Bab 36.Matahari terlihat sangat terik di atas sana. Lalu lalang orang-orang yang pergi ke pasar dan melakukan aktivitas harian seperti biasa.Hera berjalan menyusuri gang bersama seorang lelaki. Ia bingung dengan tatapan orang-orang sekitar yang melihatnya dengan tatapan tajam. Perempuan yang masih tergolong muda itu tersenyum, tanda menyapa beberapa orang yang lewat atau ibu-ibu yang duduk di depan rumahnya. Sayangnya, senyum itu malah dibalas dengan tatapan sinis. Hera tak mengerti, begitu pun lelaki yang berjalan di sisinya. Keduanya terus berjalan tak lagi peduli pada tatapan orang-orang.Tiba di rumah, Hera mengeluarkan kunci dari dalam tasnya, dan membuka pintu. Ia meletakkan tas dan membereskan beberapa barang yang dibawa lelaki bersamanya. Lelaki yang entah sudah berapa lama telah meninggalkannya, dan kini kembali ke pelukannya juga anak gadisnya yang selalu bertanya tentang seorang ayah. Hermawan kembali.Hera melihat tak ada seragam Silvi di kamar, itu artinya anak itu pe
Siang itu Hera sedang mencuci pakaian salah satu majikannya, ia meninggalkan aktivitasnya saat terdengar ponsel miliknya berdering. Panggilan dari nomor yang tidak terdaftar di kontak Hera. Awalnya ia ragu untuk menjawab panggilan itu, hingga dering kedua kali membuat Hera yakin bahwa panggilan itu mungkin saja penting.Panggilan tersambung. “Halo, siapa ini?” Hera bertanya.Terdengar suara seorang lelaki di seberang sana, memanggil namanya dengan suara sengau seperti baru saja menangis.Tak perlu waktu lama untuk mengenali suara itu, karena Hera begitu menghapal setiap nada suara, cara bicara, bahkan ia bisa menghapal bentuk bayang lelaki itu. Ia terlalu mencintainya hingga bisa sedetail itu dalam mengenali. Suara Hermawan yang ia rindukan setengah mati.“Mas ...,” lirih Hera. Ia tak menyangka akan menerima telepon dari suaminya, setelah belasan tahun mencoba melupakan lelaki itu. Belasan tahun mencoba percaya bahwa Hermawan memang benar-benar telah mengkhianatinya. Mencoba percaya
Bab 38.Araska menyambar sebuah jaket yang ia gantung di dalam lemari, langkahnya tergesa sambil mengambil kunci motor yang terletak di nakas. Lelaki itu menuruni tangga dengan cepat, hingga membuat Sarah yang sedang menonton televisi menatapnya heran, lalu mengejar langkahnya saat sudah sampai di pintu utama.“Ke mana malam-malam?” tanya Sarah saat dilihatnya Araska telah bersiap di atas motor besar miliknya.“Bentar doang, Te.” Araska menghidupkan mesin motor, meninggalkan Sarah yang masih belum puas dengan jawaban keponakannya. Dalam hati, perempuan itu hanya berdoa semoga tidak sedang terjadi hal-hal buruk di luar sana.Jam telah menunjukkan pukul sepuluh malam, Araska sedang mengetikkan sesuatu di laptopnya. Ia menyelesaikan beberapa tugas awal kuliah memasuki semester baru. Fokusnya terbagi, ketika ponselnya menyala dengan nama Tante Naya yang terlihat jelas di layar.Naya baru saja pulang dari kantor, ketika ia tak mendapati Andri di kamar atau di sudut mana saja di rumah itu
Bab 39.Andri memasukkan mobil ke garasi setelah satpam membukakan gerbang untuknya. Gadis itu tersenyum ramah, sebagai ucapan terima kasih pada orang yang telah bekerja di rumahnya. Terkadang ada hal yang berubah ketika seseorang punya nama, kehormatan, dan uang. Sebagian dari mereka akan memperlakukan bawahannya secara rendah dan semena-mena. Namun, tidak dengan Andri. Gadis itu tahu persis bagaimana rasanya saat diperlakukan tak manusiawi oleh orang lain. Yang ingin ia lakukan hanyalah memanusiakan manusia lainnya, tanpa memandang siapa orangnya. Karena gadis itu juga terlalu benci mereka yang terlalu mendewakan manusia karena uangnya, karena wajahnya. Ia benci. Andri hanya memperlakukan orang lain, layaknya ia ingin diperlakukan dulu.Gadis itu membuka pintu, lalu melangkah masuk ke dalam. Ia di sambut Mbok Nah yang mengatakan bahwa makan siang sudah disiapkan di atas meja.Andri mengangguk ramah. Ia melangkah ke kamar, ingin membersihkan diri terlebih dahulu.*Minggu. Andri
Bab 40.Andri merasa sangat lelah dengan hidupnya. Berbagai usaha dilakukan untuk menemukan sang ibu, tapi nihil, tak ada hasilnya. Naya juga tak mendapat informasi apa pun mengenai ibu dari anak gadisnya.Kadang terbersit dalam hati Naya, semoga Andri tak menemukan ibunya selamanya. Karena ia akan merasa disisihkan jika Andri kembali bersama ibunya. Naya akan kesepian, dan hidup sendirian di masa tua. Namun, Naya sadar bahwa itu terlalu egois untuk dilakukan pada Andri. Ia memaksa pikiran buruk itu untuk hilang. Karena ia akan melakukan yang terbaik untuk orang yang ia sayangi.“Kau akan tinggal bersama ibumu jika berhasil menemukannya?” tanya Naya suatu hari ketika ia dan Andri sedang menonton televisi.Andri menghadapkan wajahnya pada Naya. Menatap mata hitam yang mulai berkaca-kaca itu dengan tatapan dalam. Tatapan yang tulus dari seseorang yang membesarkannya dengan penuh cinta.“Ibu adalah orang yang melahirkankanku. Mama adalah orang yang membesarkanku. Kalian dua orang yang b
Bab 41.Andri berjalan dari panggung ke atas karpet merah yang digelar memanjang, di sisi kiri dan kanan terdapat banyak sekali kursi penonton. Kursi yang diduduki oleh penggiat fashion, pebisnis, desainer, dan salah satu kursi ditempati oleh ibunya.“Bu, orang lain selalu datang saat launching bajunya. Kenapa ibu enggak?” tanya Andri sesaat setelah tangis mereka mereda, ketika keduanya sedang menumpahkan rasa.“Ibu nggak sanggup. Karena, setiap melihat mereka memakai gaun yang cantik, ibu selalu teringat ketidakmampuan ibu dulu membelikan pakaian yang bagus untukmu. Meskipun sekarang ibu yang jahit sendiri, ibu yang desain sendiri, ibu tetap merasa iri saat melihat mereka memakainya.”Andri diam. Ia tak bisa berkata, atau bahkan bertanya lebih banyak Karena ada kesedihan yang kembali menjelma menjadi kaca-kaca di matanya.Andri memamerkan senyum terindahnya, sesekali melihat sosok perempuan di kursi paling depan, kursi yang dikhususkan untuk para desainer yang mendesain gaun yang se
Sulit bagi Andri menerima kenyataan bahwa ayahnya telah tiada, bahkan tak sempat menerima pelukan pertamanya. Namun, ia yakin bahwa Sang Maha Pencipta lebih menyayanginya. Karena menemukan ibu, cukup mengobati luka yang bertimbunan dalam hatinya.“Bu, aku ingin memelukmu lebih lama.” Andri kembali memeluk tubuh sang ibu. Memangkas jarak yang selama ini membuat rindu tak bertepi.“Bahkan setelah meninggalkanmu, ibu merasa tak berhak memaksamu untuk tinggal bersama.” Hera menatap putrinya, sembari tangan itu mengelus lembut rambut panjang Andri.Hari itu, dia perempuan beda usia yang kembali dipertemukan takdir, menghabiskan waktu hingga malam. Seolah sedang mengembalikan waktu-waktu yang hilang, yang menghalangi kedekatan mereka.Hera membawa Andri ke rumah, tak peduli pada tubuh yang begitu lelah, gadis itu tetap mengikuti sang ibu. Karena lelahnya seolah hilang saat melihat ibunya dalam keadaan baik-baik saja.“Kasihan mama kamu.” Hera kembali berkomentar ketika Andri menceritakan ki
Tubuh Naya terpaku di tempatnya berdiri. Dingin seolah menusuk-nusuk tulangnya. Tubuh itu bergetar hebat, antara bahagia juga luka terlihat jelas di wajahnya.Sementara seorang gadis di depan Naya, berdiri mematung membiarkan kaca-kaca di matanya menetes hingga pipi itu basah.Gadis itu, Milly. Anak yang setengah mati dirindukan Naya.Dua pasang mata itu saling tatap, menyelami setiap luka dan rindu yang terpangkas belasan tahun. Bahkan masih teringat dalam ingatan gadis itu, saat hari terakhir ia bertemu ibunya. Tak ada pelukan yang dibiarkan menjadi kenangan yang menghangatkan tidurnya. Tak ada kecupan yang membuat ia merasa tak dipaksa meninggalkan atau ditinggalkan. Belasan tahun lalu, tangan itu ditarik paksa oleh sang ayah, saat dua bocah yang tengah menangis berusaha mencapai tubuh ibunya. Mereka menyerah, karena saat itu masih terlalu kecil untuk mengerti apa yang diperdebatkan orang dewasa.Terkadang, ada hal yang begitu menyakitkan yang harus dialami anak korban broken home