starla menghempaskan tubuhnya ke kamarnya. Sekujur tubuhnya benar-benar terasa sangatlah lelah akibat memunguti sampah-sampah yang ada di lapangan basket. Hukuman hari ini bukan hanya memunguti sampah-sampah saja, tapi dia juga harus mendapatkan tanda tangan dari sepuluh senior di kampusnya. Meskipun tak mendapatkan tanda tangan Elang, tapi Starla tetap berhasil mendapatkan sepuluh tanda tangan dari senior kampusnya. Tak dipungkiri dia kesal tak mendapatkan tanda tangan Elang.“Ah, dia ganteng banget!” gumam Starla yang kini membayangkan wajah Elang.Wajah tampan Elang membuat Starla tidak bisa berhenti memikirkan laki-laki itu. Pesona Elang yang kuat mampu menyihir hati Starla. Sayangnya tadi sepulang dari kampus, Starla tak bertemu Elang. Gadis itu sudah mencari Elang ke seluruh titik kampus, tapi tidak berhasil menemukannya.“Starla.” Lestari—ibu Starla—melangkah menghampiri Starla.Starla bangun dari tempat tidurnya, menatap ibunya. “Ya, Ma? Ada apa?”Lestari mendekat. “Duh, Saya
“Kamu itu tuli, ya?! Udah disuruh pakai kaus kaki hijau kenapa malah memakai kaus kaki biru?!” Seorang senior berteriak pada Starla yang tengah memunguti sampah di lapangan basket. Tampak jelas wajah Starla menatap kesal senior kampusnya yang sangat cerewet.“Lupa, Kak. Yang aku inget biru bukan hijau. Lagian juga biru sama hijau saudaraan. Beda dikit doang.” Starla menjawab enteng tanpa merasa dosa sama sekali. Yang dia ingat jadwal hari ini dirinya memakai kaus kaki biru, bukan hijau. Lagi pula warna biru dan hijau beda sedikit kan? Ah, ya sudahlah. Starla pun sudah mendapatkan hukuman.Amanda yang merupakan senior di kampus bertolak pinggang menatap jengkel Starla. “Kamu itu bodoh, ya?! Biru sama hijau beda jauh! Kamu malah bilang beda sedikit! Buta warna ya, kamu!”Starla Moonlight Darma menatap kesal senior kampusnya yang begitu cerewet. Ya, gadis berusia 18 tahun itu hari ini adalah hari keduaya melewati masa OSPEK. Masa di mana yang bisa dikatakan akan selalu dikenang di masa d