Sepulang dari kampus, Araska tergesa-gesa membuka pintu kamar. Ia menghempaskan tas ranselnya di kasur. Lelaki itu ingin segera menuntaskan rasa penasarannya sedari tadi. Penasaran pada gadis yang dulu ia kenal begitu dekat, sering ia tolong, sampai-sampai gadis itu pernah tersesat pada kebaikannya.
Ndri?
Andri?
Bagaimana bisa gadis itu berubah menjadi Andri. Pertanyaan itu kian menjadi-jadi di kepala Araska.
Araska membuka laci nakas di samping tempat tidurnya. Ia mencari foto seorang gadis dekil korban bullying yang dilakukan teman sekelasnya. Foto yang pernah ia ambil di datfar nama siswa kelasnya, dulu saat ia masih SMP. Untung saja waktu itu wali kelas menyuruhnya untuk membuat sebuah map, yang berisi daftar nama siswa kelas mereka beserta fotonya. Saat gadis itu tak lagi datang ke sekolah, Araska mengambil foto itu.
Awalnya hanya untuk kenangan, tapi saat ini ia merasa foto itu benar-benar berguna untuk menganalisa wajah Andri dengan gadis di masa lalunya.
Ketemu. Araska menemukan selembar foto berlatar merah. Masih jelas terlihat wajah itu. Bibir tebal, mata bulat dengan alis yang juga sedikit tebal. Pipi tirusnya, juga rambut ikal awut-awutan yang diikat menggunakan karet gelang.
Araska menganalisa seorang diri. Kembali ia membayangkan saat tadi mereka bertemu di selasar. Wajah itu sangat mirip, meski telah banyak bermetamorfosis menjadi lebih baik.
Araska baru menyadari bahwa bibir yang dulu terlihat tebal, sekarang nampak lebih seksi. Terlihat dari bagaimana gadis itu mengulum bibirnya, dan tersenyum saat ada teman menyapa. Araska baru menyadari bahwa senyum itu terlalu indah. Rambut ikal itu sekarang tampak lebih terawat, Araska yakin rambutnya sangat lembut meski ia tak pernah membelainya. Ah, Araska membenci pikirannya.
Araska kembali mengingat bagaimana ekspresi wajah Andri saat dirinya berjongkok mendekat pada gadis itu. Ekspresi terkejut yang berusaha ditahan. Tatapan Andri tak menyiratkan sedang bertemu dengan orang asing. Namun, tatapan itu seolah sedang mengatakan kerinduan karena sudah lama tak bertemu.
Tadi pagi, Andri juga terlihat buru-buru ketika Araska masih mematung menatapnya dengan bingung.
Silvi Andriani.
Araska memang mendengar panggilan absensi dari dosen-dosen yang mengajar tadi pagi. Ia sempat berpikir bahwa mungkin hanya kesamaan nama. Lagi-lagi logikanya membantah bahwa Andri adalah Silvi, karena ia melihat sendiri jasad yang sudah beberapa hari terendam dalam air sungai. Ia melihat sendiri garis polisi yang membatasi kejadian hari itu.
Namun, wajah keduanya begitu mirip. Boleh saja penampilannya berubah, tapi Araska tak melupakan garis wajah itu. Juga pendar mata yang dulu selalu menatapnya seolah meminta tolong dari bullyan teman-teman lain. Araska terus berkecamuk dengan pikirannya sendiri.
Lamunan Araska buyar ketika seorang perempuan muda mengetuk pintu kamarnya.
“Ras ... Araska! Turun, makan!” teriak tante Sarah di luar kamar Araska.
“Iya, bentar.” Araska menyahut dari dalam. Secepat kilat ia menyimpan kembali foto gadis yang sempat menyita ruang pikirnya.
“Cepetan ya! Ntar mamamu ngomel dikiranya tante gak ngasih makan.”
Sarah sering meledek Araska seperti itu agar ia cepat turun untuk makan. Karena mamanya akan ribut di telepon kalau sampai ia telat makan.
Sejak diterima di Universitas Indonesia melalui tes SNMPTN, Araska tinggal bersama tante, adik dari mamanya yang tinggal di Jakarta.
Sarah adalah adik bungsu dari mama Araska. Perempuan itu baru saja menikah dan belum memiliki anak. Suaminya juga bertugas di Jakarta, sebab ia masih bisa tetap tinggal di ibu kota. Berbeda dengan mama Araska yang terpaksa pindah saat usia Araska masih sepuluh tahun, karena papa Araska dipindahkan ke daerah lain.
Namun, Araska tak menyangka, jika di Jakarta ia bertemu dengan seseorang yang begitu mirip dengan Silvi.
“Mama gak bakalan ngomel kalau tente gak lapor.” Araska berkata, saat menuruni tangga untuk sampai di meja makan. Ia tahu tante pasti mendengarnya.
“Ya, kan kamunya kalau gak diingetin juga seringnya lupa makan. Sibuk pacaran sama buku.” Kembali Sarah meledeknya. Memang benar, Araska sering lupa makan jika sedang bergelut dengan buku-buku pelajaran. Kebiasaannya memang tak berubah, ia selalu menyukai buku-buku pelajaran.
Sarah menyendok nasi untuk Araska. Dari dulu ia memang sering memanjakan keponakannya, karena sebelum mamanya berhenti bekerja, Araska sering dititipkan padanya.
“Abisin ya!” Sarah mengisi piring Araska dengan porsi penuh.
“Ya, tante bawel!”
Bersama keluarga, Araska terlihat lebih akrab dan hangat. Namun, dengan teman-teman dan orang lain di luar sana, ia terlihat lebih datar dan dingin. Apalagi jika menghadapi gadis-gadis centil yang kadang caper dengannya.
*
“Cut ... cut!” teriak seorang direktor yang duduk di belakang kamera.
“Chemistrinya mana? Kalian kelihatan gak kompak hari ini.” Seorang lelaki berkepala botak menegur Andri dan Alex yang sedang melakukan sesi pemotretan.
Sedari tadi Alex tampak tak fokus pada kamera. Wajah kusut tanpa senyum, dan tak terlihat serasi saat berfoto dengan Andri. Padahal biasanya mereka sering mendapat pujian dari sutradara dan kru yang bekerjasama dengan mereka.
Andri sedikit merasa bersalah. Gadis itu tahu, mungkin hal ini disebabkan olehnya kemarin. Tampaknya Alex marah besar pada Andri. Terlihat dari dinginnya tatapan mata itu saat tadi mereka bertemu di tempat pemotretan.
Ah, Andri harusnya tak mau terlalu memikirkan itu, ia tahu persis bahwa Alex tidak bersungguh-sungguh mencintainya. Andri kenal betul lelaki dengan pesona mematikan itu punya entah berapa gadis yang ia pacari, khas pria tampan tapi playboy.
Andri mulai masuk di dunia permodelan sejak SMA. Saat itu hidupnya mulai berubah seratus delapan puluh derajat. Dulu saat upacara ia sering diperintahkan berdiri di depan barisan, untuk mempertontonkan penampilan lusuhnya, untuk dipermalukan. Dan ... itu sukses membuatnya malu dan tersudutkan.
Karena mempunyai tubuh yang tinggi, saat SMA Andri diangkat untuk menjadi penggerek bendera saat upacara tujuh belas Agustus. Dari situ namanya mulai dikenal, karena gadis itu melakukan tugasnya dengan baik.
Dulu, namanya sering diperolok-olokkan sebagai tiang listrik dekil dan bau. Sekarang ia mengharumkan nama sendiri, seolah sedang mencuci bersih hal-hal buruk dari masa lalunya.
Andri juga sering dikenalkan Naya pada publik, untuk model iklan usaha skincarenya. Hal itu Naya lakukan untuk kembali membangkitkan rasa percaya diri dalam jiwa Andri. Awalnya, gadis itu merasa asing dengan dunianya, tapi lama kelamaan ia mulai terbiasa.
Hingga kini, namanya mulai dikenal karena beberapa kali wajahnya ditayangkan di televisi. Namun, dalam dunia model namanya tak dikenal dengan Silvi Andriani, melainkan Andri Kusuma. Naya menyematkan nama belakangnya di belakang nama gadis itu.
Seseorang memang akan menjadi lebih berharga jika ia berada di lingkungan yang tepat, seperti Andri misalnya. Hal-hal yang dulu dianggap memalukan, tak berguna, dan menjadi bahan ejekan, sekarang malah melambungkan namanya. Begitulah hidup, tak ada yang tahu. Yang harus dilakukan, hanya terus berusaha menjadi lebih baik.
“Kita ulang lagi ya. Fokus, Lex!” seru director memberi aba-aba.
Kamera telah siap, begitupun dengan seseorang yang bertugas merekam suara. Semua kru telah siap. Mereka fokus pada masing-masing tugas.
Kedua model juga telah bersiap di depan kamera, tapi lagi-lagi director menggerutu
karena sikap Alex yang tak fokus saat bekerja.
“Lu, lagi kenapa sih, Lex?” tanya sang director pada salah satu modelnya.
Alex tak menjawab. Ia melangkah ke depan dan mengambil jaket yang tadi disampirkan di salah satu kursi. Lelaki berperawakan tinggi itu keluar dan menyalakan mesin motor 300 cc-nya. Alex pergi meninggalkan beberapa kru yang masih memanggil namanya.
“Dasar bocah!” umpat direktor dengan kesal.
*
Andri menghempaskan tubuhnya di atas kasur empuk. Kasur yang begitu berbeda dengan miliknya dulu. Wangi, dan tak mengeluarkan jejak-jejak kapas seperti dulu.
Mata gadis itu menerawang ke atas plafon kamar, seolah bisa menembus langit dan melihat wajah Araska di sana. Tiba-tiba gadis itu memikirkan tentang lelaki yang merupakan cinta pertamanya.
Kadang rasa sakit hati masih ada, tapi rasa rindu lebih mendominasi, juga gengsi yang tak mau kalah bertandang dalam diri. Andri tak mau menyapa Araska lebih dulu. Gadis itu hanya berharap Araska peka dengan perasaannya, bahwa gadis yang menabrak tubuhnya tadi pagi adalah gadis dari masa lalunya. Andri berharap Araska tahu dengan sendirinya, peka karena perasaannya.
‘Araska, sungguh kau tak mengenaliku?’
*
GIMANA?
JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK DI SINI YA. SHARE JUGA BIAR YANG BACA MAKIN RAME.
TERIMA KASIH
Hari menjelang petang saat Andri keluar dari perpustakaan Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Gadis itu keluar karena perpustakaan karena akan segera ditutup, pun kampus mulai sepi karena para mahasiswa mulai pulang ke tempat masing-masing, entah kos atau rumah mereka.Mahasiswa di UI, banyak yang memilih kos-kosan terdekat, agar lebih bisa menghemat waktu perjalanan. Andri sendiri pernah ditawarkan tinggal di kosan oleh Naya, tapi gadis itu menolak, karena kasihan mamanya tinggal seorang diri di rumah.Andri berjalan ke arah parkiran, ingin mengambil mobil dan meluncur pulang. Baru saja ia membuka pintu mobil saat dering ponselnya berbunyi. Ia kembali menutup pintu mobil, memilih mengangkat telepon dari nama yang tertera di layar ponselnya, Alex.Andri mengeryitkan dahi, melihat nama itu. Gadis itu berpikir, apa Alex ingin mengajaknya kembali bertemu. Karena seingatnya, kemarin Alex masih tak berbicara dengannya.“Ndri, lu di mana? Tolongin gue dong!” Suara Alex terdengar panik di seberang
Andri masih terduduk di sudut sana, saat polisi datang dan mengamankan Alex. Seluruh tubuh gadis itu bergetar, bahkan wajahnya pucat karena ketakutan. Ia bahkan tak bisa sekadar menopang lututnya untuk berdiri. Mata gadis itu menatap kosong, dengan pipi yang basah karena air mata yang sedari tadi mengalir deras. Hampir saja ia kehilangan mahkota berharga yang paling ia jaga selama ini. Andri memang tak pernah dekat dengan lelaki. Masa lalu membuatnya takut jika mereka yang mengejarnya tak mampu menerimanya jika keadaannya tak seperti sekarang. Itu terbukti setiap kali ia membuktikannya sendiri dengan membuat mereka ilfil. Namun, kebanyakan mereka mundur perlahan karena sadar bahwa gadis itu mengerjainya. Tidak dengan Alex yang menyimpan rencana dan dendam besar."Kau aman sekarang." Araska berucap.Araska mendekat, berjongkok di depan gadis itu. Ia mencoba mendekatkan tubuhnya agar bisa memeluk gadis yang tubuhnya begitu dingin. Araska menenggelamkan kepala gadis itu di dada bidangny
Bab 6.Motor Araska menepi di depan sebuah restoran. Andri merapikan rambut panjangnya setelah beberapa saat diacak-acak oleh angin saat ia berboncengan di motor Araska.Mereka baru saja menyelesaikan mata kuliah terakhir untuk hari itu. Araska mengajak Andri untuk pulang bersama, karena tadi pagi lelaki itu juga menjemputnya. Entahlah, Araska merasa takut jika terjadi sesuatu yang buruk lagi pada gadis itu.Sejak kejadian hari itu, mereka sering berkomunikasi lewat telepon. Setidaknya baru hari ini, karena Araska meminta menjemput.Awalnya mereka tak banyak berbicara saat bertemu, pun di dalam kelas. Namun, mereka bersikap seperti teman lama yang sudah cukup mengenal satu sama lain, tapi gengsi menyapa satu sama lain. Satu sisi, karena Araska masih mempertanyakan apa yang terjadi pada hidup gadis itu hingga ia bisa berubah sedemikian rupa. Bagi Araska, gadis itu tetap sama. Satu sisi, ia kuat, tapi sisi lain, Andri terlalu lemah, hingga membuat Araska ingin melindunginya.Araska mem
Beberapa tahun yang lalu.Senin.Bagi sebagian orang, pembuka hari itu menjadi semangat baru untuk mereka yang bekerja atau anak-anak bersekolah, setelah kemarin menghabiskan waktu liburan bersama keluarga atau teman. Namun, tidak bagi Silvi, seorang gadis yang baru saja duduk di bangku kelas enam sekolah dasar.Gadis itu sama sekali tak menyukai hari Senin. Bahkan, ia terlalu membencinya. Karena baginya, hari itu lebih menyedihkan dari hari lainnya. Rasanya setiap hari memang sama saja, tak memberinya sedikit pun bahagia layaknya yang dirasa oleh anak-anak lain. Baginya, Senin lebih memberinya tekanan ketimbang kenyamanan atau kebahagian yang layak dinikmati.“Silvi mana?”“Ini tempat Silvi!”Sahut-sahutan beberapa teman sekelas Silvi menanyainya. Mereka sibuk melongok ke sana kemari, tapi tak menemukan sosok yang dipanggil.Lapangan masih belum penuh terisi oleh semua siswa. Sebagian siswa telah berbaris dengan rapi, pun kelas enam sudah menempati posisi di mana biasanya mereka berd
Pagi.Silvi bangun dengan perasaan bahagia, karena tak ada jemuran yang menjadi pekerjaan tambahannya hari ini. Semalam ia dan ibu tidur dengan nyaman di bawah cahaya bulan purnama yang menyesak melalui celah genteng yang sudah berlubang.Gadis itu bangkit dari kasur kapuk yang bau khasnya sedikit menguar, langkah kaki Silvi menuju kamar mandi yang terletak di belakang rumah. Kamar mandi khas pemukiman kumuh yang hanya tertutupi dengan plastik-plastik bekas. Namun, beruntungnya ada sumur yang airnya putih dan bersih.Usai mandi, Silvi kembali ke kamar. Kamar yang ditempati oleh dia dan ibu. Ada banyak barang-barang di sana, meja tempat Silvi menyusun buku-buku pelajaran dan buku tulis yang ia dapat dari tong sampah depan gang atau jalan, tempat penampungan sampah orang-orang kaya. Lumayan, halamannya masih sangat banyak atau bahkan hanya ditulis beberapa lembar saja. Silvi mengambilnya, mencoret nama mengganti dengan namanya. Gadis kurus itu bahagia karena satu beban ibu terbantu deng
Setiap sore, di lingkungan tempat tinggal Silvi selalu ada permainan yang dimainkan anak-anak. Mereka mengisi waktu luang, dan memenuhi keceriaan masa kanak-kanak.Anak-anak akan bermain sesuai musiman, kadang main catur, kadang lompat karet, atau main gambar kartu. Gadis-gadis kecil itu biasanya bermain di rumah Uta, rumah paling besar di sekitar itu. Selain besar, rumah Uta juga mempunyai taman dan rumput yang hijau, membuat anak-anak senang bermain di rumahnya. Namun, hanya anak-anak yang terpilih yang bisa bermain di rumahnya, seolah ada barcode pengaman dari pagar untuk masuk ke rumah. Barcode yang hanya menyeleksi anak-anak orang kaya.Untuk anak seperti Silvi, tentu saja tak menjadi pilihan. Sebab itu, gadis dekil itu hanya mengintip di balik tembok tinggi rumah Uta. Tak berani masuk dan tak ada yang menyuruhnya masuk, pun tahu diri bahwa dia akan diabaikan di sana.Kadang Silvi merasa bosan di rumah, tak ada yang bisa ia lakukan untuk sekadar mengisi waktu luang menunggu ibuny
Matahari mulai menampakkan sinarnya, pertanda semua orang akan kembali melakukan aktivitas masing-masing. Begitupun Silvi, ia seperti dipaksa mengulang aktivitas yang sama setiap harinya. Tak ada yang istimewa, yang ada hanya kebosanan yang mendera. Tanpa teman, hanya kesunyian.Sekolah Silvi terletak tak jauh dari gang rumahnya, setiap hari ia akan berjalan kaki menuju ke tempatnya mencari ilmu. Banyak juga anak-anak yang seperti dirinya, berjalan kaki. Hanya beberapa saja yang diantar orang tua, seperti Uta karena sekalian dengan sang ayah yang pergi bekerja.Silvi berjalan hati-hati, bukan tak kuat berjalan karena tak sarapan tadi pagi. Tapi karena menjaga sepatunya agar tak bertambah rusak di bagian depan. Ia menghindari batu dan kerikil agar sepatunya awet sampai ia lulus SD. Sampai di sekolah, Silvi berpapasan dengan Uta dan teman-temannya. Sepertinya mereka baru saja dari kantin, terlihat dari minuman dan makanan ringan yang mereka bawa.“Hai, Tiang Listrik!” Uta menyapa. Tapi
Silvi baru saja ingin meletakkan tas ke dalam laci, saat ia melihat sesuatu di dalamnya. Tangannya terulur mengambil sesuatu yang ia yakin tak menaruhnya sama sekali. Matanya berbinar, melihat dua coklat silver queen dan sebungkus roti. Tak hanya itu, ada satu botol air mineral di sana.Wajah Silvi tampak bahagia mendapat itu semua. Namun, Silvi bingung siapa yang meletakkannya. Ia menebak satu nama yang selama ini diam-diam berbaik hati padanya, tapi tebakan itu seolah terbantah saat ia melihat Araska masuk kelas sambil bercanda ria bersama teman-temannya. Itu menandakan bahwa ia baru datang, dan tidak mungkin rasanya jika ia yang memberikan coklat itu.Silvi menyerah untuk menebak, karena selain Araska, tidak ada yang peduli padanya selama ini. Gadis itu menyimpan coklat itu ke dalam tas yang talinya entah sudah ada berapa jahitan. Mungkin hari ini memang rezeki Silvi, karena ada yang berbaik hati memberinya makanan, itu rezeki dari Tuhan.Setidaknya hari ini Silvi tak harus menahan
“Andri ada?”Milly membuka pintu saat bel di pintu berbunyi. Gadis itu sedikit terpaku, lalu tersenyum pada Araska yang berdiri di depannya.Araska ingin menemui Andri. Semalam ia berpikir cukup lama untuk mencari cara menyatakan perasaannya pada gadis itu. Ia yakin Andri bisa merasakan debar cinta antara keduanya. Namun, Araska harus memperjelas dengan cara yang lebih serius. Araska selama ini menjaga. Araska ingin tahu seperti apa muara rasa itu, setelah sekian lama terpisah, menjalani alur hidup masing-masing. Lalu bersama, kembali dipertemukan dalam keadaan yang tak sama.Araska mencoba mengirimkan pesan untuk Andri, tapi hanya centang satu. Lalu, ia menghapusnya dan mengambil kesimpulan untuk bertemu langsung. Ia menghubungi, tapi nomor gadis itu tak tersambung. Sebab itu, Araska sekarang berdiri di depan rumah Andri. Mengetuk pintu, berharap gadis itu yang membukanya. Namun, yang kini di depannya bukanlah gadis yang ia tuju.“Dia balik ke Samarinda.” Milly menjawab setelah sepe
“Kamu yang lagi nyeka air mata, berbaliklah!”Araska mengulang kalimat itu.Andri yang sedang melangkah, terpaksa berhenti seolah sedang diperintahkan untuk berhenti. Ia berdiri sejenak, bergelut dengan pikirannya sendiri. Gadis itu tak berani melihat ke belakang, karena akan ketahuan sedang menangis. Itu memalukan.Kepalang tanggung melangkah, ia tak bisa bersikap terlalu kepedean dengan mengira bahwa Araska menyuruhnya berhenti. Siapa tahu, Milly di sudut sana juga sedang terharu karena tersentuh dengan lagu yang dinyanyikan Araska. Itu akan lebih memalukan jika ternyata bukan dia yang dimaksud Araska.Andri kembali melangkah, tak peduli dengan kalimat barusan yang nyatanya akan semakin membuat hatinya ragu untuk melepaskan.“Kamu yang terus melangkah meski disuruh balik, berhentilah!”Dari mikrofon itu kembali terdengar suara Araska. Bodo amat! Andri tetap melangkah hingga hampir sampai di pintu depan.Bukan dirinya! Pikir Andri.“Kamu, Silvi Andriani, kemarilah!”Andri berhenti, d
Halaman rumah Naya telah disulap sedemikian rupa. Aneka hiasan, balon-balon menggantung di udara. Makanan mewah juga banyak tersaji di meja. Atas persetujuan Andri, Naya menggelar acara untuk ulang tahun gadis itu; ulang tahun ke dua puluh satu.Sebelumnya, Andri tak pernah mau merayakan dengan banyak orang. Namun, kali ini gadis itu merasa harus merayakan setiap kemenangan yang ia lalui bersama Naya, dan orang-orang terdekatnya.Pesta yang tak terlalu besar, karena hanya dihadiri oleh keluarga, juga anak-anak panti dan dua pengasuh yang tak luput dari undangan istimewa bagi Andri.Anak-anak panti terlihat bahagia dengan acara mewah dan makanan yang aneka ragamnya. Mereka juga telah menyiapkan rencana kejutan untuk Andri.Andri turun dari tangga dengan mata yang ditutup oleh Ejaz. Gadis yang mengenakan gaun berwarna marun itu berjalan perlahan, matanya terlalu gelap.Andri tetap melangkah pelan, hingga tangannya dipegang Ejaz untuk berhenti. Andri tahu, mungkin keluarganya sedang memb
Andri bangun dengan mata yang sembab. Pagi ini, ia mencoba berhenti menangisi kisah cintanya untuk kedua kali. Namun, bukan berarti ia bisa bangkit secepat itu dari rasa terpuruknya. Gadis itu mencoba berpikir positif tentang hubungan Araska dan Milly. Namun, kebersamaan mereka semakin jauh dari harus berprasangka hanya teman, atau kebetulan.Pagi itu, Milly kembali keluar dengan gitar di punggung. “Gitar baru?” Andri bertanya penuh selidik. Karena yang ia tahu, gitar Milly sudah dirusak oleh papanya.Milly mengangguk. Senyumnya merekah sambil mengelus gitar baru yang ia miliki.“Mama beli?” Kembali Andri bertanya.“Bukan.”“Jadi?”“Araska.”Seolah ada beribu pisau yang menyayat hati Andri secara bersamaan, seiring dengan nama itu disebutkan. Araska membeli gitar untuk Milly, itu artinya lelaki itu sedang mengembalikan hal berharga dalam hidup gadis itu. Sialnya, ia tak bisa mengembalikan hal berharga dalam hidup Andri. Cinta. Rasa itu masih saja menekan hati Andri sendirian, tanpa b
Andri sedang membaca beberapa buku untuk melengkapi tugas-tugas kuliah yang semakin hari semakin banyak. Setelah selesai dengan mata kuliah magang, kini ia harus membuat laporan magang. Andri bahkan menolak beberapa tawaran pemotretan dan iklan, ia ingin fokus kuliah, karena hari libur pun terasa seperti Senin baginya kini.Gadis itu menatap layar laptop di depannya sambil mengetikkan sesuatu di sana. Di depannya ada secangkir teh dan camilan yang ia minta disiapkan oleh Mbok Nah.Matahari telah naik setengahnya, menyisakan warna jingga menghampar indah di bumi. Sebagian cahayanya masuk melalui jendela kaca di kamar Andri. Di bawah sana, ada tanaman hias dan kolam ikan koi yang juga ikut menikmati keindahan senja. Dalam fokusnya, Andri masih mendengar pintu diketuk seseorang. Tanpa menoleh, gadis itu menyuruh masuk, dari suaranya ia tahu siapa yang datang ke kamarnya.Pintu terbuka, terlihat wajah seseorang menyembul dari baliknya.Milly masuk dan mendekati Andri yang terlihat sibuk
Andri melangkah ke kamar Naya dengan membawa satu nampan sarapan. Sejak beberapa hari, perempuan itu tidak turun dari kamarnya, setelah menghadapi proses pengadilan atas kasusnya yang menimpanya belasan tahun lalu.Aryan mengambil langkah tepat waktu, seperti telah memikirkan banyak hal dan konsekuensinya. Lelaki itu menyerahkan diri, sebelum genap dua belas tahun kejahatan yang ia lakukan pada Naya.Menurut hukum yang berlaku, kakus pemerkosaan akan kadaluwarsa selama dua belas tahun, jika menurut hukum, pelaku akan mendapatkan lebih dari tiga tahun penjara.Kasus Naya belasan tahun lalu, itu terjadi saat usianya masih dua puluh delapan waktu itu, sebentar lagi akan kadaluwarsa waktunya jika saja ia tak menuntut segera. Bahkan, jika ia menuntut dalam kurun waktu lebih dari dua belas tahun, maka ia bisa dituntut balik atas dasar pencemaran nama baik.Naya bahkan tak berani untuk pergi bekerja, ia tak bisa membayangkan bagaimana media akan merekam wajahnya. Orang-orang akan melihatnya
Naya dan kedua putrinya berkumpul di meja makan. Pagi ini Naya memasak nasi uduk untuk sarapan. Ia menggantikan peran Mbok Nah yang izin pulang kampung karena anaknya sakit. Pun, sudah menjadi kebiasaan Naya saat sedang stres, ia akan melakukan aktivitas untuk mengalihkan perasaan itu. Sejak hari itu, Hadi dan Naya banyak berbincang tentang kehidupan mereka, juga dua anaknya yang akan diasuh. Hadi melepaskan Milly untuk diasuh dan tinggal bersama Naya, sedangkan Ejaz akan tetap tinggal bersama papanya. Dua anak itu tak lagi diperebutkan seperti dulu, atau tak lagi ada yang merasa tak rela karena sama sekali tak bisa merengkuhnya. Hadi dan Naya bisa kapan saja menjenguk buah hatinya, tanpa batasan. Itu perjanjian mereka.“Ma, apa nggak sebaiknya mama rujuk sama papa?” Di sela suapannya, Milly bertanya hati-hati. Sebagai seorang anak, ia pasti ingin orangtuanya bersatu dalam satu ikatan, dalam satu rumah.Naya yang sedang makan, menghela napas berat, sejenak menatap Milly dengan serius
“Finally, kita bertemu di sini, Tuan Aryan!” ucap Andri menyinggung ketenangan lelaki itu. Andri meletakkan satu dokumen yang harus ditandatangani founder perusahaan itu.Berkas dari atasan magang yang meminta pertolongannya untuk diantar ke ruang Aryan.Aryan sedang memeriksa beberapa berkas di mejanya, saat Andri masuk dan mengucapkan kalimat yang membuatnya mendongak. Lelaki itu melihat wajah yang terlalu lancang untuk masuk ke ruangannya. “Kau siapa?” Aryan bertanya. Lelaki itu tahu bahwa gadis di depannya merupakan salah satu karyawan baru, ia bisa melihat tanda pengenal yang tergantung di lehernya. Namun, kalimat tak sopan yang keluar dari mulut gadis itu barusan menyiratkan seolah mereka punya urusan sebelumnya.Seingat Aryan, ia masih punya sekretaris di ruang sebelum ruangannya. Ia bingung kenapa gadis itu lolos masuk tanpa pemberitahuan dari sang sekretaris. Ah, Aryan baru melihat gadis baru saja meletakkan sebuah map. Siapa saja bisa masuk untuk alasan tanda tangan.Aryan
“Jaz, kita jemput Milly ya.” Pagi. Hadi dan Ejaz sedang menyantap sarapan. Lelaki itu menatap papanya, sedikit ragu untuk mengiyakan. Pun, semalam ia bertanya pada adiknya tentang keadaannya di sana. Milly tampak baik-baik saja di sana, membuat Ejaz merasa kasihan jika harus dipaksa pulang.Sejak Milly di rumah mama, Ejaz sering datang menemui. Ia rindu cerewetnya sang adik, juga merindukan mama yang telah lama tak tinggal di sisinya.Dengan berat hati, akhirnya Ejaz mengiyakan ajakan papanya. Meskipun tak bisa dibayangkan apa yang akan terjadi saat papa kembali bertemu dengan mama. *Hadi turun dari mobil bersama Ejaz setelah lelaki itu mematikan mesin mobilnya. Terlihat oleh mereka sebuah mobil berwarna silver diparkir di depannya. Hadi melangkah masuk ke halaman rumah yang lumayan luas itu. Berdiri di sana seorang satpam dan bebarapa asisiten rumah tangga, mereka tersenyum pada Hadi, tapi wajahnya terlihat tegang.Langkah itu berhenti sejenak. Hadi dan Ejaz berdiri tak jauh dari