Sekolah masih lumayan sepi saat Silvi sampai di gerbang sekolah. Hanya ada beberapa motor guru, dan beberapa siswa yang juga baru datang seperti dirinya. Hari ini gadis itu datang lebih awal. Bukan karena ada PR atau tugas piket kelas yang harus ia kerjakan. Hanya saja ia ingin memastikan sesuatu. Sesuatu yang beberapa hari ini mengusik rasa penasarannya.Langkah kaki jenjang Silvi menuju ke kelas. Lalu, saat sampai di depan kelas, ia memelankan langkah agar tak ada suara sepatu yang berbunyi, karena terlihat kepala seseorang dari jendela kaca. Dengan hati-hati Silvi mengintip dari luar jendela. Terlihat ada seorang siswa yang berdiri di dekat mejanya, hanya punggungnya yang terlihat, bukan wajahnya hingga gadis itu sulit menebak. Lalu bocah lelaki itu mengeluarkan beberapa makanan dari dalam tas, dan meletakkannya di dalam laci di meja Silvi.Silvi penasaran, sejak seminggu terakhir selalu ada makanan dalam lacinya. Kadang roti, kadang gorengan, kadang makanan ringan. Setiap pagi Sil
“Ciee ... Araska diam-diam pacaran sama Silvi.”“Ciee ... yang baru jadian sama Silvi.”“Selamat yah!” Rangga kembali tertawa.Suasana terlalu riuh saat seisi kelas menertawakan Araska. Kejadian itu dimulai saat Rangga, salah satu teman kelas Araska mendapati anak lelaki itu ketahuan meletakkan sesuatu di dalam laci milik Silvi.Rangga mendekat untuk memastikan apa yang dimasukkan Araska, lalu tawa Rangga pecah saat melihat beberapa makanan dan minuman yang dibungkus kresek."Biasa aja, elah!" Araska menoyor kepala temannya. Ia tak suka dikatai sebagai pacar Silvi, bagaimana bisa ia menyukainya jika penampilan Silvi saja bikin eneg. Rambut awut-awutan, dipotong pendek pula. Belum lagi tubuh kurus dan jalannya yang sedikit membungkuk. Araska benar-benar geli mendengar ejekan teman-temannya.Lalu, yang dilakukan Araska untuk apa sebenarnya? Ia juga bingung kenapa ada rasa peduli yang besar ketika melihat ekspresi wajah Silvi. Entah saat belajar di kelas, saat olah raga, atau saat jam i
Bel pulang berbunyi. Araska terlihat buru-buru mengemas buku ke dalam tas ranselnya. Baru saja kakinya akan melangkah keluar saat seseorang memanggil namanya.“Araska!” Araska menoleh, merasa namanya dipanggil.“Kamu kenapa sih, Ar? Marah sama aku?” tanya Uta ingin tahu.“Kenapa apanya?” sahut Araska datar.“Aku ngerasa kamu kayak jaga jarak dari aku.” Kembali Uta berucap pelan dan hati-hati.Araska diam, tatapannya tajam ditambah senyum sinisnya. Bukankah lebih baik tak menjelaskan kesalahan orang lain yang sebenarnya ia sendiri tahu?Araska melanjutkan langkah. Tak peduli di belakangnya Uta terus memanggil namanya. Harusnya yang dipanggil bukanlah dirinya, melainkan gadis yang selama ini dirundungnya. Silvi.Setelah kejadian hari itu, Araska tak lagi berbicara dengan Uta atau dua temannya. Sebagai ketua kelas, ya sebagai ketua kelas Araska merasa harus menyadarkan Uta bahwa yang dilakukannya kemarin dan hari-hari sebelumnya adalah salah. Araska tak lagi berbicara pada mereka. Bahka
Ibu Silvi masih berbaring di atas kasur lepek yang kadang bau apeknya tercium. Atau jika sedang musim hujan bau tak sedap itu lebih sering terendus hidung, karena di bagian kaki biasanya mereka menampung tetes-tetes air yang turun dari genteng bocor, air itu kadang merembes hingga membuat Silvi harus menjemur saat pagi. Hera baru saja diurut Mbok Nem. Perempuan tua itu mengatakan bahwa kondisi Hera tak apa-apa, hanya sedikit terkilir dan sudah diatasi olehnya. Silvi tak lagi khawatir setelah mendengar penuturan Mbok Nem, sedangkan Hera mencoba meyakinkan diri bahwa dirinya memang baik-baik saja dan akan bekerja lagi setelah sembuh. Untuk orang miskin sepertinya lebih baik menyugesti diri dengan meyakini baik-baik saja, meskipun sakit di lengannya masih sangat terasa, karena untuk ke rumah sakit dan diperiksa oleh ahlinya pun tak mungkin, tak ada biaya. “Dari mana aja?” tanya Hera saat Silvi membuka pintu kamar mereka. Silvi menatap ibunya sekilas. Lalu, menjawab dengan ragu dan sedi
Hari ini Silvi kembali sekolah, meskipun kondisi ibunya belum pulih seperti semula.Gadis itu berjalan menyusuri koridor hingga ia sampai di depan kelasnya. Anak-anak sudah ramai yang datang, termasuk Araska di meja paling depan. Suasana ujian mulai terasa, terlihat dari seisi kelas datang lebih awal dan duduk membuka buku pelajaran. Silvi sendiri, selama beberapa hari ini tidak belajar karena ia terlalu lelah merawat ibunya dan mengerjakan pekerjaan rumah sendirian.Saat itu Araska sedang menulis entah apa, mungkin catatan atau mengerjakan prediksi soal-soal ujian. Ia tersenyum saat melihat Silvi dari arah pintu. Senyum yang menurut Silvi seolah memberi sambutan atas kehadirannya kembali. Lalu, Araska kembali fokus pada bukunya setelah memastikan Silvi datang dalam keadaan baik-baik saja.Sementara Silvi, diam-diam masih memperhatikan Araska yang sedang fokus dengan penanya yang bergerak-gerak menulis sesuatu di buku.Silvi berjalan ke barisan bangku sudut paling belakang, selang sa
Ujian telah usai dan hasilnya telah ditentukan. Mereka mendapat hasil dari belajar keras selama ini. Silvi juga ikut dalam daftar nama siswa yang lulus, meskipun nilainya pas-pasan, tapi setidaknya kali ini ia tidak berada di posisi paling bawah. Matahari begitu terik di atas kepala siswa-siswi yang bersorak gembira. Bersorak demi mendukung salah satu jagoannya. Sementara di tengah lapangan terlihat dua siswa yang sedang berguling-guling adu kekuatan. Araska dan Rangga adu jotos, seolah ingin menunjukkan siapa yang terkuat diantara mereka.“Sudah keperingatkan!” Araska meninju lawannya. Ada amarah yang begitu membuncah di dalam dadanya.Rangga, sebagian wajahnya telah memar dipukul oleh Araska. Ia tak tahu apa penyebab si ketua kelas itu memukulnya. Hari ini, hari kelulusan murid kelas enam. Mereka mengadakan perpisahan kecil-kecilan seperti yang dijanjikan. Ada serangkaian acara yang diselenggarakan. Diantaranya ucapan terima kasih untuk guru, salam-salaman, hingga pengumuman lulus
Setelah menikmati libur panjang, Silvi kembali bersekolah. Namun, bukan lagi ke sekolah lama. Gadis itu berusia dua belas tahun sekarang, dan mulai duduk di bangku kelas satu SMP.Senin. Hari ini pertama kali ia pergi ke sekolah. Sekolah itu terletak tak begitu jauh dari rumah Silvi, tapi ia dan kebanyakan anak-anak lain di sana selalu naik bus atau angkot yang lewat. Kadang bus sekolah yang menuju ke arah sekolahnya penuh, maka anak-anak akan menunggu angkot lain agar tak terlambat datang ke sekolah.Tangan Silvi membuat gerakan memberhentikan sebuah bus yang lewat. Bus benar-benar berhenti tepat di depannya. Namun, bus itu terlihat begitu penuh, mungkin karena hari pertama sekolah, atau karena mereka semua takut jika akan terlambat sampai dan tak bisa mengikuti upacara.“Penuh, Dek!” ucap seorang siswa yang memakai seragam SMA, sambil melihat Silvi dari atas sampai ke bawah. Sama sekali tak enak dilihat.Silvi sudah makin tumbuh, ia sudah mulai mengikat rambut sebahunya agar tak ter
Silvi merasa suasana sekolah SMP tak jauh berbeda dengan SD, meskipun pelajarannya terlihat sulit, tapi itu tak membuat sebagian temannya menghabiskan waktu untuk belajar. Kadang di waktu-waktu tertentu, mereka masih sempat membully Silvi, terutama Uta dan temannya. Saat pendaftaran waktu itu, Silvi berdoa agar satu kelas dengan Araska. Allah mengabulkan doa pertamanya. Tapi, tidak dengan doa kedua, karena saat ini Silvi juga satu kelas dengan Uta dan gengnya. Padahal ia berdoa agar tak satu kelas lagi dengan Uta. Berharap ia menemukan teman-teman baru di sana, agar hidupnya tak merasa bosan dan kesepian.Sejak saat itu Silvi memang menghindar dari Uta dan teman-temannya. Gadis itu hanya mengikuti nasehat ibunya, untuk tidak berteman dengan mereka yang memandang rendah dirinya.Silvi membuka tas, mencari sebuah buku bersampul cokelat. Buku yang hari ini akan dikumpulkan untuk penilaian pelajaran Bahasa Indonesia. Pak guru menyuruh mereka untuk membuat sebuah review dari cerpen yang a