Sepulang dari kampus, Araska tergesa-gesa membuka pintu kamar. Ia menghempaskan tas ranselnya di kasur. Lelaki itu ingin segera menuntaskan rasa penasarannya sedari tadi. Penasaran pada gadis yang dulu ia kenal begitu dekat, sering ia tolong, sampai-sampai gadis itu pernah tersesat pada kebaikannya.
Ndri?
Andri?
Bagaimana bisa gadis itu berubah menjadi Andri. Pertanyaan itu kian menjadi-jadi di kepala Araska.
Araska membuka laci nakas di samping tempat tidurnya. Ia mencari foto seorang gadis dekil korban bullying yang dilakukan teman sekelasnya. Foto yang pernah ia ambil di datfar nama siswa kelasnya, dulu saat ia masih SMP. Untung saja waktu itu wali kelas menyuruhnya untuk membuat sebuah map, yang berisi daftar nama siswa kelas mereka beserta fotonya. Saat gadis itu tak lagi datang ke sekolah, Araska mengambil foto itu.
Awalnya hanya untuk kenangan, tapi saat ini ia merasa foto itu benar-benar berguna untuk menganalisa wajah Andri dengan gadis di masa lalunya.
Ketemu. Araska menemukan selembar foto berlatar merah. Masih jelas terlihat wajah itu. Bibir tebal, mata bulat dengan alis yang juga sedikit tebal. Pipi tirusnya, juga rambut ikal awut-awutan yang diikat menggunakan karet gelang.
Araska menganalisa seorang diri. Kembali ia membayangkan saat tadi mereka bertemu di selasar. Wajah itu sangat mirip, meski telah banyak bermetamorfosis menjadi lebih baik.
Araska baru menyadari bahwa bibir yang dulu terlihat tebal, sekarang nampak lebih seksi. Terlihat dari bagaimana gadis itu mengulum bibirnya, dan tersenyum saat ada teman menyapa. Araska baru menyadari bahwa senyum itu terlalu indah. Rambut ikal itu sekarang tampak lebih terawat, Araska yakin rambutnya sangat lembut meski ia tak pernah membelainya. Ah, Araska membenci pikirannya.
Araska kembali mengingat bagaimana ekspresi wajah Andri saat dirinya berjongkok mendekat pada gadis itu. Ekspresi terkejut yang berusaha ditahan. Tatapan Andri tak menyiratkan sedang bertemu dengan orang asing. Namun, tatapan itu seolah sedang mengatakan kerinduan karena sudah lama tak bertemu.
Tadi pagi, Andri juga terlihat buru-buru ketika Araska masih mematung menatapnya dengan bingung.
Silvi Andriani.
Araska memang mendengar panggilan absensi dari dosen-dosen yang mengajar tadi pagi. Ia sempat berpikir bahwa mungkin hanya kesamaan nama. Lagi-lagi logikanya membantah bahwa Andri adalah Silvi, karena ia melihat sendiri jasad yang sudah beberapa hari terendam dalam air sungai. Ia melihat sendiri garis polisi yang membatasi kejadian hari itu.
Namun, wajah keduanya begitu mirip. Boleh saja penampilannya berubah, tapi Araska tak melupakan garis wajah itu. Juga pendar mata yang dulu selalu menatapnya seolah meminta tolong dari bullyan teman-teman lain. Araska terus berkecamuk dengan pikirannya sendiri.
Lamunan Araska buyar ketika seorang perempuan muda mengetuk pintu kamarnya.
“Ras ... Araska! Turun, makan!” teriak tante Sarah di luar kamar Araska.
“Iya, bentar.” Araska menyahut dari dalam. Secepat kilat ia menyimpan kembali foto gadis yang sempat menyita ruang pikirnya.
“Cepetan ya! Ntar mamamu ngomel dikiranya tante gak ngasih makan.”
Sarah sering meledek Araska seperti itu agar ia cepat turun untuk makan. Karena mamanya akan ribut di telepon kalau sampai ia telat makan.
Sejak diterima di Universitas Indonesia melalui tes SNMPTN, Araska tinggal bersama tante, adik dari mamanya yang tinggal di Jakarta.
Sarah adalah adik bungsu dari mama Araska. Perempuan itu baru saja menikah dan belum memiliki anak. Suaminya juga bertugas di Jakarta, sebab ia masih bisa tetap tinggal di ibu kota. Berbeda dengan mama Araska yang terpaksa pindah saat usia Araska masih sepuluh tahun, karena papa Araska dipindahkan ke daerah lain.
Namun, Araska tak menyangka, jika di Jakarta ia bertemu dengan seseorang yang begitu mirip dengan Silvi.
“Mama gak bakalan ngomel kalau tente gak lapor.” Araska berkata, saat menuruni tangga untuk sampai di meja makan. Ia tahu tante pasti mendengarnya.
“Ya, kan kamunya kalau gak diingetin juga seringnya lupa makan. Sibuk pacaran sama buku.” Kembali Sarah meledeknya. Memang benar, Araska sering lupa makan jika sedang bergelut dengan buku-buku pelajaran. Kebiasaannya memang tak berubah, ia selalu menyukai buku-buku pelajaran.
Sarah menyendok nasi untuk Araska. Dari dulu ia memang sering memanjakan keponakannya, karena sebelum mamanya berhenti bekerja, Araska sering dititipkan padanya.
“Abisin ya!” Sarah mengisi piring Araska dengan porsi penuh.
“Ya, tante bawel!”
Bersama keluarga, Araska terlihat lebih akrab dan hangat. Namun, dengan teman-teman dan orang lain di luar sana, ia terlihat lebih datar dan dingin. Apalagi jika menghadapi gadis-gadis centil yang kadang caper dengannya.
*
“Cut ... cut!” teriak seorang direktor yang duduk di belakang kamera.
“Chemistrinya mana? Kalian kelihatan gak kompak hari ini.” Seorang lelaki berkepala botak menegur Andri dan Alex yang sedang melakukan sesi pemotretan.
Sedari tadi Alex tampak tak fokus pada kamera. Wajah kusut tanpa senyum, dan tak terlihat serasi saat berfoto dengan Andri. Padahal biasanya mereka sering mendapat pujian dari sutradara dan kru yang bekerjasama dengan mereka.
Andri sedikit merasa bersalah. Gadis itu tahu, mungkin hal ini disebabkan olehnya kemarin. Tampaknya Alex marah besar pada Andri. Terlihat dari dinginnya tatapan mata itu saat tadi mereka bertemu di tempat pemotretan.
Ah, Andri harusnya tak mau terlalu memikirkan itu, ia tahu persis bahwa Alex tidak bersungguh-sungguh mencintainya. Andri kenal betul lelaki dengan pesona mematikan itu punya entah berapa gadis yang ia pacari, khas pria tampan tapi playboy.
Andri mulai masuk di dunia permodelan sejak SMA. Saat itu hidupnya mulai berubah seratus delapan puluh derajat. Dulu saat upacara ia sering diperintahkan berdiri di depan barisan, untuk mempertontonkan penampilan lusuhnya, untuk dipermalukan. Dan ... itu sukses membuatnya malu dan tersudutkan.
Karena mempunyai tubuh yang tinggi, saat SMA Andri diangkat untuk menjadi penggerek bendera saat upacara tujuh belas Agustus. Dari situ namanya mulai dikenal, karena gadis itu melakukan tugasnya dengan baik.
Dulu, namanya sering diperolok-olokkan sebagai tiang listrik dekil dan bau. Sekarang ia mengharumkan nama sendiri, seolah sedang mencuci bersih hal-hal buruk dari masa lalunya.
Andri juga sering dikenalkan Naya pada publik, untuk model iklan usaha skincarenya. Hal itu Naya lakukan untuk kembali membangkitkan rasa percaya diri dalam jiwa Andri. Awalnya, gadis itu merasa asing dengan dunianya, tapi lama kelamaan ia mulai terbiasa.
Hingga kini, namanya mulai dikenal karena beberapa kali wajahnya ditayangkan di televisi. Namun, dalam dunia model namanya tak dikenal dengan Silvi Andriani, melainkan Andri Kusuma. Naya menyematkan nama belakangnya di belakang nama gadis itu.
Seseorang memang akan menjadi lebih berharga jika ia berada di lingkungan yang tepat, seperti Andri misalnya. Hal-hal yang dulu dianggap memalukan, tak berguna, dan menjadi bahan ejekan, sekarang malah melambungkan namanya. Begitulah hidup, tak ada yang tahu. Yang harus dilakukan, hanya terus berusaha menjadi lebih baik.
“Kita ulang lagi ya. Fokus, Lex!” seru director memberi aba-aba.
Kamera telah siap, begitupun dengan seseorang yang bertugas merekam suara. Semua kru telah siap. Mereka fokus pada masing-masing tugas.
Kedua model juga telah bersiap di depan kamera, tapi lagi-lagi director menggerutu
karena sikap Alex yang tak fokus saat bekerja.
“Lu, lagi kenapa sih, Lex?” tanya sang director pada salah satu modelnya.
Alex tak menjawab. Ia melangkah ke depan dan mengambil jaket yang tadi disampirkan di salah satu kursi. Lelaki berperawakan tinggi itu keluar dan menyalakan mesin motor 300 cc-nya. Alex pergi meninggalkan beberapa kru yang masih memanggil namanya.
“Dasar bocah!” umpat direktor dengan kesal.
*
Andri menghempaskan tubuhnya di atas kasur empuk. Kasur yang begitu berbeda dengan miliknya dulu. Wangi, dan tak mengeluarkan jejak-jejak kapas seperti dulu.
Mata gadis itu menerawang ke atas plafon kamar, seolah bisa menembus langit dan melihat wajah Araska di sana. Tiba-tiba gadis itu memikirkan tentang lelaki yang merupakan cinta pertamanya.
Kadang rasa sakit hati masih ada, tapi rasa rindu lebih mendominasi, juga gengsi yang tak mau kalah bertandang dalam diri. Andri tak mau menyapa Araska lebih dulu. Gadis itu hanya berharap Araska peka dengan perasaannya, bahwa gadis yang menabrak tubuhnya tadi pagi adalah gadis dari masa lalunya. Andri berharap Araska tahu dengan sendirinya, peka karena perasaannya.
‘Araska, sungguh kau tak mengenaliku?’
*
GIMANA?
JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK DI SINI YA. SHARE JUGA BIAR YANG BACA MAKIN RAME.
TERIMA KASIH
Hari menjelang petang saat Andri keluar dari perpustakaan Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Gadis itu keluar karena perpustakaan karena akan segera ditutup, pun kampus mulai sepi karena para mahasiswa mulai pulang ke tempat masing-masing, entah kos atau rumah mereka.Mahasiswa di UI, banyak yang memilih kos-kosan terdekat, agar lebih bisa menghemat waktu perjalanan. Andri sendiri pernah ditawarkan tinggal di kosan oleh Naya, tapi gadis itu menolak, karena kasihan mamanya tinggal seorang diri di rumah.Andri berjalan ke arah parkiran, ingin mengambil mobil dan meluncur pulang. Baru saja ia membuka pintu mobil saat dering ponselnya berbunyi. Ia kembali menutup pintu mobil, memilih mengangkat telepon dari nama yang tertera di layar ponselnya, Alex.Andri mengeryitkan dahi, melihat nama itu. Gadis itu berpikir, apa Alex ingin mengajaknya kembali bertemu. Karena seingatnya, kemarin Alex masih tak berbicara dengannya.“Ndri, lu di mana? Tolongin gue dong!” Suara Alex terdengar panik di seberang
Andri masih terduduk di sudut sana, saat polisi datang dan mengamankan Alex. Seluruh tubuh gadis itu bergetar, bahkan wajahnya pucat karena ketakutan. Ia bahkan tak bisa sekadar menopang lututnya untuk berdiri. Mata gadis itu menatap kosong, dengan pipi yang basah karena air mata yang sedari tadi mengalir deras. Hampir saja ia kehilangan mahkota berharga yang paling ia jaga selama ini. Andri memang tak pernah dekat dengan lelaki. Masa lalu membuatnya takut jika mereka yang mengejarnya tak mampu menerimanya jika keadaannya tak seperti sekarang. Itu terbukti setiap kali ia membuktikannya sendiri dengan membuat mereka ilfil. Namun, kebanyakan mereka mundur perlahan karena sadar bahwa gadis itu mengerjainya. Tidak dengan Alex yang menyimpan rencana dan dendam besar."Kau aman sekarang." Araska berucap.Araska mendekat, berjongkok di depan gadis itu. Ia mencoba mendekatkan tubuhnya agar bisa memeluk gadis yang tubuhnya begitu dingin. Araska menenggelamkan kepala gadis itu di dada bidangny
Bab 6.Motor Araska menepi di depan sebuah restoran. Andri merapikan rambut panjangnya setelah beberapa saat diacak-acak oleh angin saat ia berboncengan di motor Araska.Mereka baru saja menyelesaikan mata kuliah terakhir untuk hari itu. Araska mengajak Andri untuk pulang bersama, karena tadi pagi lelaki itu juga menjemputnya. Entahlah, Araska merasa takut jika terjadi sesuatu yang buruk lagi pada gadis itu.Sejak kejadian hari itu, mereka sering berkomunikasi lewat telepon. Setidaknya baru hari ini, karena Araska meminta menjemput.Awalnya mereka tak banyak berbicara saat bertemu, pun di dalam kelas. Namun, mereka bersikap seperti teman lama yang sudah cukup mengenal satu sama lain, tapi gengsi menyapa satu sama lain. Satu sisi, karena Araska masih mempertanyakan apa yang terjadi pada hidup gadis itu hingga ia bisa berubah sedemikian rupa. Bagi Araska, gadis itu tetap sama. Satu sisi, ia kuat, tapi sisi lain, Andri terlalu lemah, hingga membuat Araska ingin melindunginya.Araska mem
Beberapa tahun yang lalu.Senin.Bagi sebagian orang, pembuka hari itu menjadi semangat baru untuk mereka yang bekerja atau anak-anak bersekolah, setelah kemarin menghabiskan waktu liburan bersama keluarga atau teman. Namun, tidak bagi Silvi, seorang gadis yang baru saja duduk di bangku kelas enam sekolah dasar.Gadis itu sama sekali tak menyukai hari Senin. Bahkan, ia terlalu membencinya. Karena baginya, hari itu lebih menyedihkan dari hari lainnya. Rasanya setiap hari memang sama saja, tak memberinya sedikit pun bahagia layaknya yang dirasa oleh anak-anak lain. Baginya, Senin lebih memberinya tekanan ketimbang kenyamanan atau kebahagian yang layak dinikmati.“Silvi mana?”“Ini tempat Silvi!”Sahut-sahutan beberapa teman sekelas Silvi menanyainya. Mereka sibuk melongok ke sana kemari, tapi tak menemukan sosok yang dipanggil.Lapangan masih belum penuh terisi oleh semua siswa. Sebagian siswa telah berbaris dengan rapi, pun kelas enam sudah menempati posisi di mana biasanya mereka berd
Pagi.Silvi bangun dengan perasaan bahagia, karena tak ada jemuran yang menjadi pekerjaan tambahannya hari ini. Semalam ia dan ibu tidur dengan nyaman di bawah cahaya bulan purnama yang menyesak melalui celah genteng yang sudah berlubang.Gadis itu bangkit dari kasur kapuk yang bau khasnya sedikit menguar, langkah kaki Silvi menuju kamar mandi yang terletak di belakang rumah. Kamar mandi khas pemukiman kumuh yang hanya tertutupi dengan plastik-plastik bekas. Namun, beruntungnya ada sumur yang airnya putih dan bersih.Usai mandi, Silvi kembali ke kamar. Kamar yang ditempati oleh dia dan ibu. Ada banyak barang-barang di sana, meja tempat Silvi menyusun buku-buku pelajaran dan buku tulis yang ia dapat dari tong sampah depan gang atau jalan, tempat penampungan sampah orang-orang kaya. Lumayan, halamannya masih sangat banyak atau bahkan hanya ditulis beberapa lembar saja. Silvi mengambilnya, mencoret nama mengganti dengan namanya. Gadis kurus itu bahagia karena satu beban ibu terbantu deng
Setiap sore, di lingkungan tempat tinggal Silvi selalu ada permainan yang dimainkan anak-anak. Mereka mengisi waktu luang, dan memenuhi keceriaan masa kanak-kanak.Anak-anak akan bermain sesuai musiman, kadang main catur, kadang lompat karet, atau main gambar kartu. Gadis-gadis kecil itu biasanya bermain di rumah Uta, rumah paling besar di sekitar itu. Selain besar, rumah Uta juga mempunyai taman dan rumput yang hijau, membuat anak-anak senang bermain di rumahnya. Namun, hanya anak-anak yang terpilih yang bisa bermain di rumahnya, seolah ada barcode pengaman dari pagar untuk masuk ke rumah. Barcode yang hanya menyeleksi anak-anak orang kaya.Untuk anak seperti Silvi, tentu saja tak menjadi pilihan. Sebab itu, gadis dekil itu hanya mengintip di balik tembok tinggi rumah Uta. Tak berani masuk dan tak ada yang menyuruhnya masuk, pun tahu diri bahwa dia akan diabaikan di sana.Kadang Silvi merasa bosan di rumah, tak ada yang bisa ia lakukan untuk sekadar mengisi waktu luang menunggu ibuny
Matahari mulai menampakkan sinarnya, pertanda semua orang akan kembali melakukan aktivitas masing-masing. Begitupun Silvi, ia seperti dipaksa mengulang aktivitas yang sama setiap harinya. Tak ada yang istimewa, yang ada hanya kebosanan yang mendera. Tanpa teman, hanya kesunyian.Sekolah Silvi terletak tak jauh dari gang rumahnya, setiap hari ia akan berjalan kaki menuju ke tempatnya mencari ilmu. Banyak juga anak-anak yang seperti dirinya, berjalan kaki. Hanya beberapa saja yang diantar orang tua, seperti Uta karena sekalian dengan sang ayah yang pergi bekerja.Silvi berjalan hati-hati, bukan tak kuat berjalan karena tak sarapan tadi pagi. Tapi karena menjaga sepatunya agar tak bertambah rusak di bagian depan. Ia menghindari batu dan kerikil agar sepatunya awet sampai ia lulus SD. Sampai di sekolah, Silvi berpapasan dengan Uta dan teman-temannya. Sepertinya mereka baru saja dari kantin, terlihat dari minuman dan makanan ringan yang mereka bawa.“Hai, Tiang Listrik!” Uta menyapa. Tapi
Silvi baru saja ingin meletakkan tas ke dalam laci, saat ia melihat sesuatu di dalamnya. Tangannya terulur mengambil sesuatu yang ia yakin tak menaruhnya sama sekali. Matanya berbinar, melihat dua coklat silver queen dan sebungkus roti. Tak hanya itu, ada satu botol air mineral di sana.Wajah Silvi tampak bahagia mendapat itu semua. Namun, Silvi bingung siapa yang meletakkannya. Ia menebak satu nama yang selama ini diam-diam berbaik hati padanya, tapi tebakan itu seolah terbantah saat ia melihat Araska masuk kelas sambil bercanda ria bersama teman-temannya. Itu menandakan bahwa ia baru datang, dan tidak mungkin rasanya jika ia yang memberikan coklat itu.Silvi menyerah untuk menebak, karena selain Araska, tidak ada yang peduli padanya selama ini. Gadis itu menyimpan coklat itu ke dalam tas yang talinya entah sudah ada berapa jahitan. Mungkin hari ini memang rezeki Silvi, karena ada yang berbaik hati memberinya makanan, itu rezeki dari Tuhan.Setidaknya hari ini Silvi tak harus menahan