Starla menghempaskan tubuhnya ke kamarnya. Sekujur tubuhnya benar-benar terasa sangatlah lelah akibat memunguti sampah-sampah yang ada di lapangan basket. Hukuman hari ini bukan hanya memunguti sampah-sampah saja, tapi dia juga harus mendapatkan tanda tangan dari sepuluh senior di kampusnya.
Meskipun tak mendapatkan tanda tangan Elang, tapi Starla tetap berhasil mendapatkan sepuluh tanda tangan dari senior kampusnya. Tak dipungkiri dia kesal tak mendapatkan tanda tangan Elang.
“Ah, dia ganteng banget!” gumam Starla yang kini membayangkan wajah Elang.
Wajah tampan Elang membuat Starla tidak bisa berhenti memikirkan laki-laki itu. Pesona Elang yang kuat mampu menyihir hati Starla. Sayangnya tadi sepulang dari kampus, Starla tak bertemu Elang. Gadis itu sudah mencari Elang ke seluruh titik kampus, tapi tidak berhasil menemukannya.
“Starla.” Lestari—ibu Starla—melangkah menghampiri Starla.
Starla bangun dari tempat tidurnya, menatap ibunya. “Ya, Ma? Ada apa?”
Lestari mendekat. “Duh, Sayang. Tadi Papa kan bilang akan ada tamu yang dateng. Kenapa malah kamu belum siap-siap?”
Starla mendesah panjang. “Ma, aku capek. Aku nggak usah turun, yaa?”
Tadi di saat Starla pulang kuliah, ayahnya sudah mengatakan padanya bahwa ayahnya akan kedatangan tamu. Starla diminta untuk bersiap mengganti pakaiannya. Namun, karena lelah dia memutuskan untuk tidak usah bertemu dengan teman ayahnya.
Lestari menatap Starla lekat. “Nggak bisa. Kamu nggak bisa nggak ikut. Kamu wajib turun ke bawah.”
Starla mendecakkan lidahnya. “Ma, tapi—”
“Starla, jangan melawan. Ayo Mama bantu kamu pilihkan dress yang cocok untukmu.” Lestari mendorong pelan tubuh putrinya, memaksa putrinya untuk segera mengganti pakaian.
Starla hendak protes, tapi karena posisinya dia didorong seperti ini maka dia tidak bisa melawan. Sungguh, dia sangat lelah karena melewati masa-masa OSPEK, sekarang malah ibunya bersikap menyebalkan.
Tiga puluh menit berlalu …
Starla tak habis pikir dirinya harus memakai mini dress berwarna merah muda. Dress yang cocok dipakai untuk pesta. Kenapa malah dia dipaksa pakai mini dress untuk pesta? Padahal hanya bertemu dengan teman ayahnya saja. Paling pun Starla tidak akan berada lama di tengah-tengah obrolan orang tua.
“Ma, kenapa Mama minta aku pakai baju serapi ini? Emangnya siapa yang mau dateng sih?” tanya Starla menatap Lestari.
“Teman Papamu. Tepatnya teman lama Papamu.” Lestari sibuk merias wajah Starla.
Starla mendesah panjang. “Ma, cuman teman lama Papa yang dateng kenapa aku dirias kaya mau dateng ke pesta gini sih? Malu, Ma.”
“Starla, ini tuh tamu penting. Jadi kamu wajib tampil cantik,” kata Lestari sambil memoles lipstick merah muda di bibir ranum Starla.
“Ma, udah ih jangan berlebihan. Aku malu. Paling juga aku cuman nyapa teman Papa aja. Aku nggak akan lama,” jawab Starla yang begitu yakin.
Lestari menurunkan lipstick yang ada di tangannya. “Kamu bakalan lama gabung.”
“Kenapa aku harus lama gabung? Aku nggak ngerti obrolan orang tua, Ma,” jawab Starla menolak.
Lestari tersenyum manis. “Sayang, hari ini kamu itu bertemu dengan calon suami kamu. Jadi kamu pasti bakalan lama gabungnya.”
Seketika mata Starla melebar mendengar apa yang ibunya katakan. “Apa? Calon suami? Calon suami siapa maksud, Mama?”
Lestari berdecak pelan. “Calon suami kamulah. Masa calon suami Mama. Kamu gimana sih.”
Mata Starla melebar bahkan hampir keluar dari tempatnya. “Ma, jangan ngaco kalau ngomong.”
Lestari mengulum senyumannya melihat wajah Starla yang terkejut. Dia membawa tangannya membelai pipi Starla sambil berkata, “Sayang, apa yang Mama bilang ini benar. Mama nggak mungkin bohong. Kamu itu udah dijodohin dari kamu lahir. Kalau nggak percaya, kamu tanya aja sama Papa.”
Otak Starla tak mampu berpikir jernih. Dia sulit percaya, tapi juga merasa bahwa ibunya tak mungkin berbohong. Apalagi berbohong untuk hal yang satu ini. Detik itu juga Starla berlari meninggalkan kamarnya—menemui ayahnya. Starla membutuhkan penjelasan langsung dari ayahnya.
“Pa! Papa!” Starla berlari menuruni undakan tangga, dan gadis itu berhasil menemukan ayahnya yang duduk di sofa sambil membaca koran.
Erwin—ayah Starla—menatap putrinya yang nampak begitu cantik. “Nah, kan sekarang kamu udah cantik.”
Starla menatap dingin ayahnya. “Pa, apa-apaan ini. Mama bilang kalau dari kecil aku udah dijodohin. Semua bohong kan, Pa?!”
Erwin melipat korannya dan meletakan ke atas meja. “Ya, apa yang Mama kamu bilang itu bener. Kamu udah Papa jodohon sama anak temen Papa dari kamu lahir. Sekarang kamu udah besar jadi hari ini Papa wajib kenalin kamu sama jodoh kamu.”
Mata Starla melebar bersamaan dengan bibirnya yang ikut melebar. Semua perkataan ayahnya seakan sulit dicerna di otaknya. “Pa, apa Papa ini nggak mikir sama sekali?! Usiaku masih 18 tahun, Pa! Aku bahkan masih baru masuk kuliah. Kenapa Papa malah jodohin aku sama anak temen Papa?!”
“Mama dulu nikah juga usianya masih 18 tahun.” Lestari menyahuti ucapan Starla.
Starla menatap dingin ibunya yang sudah ada di hadapannya. “Ma! Jangan samain zaman Mama sama zaman sekarang! Jelas beda! Aku nggak mau nikah muda! Aku masih mau gapai cita-cita aku dulu!” serunya menolak tegas perjodohan konyol yang telah diatur oleh kedua orang tuanya.
Erwin menatap tegas Starla. “Nikah muda itu malah bagus. Kamu tetep bisa raih impian kamu, tapi kamu juga udah punya pasangan. Lagi pula calon yang Papa pilihkan untuk kamu itu terbaik, Starla. Papa nggak sembarangan pilihkan calon suami untuk kamu.”
“Pa, aku nggak—”
“Pak, Bu.” Seorang pelayan menginterupsi percakapan Starla dan kedua orang tuanya.
“Ya?” Erwin menatap sang pelayan yang mendekat.
“Ada apa, Mbak?” tanya Lestari seraya menatap pelayan itu.
“Pak, Bu. Keluarga Bramasta sudah datang. Apa saya langsung minta mereka untuk ke sini?” tanya sang pelayan sopan.
Erwin dan Lestari tersenyum. “Ya, persilakan mereka untuk masuk.”
“Baik, Pak, Bu.” Pelayan itu menundukkan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Erwin dan Lestari. Pelayan itu segera mempersilakan tamu yang ditunggu-tunggu oleh kedua orang tua Starla itu untuk masuk ke dalam ruang keluarga.
Starla mengembuskan napas kasar seraya memejamkan mata singkat. Umpatan lolos dalam hatinya. Hari ini dirinya benar-benar sial. Dihukum senior, dan sekarang malah dipaksa menikah oleh kedua orang tuanya. Kegilaan macam apa ini? Starla masih berusia 18 tahun. Gadis itu sama sekali belum memikirkan tentang pernikahan. Masih banyak cita-cita yang ingin Starla raih.
Tak selang lama, keluarga Bramasta yang ditunggu oleh Erwin dan Lestari muncul.
“Erwin.” Bani tersenyum menayap teman lamanya.
“Akhirnya kamu dateng juga.” Erwin memeluk Bani sebentar.
“Lestari, lama nggak ketemu kamu makin cantik aja.” Gauri memeluk Lestari.
Lestari membalas pelukan Gauri. “Kamu juga makin cantik aja, Gauri.”
Gauri melepas pelukan itu, tatapannya teralih pada Starla. “Tunggu, ini Starla, kan?”
Lestari mengangguk. “Ya, itu Starla.”
“Wah cantik sekali kamu, Sayang. Lama banget tante nggak ketemu sama kamu, sekarang kamu tumbuh jadi gadis yang sangat cantik.” Gauri membelai pipi Starla.
“Erwin, Starla putrimu cantik sekali,” sambung Bani.
Erwin dan Lestari sama-sama tersenyum di kala putri mereka mendapatkan pujian.
Starla turut memberikan senyuman paksaan ketika mendapatkan pujian. Ingin rasanya dia berlari meninggalkan pergi tempat itu, tapi sayangnya niat Starla harus terkubur dalam-dalam. Dia tidak akan mungkin bisa melarikan diri.
“Bani, di mana putramu?” tanya Erwin.
“Tadi putraku sedang menjawab telepon. Sebentar lagi pasti dia menyusul,” jawab Bani.
Lalu … tatapan semua orang teralih pada seorang laki-laki tampan dengan postur tubuh tinggi tegap masuk ke dalam ruang keluarga.
“Ah, itu dia putra kami,” sambung Gauri sambil melukiskan senyumannya melihat putranya sudah datang.
Starla mengalihkan pandangannya menatap laki-laki yang akan dijodohkan padanya. Namun seketika raut wajah Starla berubah melihat sosok laki-laki berpakain kaus polos berwarna putih dan celana jeans. Paras tampannya membuat mata Starla melebar. Paras yang tak asing sama sekali di mata Starla.
“E-Elang?”
Nama itu tercetus pelan lolos di bibir Starla. Berkali-kali Starla mengedipkan matanya bahkan sampai dia menepuk-nepuk tangannya sendiri. Dia meyakinkan bahwa apa yang dia lihat ini adalah mimpi, tapi tidak mungkin. Starla merasakan sakit di kala dirinya menepuk tangannya. Itu menandakan bahwa apa yang dia lihat ini nyata.Elang …Laki-laki tampan di kampusnya sekarang ada di hadapannya. Perasaan Starla begitu campur aduk tak menentu. Keterkejutaannya sekarang menimbulkan jutaan pertanyaan di dalam pikirannya. “Starla, ini Elang.” Gauri melangkah menghampiri Elang dan memeluk lengan putranya itu. “Elang, ini Starla, anaknya Om Erwin sama Tante Lestari. Dia calon istri kamu. Cantik kan?” Gauri melanjutkan ucapannya sambil tersenyum.Elang bergeming di tempatnya menatap lekat Starla yang ada di hadapannya. Napasnya sedikit memburu. Pancaran matanya memancarkan rasa terkejut melihat Starla ada di hadapannya. Laki-laki itu sama sekali tidak menyangka gadis yang akan dijodohkan padanya a
Starla tak pernah mengira kalau dirinya dan Elang ternyata telah dijodohkan sejak mereka kecil. Pun Starla tak pernah tahu kalau teman dekat ayahnya ternyata keluarga Elang. Kemarin adalah hari di mana campur aduk bagi Starla.Starla bertemu siang hari dengan Elang di kampus, dan malamnya Starla mengetahui fakta di mana Elang—senior kampusnya—ternyata malah sosok laki-laki yang dijodohkan oleh keluarganya.Tentu mengetahui fakta itu membuat Starla tersenyum-senyum dimabuk kepayang. Awalnya memang Starla menolak keras karena tak ingin menikah muda. Banyak sekali impian-impian yang dirinya belum capai, tapi karena laki-laki yang dijodohkan Starla adalah Elang—itu membuat Starla begitu amat bersemangat.Sekarang malah Starla tak memedulikan meskipun harus menikah muda. Elang telah berhasil memorakporandakan hati Starla Moonlight. Biar saja nikah muda. Yang Starla nikahi adalah sosok laki-laki yang dia puja.“Starla, kamu ngapain sih pagi-pagi senyum-senyum nggak jelas?” Dini menghampiri
“Elang, akhirnya kamu pulang. Mama udah masakin makanan kesukaan kamu.” Gauri menangkup kedua pipi Elang, dan memberikan putranya itu kecupan bertubi-tubi di pipi putranya itu.“Ma, aku pengen ngomong,” ucap Elang dingin dengan sorot mata membendung sesuatu.“Ya, Sayang? Kamu mau ngomong apa?” Gauri membelai rahang putranya yang tampan.“Kenapa harus aku menikah muda? Apa nggak bisa aku nikahnya nanti aja?” Elang meminta penjelasan ibunya. Laki-laki tampan itu tak pernah ingin menikah diusianya yang masih menginjak 20 tahun. Akan tetapi desakan dari orang tua yang membuat Elang terpaksa menyetujui keinginan kedua orang tuanya.Gauri mendesah panjang. “Sayang, kamu dan Starla itu udah dijodohin sejak kalian masih kecil. Dari awal kalian emang udah direncanain untuk nikah muda. Alasannya supaya kalian nggak coba-coba pacaran dengan orang lain. Lagi pula, kalau nikah muda itu enak loh, Sayang. Dulu Mama nikah sama Papa kamu aja pas usia Mama masih 20 tahun. Lihat deh Mama masih muda, dan
“Kamu itu tuli, ya?! Udah disuruh pakai kaus kaki hijau kenapa malah memakai kaus kaki biru?!” Seorang senior berteriak pada Starla yang tengah memunguti sampah di lapangan basket. Tampak jelas wajah Starla menatap kesal senior kampusnya yang sangat cerewet.“Lupa, Kak. Yang aku inget biru bukan hijau. Lagian juga biru sama hijau saudaraan. Beda dikit doang.” Starla menjawab enteng tanpa merasa dosa sama sekali. Yang dia ingat jadwal hari ini dirinya memakai kaus kaki biru, bukan hijau. Lagi pula warna biru dan hijau beda sedikit kan? Ah, ya sudahlah. Starla pun sudah mendapatkan hukuman.Amanda yang merupakan senior di kampus bertolak pinggang menatap jengkel Starla. “Kamu itu bodoh, ya?! Biru sama hijau beda jauh! Kamu malah bilang beda sedikit! Buta warna ya, kamu!”Starla Moonlight Darma menatap kesal senior kampusnya yang begitu cerewet. Ya, gadis berusia 18 tahun itu hari ini adalah hari keduaya melewati masa OSPEK. Masa di mana yang bisa dikatakan akan selalu dikenang di masa d