Beberapa tahun yang lalu.
Senin.
Bagi sebagian orang, pembuka hari itu menjadi semangat baru untuk mereka yang bekerja atau anak-anak bersekolah, setelah kemarin menghabiskan waktu liburan bersama keluarga atau teman. Namun, tidak bagi Silvi, seorang gadis yang baru saja duduk di bangku kelas enam sekolah dasar.
Gadis itu sama sekali tak menyukai hari Senin. Bahkan, ia terlalu membencinya. Karena baginya, hari itu lebih menyedihkan dari hari lainnya. Rasanya setiap hari memang sama saja, tak memberinya sedikit pun bahagia layaknya yang dirasa oleh anak-anak lain. Baginya, Senin lebih memberinya tekanan ketimbang kenyamanan atau kebahagian yang layak dinikmati.
“Silvi mana?”
“Ini tempat Silvi!”
Sahut-sahutan beberapa teman sekelas Silvi menanyainya. Mereka sibuk melongok ke sana kemari, tapi tak menemukan sosok yang dipanggil.
Lapangan masih belum penuh terisi oleh semua siswa. Sebagian siswa telah berbaris dengan rapi, pun kelas enam sudah menempati posisi di mana biasanya mereka berdiri.
Uta. Uta Sofia nama lengkapnya. Ia dijuluki ratu geng di kelas Silvi. Ada dua anak perempuan yang selalu mengekorinya, Siska dan Chrisa. Anak-anak di kelas itu terlalu takut menatap mata Uta. Mata itu selalu menatap orang lain dengan tajam dan tersirat perintah. Seperti saat ini, Uta melirik ke kanan dan kiri, tapi tak ditemukan sosok Silvi. Lalu ia melihat ke belakang, di sanalah gadis itu muncul.
Upacara.
Itulah yang membuat Silvi sangat membenci hari Senin.
Silvi berjalan dengan pandangan menunduk, ia memasuki barisan teman-temannya untuk berdiri di posisi pada tempat yang telah ditentukan, tempat istimewa atas perintah Uta.
“Lelet amat sih, Tiang Listrik!” bentak Uta sambil mendorong bahu Silvi ketika mendekat ke arahnya. Gadis itu sedikit terlambat hari ini.
Gelar si Tiang Listrik sudah menyemat di diri Silvi sejak beberapa tahun lalu. Silvi tak ingat pasti kapan mulai dirinya disematkan gelar menyedihkan itu, yang ia tahu anak-anak sekolah selalu memanggilnya seperti itu.
Silvi heran kenapa dirinya dipanggil seperti itu, padahal Reva dari kelas yang sama bahkan mempunyai tubuh lebih tinggi dari Silvi. Pernah sekali waktu, Silvi benar-benar berdiri di samping Reva hanya untuk melihat siapa yang lebih tinggi. Namun, jelas saja Reva lebih berisi, hingga ketinggiannya tak mendominasi. Sementara Silvi tubuhnya kurus dan gelar itu hanya diberikan untuknya seorang diri.
Karena ketinggiannya, Silvi selalu menjadi bahan olok-olok teman-teman sekelas. Bukan hanya tinggi, tapi badannya kurus serta jalan yang sering menunduk yang membuat ia terlihat sedikit bungkuk. Lucunya, ia tak membantah sama sekali. Entah karena terlalu lelah, takut, atau memang pikirannya membenarkan apa yang mereka katakan. Kepercayaan dirinya telah terenggut.
Kadang ketika berjalan di lapangan, Silvi disoraki teman-teman lelaki, katanya sebelas duabelas dengan tiang bendera. Atau ketika Silvi pulang sekolah, mereka sengaja mengukur bayang Silvi dan menyamakannya dengan tiang listrik di jalanan.
Seperti yang kini dilakukan Uta, menyuruh Silvi untuk berdiri di barisan depan, agar ketinggiannya bisa menutupi wajah mereka dari sinar matahari, agar Uta dan dua temannya sesekali bisa berjongkok di dalam barisan, ditutupi tubuh Silvi. Agar yang belum mengenali, bisa mengenal Silvi dengan tubuh yang begitu kurus dan penampilan yang kacau. Sepatu mangap, kaus kaki longgar yang sudah diikat dengan karet gelang.
Bahkan ketika Silvi mengedarkan pandangan ke seluruh lapangan, ia tak menemukan anak-anak dengan pakaian yang lebih kusam darinya, juga rok merah yang sudah sangat pudar warnanya. Belum lagi membandingkan tas buluknya yang kini ia letakkan di kelas. Pernah sekali waktu gadis itu meminta seragam baru pada ibunya, tapi perempuan berusia tiga puluh dua tahun itu mengatakan sebentar lagi sudah naik SMP, jadi Silvi diam saja, dan tetap memakai pakaian kusam dan pendek itu.
Dia, Silvi. Silvi Andriani nama panjangnya. Tiang listrik nama tengahnya, disandang pada tubuh tinggi dan dekil itu. Padahal ibunya tak pernah memberi nama itu.
*
Pelajaran terakhir sedang berlangsung. Saat itu guru sedang mengajarkan materi pecahan. Silvi tak terlalu memperhatikan pelajaran. Pikirannya melayang ke mana-mana. Tentang makan nanti siang. Tentang aneka makanan yang dijual di kantin tadi saat istirahat. Tiba-tiba ia merasa air liurnya mengalir, gadis itu jarang terlihat di kantin, bahkan hampir tak pernah. Ia mencoba mengalihkan pikirannya sendiri, lalu teringat sesuatu. Silvi menepuk jidat saat tersadar ia lupa menjemur buku-buku pelajaran yang semalam basah karena hujan. Padahal tadi ia menjemur kasur juga beberapa baju.
Silvi tinggal di salah satu pemukiman kumuh kota Samarinda, Kalimantan Timur. Rumah yang terbuat dari geribik yang seandainya tak ada bangunan rumah orang lain di sampingnya, mungkin akan roboh saat ada angin sedikit kencang. Tak jarang, gadis itu harus menjemur pakaian juga buku yang basah akibat sisa genangan hujan semalaman. Sebab itu Uta dan teman-teman menjuluki rumah Silvi sebagai tong setan. Mungkin karena rumah itu terlihat gelap dari luar, atau mereka merasa rumah itu seperti tong setan di pameran-pameran.
Sang guru melihat gelagat Silvi. Bu Darma, Guru Matematika yang terkenal killer itu menurunkan kacamata, lalu bertanya pada salah satu siswanya yang tertangkap basah tak menyimak pelajaran.
“Sedang apa kamu, Silvi?”
Silvi menunjuk diri sendiri, seolah sedang mempertanyakan apakah baru saja sang guru menyebut namanya. Atau ia hanya berhalusinasi.
“Ya, kamu. Siapa lagi?” Bu Darma memperjelas.
Silvi diam. Gadis itu menunduk tak berani menatap wajah sang guru. Dalam hati ia berdoa semoga tak disuruh maju ke depan dan menyelesaikan soal-soal, pasalnya ia tak menyukai Matematika. Bahkan ketika sang guru mencontohkan metode pembagian dengan cara membagi apel untuk Budi, gadis itu bingung, karena jangankan untuk membagi apel, untuk makan sendiri saja, gadis itu hampir tak pernah.
Namun, sayang, doa Silvi sepertinya tak dikabulkan. Bu Darma menyuruhnya untuk maju ke depan kelas.
Langkah Silvi ragu, ia berjalan lambat seperti setengah diseret. Tapi jarak deretan bangku paling belakang ke papan tulis tentu tak memakan waktu berjam-jam, hingga membuat doa kedua Silvi akan terkabul, doa agar bel segera berbunyi. Tidak!
Silvi menatap sekilas sang guru, sebelum akhirnya benar-benar menghadap papan tulis putih. Ia mengambil spidol yang diulurkan Bu Darma.
Harus isi apa?
Pikiran Silvi kembali bergelut, ia sama sekali tak mengerti apa yang barusan dijelaskan. Satu-satunya yang membuat Silvi senang bersekolah adalah pelajaran Bahasa Indonesia, karena ia bisa membaca dongeng-dongeng di buku pelajaran, dan berharap suatu saat bisa menjadi seperti putri dalam salah satu cerita itu.
“Apa kamu gak ngerti sama sekali?” Sedikit kesal nada Bu Darma saat bertanya.
Silvi menggeleng. Gadis itu menunduk menatap sepatu buluknya.
“Duduklah!” Sang guru menghela napas berat, tidak memaksa. Ia dan semua guru tahu betul bagaimana Silvi. Selain penampilan, nilai-nilainya juga tak ada yang menonjol meskipun setiap tahun ia naik kelas, karena mencapai ketuntasan minimun.
Silvi kembali duduk.
Sebelum bel pulang berbunyi, Bu Darma telah berpesan agar membagikan kelompok untuk minggu depan. Satu kelompok terdiri dari tiga orang.
“Tos dulu!” Uta dan gengnya membuat gerakan tos. Mereka telah membuat kelompok yang terdiri dari anggota geng.
Silvi melihat ke kiri dan kanan, teman-temannya saling mencari anggota kelompok, dan tak ada yang menanyai dirinya. Sebab itu ia mencoba mengajukan diri.
“Mel, a ... ku masuk ke kelompok kamu ya?” Silvi menoleh ke bangku belakang, menawarkan diri pada Amel dengan hati-hati.
“Penuh, maaf ya.” Amel menjawab sambil menunjuk dua teman yang baru saja bergabung dengannya.
Silvi tak ingin tak mempunyai kelompok, meskipun ia tak suka Matematika, tapi minimal ia harus menuntaskan nilainya. Sebab itu, ia bangun dari bangku duduknya, berjalan ke pojok di mana Rangga duduk.
“Aku boleh gabung sini?” Sekelompok dengan anak cowok pun tidak masalah bagi Silvi, karena ia melihat anak cewek hanya tinggal ia seorang diri.
“Pe ... nuh, Vi.” Rangga menutup hidungnya hingga terdengar suara sengaunya. Ekspresi untuk memberi aba-aba pada gadis dekil itu agar segera menjauh. Bau. Lagi-lagi Silvi tertolak.
Silvi kembali ke tempat duduk. Ada rasa kecewa yang menyelinap dalam hatinya. Bahkan untuk masuk anggota kelompok saja terlalu susah baginya diterima.
“Yaudah gabung sini aja,” sahut seorang anak lelaki di meja paling depan.
Anak lelaki yang berstatus sebagai ketua kelas.
“Entar aku juga yang repot kalau kamu gak punya kelompok.”
Bukan perhatian, tapi tanggung jawab sebagai seorang ketua kelas. Anak lelaki itu tak mau disalahkan oleh Bu Darma karena Silvi yang tak dapat kelompok. Karena sang guru mengamanahkan pembagian kelompok pada ketua kelas, entah dipilih atau memilih sendiri, intinya ada, dan mereka dituntut mandiri.
Silvi tersenyum ke arah teman lelaki sekelasnya. Senyum yang entahlah, ia merasa dihargai. Ia merasa ada hal baru dalam hidupnya, ditawarkan, dan ia merasa mendapat energi baru dari hal itu. Namun, senyum itu mendapat tatapan tajam dari Uta.
Sementara anak lelaki itu kembali mengemas buku pelajaran dan melangkah keluar.
Dia, Araska Pratama.
*
TERIMA KASIH 🙏
Pagi.Silvi bangun dengan perasaan bahagia, karena tak ada jemuran yang menjadi pekerjaan tambahannya hari ini. Semalam ia dan ibu tidur dengan nyaman di bawah cahaya bulan purnama yang menyesak melalui celah genteng yang sudah berlubang.Gadis itu bangkit dari kasur kapuk yang bau khasnya sedikit menguar, langkah kaki Silvi menuju kamar mandi yang terletak di belakang rumah. Kamar mandi khas pemukiman kumuh yang hanya tertutupi dengan plastik-plastik bekas. Namun, beruntungnya ada sumur yang airnya putih dan bersih.Usai mandi, Silvi kembali ke kamar. Kamar yang ditempati oleh dia dan ibu. Ada banyak barang-barang di sana, meja tempat Silvi menyusun buku-buku pelajaran dan buku tulis yang ia dapat dari tong sampah depan gang atau jalan, tempat penampungan sampah orang-orang kaya. Lumayan, halamannya masih sangat banyak atau bahkan hanya ditulis beberapa lembar saja. Silvi mengambilnya, mencoret nama mengganti dengan namanya. Gadis kurus itu bahagia karena satu beban ibu terbantu deng
Setiap sore, di lingkungan tempat tinggal Silvi selalu ada permainan yang dimainkan anak-anak. Mereka mengisi waktu luang, dan memenuhi keceriaan masa kanak-kanak.Anak-anak akan bermain sesuai musiman, kadang main catur, kadang lompat karet, atau main gambar kartu. Gadis-gadis kecil itu biasanya bermain di rumah Uta, rumah paling besar di sekitar itu. Selain besar, rumah Uta juga mempunyai taman dan rumput yang hijau, membuat anak-anak senang bermain di rumahnya. Namun, hanya anak-anak yang terpilih yang bisa bermain di rumahnya, seolah ada barcode pengaman dari pagar untuk masuk ke rumah. Barcode yang hanya menyeleksi anak-anak orang kaya.Untuk anak seperti Silvi, tentu saja tak menjadi pilihan. Sebab itu, gadis dekil itu hanya mengintip di balik tembok tinggi rumah Uta. Tak berani masuk dan tak ada yang menyuruhnya masuk, pun tahu diri bahwa dia akan diabaikan di sana.Kadang Silvi merasa bosan di rumah, tak ada yang bisa ia lakukan untuk sekadar mengisi waktu luang menunggu ibuny
Matahari mulai menampakkan sinarnya, pertanda semua orang akan kembali melakukan aktivitas masing-masing. Begitupun Silvi, ia seperti dipaksa mengulang aktivitas yang sama setiap harinya. Tak ada yang istimewa, yang ada hanya kebosanan yang mendera. Tanpa teman, hanya kesunyian.Sekolah Silvi terletak tak jauh dari gang rumahnya, setiap hari ia akan berjalan kaki menuju ke tempatnya mencari ilmu. Banyak juga anak-anak yang seperti dirinya, berjalan kaki. Hanya beberapa saja yang diantar orang tua, seperti Uta karena sekalian dengan sang ayah yang pergi bekerja.Silvi berjalan hati-hati, bukan tak kuat berjalan karena tak sarapan tadi pagi. Tapi karena menjaga sepatunya agar tak bertambah rusak di bagian depan. Ia menghindari batu dan kerikil agar sepatunya awet sampai ia lulus SD. Sampai di sekolah, Silvi berpapasan dengan Uta dan teman-temannya. Sepertinya mereka baru saja dari kantin, terlihat dari minuman dan makanan ringan yang mereka bawa.“Hai, Tiang Listrik!” Uta menyapa. Tapi
Silvi baru saja ingin meletakkan tas ke dalam laci, saat ia melihat sesuatu di dalamnya. Tangannya terulur mengambil sesuatu yang ia yakin tak menaruhnya sama sekali. Matanya berbinar, melihat dua coklat silver queen dan sebungkus roti. Tak hanya itu, ada satu botol air mineral di sana.Wajah Silvi tampak bahagia mendapat itu semua. Namun, Silvi bingung siapa yang meletakkannya. Ia menebak satu nama yang selama ini diam-diam berbaik hati padanya, tapi tebakan itu seolah terbantah saat ia melihat Araska masuk kelas sambil bercanda ria bersama teman-temannya. Itu menandakan bahwa ia baru datang, dan tidak mungkin rasanya jika ia yang memberikan coklat itu.Silvi menyerah untuk menebak, karena selain Araska, tidak ada yang peduli padanya selama ini. Gadis itu menyimpan coklat itu ke dalam tas yang talinya entah sudah ada berapa jahitan. Mungkin hari ini memang rezeki Silvi, karena ada yang berbaik hati memberinya makanan, itu rezeki dari Tuhan.Setidaknya hari ini Silvi tak harus menahan
Sekolah masih lumayan sepi saat Silvi sampai di gerbang sekolah. Hanya ada beberapa motor guru, dan beberapa siswa yang juga baru datang seperti dirinya. Hari ini gadis itu datang lebih awal. Bukan karena ada PR atau tugas piket kelas yang harus ia kerjakan. Hanya saja ia ingin memastikan sesuatu. Sesuatu yang beberapa hari ini mengusik rasa penasarannya.Langkah kaki jenjang Silvi menuju ke kelas. Lalu, saat sampai di depan kelas, ia memelankan langkah agar tak ada suara sepatu yang berbunyi, karena terlihat kepala seseorang dari jendela kaca. Dengan hati-hati Silvi mengintip dari luar jendela. Terlihat ada seorang siswa yang berdiri di dekat mejanya, hanya punggungnya yang terlihat, bukan wajahnya hingga gadis itu sulit menebak. Lalu bocah lelaki itu mengeluarkan beberapa makanan dari dalam tas, dan meletakkannya di dalam laci di meja Silvi.Silvi penasaran, sejak seminggu terakhir selalu ada makanan dalam lacinya. Kadang roti, kadang gorengan, kadang makanan ringan. Setiap pagi Sil
“Ciee ... Araska diam-diam pacaran sama Silvi.”“Ciee ... yang baru jadian sama Silvi.”“Selamat yah!” Rangga kembali tertawa.Suasana terlalu riuh saat seisi kelas menertawakan Araska. Kejadian itu dimulai saat Rangga, salah satu teman kelas Araska mendapati anak lelaki itu ketahuan meletakkan sesuatu di dalam laci milik Silvi.Rangga mendekat untuk memastikan apa yang dimasukkan Araska, lalu tawa Rangga pecah saat melihat beberapa makanan dan minuman yang dibungkus kresek."Biasa aja, elah!" Araska menoyor kepala temannya. Ia tak suka dikatai sebagai pacar Silvi, bagaimana bisa ia menyukainya jika penampilan Silvi saja bikin eneg. Rambut awut-awutan, dipotong pendek pula. Belum lagi tubuh kurus dan jalannya yang sedikit membungkuk. Araska benar-benar geli mendengar ejekan teman-temannya.Lalu, yang dilakukan Araska untuk apa sebenarnya? Ia juga bingung kenapa ada rasa peduli yang besar ketika melihat ekspresi wajah Silvi. Entah saat belajar di kelas, saat olah raga, atau saat jam i
Bel pulang berbunyi. Araska terlihat buru-buru mengemas buku ke dalam tas ranselnya. Baru saja kakinya akan melangkah keluar saat seseorang memanggil namanya.“Araska!” Araska menoleh, merasa namanya dipanggil.“Kamu kenapa sih, Ar? Marah sama aku?” tanya Uta ingin tahu.“Kenapa apanya?” sahut Araska datar.“Aku ngerasa kamu kayak jaga jarak dari aku.” Kembali Uta berucap pelan dan hati-hati.Araska diam, tatapannya tajam ditambah senyum sinisnya. Bukankah lebih baik tak menjelaskan kesalahan orang lain yang sebenarnya ia sendiri tahu?Araska melanjutkan langkah. Tak peduli di belakangnya Uta terus memanggil namanya. Harusnya yang dipanggil bukanlah dirinya, melainkan gadis yang selama ini dirundungnya. Silvi.Setelah kejadian hari itu, Araska tak lagi berbicara dengan Uta atau dua temannya. Sebagai ketua kelas, ya sebagai ketua kelas Araska merasa harus menyadarkan Uta bahwa yang dilakukannya kemarin dan hari-hari sebelumnya adalah salah. Araska tak lagi berbicara pada mereka. Bahka
Ibu Silvi masih berbaring di atas kasur lepek yang kadang bau apeknya tercium. Atau jika sedang musim hujan bau tak sedap itu lebih sering terendus hidung, karena di bagian kaki biasanya mereka menampung tetes-tetes air yang turun dari genteng bocor, air itu kadang merembes hingga membuat Silvi harus menjemur saat pagi. Hera baru saja diurut Mbok Nem. Perempuan tua itu mengatakan bahwa kondisi Hera tak apa-apa, hanya sedikit terkilir dan sudah diatasi olehnya. Silvi tak lagi khawatir setelah mendengar penuturan Mbok Nem, sedangkan Hera mencoba meyakinkan diri bahwa dirinya memang baik-baik saja dan akan bekerja lagi setelah sembuh. Untuk orang miskin sepertinya lebih baik menyugesti diri dengan meyakini baik-baik saja, meskipun sakit di lengannya masih sangat terasa, karena untuk ke rumah sakit dan diperiksa oleh ahlinya pun tak mungkin, tak ada biaya. “Dari mana aja?” tanya Hera saat Silvi membuka pintu kamar mereka. Silvi menatap ibunya sekilas. Lalu, menjawab dengan ragu dan sedi