Araska mengendarai mobil menuju panti asuhan yang ingin dikunjungi Andri. Sebuah panti asuhan yang terletak di salah satu sudut kota Jakarta.Araska dan Andri saling diam. Tak ada yang memulai berbicara, hanya ada kebeningan yang terasa begitu kentara. Meskipun mereka sudah lama berkenalan, tapi saat mereka bertemu kembali, layaknya dua orang asing yang tak saling kenal. Canggung, malu dan entah rasa apalagi saat keduanya berdekatan.Mobil berbelok dari jalan raya ke sebuah gang menuju panti. Mobil melaju pelan, lalu benar-benar berhenti saat sampai di depan sebuah bangunan berwarna putih. Bangunan tak terlalu luas, tapi halamannya begitu luas dan hijau. Andri turun dari mobil, membuka gerbang agar Araska bisa memarkirkan mobil ke dalam sana.Andri melangkah menyusuri halaman luas dengan rumput hijau itu dengan perasaan bahagia. Baru beberapa langkah ia berjalan, gadis itu disambut oleh beberapa anak panti yang sedang bermain di teras. “Kak Andri datang ...! Hore!” teriak seorang ana
Araska berulang kali membalikkan badan ke kiri dan kanan di atas kasur empuknya. Lelaki itu susah terpejam malam ini. Berkali-kali ia mencoba memejamkan mata, tapi bayangan gadis itu selalu memenuhi ruang pikirannya. Ada kekaguman yang semakin bertambah ketika Araska melihat Andri yang sekarang.“Kenapa kamu melakukan semua ini?” tanya Araska saat keduanya dalam perjalanan pulang. Bisingnya kendaraan tak membuat suasana mereka terlihat ramai, tetap senyap sebelum pertanyaan itu meluncur dari mulut Araska.Usai makan malam dan menemani anak-anak tidur, Araska dan Andri pamit pada dua pengasuh panti asuhan.“Aku hanya ingin memperlakukan mereka layaknya aku ingin diperlakukan dulu.” Mata Andri menatap lurus ke depan. Ada kesedihan yang coba ia samarkan setiap kali mengenang kondisinya dulu.“Aku cuma mau seragam mereka tetap terjaga. Aku cuma ingin mereka ke sekolah bukan dengan perut kosong.” Andri menatap Araska dalam. “Aku cuma ingin mereka tak terlihat tersisihkan, seperti gadis de
“Wah, Andri Kusuma, kan?” Chrisa berkata setelah berpikir keras mengingat wajah gadis yang seumuran dengannya. Mulutnya setengah terbuka, tak percaya bahwa hari ini ia bertemu dengan salah satu idolanya.Araska memasuki ruangan cafe yang telah dijanjikan untuk tempat reuni. Di sana telah bergabung beberapa temannya. Cafe tempatnya dulu sering nongkrong jika akhir pekan atau ada ajakan dari teman-teman. Mereka menggabungkan beberapa meja agar semua yang hadir bisa bergabung dalam satu kelompok. Tak semua teman-teman bisa hadir, karena sebagiannya ada kesibukan masing-masing. Sebagiannya masih di luar daerah, atau tak bisa libur dari pekerjaannya.Andri memutuskan untuk ikut reunian bersama teman-teman SMP. Gadis cantik itu berpikir bahwa apa yang dikatakan Araska ada benarnya juga. Ia harus menunjukkan dirinya yang sekarang agar setidaknya mata mereka terbuka, bahwa tak selamanya yang berada di bawah akan selalu di bawah.“Aku bawa seseorang untuk kalian.” Araska berkata saat memasuki
Setelah kabar kematian Silvi bunuh diri, ada satu nama yang tersorot sebagai pelaku yang sering menorehkan luka batin pada gadis itu.Uta Sofia. Nama itu mulai diperbincangkan. Jika dulu semua anak-anak di sekolah mengaguminya karena cantik, pintar, dan berasal dari keluarga yang kaya, kini pandangan mereka mulai berubah. Seperti artis yang tersorot masalah. Ketenarannya mulai redup, berganti dengan kebencian yang terabaikan dari lingkungan sekolah. Siska, Chrisa, dan teman satu geng juga ikut menjauh dengan alasan dilarang orangtuanya untuk berteman dengan Uta. Para orangtua terlalu takut jika anak-anaknya terpengaruh oleh sikap negatif dari gadis itu, atau mereka takut jika anaknya akan menjadi korban bullying selanjutnya.Hanya satu nama yang bertahan di sisi Uta. Rangga selalu ada di samping gadis itu jika ada teman-teman yang balik menyerang karena kelakuan buruknya, atau jika Uta sedang dibisiki saat ia berjalan atau di perpustakaan.Uta yang dulu terkenal sinis dan pemberani,
Naya mengetuk pintu kamar Andri. Ia baru saja pulang dari kantor, dan tak melihat anak gadisnya yang biasanya akan turun jika ia pulang. Setelah kembali dari Samarinda tadi siang, Andri memang belum keluar kamar kata Mbok Nah, tapi perempuan paruh baya itu memaklumi, mungkin saja Andri kelelahan setelah menempuh perjalanan jauh.Namun, firasat Naya tak enak. Ia merasa seperti ada sesuatu yang mengganggu pikiran putrinya. Naya sudah menghapal kebiasaan gadis itu.“Sayang, buka pintunya!” Naya berkali-kali mengetuk pintu sambil membujuk gadis itu untuk keluar, dan makan malam. Setelah sekian lama, Naya merasa gadis itu telah sembuh atau setidaknya merasa lebih baik atas luka-lukanya. Ternyata setiap luka bisa kembali menganga kapan saja.Pertama kali, setelah sekian lama, Andri kembali murung dan mengurung diri di kamar.“Mama tunggu di meja makan ya!” Naya berlalu dari depan pintu kamar mewah itu. Berharap anak gadisnya segera turun, dan menceritakan apa yang membebani pikirannya.Di d
Bab 35.“Kamu siapa? Kembali wanita tua itu bertanya. Tubuh tambunnya sedikit linglung karena tak siap dengan pelukan gadis yang tak ia kenali.Sementara Andri makin mempererat pelukannya. Berharap pelukan itu masih sama menenangkan seperti beberapa tahun lalu.Wanita tua itu melepas pelukan Andri dari tubuhnya. Kemampuan matanya telah sedikit mengabur sejak setahun lalu, seiring dengan usia yang semakin menua. Dari jarak dekat, wanita itu dapat melihat wajah cantik seorang gadis di depannya. Ia tak pernah mengenali sebelumnya, karena sejak penghuni rumah itu tak ada lagi, tak ada yang mengunjungi gubuk milik Hera.“Andri, Bu.” Andri menjawab kebingungan wanita tua di depannya. Wanita yang beberapa tahun lalu pernah menemaninya hingga larut malam.Bu Arum tampak lebih tua dari terakhir kali Andri melihat. Wajahnya dipenuhi keriput, juga tangan yang kulitnya sudah berkerut. Namun, Andri berharap ingatan Bu Arum masih kuat, setidaknya untuk mengingat seorang gadis putus asa yang menang
Bab 36.Matahari terlihat sangat terik di atas sana. Lalu lalang orang-orang yang pergi ke pasar dan melakukan aktivitas harian seperti biasa.Hera berjalan menyusuri gang bersama seorang lelaki. Ia bingung dengan tatapan orang-orang sekitar yang melihatnya dengan tatapan tajam. Perempuan yang masih tergolong muda itu tersenyum, tanda menyapa beberapa orang yang lewat atau ibu-ibu yang duduk di depan rumahnya. Sayangnya, senyum itu malah dibalas dengan tatapan sinis. Hera tak mengerti, begitu pun lelaki yang berjalan di sisinya. Keduanya terus berjalan tak lagi peduli pada tatapan orang-orang.Tiba di rumah, Hera mengeluarkan kunci dari dalam tasnya, dan membuka pintu. Ia meletakkan tas dan membereskan beberapa barang yang dibawa lelaki bersamanya. Lelaki yang entah sudah berapa lama telah meninggalkannya, dan kini kembali ke pelukannya juga anak gadisnya yang selalu bertanya tentang seorang ayah. Hermawan kembali.Hera melihat tak ada seragam Silvi di kamar, itu artinya anak itu pe
Siang itu Hera sedang mencuci pakaian salah satu majikannya, ia meninggalkan aktivitasnya saat terdengar ponsel miliknya berdering. Panggilan dari nomor yang tidak terdaftar di kontak Hera. Awalnya ia ragu untuk menjawab panggilan itu, hingga dering kedua kali membuat Hera yakin bahwa panggilan itu mungkin saja penting.Panggilan tersambung. “Halo, siapa ini?” Hera bertanya.Terdengar suara seorang lelaki di seberang sana, memanggil namanya dengan suara sengau seperti baru saja menangis.Tak perlu waktu lama untuk mengenali suara itu, karena Hera begitu menghapal setiap nada suara, cara bicara, bahkan ia bisa menghapal bentuk bayang lelaki itu. Ia terlalu mencintainya hingga bisa sedetail itu dalam mengenali. Suara Hermawan yang ia rindukan setengah mati.“Mas ...,” lirih Hera. Ia tak menyangka akan menerima telepon dari suaminya, setelah belasan tahun mencoba melupakan lelaki itu. Belasan tahun mencoba percaya bahwa Hermawan memang benar-benar telah mengkhianatinya. Mencoba percaya
“Andri ada?”Milly membuka pintu saat bel di pintu berbunyi. Gadis itu sedikit terpaku, lalu tersenyum pada Araska yang berdiri di depannya.Araska ingin menemui Andri. Semalam ia berpikir cukup lama untuk mencari cara menyatakan perasaannya pada gadis itu. Ia yakin Andri bisa merasakan debar cinta antara keduanya. Namun, Araska harus memperjelas dengan cara yang lebih serius. Araska selama ini menjaga. Araska ingin tahu seperti apa muara rasa itu, setelah sekian lama terpisah, menjalani alur hidup masing-masing. Lalu bersama, kembali dipertemukan dalam keadaan yang tak sama.Araska mencoba mengirimkan pesan untuk Andri, tapi hanya centang satu. Lalu, ia menghapusnya dan mengambil kesimpulan untuk bertemu langsung. Ia menghubungi, tapi nomor gadis itu tak tersambung. Sebab itu, Araska sekarang berdiri di depan rumah Andri. Mengetuk pintu, berharap gadis itu yang membukanya. Namun, yang kini di depannya bukanlah gadis yang ia tuju.“Dia balik ke Samarinda.” Milly menjawab setelah sepe
“Kamu yang lagi nyeka air mata, berbaliklah!”Araska mengulang kalimat itu.Andri yang sedang melangkah, terpaksa berhenti seolah sedang diperintahkan untuk berhenti. Ia berdiri sejenak, bergelut dengan pikirannya sendiri. Gadis itu tak berani melihat ke belakang, karena akan ketahuan sedang menangis. Itu memalukan.Kepalang tanggung melangkah, ia tak bisa bersikap terlalu kepedean dengan mengira bahwa Araska menyuruhnya berhenti. Siapa tahu, Milly di sudut sana juga sedang terharu karena tersentuh dengan lagu yang dinyanyikan Araska. Itu akan lebih memalukan jika ternyata bukan dia yang dimaksud Araska.Andri kembali melangkah, tak peduli dengan kalimat barusan yang nyatanya akan semakin membuat hatinya ragu untuk melepaskan.“Kamu yang terus melangkah meski disuruh balik, berhentilah!”Dari mikrofon itu kembali terdengar suara Araska. Bodo amat! Andri tetap melangkah hingga hampir sampai di pintu depan.Bukan dirinya! Pikir Andri.“Kamu, Silvi Andriani, kemarilah!”Andri berhenti, d
Halaman rumah Naya telah disulap sedemikian rupa. Aneka hiasan, balon-balon menggantung di udara. Makanan mewah juga banyak tersaji di meja. Atas persetujuan Andri, Naya menggelar acara untuk ulang tahun gadis itu; ulang tahun ke dua puluh satu.Sebelumnya, Andri tak pernah mau merayakan dengan banyak orang. Namun, kali ini gadis itu merasa harus merayakan setiap kemenangan yang ia lalui bersama Naya, dan orang-orang terdekatnya.Pesta yang tak terlalu besar, karena hanya dihadiri oleh keluarga, juga anak-anak panti dan dua pengasuh yang tak luput dari undangan istimewa bagi Andri.Anak-anak panti terlihat bahagia dengan acara mewah dan makanan yang aneka ragamnya. Mereka juga telah menyiapkan rencana kejutan untuk Andri.Andri turun dari tangga dengan mata yang ditutup oleh Ejaz. Gadis yang mengenakan gaun berwarna marun itu berjalan perlahan, matanya terlalu gelap.Andri tetap melangkah pelan, hingga tangannya dipegang Ejaz untuk berhenti. Andri tahu, mungkin keluarganya sedang memb
Andri bangun dengan mata yang sembab. Pagi ini, ia mencoba berhenti menangisi kisah cintanya untuk kedua kali. Namun, bukan berarti ia bisa bangkit secepat itu dari rasa terpuruknya. Gadis itu mencoba berpikir positif tentang hubungan Araska dan Milly. Namun, kebersamaan mereka semakin jauh dari harus berprasangka hanya teman, atau kebetulan.Pagi itu, Milly kembali keluar dengan gitar di punggung. “Gitar baru?” Andri bertanya penuh selidik. Karena yang ia tahu, gitar Milly sudah dirusak oleh papanya.Milly mengangguk. Senyumnya merekah sambil mengelus gitar baru yang ia miliki.“Mama beli?” Kembali Andri bertanya.“Bukan.”“Jadi?”“Araska.”Seolah ada beribu pisau yang menyayat hati Andri secara bersamaan, seiring dengan nama itu disebutkan. Araska membeli gitar untuk Milly, itu artinya lelaki itu sedang mengembalikan hal berharga dalam hidup gadis itu. Sialnya, ia tak bisa mengembalikan hal berharga dalam hidup Andri. Cinta. Rasa itu masih saja menekan hati Andri sendirian, tanpa b
Andri sedang membaca beberapa buku untuk melengkapi tugas-tugas kuliah yang semakin hari semakin banyak. Setelah selesai dengan mata kuliah magang, kini ia harus membuat laporan magang. Andri bahkan menolak beberapa tawaran pemotretan dan iklan, ia ingin fokus kuliah, karena hari libur pun terasa seperti Senin baginya kini.Gadis itu menatap layar laptop di depannya sambil mengetikkan sesuatu di sana. Di depannya ada secangkir teh dan camilan yang ia minta disiapkan oleh Mbok Nah.Matahari telah naik setengahnya, menyisakan warna jingga menghampar indah di bumi. Sebagian cahayanya masuk melalui jendela kaca di kamar Andri. Di bawah sana, ada tanaman hias dan kolam ikan koi yang juga ikut menikmati keindahan senja. Dalam fokusnya, Andri masih mendengar pintu diketuk seseorang. Tanpa menoleh, gadis itu menyuruh masuk, dari suaranya ia tahu siapa yang datang ke kamarnya.Pintu terbuka, terlihat wajah seseorang menyembul dari baliknya.Milly masuk dan mendekati Andri yang terlihat sibuk
Andri melangkah ke kamar Naya dengan membawa satu nampan sarapan. Sejak beberapa hari, perempuan itu tidak turun dari kamarnya, setelah menghadapi proses pengadilan atas kasusnya yang menimpanya belasan tahun lalu.Aryan mengambil langkah tepat waktu, seperti telah memikirkan banyak hal dan konsekuensinya. Lelaki itu menyerahkan diri, sebelum genap dua belas tahun kejahatan yang ia lakukan pada Naya.Menurut hukum yang berlaku, kakus pemerkosaan akan kadaluwarsa selama dua belas tahun, jika menurut hukum, pelaku akan mendapatkan lebih dari tiga tahun penjara.Kasus Naya belasan tahun lalu, itu terjadi saat usianya masih dua puluh delapan waktu itu, sebentar lagi akan kadaluwarsa waktunya jika saja ia tak menuntut segera. Bahkan, jika ia menuntut dalam kurun waktu lebih dari dua belas tahun, maka ia bisa dituntut balik atas dasar pencemaran nama baik.Naya bahkan tak berani untuk pergi bekerja, ia tak bisa membayangkan bagaimana media akan merekam wajahnya. Orang-orang akan melihatnya
Naya dan kedua putrinya berkumpul di meja makan. Pagi ini Naya memasak nasi uduk untuk sarapan. Ia menggantikan peran Mbok Nah yang izin pulang kampung karena anaknya sakit. Pun, sudah menjadi kebiasaan Naya saat sedang stres, ia akan melakukan aktivitas untuk mengalihkan perasaan itu. Sejak hari itu, Hadi dan Naya banyak berbincang tentang kehidupan mereka, juga dua anaknya yang akan diasuh. Hadi melepaskan Milly untuk diasuh dan tinggal bersama Naya, sedangkan Ejaz akan tetap tinggal bersama papanya. Dua anak itu tak lagi diperebutkan seperti dulu, atau tak lagi ada yang merasa tak rela karena sama sekali tak bisa merengkuhnya. Hadi dan Naya bisa kapan saja menjenguk buah hatinya, tanpa batasan. Itu perjanjian mereka.“Ma, apa nggak sebaiknya mama rujuk sama papa?” Di sela suapannya, Milly bertanya hati-hati. Sebagai seorang anak, ia pasti ingin orangtuanya bersatu dalam satu ikatan, dalam satu rumah.Naya yang sedang makan, menghela napas berat, sejenak menatap Milly dengan serius
“Finally, kita bertemu di sini, Tuan Aryan!” ucap Andri menyinggung ketenangan lelaki itu. Andri meletakkan satu dokumen yang harus ditandatangani founder perusahaan itu.Berkas dari atasan magang yang meminta pertolongannya untuk diantar ke ruang Aryan.Aryan sedang memeriksa beberapa berkas di mejanya, saat Andri masuk dan mengucapkan kalimat yang membuatnya mendongak. Lelaki itu melihat wajah yang terlalu lancang untuk masuk ke ruangannya. “Kau siapa?” Aryan bertanya. Lelaki itu tahu bahwa gadis di depannya merupakan salah satu karyawan baru, ia bisa melihat tanda pengenal yang tergantung di lehernya. Namun, kalimat tak sopan yang keluar dari mulut gadis itu barusan menyiratkan seolah mereka punya urusan sebelumnya.Seingat Aryan, ia masih punya sekretaris di ruang sebelum ruangannya. Ia bingung kenapa gadis itu lolos masuk tanpa pemberitahuan dari sang sekretaris. Ah, Aryan baru melihat gadis baru saja meletakkan sebuah map. Siapa saja bisa masuk untuk alasan tanda tangan.Aryan
“Jaz, kita jemput Milly ya.” Pagi. Hadi dan Ejaz sedang menyantap sarapan. Lelaki itu menatap papanya, sedikit ragu untuk mengiyakan. Pun, semalam ia bertanya pada adiknya tentang keadaannya di sana. Milly tampak baik-baik saja di sana, membuat Ejaz merasa kasihan jika harus dipaksa pulang.Sejak Milly di rumah mama, Ejaz sering datang menemui. Ia rindu cerewetnya sang adik, juga merindukan mama yang telah lama tak tinggal di sisinya.Dengan berat hati, akhirnya Ejaz mengiyakan ajakan papanya. Meskipun tak bisa dibayangkan apa yang akan terjadi saat papa kembali bertemu dengan mama. *Hadi turun dari mobil bersama Ejaz setelah lelaki itu mematikan mesin mobilnya. Terlihat oleh mereka sebuah mobil berwarna silver diparkir di depannya. Hadi melangkah masuk ke halaman rumah yang lumayan luas itu. Berdiri di sana seorang satpam dan bebarapa asisiten rumah tangga, mereka tersenyum pada Hadi, tapi wajahnya terlihat tegang.Langkah itu berhenti sejenak. Hadi dan Ejaz berdiri tak jauh dari