Silvi bangun pagi dengan tak bersemangat. Rasanya ia begitu malas untuk ke sekolah. Kejadian hari itu cukup membuat rasa percaya dirinya terkikis. Ia merasa seperti ditelanjangi di depan keramaian.Sejak ketahuan menulis bait-bait cinta di buku diarynya, Silvi menjauh dari sosok Araska. Ia malu. Malu karena telah membiarkan hatinya begitu lancang merawat rasa untuk Araska. Sedangkan lelaki itu punya segalanya yang tak Silvi punya. Lalu di mana Silvi akan berdiri untuk menyeimbangkan posisinya?Silvi bahkan tak berani menatap Araska, saat di kelas, atau saat berpapasan di koridor, atau saat ada tugas kelompok, dan lagi-lagi hanya Araska yang mau menerima Silvi untuk satu kelompok dengannya. Sisi kemanusiaannya berpikir, bahwa menyedihkan jika tak menjadi pilihan dan diabaikan. Ketika melihat Silvi, lelaki yang mulai beranjak remaja itu selalu membayangkan kehidupan gadis itu, dan sisi kemanusiaannya kembali mendominasi.Sementara Araska bersikap seperti biasanya. Meskipun ia tahu, di b
Araska sedang membaca buku di taman sekolah. Lembar demi lembar ia buka demi memenuhi hasrat ingin belajarnya. Araska persis seperti papanya, giat belajar.“Derajat seseorang itu bisa terangkat dengan adanya ilmu.” Papa Araska berucap suatu malam saat menemaninya tidur.Saat itu Araska masih kelas dua Sekolah Dasar, ia tak terlalu mengerti apa maksud papanya. Tapi, yang ia tahu ia harus tetap belajar. Baginya dengan begitu, berati Araska menjadi anak yang membanggakan karena mendengar nasehat sang papa.Saat Araska mulai bisa berpikir lebih dalam, ia melihat guru-gurunya. Mereka dihargai karena ilmu dan didikan yang dilakukan. Araska menyimpulkan satu hal yang menurutnya benar.Atau ketika sang papa mengatakan, bahwa seorang lelaki itu harus bisa melindungi. Awalnya Araska juga tak mengerti. Namun, semakin ke sini, ia merasa seolah ucapan papa selalu bisa ia turuti. Saat di sekolah lama, Araska terbiasa menjaga Dara, anak tetangganya. Sekarang, Araska juga seolah ditugaskan untuk menj
Hari itu Silvi membawa pulang perasan sedihnya. Perasaan gadis labil yang cintanya baru saja tertolak.Menjauhlah dariku!Kalimat itu lagi-lagi begitu mengganggu pikirannya. Kalimat yang diucapkan Araska begitu menohok batinnya. Ia merasa kembali dianggap sampah oleh orang yang begitu ia cintai, menurut perasaannya. Langkah Silvi gontai memasuki gang sempit tempat rumahnya berdiri tak kokoh. Ia berjalan melewati rumah demi rumah sebelum akhirnya sampai di gubuk miliknya. Gadis itu berdiri di depan pintu kayu yang telah lapuk, mengamati setiap bagian dari rumah itu.'Ck!’ Silvi berdecak. Gadis itu baru saja mengukur perbedaan Araska dan dirinya. Hal itu sukses membuatnya sadar diri, dan kembali merasa rendah.Silvi melangkah ke dalam, langsung menuju kamar dan berdiri di depan cermin usang yang bayangnya tak lagi sempurna. Ia mengamati setiap inci wajahnya. Alis tebal, bibir tebal dan wajah berwarna kusam khas anak miskin yang suka bergelut dengan sampah. Mana mungkin wajah dalam cer
Silvi membuka mata. Cahaya matahari pagi membuatnya terjaga. Gadis itu beringsut dari kasur lapuk itu dengan malasnya. Rasanya ia tak bersemangat sekolah, karena beberapa hari ini Araska tampak menepati janjinya, menepati kalimatnya untuk menjauh dari Silvi.Araska bahkan tak melihat dirinya, entah saat di kelas, saat sesekali mereka belajar di lab, atau di mana saja. Anak lelaki itu bertindak seolah tak mengenali Silvi. Setelah kejadian hari itu, mereka seolah menjadi dua orang asing yang tak saling kenal. Kadang karena merasa tak enak, Silvi ingin meminta maaf kembali, tapi ia takut pada dinginnya sikap Araska. Mungkin Araska merasa marah pada perasaan Silvi untuknya, sementara ia hanya menganggap teman biasa, hanya sebatas teman yang selalu ditolongnya. Tapi, perasaan itu Araska tak menginginkannya. Membayangkan penampilan Silvi saja membuatnya geli setengah mati, memang gadis itu tak lagi terlihat buluk, tapi tetap saja sangat berbeda dibandingkan anak lain. Araska memang ikhlas
Silvi terperanjat dari tidurnya kala pagi mulai menampakkan sinar cerahnya. Alam bawah sadarnya terus berpikir tentang ibu, meskipun ia semalaman tertidur karena terlalu lelah menangis. Mata gadis itu sedikit bengkak, juga kepalanya terasa sakit. Tangisan yang ia bawa tidur semalaman, kini kembali hadir hingga terdengar amat memilukan. Namun, gadis itu tetap ingin sekolah karena hari ini ada ulangan. Ia mencoba menepikan rasa sedihnya untuk saat ini, dan akan kembali mencari ibu saat pulang sekolah. Silvi yakin ibunya akan kembali pulang dan memeluknya.*“Chrisa deket, Bu.” Salah satu siswa menjawab ketika sang guru menanyakan jarak rumah Silvi dan teman-temannya.Saat itu pelajaran Bahasa Inggris sedang berlangsung. Sang guru menyuruh seorang siswa yang rumahnya paling dekat dengan Silvi untuk mengantarkan gadis itu pulang, karena tiba-tiba gadis itu menangis. Sakit perut katanya.Silvi menggeleng saat Bu Leni bertanya apa ia sudah sarapan tadi pagi. Gadis itu memang sempat membuka
Malam itu terlalu pekat untuk dilalui oleh seorang gadis belia yang baru saja memasuki usia dua belas tahun. Gadis yang kehilangan pelukan, cinta dan kasih sayang, ia terluka dan putus asa.Ketakutan. Takut untuk hidup sendirian tanpa pegangan, tanpa seorang ibu, membawanya pada sebuah keputusan sulit. Ia memilih untuk mengakhiri hidupnya. Bahkan rasa putus asa itu tak dapat ditutupi oleh sejuta kenangan tentang ibunya. Tetap saja orang yang memberikan kenangan itu tak dapat lagi ia sentuh. Yang Silvi tahu, Hera meninggalkannya karena seorang lelaki.Kesedihan dan luka juga ia rasakan kembali saat mengingat satu nama yang selama ini membuat hidupnya lebih indah. Araska Pratama. Lelaki yang ia sebut sebagai cinta pertamanya.Silvi berjalan tak tentu arah. Seperti gadis gila yang tak punya jalan pulang. Gadis itu memang kehilangan tempat pulang. Ketika ia dibully oleh teman-temannya, ia pulang ke pelukan ibunya. Hera memberikan semangat, dan esoknya Silvi tetap kuat ke sekolah. Ketika S
Naya Kusuma. Kehidupan yang hampir sempurna dengan rupa, rumah tangga dan cinta. Wajah tirus dengan lesung pipi saat ia tersenyum. Lekuk tubuh yang indah menambah pesona kesempurnaan seorang wanita. Ia merasa sangat bahagia memiliki itu semua, sebelum semua yang ia punya hanya menjadi fitnah dunia. Menjadi bumerang yang menghancurkan dirinya.Naya sudah berumur dua puluh delapan saat itu, tapi masih terlihat sangat segar dan menarik. Namun, seandainya ada yang ingin bertukar posisi, perempuan itu lebih suka menjadi wanita biasa yang bisa hidup damai dengan cinta. Orang bilang, kecantikannya adalah anugerah, tapi baginya malapetaka, yang membuatnya harus diceraikan suami dan dianggap tak pernah ada oleh anak-anaknya.“Kamu di mana?” “Masih di jalan, Pak.” “Tolong ambilkan map berwarna biru di apartemen saya ya! Saya udah keburu nyampe di kantor ini. Ribet kalau harus balik ke lagi.”Naya mendengkus kesal. Terpaksa ia harus menuruti permintaan bosnya singgah di apartemen untuk mengamb
Siang itu, Naya pulang ke rumah. Ia berdiri di depan bangunan kokoh yang beberapa tahun ini menaunginya dan keluarga kecilnya. Perempuan itu tak punya nyali untuk masuk ke dalam sana. Meskipun ia tak bersalah, tapi Hadi seolah menghukum semua kesalahan itu padanya, tanpa mau mendengarkan. Hadi hanya mengandalkan penglihatan saja. Melihat istrinya tidur seranjang dengan bos, hanya itu yang ia lihat dan menyimpulkan.Mata Naya masih sembab, karena sepanjang jalan ia menangisi nasib sialnya. Ia membenci wajahnya yang menarik perhatian Aryan, ia membenci segalanya, merasa begitu jijik pada diri sendiri. Seandainya keadaan terbalik, mungkin saja Aryan tak akan tertarik. Tapi, Naya bisa apa? Semua itu anugerah yang orang lain impikan, tapi malah menjadi petaka untuk Naya.Naya memberanikan diri untuk masuk. Ia tak mengetuk, karena pintu tak terkunci. Kakinya bergetar melangkah ke dalam rumah yang selama ini memberinya rasa damai. Suasana nyaman yang diciptakan oleh semua penghuninya yang sa