Bab 39.Andri memasukkan mobil ke garasi setelah satpam membukakan gerbang untuknya. Gadis itu tersenyum ramah, sebagai ucapan terima kasih pada orang yang telah bekerja di rumahnya. Terkadang ada hal yang berubah ketika seseorang punya nama, kehormatan, dan uang. Sebagian dari mereka akan memperlakukan bawahannya secara rendah dan semena-mena. Namun, tidak dengan Andri. Gadis itu tahu persis bagaimana rasanya saat diperlakukan tak manusiawi oleh orang lain. Yang ingin ia lakukan hanyalah memanusiakan manusia lainnya, tanpa memandang siapa orangnya. Karena gadis itu juga terlalu benci mereka yang terlalu mendewakan manusia karena uangnya, karena wajahnya. Ia benci. Andri hanya memperlakukan orang lain, layaknya ia ingin diperlakukan dulu.Gadis itu membuka pintu, lalu melangkah masuk ke dalam. Ia di sambut Mbok Nah yang mengatakan bahwa makan siang sudah disiapkan di atas meja.Andri mengangguk ramah. Ia melangkah ke kamar, ingin membersihkan diri terlebih dahulu.*Minggu. Andri
Bab 40.Andri merasa sangat lelah dengan hidupnya. Berbagai usaha dilakukan untuk menemukan sang ibu, tapi nihil, tak ada hasilnya. Naya juga tak mendapat informasi apa pun mengenai ibu dari anak gadisnya.Kadang terbersit dalam hati Naya, semoga Andri tak menemukan ibunya selamanya. Karena ia akan merasa disisihkan jika Andri kembali bersama ibunya. Naya akan kesepian, dan hidup sendirian di masa tua. Namun, Naya sadar bahwa itu terlalu egois untuk dilakukan pada Andri. Ia memaksa pikiran buruk itu untuk hilang. Karena ia akan melakukan yang terbaik untuk orang yang ia sayangi.“Kau akan tinggal bersama ibumu jika berhasil menemukannya?” tanya Naya suatu hari ketika ia dan Andri sedang menonton televisi.Andri menghadapkan wajahnya pada Naya. Menatap mata hitam yang mulai berkaca-kaca itu dengan tatapan dalam. Tatapan yang tulus dari seseorang yang membesarkannya dengan penuh cinta.“Ibu adalah orang yang melahirkankanku. Mama adalah orang yang membesarkanku. Kalian dua orang yang b
Bab 41.Andri berjalan dari panggung ke atas karpet merah yang digelar memanjang, di sisi kiri dan kanan terdapat banyak sekali kursi penonton. Kursi yang diduduki oleh penggiat fashion, pebisnis, desainer, dan salah satu kursi ditempati oleh ibunya.“Bu, orang lain selalu datang saat launching bajunya. Kenapa ibu enggak?” tanya Andri sesaat setelah tangis mereka mereda, ketika keduanya sedang menumpahkan rasa.“Ibu nggak sanggup. Karena, setiap melihat mereka memakai gaun yang cantik, ibu selalu teringat ketidakmampuan ibu dulu membelikan pakaian yang bagus untukmu. Meskipun sekarang ibu yang jahit sendiri, ibu yang desain sendiri, ibu tetap merasa iri saat melihat mereka memakainya.”Andri diam. Ia tak bisa berkata, atau bahkan bertanya lebih banyak Karena ada kesedihan yang kembali menjelma menjadi kaca-kaca di matanya.Andri memamerkan senyum terindahnya, sesekali melihat sosok perempuan di kursi paling depan, kursi yang dikhususkan untuk para desainer yang mendesain gaun yang se
Sulit bagi Andri menerima kenyataan bahwa ayahnya telah tiada, bahkan tak sempat menerima pelukan pertamanya. Namun, ia yakin bahwa Sang Maha Pencipta lebih menyayanginya. Karena menemukan ibu, cukup mengobati luka yang bertimbunan dalam hatinya.“Bu, aku ingin memelukmu lebih lama.” Andri kembali memeluk tubuh sang ibu. Memangkas jarak yang selama ini membuat rindu tak bertepi.“Bahkan setelah meninggalkanmu, ibu merasa tak berhak memaksamu untuk tinggal bersama.” Hera menatap putrinya, sembari tangan itu mengelus lembut rambut panjang Andri.Hari itu, dia perempuan beda usia yang kembali dipertemukan takdir, menghabiskan waktu hingga malam. Seolah sedang mengembalikan waktu-waktu yang hilang, yang menghalangi kedekatan mereka.Hera membawa Andri ke rumah, tak peduli pada tubuh yang begitu lelah, gadis itu tetap mengikuti sang ibu. Karena lelahnya seolah hilang saat melihat ibunya dalam keadaan baik-baik saja.“Kasihan mama kamu.” Hera kembali berkomentar ketika Andri menceritakan ki
Tubuh Naya terpaku di tempatnya berdiri. Dingin seolah menusuk-nusuk tulangnya. Tubuh itu bergetar hebat, antara bahagia juga luka terlihat jelas di wajahnya.Sementara seorang gadis di depan Naya, berdiri mematung membiarkan kaca-kaca di matanya menetes hingga pipi itu basah.Gadis itu, Milly. Anak yang setengah mati dirindukan Naya.Dua pasang mata itu saling tatap, menyelami setiap luka dan rindu yang terpangkas belasan tahun. Bahkan masih teringat dalam ingatan gadis itu, saat hari terakhir ia bertemu ibunya. Tak ada pelukan yang dibiarkan menjadi kenangan yang menghangatkan tidurnya. Tak ada kecupan yang membuat ia merasa tak dipaksa meninggalkan atau ditinggalkan. Belasan tahun lalu, tangan itu ditarik paksa oleh sang ayah, saat dua bocah yang tengah menangis berusaha mencapai tubuh ibunya. Mereka menyerah, karena saat itu masih terlalu kecil untuk mengerti apa yang diperdebatkan orang dewasa.Terkadang, ada hal yang begitu menyakitkan yang harus dialami anak korban broken home
Hari itu, Milly dan Ejaz menangis sepanjang malam. Menangisi kepergian perempuan yang telah melahirkan mereka, yang mungkin tak pernah bisa dilihatnya lagi. Dua anak yang tak tahu kesalahan apa yang dilakukan ibunya, yang hanya bisa diam dan menurut ketika sang ayah mengatakan untuk masuk kamar dan jangan ikut campur.Impian semua anak yang ingin keluarganya tetap utuh. Bisa memeluk ibu, bisa memeluk ayah, atau bisa memeluk keduanya sekaligus, kapan saja yang mereka inginkan. Impian setiap anak yang selalu ingin dimanjakan orangtuanya.Memanjakan setiap sebelum tidur, seperti yang dilakukan Naya pada Milly. Naya selalu mendongeng sebelum tidur. Namun, sejak Naya pergi, tak ada lagi orang yang melakukan itu untuknya. Hadi mencoba menggantikan peran Naya, tapi dongeng itu tak terlalu indah terdengar di telinga Milly. Bukan karena ceritanya berbeda, tapi karena suasana yang telah berbeda.Sejak kejadian itu, Hadi memilih undur diri dari pekerjaannya di perusahaan Aryan. Gosip miring yang
Andri dan Hera tiba di ujung gang setelah menempuh perjalanan panjang. Untuk pertama kali setelah sekian lama, mereka berjalan beriringan di kampung halaman. Masih teringat dalam ingatan Hera, saat ia pulang dari Jakarta menjemput Hermawan beberapa tahun lalu, tatapan orang-orang terlalu menghunjam ke arahnya. Saat itu ia tak mengerti kenapa, tapi saat ia tahu alasannya, ia merasa tatapan itu terlalu kecil untuk mendeskripsikan kesalahannya yang fatal.“Ya, Radit, ada apa?” tanya Andri begitu telepon tersambung.“Ibu sakit, Kak.” Seorang lelaki yang sudah dianggap layaknya adik sendiri oleh Andri, menjawab di seberang sana.“Dari kemarin nyebut-nyebut nama kakak terus. Kangen katanya.” Radit melanjutkan.Hati Andri bergejolak mendengar penuturan Radit, rasanya gadis itu ingin segera terbang dan menemui wanita tua itu. Andri menyarankan agar dibawa ke rumah sakit saja, tapi Bu Arum malah menolak, tidak sakit katanya. Padahal Radit sering mendengar wanita itu melenguh sembari memegang b
Andri baru saja memejamkan matanya saat terdengar ponselnya berdering. Gadis itu ingin beristirahat dalam mobil yang ia tumpangi bersama ibu untuk menuju ke Bandara APT Pranoto untuk kembali ke Jakarta. Perjalanan akan menyita waktu yang lama, sebab itu ia dan ibunya memilih tidur.Andri mengambil benda itu dari dalam tas, terlihat sebuah nomor pemanggil yang tak Andri simpan dalam kontak. Karena mendengar suara ponsel, Hera juga ikut terbangun seraya memperlihatkan raut wajah bertanya 'siapa?’ pada anak gadisnya.Nomor yang Andri tahu siapa pemiliknya, karena ada foto profil yang terpampang jelas di sana. Namun, gadis itu memang terlalu malas untuk menyimpan nomor itu. Biarlah mereka bersatu dalam sebuah grup WhatsApp, tanpa saling menyimpan kontak.Rangga. Andri sedikit terkejut karena tak biasanya Rangga menghubunginya. Gadis itu segera menggeser tombol hijau di ponsel, agar segera terbubung dengan Rangga.“Ndri, kamu di Samarinda kan?” Rangga langsung bertanya, karena kemarin ia