Bel pulang berbunyi. Araska terlihat buru-buru mengemas buku ke dalam tas ranselnya. Baru saja kakinya akan melangkah keluar saat seseorang memanggil namanya.“Araska!” Araska menoleh, merasa namanya dipanggil.“Kamu kenapa sih, Ar? Marah sama aku?” tanya Uta ingin tahu.“Kenapa apanya?” sahut Araska datar.“Aku ngerasa kamu kayak jaga jarak dari aku.” Kembali Uta berucap pelan dan hati-hati.Araska diam, tatapannya tajam ditambah senyum sinisnya. Bukankah lebih baik tak menjelaskan kesalahan orang lain yang sebenarnya ia sendiri tahu?Araska melanjutkan langkah. Tak peduli di belakangnya Uta terus memanggil namanya. Harusnya yang dipanggil bukanlah dirinya, melainkan gadis yang selama ini dirundungnya. Silvi.Setelah kejadian hari itu, Araska tak lagi berbicara dengan Uta atau dua temannya. Sebagai ketua kelas, ya sebagai ketua kelas Araska merasa harus menyadarkan Uta bahwa yang dilakukannya kemarin dan hari-hari sebelumnya adalah salah. Araska tak lagi berbicara pada mereka. Bahka
Ibu Silvi masih berbaring di atas kasur lepek yang kadang bau apeknya tercium. Atau jika sedang musim hujan bau tak sedap itu lebih sering terendus hidung, karena di bagian kaki biasanya mereka menampung tetes-tetes air yang turun dari genteng bocor, air itu kadang merembes hingga membuat Silvi harus menjemur saat pagi. Hera baru saja diurut Mbok Nem. Perempuan tua itu mengatakan bahwa kondisi Hera tak apa-apa, hanya sedikit terkilir dan sudah diatasi olehnya. Silvi tak lagi khawatir setelah mendengar penuturan Mbok Nem, sedangkan Hera mencoba meyakinkan diri bahwa dirinya memang baik-baik saja dan akan bekerja lagi setelah sembuh. Untuk orang miskin sepertinya lebih baik menyugesti diri dengan meyakini baik-baik saja, meskipun sakit di lengannya masih sangat terasa, karena untuk ke rumah sakit dan diperiksa oleh ahlinya pun tak mungkin, tak ada biaya. “Dari mana aja?” tanya Hera saat Silvi membuka pintu kamar mereka. Silvi menatap ibunya sekilas. Lalu, menjawab dengan ragu dan sedi
Hari ini Silvi kembali sekolah, meskipun kondisi ibunya belum pulih seperti semula.Gadis itu berjalan menyusuri koridor hingga ia sampai di depan kelasnya. Anak-anak sudah ramai yang datang, termasuk Araska di meja paling depan. Suasana ujian mulai terasa, terlihat dari seisi kelas datang lebih awal dan duduk membuka buku pelajaran. Silvi sendiri, selama beberapa hari ini tidak belajar karena ia terlalu lelah merawat ibunya dan mengerjakan pekerjaan rumah sendirian.Saat itu Araska sedang menulis entah apa, mungkin catatan atau mengerjakan prediksi soal-soal ujian. Ia tersenyum saat melihat Silvi dari arah pintu. Senyum yang menurut Silvi seolah memberi sambutan atas kehadirannya kembali. Lalu, Araska kembali fokus pada bukunya setelah memastikan Silvi datang dalam keadaan baik-baik saja.Sementara Silvi, diam-diam masih memperhatikan Araska yang sedang fokus dengan penanya yang bergerak-gerak menulis sesuatu di buku.Silvi berjalan ke barisan bangku sudut paling belakang, selang sa
Ujian telah usai dan hasilnya telah ditentukan. Mereka mendapat hasil dari belajar keras selama ini. Silvi juga ikut dalam daftar nama siswa yang lulus, meskipun nilainya pas-pasan, tapi setidaknya kali ini ia tidak berada di posisi paling bawah. Matahari begitu terik di atas kepala siswa-siswi yang bersorak gembira. Bersorak demi mendukung salah satu jagoannya. Sementara di tengah lapangan terlihat dua siswa yang sedang berguling-guling adu kekuatan. Araska dan Rangga adu jotos, seolah ingin menunjukkan siapa yang terkuat diantara mereka.“Sudah keperingatkan!” Araska meninju lawannya. Ada amarah yang begitu membuncah di dalam dadanya.Rangga, sebagian wajahnya telah memar dipukul oleh Araska. Ia tak tahu apa penyebab si ketua kelas itu memukulnya. Hari ini, hari kelulusan murid kelas enam. Mereka mengadakan perpisahan kecil-kecilan seperti yang dijanjikan. Ada serangkaian acara yang diselenggarakan. Diantaranya ucapan terima kasih untuk guru, salam-salaman, hingga pengumuman lulus
Setelah menikmati libur panjang, Silvi kembali bersekolah. Namun, bukan lagi ke sekolah lama. Gadis itu berusia dua belas tahun sekarang, dan mulai duduk di bangku kelas satu SMP.Senin. Hari ini pertama kali ia pergi ke sekolah. Sekolah itu terletak tak begitu jauh dari rumah Silvi, tapi ia dan kebanyakan anak-anak lain di sana selalu naik bus atau angkot yang lewat. Kadang bus sekolah yang menuju ke arah sekolahnya penuh, maka anak-anak akan menunggu angkot lain agar tak terlambat datang ke sekolah.Tangan Silvi membuat gerakan memberhentikan sebuah bus yang lewat. Bus benar-benar berhenti tepat di depannya. Namun, bus itu terlihat begitu penuh, mungkin karena hari pertama sekolah, atau karena mereka semua takut jika akan terlambat sampai dan tak bisa mengikuti upacara.“Penuh, Dek!” ucap seorang siswa yang memakai seragam SMA, sambil melihat Silvi dari atas sampai ke bawah. Sama sekali tak enak dilihat.Silvi sudah makin tumbuh, ia sudah mulai mengikat rambut sebahunya agar tak ter
Silvi merasa suasana sekolah SMP tak jauh berbeda dengan SD, meskipun pelajarannya terlihat sulit, tapi itu tak membuat sebagian temannya menghabiskan waktu untuk belajar. Kadang di waktu-waktu tertentu, mereka masih sempat membully Silvi, terutama Uta dan temannya. Saat pendaftaran waktu itu, Silvi berdoa agar satu kelas dengan Araska. Allah mengabulkan doa pertamanya. Tapi, tidak dengan doa kedua, karena saat ini Silvi juga satu kelas dengan Uta dan gengnya. Padahal ia berdoa agar tak satu kelas lagi dengan Uta. Berharap ia menemukan teman-teman baru di sana, agar hidupnya tak merasa bosan dan kesepian.Sejak saat itu Silvi memang menghindar dari Uta dan teman-temannya. Gadis itu hanya mengikuti nasehat ibunya, untuk tidak berteman dengan mereka yang memandang rendah dirinya.Silvi membuka tas, mencari sebuah buku bersampul cokelat. Buku yang hari ini akan dikumpulkan untuk penilaian pelajaran Bahasa Indonesia. Pak guru menyuruh mereka untuk membuat sebuah review dari cerpen yang a
Silvi bangun pagi dengan tak bersemangat. Rasanya ia begitu malas untuk ke sekolah. Kejadian hari itu cukup membuat rasa percaya dirinya terkikis. Ia merasa seperti ditelanjangi di depan keramaian.Sejak ketahuan menulis bait-bait cinta di buku diarynya, Silvi menjauh dari sosok Araska. Ia malu. Malu karena telah membiarkan hatinya begitu lancang merawat rasa untuk Araska. Sedangkan lelaki itu punya segalanya yang tak Silvi punya. Lalu di mana Silvi akan berdiri untuk menyeimbangkan posisinya?Silvi bahkan tak berani menatap Araska, saat di kelas, atau saat berpapasan di koridor, atau saat ada tugas kelompok, dan lagi-lagi hanya Araska yang mau menerima Silvi untuk satu kelompok dengannya. Sisi kemanusiaannya berpikir, bahwa menyedihkan jika tak menjadi pilihan dan diabaikan. Ketika melihat Silvi, lelaki yang mulai beranjak remaja itu selalu membayangkan kehidupan gadis itu, dan sisi kemanusiaannya kembali mendominasi.Sementara Araska bersikap seperti biasanya. Meskipun ia tahu, di b
Araska sedang membaca buku di taman sekolah. Lembar demi lembar ia buka demi memenuhi hasrat ingin belajarnya. Araska persis seperti papanya, giat belajar.“Derajat seseorang itu bisa terangkat dengan adanya ilmu.” Papa Araska berucap suatu malam saat menemaninya tidur.Saat itu Araska masih kelas dua Sekolah Dasar, ia tak terlalu mengerti apa maksud papanya. Tapi, yang ia tahu ia harus tetap belajar. Baginya dengan begitu, berati Araska menjadi anak yang membanggakan karena mendengar nasehat sang papa.Saat Araska mulai bisa berpikir lebih dalam, ia melihat guru-gurunya. Mereka dihargai karena ilmu dan didikan yang dilakukan. Araska menyimpulkan satu hal yang menurutnya benar.Atau ketika sang papa mengatakan, bahwa seorang lelaki itu harus bisa melindungi. Awalnya Araska juga tak mengerti. Namun, semakin ke sini, ia merasa seolah ucapan papa selalu bisa ia turuti. Saat di sekolah lama, Araska terbiasa menjaga Dara, anak tetangganya. Sekarang, Araska juga seolah ditugaskan untuk menj
“Andri ada?”Milly membuka pintu saat bel di pintu berbunyi. Gadis itu sedikit terpaku, lalu tersenyum pada Araska yang berdiri di depannya.Araska ingin menemui Andri. Semalam ia berpikir cukup lama untuk mencari cara menyatakan perasaannya pada gadis itu. Ia yakin Andri bisa merasakan debar cinta antara keduanya. Namun, Araska harus memperjelas dengan cara yang lebih serius. Araska selama ini menjaga. Araska ingin tahu seperti apa muara rasa itu, setelah sekian lama terpisah, menjalani alur hidup masing-masing. Lalu bersama, kembali dipertemukan dalam keadaan yang tak sama.Araska mencoba mengirimkan pesan untuk Andri, tapi hanya centang satu. Lalu, ia menghapusnya dan mengambil kesimpulan untuk bertemu langsung. Ia menghubungi, tapi nomor gadis itu tak tersambung. Sebab itu, Araska sekarang berdiri di depan rumah Andri. Mengetuk pintu, berharap gadis itu yang membukanya. Namun, yang kini di depannya bukanlah gadis yang ia tuju.“Dia balik ke Samarinda.” Milly menjawab setelah sepe
“Kamu yang lagi nyeka air mata, berbaliklah!”Araska mengulang kalimat itu.Andri yang sedang melangkah, terpaksa berhenti seolah sedang diperintahkan untuk berhenti. Ia berdiri sejenak, bergelut dengan pikirannya sendiri. Gadis itu tak berani melihat ke belakang, karena akan ketahuan sedang menangis. Itu memalukan.Kepalang tanggung melangkah, ia tak bisa bersikap terlalu kepedean dengan mengira bahwa Araska menyuruhnya berhenti. Siapa tahu, Milly di sudut sana juga sedang terharu karena tersentuh dengan lagu yang dinyanyikan Araska. Itu akan lebih memalukan jika ternyata bukan dia yang dimaksud Araska.Andri kembali melangkah, tak peduli dengan kalimat barusan yang nyatanya akan semakin membuat hatinya ragu untuk melepaskan.“Kamu yang terus melangkah meski disuruh balik, berhentilah!”Dari mikrofon itu kembali terdengar suara Araska. Bodo amat! Andri tetap melangkah hingga hampir sampai di pintu depan.Bukan dirinya! Pikir Andri.“Kamu, Silvi Andriani, kemarilah!”Andri berhenti, d
Halaman rumah Naya telah disulap sedemikian rupa. Aneka hiasan, balon-balon menggantung di udara. Makanan mewah juga banyak tersaji di meja. Atas persetujuan Andri, Naya menggelar acara untuk ulang tahun gadis itu; ulang tahun ke dua puluh satu.Sebelumnya, Andri tak pernah mau merayakan dengan banyak orang. Namun, kali ini gadis itu merasa harus merayakan setiap kemenangan yang ia lalui bersama Naya, dan orang-orang terdekatnya.Pesta yang tak terlalu besar, karena hanya dihadiri oleh keluarga, juga anak-anak panti dan dua pengasuh yang tak luput dari undangan istimewa bagi Andri.Anak-anak panti terlihat bahagia dengan acara mewah dan makanan yang aneka ragamnya. Mereka juga telah menyiapkan rencana kejutan untuk Andri.Andri turun dari tangga dengan mata yang ditutup oleh Ejaz. Gadis yang mengenakan gaun berwarna marun itu berjalan perlahan, matanya terlalu gelap.Andri tetap melangkah pelan, hingga tangannya dipegang Ejaz untuk berhenti. Andri tahu, mungkin keluarganya sedang memb
Andri bangun dengan mata yang sembab. Pagi ini, ia mencoba berhenti menangisi kisah cintanya untuk kedua kali. Namun, bukan berarti ia bisa bangkit secepat itu dari rasa terpuruknya. Gadis itu mencoba berpikir positif tentang hubungan Araska dan Milly. Namun, kebersamaan mereka semakin jauh dari harus berprasangka hanya teman, atau kebetulan.Pagi itu, Milly kembali keluar dengan gitar di punggung. “Gitar baru?” Andri bertanya penuh selidik. Karena yang ia tahu, gitar Milly sudah dirusak oleh papanya.Milly mengangguk. Senyumnya merekah sambil mengelus gitar baru yang ia miliki.“Mama beli?” Kembali Andri bertanya.“Bukan.”“Jadi?”“Araska.”Seolah ada beribu pisau yang menyayat hati Andri secara bersamaan, seiring dengan nama itu disebutkan. Araska membeli gitar untuk Milly, itu artinya lelaki itu sedang mengembalikan hal berharga dalam hidup gadis itu. Sialnya, ia tak bisa mengembalikan hal berharga dalam hidup Andri. Cinta. Rasa itu masih saja menekan hati Andri sendirian, tanpa b
Andri sedang membaca beberapa buku untuk melengkapi tugas-tugas kuliah yang semakin hari semakin banyak. Setelah selesai dengan mata kuliah magang, kini ia harus membuat laporan magang. Andri bahkan menolak beberapa tawaran pemotretan dan iklan, ia ingin fokus kuliah, karena hari libur pun terasa seperti Senin baginya kini.Gadis itu menatap layar laptop di depannya sambil mengetikkan sesuatu di sana. Di depannya ada secangkir teh dan camilan yang ia minta disiapkan oleh Mbok Nah.Matahari telah naik setengahnya, menyisakan warna jingga menghampar indah di bumi. Sebagian cahayanya masuk melalui jendela kaca di kamar Andri. Di bawah sana, ada tanaman hias dan kolam ikan koi yang juga ikut menikmati keindahan senja. Dalam fokusnya, Andri masih mendengar pintu diketuk seseorang. Tanpa menoleh, gadis itu menyuruh masuk, dari suaranya ia tahu siapa yang datang ke kamarnya.Pintu terbuka, terlihat wajah seseorang menyembul dari baliknya.Milly masuk dan mendekati Andri yang terlihat sibuk
Andri melangkah ke kamar Naya dengan membawa satu nampan sarapan. Sejak beberapa hari, perempuan itu tidak turun dari kamarnya, setelah menghadapi proses pengadilan atas kasusnya yang menimpanya belasan tahun lalu.Aryan mengambil langkah tepat waktu, seperti telah memikirkan banyak hal dan konsekuensinya. Lelaki itu menyerahkan diri, sebelum genap dua belas tahun kejahatan yang ia lakukan pada Naya.Menurut hukum yang berlaku, kakus pemerkosaan akan kadaluwarsa selama dua belas tahun, jika menurut hukum, pelaku akan mendapatkan lebih dari tiga tahun penjara.Kasus Naya belasan tahun lalu, itu terjadi saat usianya masih dua puluh delapan waktu itu, sebentar lagi akan kadaluwarsa waktunya jika saja ia tak menuntut segera. Bahkan, jika ia menuntut dalam kurun waktu lebih dari dua belas tahun, maka ia bisa dituntut balik atas dasar pencemaran nama baik.Naya bahkan tak berani untuk pergi bekerja, ia tak bisa membayangkan bagaimana media akan merekam wajahnya. Orang-orang akan melihatnya
Naya dan kedua putrinya berkumpul di meja makan. Pagi ini Naya memasak nasi uduk untuk sarapan. Ia menggantikan peran Mbok Nah yang izin pulang kampung karena anaknya sakit. Pun, sudah menjadi kebiasaan Naya saat sedang stres, ia akan melakukan aktivitas untuk mengalihkan perasaan itu. Sejak hari itu, Hadi dan Naya banyak berbincang tentang kehidupan mereka, juga dua anaknya yang akan diasuh. Hadi melepaskan Milly untuk diasuh dan tinggal bersama Naya, sedangkan Ejaz akan tetap tinggal bersama papanya. Dua anak itu tak lagi diperebutkan seperti dulu, atau tak lagi ada yang merasa tak rela karena sama sekali tak bisa merengkuhnya. Hadi dan Naya bisa kapan saja menjenguk buah hatinya, tanpa batasan. Itu perjanjian mereka.“Ma, apa nggak sebaiknya mama rujuk sama papa?” Di sela suapannya, Milly bertanya hati-hati. Sebagai seorang anak, ia pasti ingin orangtuanya bersatu dalam satu ikatan, dalam satu rumah.Naya yang sedang makan, menghela napas berat, sejenak menatap Milly dengan serius
“Finally, kita bertemu di sini, Tuan Aryan!” ucap Andri menyinggung ketenangan lelaki itu. Andri meletakkan satu dokumen yang harus ditandatangani founder perusahaan itu.Berkas dari atasan magang yang meminta pertolongannya untuk diantar ke ruang Aryan.Aryan sedang memeriksa beberapa berkas di mejanya, saat Andri masuk dan mengucapkan kalimat yang membuatnya mendongak. Lelaki itu melihat wajah yang terlalu lancang untuk masuk ke ruangannya. “Kau siapa?” Aryan bertanya. Lelaki itu tahu bahwa gadis di depannya merupakan salah satu karyawan baru, ia bisa melihat tanda pengenal yang tergantung di lehernya. Namun, kalimat tak sopan yang keluar dari mulut gadis itu barusan menyiratkan seolah mereka punya urusan sebelumnya.Seingat Aryan, ia masih punya sekretaris di ruang sebelum ruangannya. Ia bingung kenapa gadis itu lolos masuk tanpa pemberitahuan dari sang sekretaris. Ah, Aryan baru melihat gadis baru saja meletakkan sebuah map. Siapa saja bisa masuk untuk alasan tanda tangan.Aryan
“Jaz, kita jemput Milly ya.” Pagi. Hadi dan Ejaz sedang menyantap sarapan. Lelaki itu menatap papanya, sedikit ragu untuk mengiyakan. Pun, semalam ia bertanya pada adiknya tentang keadaannya di sana. Milly tampak baik-baik saja di sana, membuat Ejaz merasa kasihan jika harus dipaksa pulang.Sejak Milly di rumah mama, Ejaz sering datang menemui. Ia rindu cerewetnya sang adik, juga merindukan mama yang telah lama tak tinggal di sisinya.Dengan berat hati, akhirnya Ejaz mengiyakan ajakan papanya. Meskipun tak bisa dibayangkan apa yang akan terjadi saat papa kembali bertemu dengan mama. *Hadi turun dari mobil bersama Ejaz setelah lelaki itu mematikan mesin mobilnya. Terlihat oleh mereka sebuah mobil berwarna silver diparkir di depannya. Hadi melangkah masuk ke halaman rumah yang lumayan luas itu. Berdiri di sana seorang satpam dan bebarapa asisiten rumah tangga, mereka tersenyum pada Hadi, tapi wajahnya terlihat tegang.Langkah itu berhenti sejenak. Hadi dan Ejaz berdiri tak jauh dari