Malam itu, Naya membawa Silvi pulang bersama. Pulang ke rumah yang terlalu besar untuk ditinggali sendirian, tepatnya bersama beberapa para pekerja, Pak Budi sebagai sopir, dan istrinya bekerja sebagai pembantu di rumah Naya. Juga ada seorang satpam yang bertugas berjaga siang dan malam.Naya mengurus surat-surat untuk mengadopsi Silvi sebagai anaknya. Berharap gadis itu tak lagi merasa tak punya tempat untuk pulang. Mereka akan saling berbagi suka dan duka di tempat yang sama.Kehadiran Silvi bersamanya, setidaknya membuat rindu Naya untuk Milly dan Ejaz berkurang. Naya punya kesempatan untuk melahirkan mereka, tapi ia tak punya peluang untuk kembali memeluk mereka. Kadang ada saat di mana hatinya begitu rindu, Naya menangis pilu meratapi nasibnya seorang diri. Mungkin orang lain melihatnya sempurna, para karyawan melihatnya istimewa, tapi jauh di lubuk hati Naya, ada luka yang tak akan sembuh hingga kapan pun.Hadi tak pernah mengizinkan Naya bertemu dengan dua anaknya. Tak adil bag
“Good!” puji sang direktor pada dua modelnya. Direktor menjetikkan jari sambil tersenyum, ia tampak sangat puas dengan kinerja model terbarunya. Kemampuannya benar-benar bisa diandalkan dalam situasi mepet seperti ini.Sepasang bola mata Andri dan Araska saling beradu sejenak, sebelum keduanya saling menoleh karena ada perasaan yang mendalam yang sudah dijelaskan keduanya. Mereka tersenyum setelah mendengar sang direktor mengatakan puas atas kinerja mereka. Lega, akhirnya proyek ilkan itu bisa terselesaikan, dan menunggu hasilnya.“Kalian kelihatan kompak banget. Udah lama kenal ya?” tanya sang direktor, sembari tatapannya bergantian dari Andri ke Araska.“Hah, belum.” Andri menjawab setengah gugup.“Iya, udah lama.” Araska menjawab tak kalah cepat. Hingga dua jawaban itu terucap dalam waktu bersamaan.Lalu keduanya kembali saling pandang, karena jawaban yang berseberangan.Lelaki berkepala botak yang bertugas sebagai direktor tertawa pelan. Menyadari ada hal lain yang mungkin disemb
Araska mengendarai mobil menuju panti asuhan yang ingin dikunjungi Andri. Sebuah panti asuhan yang terletak di salah satu sudut kota Jakarta.Araska dan Andri saling diam. Tak ada yang memulai berbicara, hanya ada kebeningan yang terasa begitu kentara. Meskipun mereka sudah lama berkenalan, tapi saat mereka bertemu kembali, layaknya dua orang asing yang tak saling kenal. Canggung, malu dan entah rasa apalagi saat keduanya berdekatan.Mobil berbelok dari jalan raya ke sebuah gang menuju panti. Mobil melaju pelan, lalu benar-benar berhenti saat sampai di depan sebuah bangunan berwarna putih. Bangunan tak terlalu luas, tapi halamannya begitu luas dan hijau. Andri turun dari mobil, membuka gerbang agar Araska bisa memarkirkan mobil ke dalam sana.Andri melangkah menyusuri halaman luas dengan rumput hijau itu dengan perasaan bahagia. Baru beberapa langkah ia berjalan, gadis itu disambut oleh beberapa anak panti yang sedang bermain di teras. “Kak Andri datang ...! Hore!” teriak seorang ana
Araska berulang kali membalikkan badan ke kiri dan kanan di atas kasur empuknya. Lelaki itu susah terpejam malam ini. Berkali-kali ia mencoba memejamkan mata, tapi bayangan gadis itu selalu memenuhi ruang pikirannya. Ada kekaguman yang semakin bertambah ketika Araska melihat Andri yang sekarang.“Kenapa kamu melakukan semua ini?” tanya Araska saat keduanya dalam perjalanan pulang. Bisingnya kendaraan tak membuat suasana mereka terlihat ramai, tetap senyap sebelum pertanyaan itu meluncur dari mulut Araska.Usai makan malam dan menemani anak-anak tidur, Araska dan Andri pamit pada dua pengasuh panti asuhan.“Aku hanya ingin memperlakukan mereka layaknya aku ingin diperlakukan dulu.” Mata Andri menatap lurus ke depan. Ada kesedihan yang coba ia samarkan setiap kali mengenang kondisinya dulu.“Aku cuma mau seragam mereka tetap terjaga. Aku cuma ingin mereka ke sekolah bukan dengan perut kosong.” Andri menatap Araska dalam. “Aku cuma ingin mereka tak terlihat tersisihkan, seperti gadis de
“Wah, Andri Kusuma, kan?” Chrisa berkata setelah berpikir keras mengingat wajah gadis yang seumuran dengannya. Mulutnya setengah terbuka, tak percaya bahwa hari ini ia bertemu dengan salah satu idolanya.Araska memasuki ruangan cafe yang telah dijanjikan untuk tempat reuni. Di sana telah bergabung beberapa temannya. Cafe tempatnya dulu sering nongkrong jika akhir pekan atau ada ajakan dari teman-teman. Mereka menggabungkan beberapa meja agar semua yang hadir bisa bergabung dalam satu kelompok. Tak semua teman-teman bisa hadir, karena sebagiannya ada kesibukan masing-masing. Sebagiannya masih di luar daerah, atau tak bisa libur dari pekerjaannya.Andri memutuskan untuk ikut reunian bersama teman-teman SMP. Gadis cantik itu berpikir bahwa apa yang dikatakan Araska ada benarnya juga. Ia harus menunjukkan dirinya yang sekarang agar setidaknya mata mereka terbuka, bahwa tak selamanya yang berada di bawah akan selalu di bawah.“Aku bawa seseorang untuk kalian.” Araska berkata saat memasuki
Setelah kabar kematian Silvi bunuh diri, ada satu nama yang tersorot sebagai pelaku yang sering menorehkan luka batin pada gadis itu.Uta Sofia. Nama itu mulai diperbincangkan. Jika dulu semua anak-anak di sekolah mengaguminya karena cantik, pintar, dan berasal dari keluarga yang kaya, kini pandangan mereka mulai berubah. Seperti artis yang tersorot masalah. Ketenarannya mulai redup, berganti dengan kebencian yang terabaikan dari lingkungan sekolah. Siska, Chrisa, dan teman satu geng juga ikut menjauh dengan alasan dilarang orangtuanya untuk berteman dengan Uta. Para orangtua terlalu takut jika anak-anaknya terpengaruh oleh sikap negatif dari gadis itu, atau mereka takut jika anaknya akan menjadi korban bullying selanjutnya.Hanya satu nama yang bertahan di sisi Uta. Rangga selalu ada di samping gadis itu jika ada teman-teman yang balik menyerang karena kelakuan buruknya, atau jika Uta sedang dibisiki saat ia berjalan atau di perpustakaan.Uta yang dulu terkenal sinis dan pemberani,
Naya mengetuk pintu kamar Andri. Ia baru saja pulang dari kantor, dan tak melihat anak gadisnya yang biasanya akan turun jika ia pulang. Setelah kembali dari Samarinda tadi siang, Andri memang belum keluar kamar kata Mbok Nah, tapi perempuan paruh baya itu memaklumi, mungkin saja Andri kelelahan setelah menempuh perjalanan jauh.Namun, firasat Naya tak enak. Ia merasa seperti ada sesuatu yang mengganggu pikiran putrinya. Naya sudah menghapal kebiasaan gadis itu.“Sayang, buka pintunya!” Naya berkali-kali mengetuk pintu sambil membujuk gadis itu untuk keluar, dan makan malam. Setelah sekian lama, Naya merasa gadis itu telah sembuh atau setidaknya merasa lebih baik atas luka-lukanya. Ternyata setiap luka bisa kembali menganga kapan saja.Pertama kali, setelah sekian lama, Andri kembali murung dan mengurung diri di kamar.“Mama tunggu di meja makan ya!” Naya berlalu dari depan pintu kamar mewah itu. Berharap anak gadisnya segera turun, dan menceritakan apa yang membebani pikirannya.Di d
Bab 35.“Kamu siapa? Kembali wanita tua itu bertanya. Tubuh tambunnya sedikit linglung karena tak siap dengan pelukan gadis yang tak ia kenali.Sementara Andri makin mempererat pelukannya. Berharap pelukan itu masih sama menenangkan seperti beberapa tahun lalu.Wanita tua itu melepas pelukan Andri dari tubuhnya. Kemampuan matanya telah sedikit mengabur sejak setahun lalu, seiring dengan usia yang semakin menua. Dari jarak dekat, wanita itu dapat melihat wajah cantik seorang gadis di depannya. Ia tak pernah mengenali sebelumnya, karena sejak penghuni rumah itu tak ada lagi, tak ada yang mengunjungi gubuk milik Hera.“Andri, Bu.” Andri menjawab kebingungan wanita tua di depannya. Wanita yang beberapa tahun lalu pernah menemaninya hingga larut malam.Bu Arum tampak lebih tua dari terakhir kali Andri melihat. Wajahnya dipenuhi keriput, juga tangan yang kulitnya sudah berkerut. Namun, Andri berharap ingatan Bu Arum masih kuat, setidaknya untuk mengingat seorang gadis putus asa yang menang