Halaman rumah Naya telah disulap sedemikian rupa. Aneka hiasan, balon-balon menggantung di udara. Makanan mewah juga banyak tersaji di meja. Atas persetujuan Andri, Naya menggelar acara untuk ulang tahun gadis itu; ulang tahun ke dua puluh satu.Sebelumnya, Andri tak pernah mau merayakan dengan banyak orang. Namun, kali ini gadis itu merasa harus merayakan setiap kemenangan yang ia lalui bersama Naya, dan orang-orang terdekatnya.Pesta yang tak terlalu besar, karena hanya dihadiri oleh keluarga, juga anak-anak panti dan dua pengasuh yang tak luput dari undangan istimewa bagi Andri.Anak-anak panti terlihat bahagia dengan acara mewah dan makanan yang aneka ragamnya. Mereka juga telah menyiapkan rencana kejutan untuk Andri.Andri turun dari tangga dengan mata yang ditutup oleh Ejaz. Gadis yang mengenakan gaun berwarna marun itu berjalan perlahan, matanya terlalu gelap.Andri tetap melangkah pelan, hingga tangannya dipegang Ejaz untuk berhenti. Andri tahu, mungkin keluarganya sedang memb
“Kamu yang lagi nyeka air mata, berbaliklah!”Araska mengulang kalimat itu.Andri yang sedang melangkah, terpaksa berhenti seolah sedang diperintahkan untuk berhenti. Ia berdiri sejenak, bergelut dengan pikirannya sendiri. Gadis itu tak berani melihat ke belakang, karena akan ketahuan sedang menangis. Itu memalukan.Kepalang tanggung melangkah, ia tak bisa bersikap terlalu kepedean dengan mengira bahwa Araska menyuruhnya berhenti. Siapa tahu, Milly di sudut sana juga sedang terharu karena tersentuh dengan lagu yang dinyanyikan Araska. Itu akan lebih memalukan jika ternyata bukan dia yang dimaksud Araska.Andri kembali melangkah, tak peduli dengan kalimat barusan yang nyatanya akan semakin membuat hatinya ragu untuk melepaskan.“Kamu yang terus melangkah meski disuruh balik, berhentilah!”Dari mikrofon itu kembali terdengar suara Araska. Bodo amat! Andri tetap melangkah hingga hampir sampai di pintu depan.Bukan dirinya! Pikir Andri.“Kamu, Silvi Andriani, kemarilah!”Andri berhenti, d
“Andri ada?”Milly membuka pintu saat bel di pintu berbunyi. Gadis itu sedikit terpaku, lalu tersenyum pada Araska yang berdiri di depannya.Araska ingin menemui Andri. Semalam ia berpikir cukup lama untuk mencari cara menyatakan perasaannya pada gadis itu. Ia yakin Andri bisa merasakan debar cinta antara keduanya. Namun, Araska harus memperjelas dengan cara yang lebih serius. Araska selama ini menjaga. Araska ingin tahu seperti apa muara rasa itu, setelah sekian lama terpisah, menjalani alur hidup masing-masing. Lalu bersama, kembali dipertemukan dalam keadaan yang tak sama.Araska mencoba mengirimkan pesan untuk Andri, tapi hanya centang satu. Lalu, ia menghapusnya dan mengambil kesimpulan untuk bertemu langsung. Ia menghubungi, tapi nomor gadis itu tak tersambung. Sebab itu, Araska sekarang berdiri di depan rumah Andri. Mengetuk pintu, berharap gadis itu yang membukanya. Namun, yang kini di depannya bukanlah gadis yang ia tuju.“Dia balik ke Samarinda.” Milly menjawab setelah sepe
“Gue suka sama lu, Ndri. Gue cinta sama lu.” Alex berjongkok, dengan manisnya ia mengulurkan sebuket bunga lili berwarna pink. Semata untuk meluluhkan gadis cantik di depannya.Melihat warna pink, gadis yang dipanggil Andri itu merasa mual. Ada kemarahan yang tertahan saat ia melihat warna yang begitu dibencinya seumur hidup. Hampir saja ia melempar bunga di depannya, karena warna itu mengingatkan masa lalunya yang begitu ingin ia lupakan.“Gue gak suka pink.” Gadis itu masih mematung dengan bola mata yang mulai berkaca-kaca, tapi berusaha ia kondisikan perasaannya, agar rasa sedihnya tak berubah menjadi air mata yang tak tertahankan. Entah mengapa ia selalu terluka saat melihat sesuatu yang pernah membuatnya begitu terpuruk. Sesuatu yang berkaitan dengan masa lalunya.Alex menarik bunga yang disodorkan untuk gadis yang ia cintai. “Kenapa?” Alex bertanya. Karena menurut pengalamannya, gadis-gadis akan berterima kasih padanya setelah ia memberikan lili berwarna pink. Atau mereka akan
Andri melajukan mobilnya dengan sedikit kencang. Ia takut akan terlambat saat tiba di kampus, mengingat jarak tempuh dari rumah ke kampus lumayan lama, sekitar tiga puluh menit, itu pun kalau tidak terjadi kemacetan yang terlalu panjang. Ah, kapan Jakarta akan bebas dari macet?Sial!Baru saja Andri berharap agar ia tak terjebak kemacetan, tapi sia-sia, karena di depannya puluhan mobil sudah terhenti. Gadis itu menghela napas, ia mengambil ponsel dan menyambungkan earphone, sejenak kebosanan sedikit terhalau karena alunan musik memenuhi ruang telinganya.Dancing slowly in a empty roomCan the lonely take the place of you?I sing myself a quiet lullabyLets you go and let the lonely inTo take my heart againThe Lonely milik Christina Perri terus mengalun mendayu di telinga Andri. Ia ikut menyanyikan lagu yang seolah sedang mengatakan tentang dirinya sendiri. Perasaan kosong seringkali menghiasi hatinya. Padahal di luar sana, banyak lelaki yang memuja dan menyatakan cinta padanya, sepe
Sepulang dari kampus, Araska tergesa-gesa membuka pintu kamar. Ia menghempaskan tas ranselnya di kasur. Lelaki itu ingin segera menuntaskan rasa penasarannya sedari tadi. Penasaran pada gadis yang dulu ia kenal begitu dekat, sering ia tolong, sampai-sampai gadis itu pernah tersesat pada kebaikannya.Ndri?Andri?Bagaimana bisa gadis itu berubah menjadi Andri. Pertanyaan itu kian menjadi-jadi di kepala Araska.Araska membuka laci nakas di samping tempat tidurnya. Ia mencari foto seorang gadis dekil korban bullying yang dilakukan teman sekelasnya. Foto yang pernah ia ambil di datfar nama siswa kelasnya, dulu saat ia masih SMP. Untung saja waktu itu wali kelas menyuruhnya untuk membuat sebuah map, yang berisi daftar nama siswa kelas mereka beserta fotonya. Saat gadis itu tak lagi datang ke sekolah, Araska mengambil foto itu. Awalnya hanya untuk kenangan, tapi saat ini ia merasa foto itu benar-benar berguna untuk menganalisa wajah Andri dengan gadis di masa lalunya.Ketemu. Araska menemu
Hari menjelang petang saat Andri keluar dari perpustakaan Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Gadis itu keluar karena perpustakaan karena akan segera ditutup, pun kampus mulai sepi karena para mahasiswa mulai pulang ke tempat masing-masing, entah kos atau rumah mereka.Mahasiswa di UI, banyak yang memilih kos-kosan terdekat, agar lebih bisa menghemat waktu perjalanan. Andri sendiri pernah ditawarkan tinggal di kosan oleh Naya, tapi gadis itu menolak, karena kasihan mamanya tinggal seorang diri di rumah.Andri berjalan ke arah parkiran, ingin mengambil mobil dan meluncur pulang. Baru saja ia membuka pintu mobil saat dering ponselnya berbunyi. Ia kembali menutup pintu mobil, memilih mengangkat telepon dari nama yang tertera di layar ponselnya, Alex.Andri mengeryitkan dahi, melihat nama itu. Gadis itu berpikir, apa Alex ingin mengajaknya kembali bertemu. Karena seingatnya, kemarin Alex masih tak berbicara dengannya.“Ndri, lu di mana? Tolongin gue dong!” Suara Alex terdengar panik di seberang
Andri masih terduduk di sudut sana, saat polisi datang dan mengamankan Alex. Seluruh tubuh gadis itu bergetar, bahkan wajahnya pucat karena ketakutan. Ia bahkan tak bisa sekadar menopang lututnya untuk berdiri. Mata gadis itu menatap kosong, dengan pipi yang basah karena air mata yang sedari tadi mengalir deras. Hampir saja ia kehilangan mahkota berharga yang paling ia jaga selama ini. Andri memang tak pernah dekat dengan lelaki. Masa lalu membuatnya takut jika mereka yang mengejarnya tak mampu menerimanya jika keadaannya tak seperti sekarang. Itu terbukti setiap kali ia membuktikannya sendiri dengan membuat mereka ilfil. Namun, kebanyakan mereka mundur perlahan karena sadar bahwa gadis itu mengerjainya. Tidak dengan Alex yang menyimpan rencana dan dendam besar."Kau aman sekarang." Araska berucap.Araska mendekat, berjongkok di depan gadis itu. Ia mencoba mendekatkan tubuhnya agar bisa memeluk gadis yang tubuhnya begitu dingin. Araska menenggelamkan kepala gadis itu di dada bidangny