Hari ini Silvi kembali sekolah, meskipun kondisi ibunya belum pulih seperti semula.Gadis itu berjalan menyusuri koridor hingga ia sampai di depan kelasnya. Anak-anak sudah ramai yang datang, termasuk Araska di meja paling depan. Suasana ujian mulai terasa, terlihat dari seisi kelas datang lebih awal dan duduk membuka buku pelajaran. Silvi sendiri, selama beberapa hari ini tidak belajar karena ia terlalu lelah merawat ibunya dan mengerjakan pekerjaan rumah sendirian.Saat itu Araska sedang menulis entah apa, mungkin catatan atau mengerjakan prediksi soal-soal ujian. Ia tersenyum saat melihat Silvi dari arah pintu. Senyum yang menurut Silvi seolah memberi sambutan atas kehadirannya kembali. Lalu, Araska kembali fokus pada bukunya setelah memastikan Silvi datang dalam keadaan baik-baik saja.Sementara Silvi, diam-diam masih memperhatikan Araska yang sedang fokus dengan penanya yang bergerak-gerak menulis sesuatu di buku.Silvi berjalan ke barisan bangku sudut paling belakang, selang sa
Ujian telah usai dan hasilnya telah ditentukan. Mereka mendapat hasil dari belajar keras selama ini. Silvi juga ikut dalam daftar nama siswa yang lulus, meskipun nilainya pas-pasan, tapi setidaknya kali ini ia tidak berada di posisi paling bawah. Matahari begitu terik di atas kepala siswa-siswi yang bersorak gembira. Bersorak demi mendukung salah satu jagoannya. Sementara di tengah lapangan terlihat dua siswa yang sedang berguling-guling adu kekuatan. Araska dan Rangga adu jotos, seolah ingin menunjukkan siapa yang terkuat diantara mereka.“Sudah keperingatkan!” Araska meninju lawannya. Ada amarah yang begitu membuncah di dalam dadanya.Rangga, sebagian wajahnya telah memar dipukul oleh Araska. Ia tak tahu apa penyebab si ketua kelas itu memukulnya. Hari ini, hari kelulusan murid kelas enam. Mereka mengadakan perpisahan kecil-kecilan seperti yang dijanjikan. Ada serangkaian acara yang diselenggarakan. Diantaranya ucapan terima kasih untuk guru, salam-salaman, hingga pengumuman lulus
Setelah menikmati libur panjang, Silvi kembali bersekolah. Namun, bukan lagi ke sekolah lama. Gadis itu berusia dua belas tahun sekarang, dan mulai duduk di bangku kelas satu SMP.Senin. Hari ini pertama kali ia pergi ke sekolah. Sekolah itu terletak tak begitu jauh dari rumah Silvi, tapi ia dan kebanyakan anak-anak lain di sana selalu naik bus atau angkot yang lewat. Kadang bus sekolah yang menuju ke arah sekolahnya penuh, maka anak-anak akan menunggu angkot lain agar tak terlambat datang ke sekolah.Tangan Silvi membuat gerakan memberhentikan sebuah bus yang lewat. Bus benar-benar berhenti tepat di depannya. Namun, bus itu terlihat begitu penuh, mungkin karena hari pertama sekolah, atau karena mereka semua takut jika akan terlambat sampai dan tak bisa mengikuti upacara.“Penuh, Dek!” ucap seorang siswa yang memakai seragam SMA, sambil melihat Silvi dari atas sampai ke bawah. Sama sekali tak enak dilihat.Silvi sudah makin tumbuh, ia sudah mulai mengikat rambut sebahunya agar tak ter
Silvi merasa suasana sekolah SMP tak jauh berbeda dengan SD, meskipun pelajarannya terlihat sulit, tapi itu tak membuat sebagian temannya menghabiskan waktu untuk belajar. Kadang di waktu-waktu tertentu, mereka masih sempat membully Silvi, terutama Uta dan temannya. Saat pendaftaran waktu itu, Silvi berdoa agar satu kelas dengan Araska. Allah mengabulkan doa pertamanya. Tapi, tidak dengan doa kedua, karena saat ini Silvi juga satu kelas dengan Uta dan gengnya. Padahal ia berdoa agar tak satu kelas lagi dengan Uta. Berharap ia menemukan teman-teman baru di sana, agar hidupnya tak merasa bosan dan kesepian.Sejak saat itu Silvi memang menghindar dari Uta dan teman-temannya. Gadis itu hanya mengikuti nasehat ibunya, untuk tidak berteman dengan mereka yang memandang rendah dirinya.Silvi membuka tas, mencari sebuah buku bersampul cokelat. Buku yang hari ini akan dikumpulkan untuk penilaian pelajaran Bahasa Indonesia. Pak guru menyuruh mereka untuk membuat sebuah review dari cerpen yang a
Silvi bangun pagi dengan tak bersemangat. Rasanya ia begitu malas untuk ke sekolah. Kejadian hari itu cukup membuat rasa percaya dirinya terkikis. Ia merasa seperti ditelanjangi di depan keramaian.Sejak ketahuan menulis bait-bait cinta di buku diarynya, Silvi menjauh dari sosok Araska. Ia malu. Malu karena telah membiarkan hatinya begitu lancang merawat rasa untuk Araska. Sedangkan lelaki itu punya segalanya yang tak Silvi punya. Lalu di mana Silvi akan berdiri untuk menyeimbangkan posisinya?Silvi bahkan tak berani menatap Araska, saat di kelas, atau saat berpapasan di koridor, atau saat ada tugas kelompok, dan lagi-lagi hanya Araska yang mau menerima Silvi untuk satu kelompok dengannya. Sisi kemanusiaannya berpikir, bahwa menyedihkan jika tak menjadi pilihan dan diabaikan. Ketika melihat Silvi, lelaki yang mulai beranjak remaja itu selalu membayangkan kehidupan gadis itu, dan sisi kemanusiaannya kembali mendominasi.Sementara Araska bersikap seperti biasanya. Meskipun ia tahu, di b
Araska sedang membaca buku di taman sekolah. Lembar demi lembar ia buka demi memenuhi hasrat ingin belajarnya. Araska persis seperti papanya, giat belajar.“Derajat seseorang itu bisa terangkat dengan adanya ilmu.” Papa Araska berucap suatu malam saat menemaninya tidur.Saat itu Araska masih kelas dua Sekolah Dasar, ia tak terlalu mengerti apa maksud papanya. Tapi, yang ia tahu ia harus tetap belajar. Baginya dengan begitu, berati Araska menjadi anak yang membanggakan karena mendengar nasehat sang papa.Saat Araska mulai bisa berpikir lebih dalam, ia melihat guru-gurunya. Mereka dihargai karena ilmu dan didikan yang dilakukan. Araska menyimpulkan satu hal yang menurutnya benar.Atau ketika sang papa mengatakan, bahwa seorang lelaki itu harus bisa melindungi. Awalnya Araska juga tak mengerti. Namun, semakin ke sini, ia merasa seolah ucapan papa selalu bisa ia turuti. Saat di sekolah lama, Araska terbiasa menjaga Dara, anak tetangganya. Sekarang, Araska juga seolah ditugaskan untuk menj
Hari itu Silvi membawa pulang perasan sedihnya. Perasaan gadis labil yang cintanya baru saja tertolak.Menjauhlah dariku!Kalimat itu lagi-lagi begitu mengganggu pikirannya. Kalimat yang diucapkan Araska begitu menohok batinnya. Ia merasa kembali dianggap sampah oleh orang yang begitu ia cintai, menurut perasaannya. Langkah Silvi gontai memasuki gang sempit tempat rumahnya berdiri tak kokoh. Ia berjalan melewati rumah demi rumah sebelum akhirnya sampai di gubuk miliknya. Gadis itu berdiri di depan pintu kayu yang telah lapuk, mengamati setiap bagian dari rumah itu.'Ck!’ Silvi berdecak. Gadis itu baru saja mengukur perbedaan Araska dan dirinya. Hal itu sukses membuatnya sadar diri, dan kembali merasa rendah.Silvi melangkah ke dalam, langsung menuju kamar dan berdiri di depan cermin usang yang bayangnya tak lagi sempurna. Ia mengamati setiap inci wajahnya. Alis tebal, bibir tebal dan wajah berwarna kusam khas anak miskin yang suka bergelut dengan sampah. Mana mungkin wajah dalam cer
Silvi membuka mata. Cahaya matahari pagi membuatnya terjaga. Gadis itu beringsut dari kasur lapuk itu dengan malasnya. Rasanya ia tak bersemangat sekolah, karena beberapa hari ini Araska tampak menepati janjinya, menepati kalimatnya untuk menjauh dari Silvi.Araska bahkan tak melihat dirinya, entah saat di kelas, saat sesekali mereka belajar di lab, atau di mana saja. Anak lelaki itu bertindak seolah tak mengenali Silvi. Setelah kejadian hari itu, mereka seolah menjadi dua orang asing yang tak saling kenal. Kadang karena merasa tak enak, Silvi ingin meminta maaf kembali, tapi ia takut pada dinginnya sikap Araska. Mungkin Araska merasa marah pada perasaan Silvi untuknya, sementara ia hanya menganggap teman biasa, hanya sebatas teman yang selalu ditolongnya. Tapi, perasaan itu Araska tak menginginkannya. Membayangkan penampilan Silvi saja membuatnya geli setengah mati, memang gadis itu tak lagi terlihat buluk, tapi tetap saja sangat berbeda dibandingkan anak lain. Araska memang ikhlas