Bab 38.Araska menyambar sebuah jaket yang ia gantung di dalam lemari, langkahnya tergesa sambil mengambil kunci motor yang terletak di nakas. Lelaki itu menuruni tangga dengan cepat, hingga membuat Sarah yang sedang menonton televisi menatapnya heran, lalu mengejar langkahnya saat sudah sampai di pintu utama.“Ke mana malam-malam?” tanya Sarah saat dilihatnya Araska telah bersiap di atas motor besar miliknya.“Bentar doang, Te.” Araska menghidupkan mesin motor, meninggalkan Sarah yang masih belum puas dengan jawaban keponakannya. Dalam hati, perempuan itu hanya berdoa semoga tidak sedang terjadi hal-hal buruk di luar sana.Jam telah menunjukkan pukul sepuluh malam, Araska sedang mengetikkan sesuatu di laptopnya. Ia menyelesaikan beberapa tugas awal kuliah memasuki semester baru. Fokusnya terbagi, ketika ponselnya menyala dengan nama Tante Naya yang terlihat jelas di layar.Naya baru saja pulang dari kantor, ketika ia tak mendapati Andri di kamar atau di sudut mana saja di rumah itu
Bab 39.Andri memasukkan mobil ke garasi setelah satpam membukakan gerbang untuknya. Gadis itu tersenyum ramah, sebagai ucapan terima kasih pada orang yang telah bekerja di rumahnya. Terkadang ada hal yang berubah ketika seseorang punya nama, kehormatan, dan uang. Sebagian dari mereka akan memperlakukan bawahannya secara rendah dan semena-mena. Namun, tidak dengan Andri. Gadis itu tahu persis bagaimana rasanya saat diperlakukan tak manusiawi oleh orang lain. Yang ingin ia lakukan hanyalah memanusiakan manusia lainnya, tanpa memandang siapa orangnya. Karena gadis itu juga terlalu benci mereka yang terlalu mendewakan manusia karena uangnya, karena wajahnya. Ia benci. Andri hanya memperlakukan orang lain, layaknya ia ingin diperlakukan dulu.Gadis itu membuka pintu, lalu melangkah masuk ke dalam. Ia di sambut Mbok Nah yang mengatakan bahwa makan siang sudah disiapkan di atas meja.Andri mengangguk ramah. Ia melangkah ke kamar, ingin membersihkan diri terlebih dahulu.*Minggu. Andri
Bab 40.Andri merasa sangat lelah dengan hidupnya. Berbagai usaha dilakukan untuk menemukan sang ibu, tapi nihil, tak ada hasilnya. Naya juga tak mendapat informasi apa pun mengenai ibu dari anak gadisnya.Kadang terbersit dalam hati Naya, semoga Andri tak menemukan ibunya selamanya. Karena ia akan merasa disisihkan jika Andri kembali bersama ibunya. Naya akan kesepian, dan hidup sendirian di masa tua. Namun, Naya sadar bahwa itu terlalu egois untuk dilakukan pada Andri. Ia memaksa pikiran buruk itu untuk hilang. Karena ia akan melakukan yang terbaik untuk orang yang ia sayangi.“Kau akan tinggal bersama ibumu jika berhasil menemukannya?” tanya Naya suatu hari ketika ia dan Andri sedang menonton televisi.Andri menghadapkan wajahnya pada Naya. Menatap mata hitam yang mulai berkaca-kaca itu dengan tatapan dalam. Tatapan yang tulus dari seseorang yang membesarkannya dengan penuh cinta.“Ibu adalah orang yang melahirkankanku. Mama adalah orang yang membesarkanku. Kalian dua orang yang b
Bab 41.Andri berjalan dari panggung ke atas karpet merah yang digelar memanjang, di sisi kiri dan kanan terdapat banyak sekali kursi penonton. Kursi yang diduduki oleh penggiat fashion, pebisnis, desainer, dan salah satu kursi ditempati oleh ibunya.“Bu, orang lain selalu datang saat launching bajunya. Kenapa ibu enggak?” tanya Andri sesaat setelah tangis mereka mereda, ketika keduanya sedang menumpahkan rasa.“Ibu nggak sanggup. Karena, setiap melihat mereka memakai gaun yang cantik, ibu selalu teringat ketidakmampuan ibu dulu membelikan pakaian yang bagus untukmu. Meskipun sekarang ibu yang jahit sendiri, ibu yang desain sendiri, ibu tetap merasa iri saat melihat mereka memakainya.”Andri diam. Ia tak bisa berkata, atau bahkan bertanya lebih banyak Karena ada kesedihan yang kembali menjelma menjadi kaca-kaca di matanya.Andri memamerkan senyum terindahnya, sesekali melihat sosok perempuan di kursi paling depan, kursi yang dikhususkan untuk para desainer yang mendesain gaun yang se
Sulit bagi Andri menerima kenyataan bahwa ayahnya telah tiada, bahkan tak sempat menerima pelukan pertamanya. Namun, ia yakin bahwa Sang Maha Pencipta lebih menyayanginya. Karena menemukan ibu, cukup mengobati luka yang bertimbunan dalam hatinya.“Bu, aku ingin memelukmu lebih lama.” Andri kembali memeluk tubuh sang ibu. Memangkas jarak yang selama ini membuat rindu tak bertepi.“Bahkan setelah meninggalkanmu, ibu merasa tak berhak memaksamu untuk tinggal bersama.” Hera menatap putrinya, sembari tangan itu mengelus lembut rambut panjang Andri.Hari itu, dia perempuan beda usia yang kembali dipertemukan takdir, menghabiskan waktu hingga malam. Seolah sedang mengembalikan waktu-waktu yang hilang, yang menghalangi kedekatan mereka.Hera membawa Andri ke rumah, tak peduli pada tubuh yang begitu lelah, gadis itu tetap mengikuti sang ibu. Karena lelahnya seolah hilang saat melihat ibunya dalam keadaan baik-baik saja.“Kasihan mama kamu.” Hera kembali berkomentar ketika Andri menceritakan ki
Tubuh Naya terpaku di tempatnya berdiri. Dingin seolah menusuk-nusuk tulangnya. Tubuh itu bergetar hebat, antara bahagia juga luka terlihat jelas di wajahnya.Sementara seorang gadis di depan Naya, berdiri mematung membiarkan kaca-kaca di matanya menetes hingga pipi itu basah.Gadis itu, Milly. Anak yang setengah mati dirindukan Naya.Dua pasang mata itu saling tatap, menyelami setiap luka dan rindu yang terpangkas belasan tahun. Bahkan masih teringat dalam ingatan gadis itu, saat hari terakhir ia bertemu ibunya. Tak ada pelukan yang dibiarkan menjadi kenangan yang menghangatkan tidurnya. Tak ada kecupan yang membuat ia merasa tak dipaksa meninggalkan atau ditinggalkan. Belasan tahun lalu, tangan itu ditarik paksa oleh sang ayah, saat dua bocah yang tengah menangis berusaha mencapai tubuh ibunya. Mereka menyerah, karena saat itu masih terlalu kecil untuk mengerti apa yang diperdebatkan orang dewasa.Terkadang, ada hal yang begitu menyakitkan yang harus dialami anak korban broken home
Hari itu, Milly dan Ejaz menangis sepanjang malam. Menangisi kepergian perempuan yang telah melahirkan mereka, yang mungkin tak pernah bisa dilihatnya lagi. Dua anak yang tak tahu kesalahan apa yang dilakukan ibunya, yang hanya bisa diam dan menurut ketika sang ayah mengatakan untuk masuk kamar dan jangan ikut campur.Impian semua anak yang ingin keluarganya tetap utuh. Bisa memeluk ibu, bisa memeluk ayah, atau bisa memeluk keduanya sekaligus, kapan saja yang mereka inginkan. Impian setiap anak yang selalu ingin dimanjakan orangtuanya.Memanjakan setiap sebelum tidur, seperti yang dilakukan Naya pada Milly. Naya selalu mendongeng sebelum tidur. Namun, sejak Naya pergi, tak ada lagi orang yang melakukan itu untuknya. Hadi mencoba menggantikan peran Naya, tapi dongeng itu tak terlalu indah terdengar di telinga Milly. Bukan karena ceritanya berbeda, tapi karena suasana yang telah berbeda.Sejak kejadian itu, Hadi memilih undur diri dari pekerjaannya di perusahaan Aryan. Gosip miring yang
Andri dan Hera tiba di ujung gang setelah menempuh perjalanan panjang. Untuk pertama kali setelah sekian lama, mereka berjalan beriringan di kampung halaman. Masih teringat dalam ingatan Hera, saat ia pulang dari Jakarta menjemput Hermawan beberapa tahun lalu, tatapan orang-orang terlalu menghunjam ke arahnya. Saat itu ia tak mengerti kenapa, tapi saat ia tahu alasannya, ia merasa tatapan itu terlalu kecil untuk mendeskripsikan kesalahannya yang fatal.“Ya, Radit, ada apa?” tanya Andri begitu telepon tersambung.“Ibu sakit, Kak.” Seorang lelaki yang sudah dianggap layaknya adik sendiri oleh Andri, menjawab di seberang sana.“Dari kemarin nyebut-nyebut nama kakak terus. Kangen katanya.” Radit melanjutkan.Hati Andri bergejolak mendengar penuturan Radit, rasanya gadis itu ingin segera terbang dan menemui wanita tua itu. Andri menyarankan agar dibawa ke rumah sakit saja, tapi Bu Arum malah menolak, tidak sakit katanya. Padahal Radit sering mendengar wanita itu melenguh sembari memegang b
“Andri ada?”Milly membuka pintu saat bel di pintu berbunyi. Gadis itu sedikit terpaku, lalu tersenyum pada Araska yang berdiri di depannya.Araska ingin menemui Andri. Semalam ia berpikir cukup lama untuk mencari cara menyatakan perasaannya pada gadis itu. Ia yakin Andri bisa merasakan debar cinta antara keduanya. Namun, Araska harus memperjelas dengan cara yang lebih serius. Araska selama ini menjaga. Araska ingin tahu seperti apa muara rasa itu, setelah sekian lama terpisah, menjalani alur hidup masing-masing. Lalu bersama, kembali dipertemukan dalam keadaan yang tak sama.Araska mencoba mengirimkan pesan untuk Andri, tapi hanya centang satu. Lalu, ia menghapusnya dan mengambil kesimpulan untuk bertemu langsung. Ia menghubungi, tapi nomor gadis itu tak tersambung. Sebab itu, Araska sekarang berdiri di depan rumah Andri. Mengetuk pintu, berharap gadis itu yang membukanya. Namun, yang kini di depannya bukanlah gadis yang ia tuju.“Dia balik ke Samarinda.” Milly menjawab setelah sepe
“Kamu yang lagi nyeka air mata, berbaliklah!”Araska mengulang kalimat itu.Andri yang sedang melangkah, terpaksa berhenti seolah sedang diperintahkan untuk berhenti. Ia berdiri sejenak, bergelut dengan pikirannya sendiri. Gadis itu tak berani melihat ke belakang, karena akan ketahuan sedang menangis. Itu memalukan.Kepalang tanggung melangkah, ia tak bisa bersikap terlalu kepedean dengan mengira bahwa Araska menyuruhnya berhenti. Siapa tahu, Milly di sudut sana juga sedang terharu karena tersentuh dengan lagu yang dinyanyikan Araska. Itu akan lebih memalukan jika ternyata bukan dia yang dimaksud Araska.Andri kembali melangkah, tak peduli dengan kalimat barusan yang nyatanya akan semakin membuat hatinya ragu untuk melepaskan.“Kamu yang terus melangkah meski disuruh balik, berhentilah!”Dari mikrofon itu kembali terdengar suara Araska. Bodo amat! Andri tetap melangkah hingga hampir sampai di pintu depan.Bukan dirinya! Pikir Andri.“Kamu, Silvi Andriani, kemarilah!”Andri berhenti, d
Halaman rumah Naya telah disulap sedemikian rupa. Aneka hiasan, balon-balon menggantung di udara. Makanan mewah juga banyak tersaji di meja. Atas persetujuan Andri, Naya menggelar acara untuk ulang tahun gadis itu; ulang tahun ke dua puluh satu.Sebelumnya, Andri tak pernah mau merayakan dengan banyak orang. Namun, kali ini gadis itu merasa harus merayakan setiap kemenangan yang ia lalui bersama Naya, dan orang-orang terdekatnya.Pesta yang tak terlalu besar, karena hanya dihadiri oleh keluarga, juga anak-anak panti dan dua pengasuh yang tak luput dari undangan istimewa bagi Andri.Anak-anak panti terlihat bahagia dengan acara mewah dan makanan yang aneka ragamnya. Mereka juga telah menyiapkan rencana kejutan untuk Andri.Andri turun dari tangga dengan mata yang ditutup oleh Ejaz. Gadis yang mengenakan gaun berwarna marun itu berjalan perlahan, matanya terlalu gelap.Andri tetap melangkah pelan, hingga tangannya dipegang Ejaz untuk berhenti. Andri tahu, mungkin keluarganya sedang memb
Andri bangun dengan mata yang sembab. Pagi ini, ia mencoba berhenti menangisi kisah cintanya untuk kedua kali. Namun, bukan berarti ia bisa bangkit secepat itu dari rasa terpuruknya. Gadis itu mencoba berpikir positif tentang hubungan Araska dan Milly. Namun, kebersamaan mereka semakin jauh dari harus berprasangka hanya teman, atau kebetulan.Pagi itu, Milly kembali keluar dengan gitar di punggung. “Gitar baru?” Andri bertanya penuh selidik. Karena yang ia tahu, gitar Milly sudah dirusak oleh papanya.Milly mengangguk. Senyumnya merekah sambil mengelus gitar baru yang ia miliki.“Mama beli?” Kembali Andri bertanya.“Bukan.”“Jadi?”“Araska.”Seolah ada beribu pisau yang menyayat hati Andri secara bersamaan, seiring dengan nama itu disebutkan. Araska membeli gitar untuk Milly, itu artinya lelaki itu sedang mengembalikan hal berharga dalam hidup gadis itu. Sialnya, ia tak bisa mengembalikan hal berharga dalam hidup Andri. Cinta. Rasa itu masih saja menekan hati Andri sendirian, tanpa b
Andri sedang membaca beberapa buku untuk melengkapi tugas-tugas kuliah yang semakin hari semakin banyak. Setelah selesai dengan mata kuliah magang, kini ia harus membuat laporan magang. Andri bahkan menolak beberapa tawaran pemotretan dan iklan, ia ingin fokus kuliah, karena hari libur pun terasa seperti Senin baginya kini.Gadis itu menatap layar laptop di depannya sambil mengetikkan sesuatu di sana. Di depannya ada secangkir teh dan camilan yang ia minta disiapkan oleh Mbok Nah.Matahari telah naik setengahnya, menyisakan warna jingga menghampar indah di bumi. Sebagian cahayanya masuk melalui jendela kaca di kamar Andri. Di bawah sana, ada tanaman hias dan kolam ikan koi yang juga ikut menikmati keindahan senja. Dalam fokusnya, Andri masih mendengar pintu diketuk seseorang. Tanpa menoleh, gadis itu menyuruh masuk, dari suaranya ia tahu siapa yang datang ke kamarnya.Pintu terbuka, terlihat wajah seseorang menyembul dari baliknya.Milly masuk dan mendekati Andri yang terlihat sibuk
Andri melangkah ke kamar Naya dengan membawa satu nampan sarapan. Sejak beberapa hari, perempuan itu tidak turun dari kamarnya, setelah menghadapi proses pengadilan atas kasusnya yang menimpanya belasan tahun lalu.Aryan mengambil langkah tepat waktu, seperti telah memikirkan banyak hal dan konsekuensinya. Lelaki itu menyerahkan diri, sebelum genap dua belas tahun kejahatan yang ia lakukan pada Naya.Menurut hukum yang berlaku, kakus pemerkosaan akan kadaluwarsa selama dua belas tahun, jika menurut hukum, pelaku akan mendapatkan lebih dari tiga tahun penjara.Kasus Naya belasan tahun lalu, itu terjadi saat usianya masih dua puluh delapan waktu itu, sebentar lagi akan kadaluwarsa waktunya jika saja ia tak menuntut segera. Bahkan, jika ia menuntut dalam kurun waktu lebih dari dua belas tahun, maka ia bisa dituntut balik atas dasar pencemaran nama baik.Naya bahkan tak berani untuk pergi bekerja, ia tak bisa membayangkan bagaimana media akan merekam wajahnya. Orang-orang akan melihatnya
Naya dan kedua putrinya berkumpul di meja makan. Pagi ini Naya memasak nasi uduk untuk sarapan. Ia menggantikan peran Mbok Nah yang izin pulang kampung karena anaknya sakit. Pun, sudah menjadi kebiasaan Naya saat sedang stres, ia akan melakukan aktivitas untuk mengalihkan perasaan itu. Sejak hari itu, Hadi dan Naya banyak berbincang tentang kehidupan mereka, juga dua anaknya yang akan diasuh. Hadi melepaskan Milly untuk diasuh dan tinggal bersama Naya, sedangkan Ejaz akan tetap tinggal bersama papanya. Dua anak itu tak lagi diperebutkan seperti dulu, atau tak lagi ada yang merasa tak rela karena sama sekali tak bisa merengkuhnya. Hadi dan Naya bisa kapan saja menjenguk buah hatinya, tanpa batasan. Itu perjanjian mereka.“Ma, apa nggak sebaiknya mama rujuk sama papa?” Di sela suapannya, Milly bertanya hati-hati. Sebagai seorang anak, ia pasti ingin orangtuanya bersatu dalam satu ikatan, dalam satu rumah.Naya yang sedang makan, menghela napas berat, sejenak menatap Milly dengan serius
“Finally, kita bertemu di sini, Tuan Aryan!” ucap Andri menyinggung ketenangan lelaki itu. Andri meletakkan satu dokumen yang harus ditandatangani founder perusahaan itu.Berkas dari atasan magang yang meminta pertolongannya untuk diantar ke ruang Aryan.Aryan sedang memeriksa beberapa berkas di mejanya, saat Andri masuk dan mengucapkan kalimat yang membuatnya mendongak. Lelaki itu melihat wajah yang terlalu lancang untuk masuk ke ruangannya. “Kau siapa?” Aryan bertanya. Lelaki itu tahu bahwa gadis di depannya merupakan salah satu karyawan baru, ia bisa melihat tanda pengenal yang tergantung di lehernya. Namun, kalimat tak sopan yang keluar dari mulut gadis itu barusan menyiratkan seolah mereka punya urusan sebelumnya.Seingat Aryan, ia masih punya sekretaris di ruang sebelum ruangannya. Ia bingung kenapa gadis itu lolos masuk tanpa pemberitahuan dari sang sekretaris. Ah, Aryan baru melihat gadis baru saja meletakkan sebuah map. Siapa saja bisa masuk untuk alasan tanda tangan.Aryan
“Jaz, kita jemput Milly ya.” Pagi. Hadi dan Ejaz sedang menyantap sarapan. Lelaki itu menatap papanya, sedikit ragu untuk mengiyakan. Pun, semalam ia bertanya pada adiknya tentang keadaannya di sana. Milly tampak baik-baik saja di sana, membuat Ejaz merasa kasihan jika harus dipaksa pulang.Sejak Milly di rumah mama, Ejaz sering datang menemui. Ia rindu cerewetnya sang adik, juga merindukan mama yang telah lama tak tinggal di sisinya.Dengan berat hati, akhirnya Ejaz mengiyakan ajakan papanya. Meskipun tak bisa dibayangkan apa yang akan terjadi saat papa kembali bertemu dengan mama. *Hadi turun dari mobil bersama Ejaz setelah lelaki itu mematikan mesin mobilnya. Terlihat oleh mereka sebuah mobil berwarna silver diparkir di depannya. Hadi melangkah masuk ke halaman rumah yang lumayan luas itu. Berdiri di sana seorang satpam dan bebarapa asisiten rumah tangga, mereka tersenyum pada Hadi, tapi wajahnya terlihat tegang.Langkah itu berhenti sejenak. Hadi dan Ejaz berdiri tak jauh dari