Silvi membuka mata. Cahaya matahari pagi membuatnya terjaga. Gadis itu beringsut dari kasur lapuk itu dengan malasnya. Rasanya ia tak bersemangat sekolah, karena beberapa hari ini Araska tampak menepati janjinya, menepati kalimatnya untuk menjauh dari Silvi.Araska bahkan tak melihat dirinya, entah saat di kelas, saat sesekali mereka belajar di lab, atau di mana saja. Anak lelaki itu bertindak seolah tak mengenali Silvi. Setelah kejadian hari itu, mereka seolah menjadi dua orang asing yang tak saling kenal. Kadang karena merasa tak enak, Silvi ingin meminta maaf kembali, tapi ia takut pada dinginnya sikap Araska. Mungkin Araska merasa marah pada perasaan Silvi untuknya, sementara ia hanya menganggap teman biasa, hanya sebatas teman yang selalu ditolongnya. Tapi, perasaan itu Araska tak menginginkannya. Membayangkan penampilan Silvi saja membuatnya geli setengah mati, memang gadis itu tak lagi terlihat buluk, tapi tetap saja sangat berbeda dibandingkan anak lain. Araska memang ikhlas
Silvi terperanjat dari tidurnya kala pagi mulai menampakkan sinar cerahnya. Alam bawah sadarnya terus berpikir tentang ibu, meskipun ia semalaman tertidur karena terlalu lelah menangis. Mata gadis itu sedikit bengkak, juga kepalanya terasa sakit. Tangisan yang ia bawa tidur semalaman, kini kembali hadir hingga terdengar amat memilukan. Namun, gadis itu tetap ingin sekolah karena hari ini ada ulangan. Ia mencoba menepikan rasa sedihnya untuk saat ini, dan akan kembali mencari ibu saat pulang sekolah. Silvi yakin ibunya akan kembali pulang dan memeluknya.*“Chrisa deket, Bu.” Salah satu siswa menjawab ketika sang guru menanyakan jarak rumah Silvi dan teman-temannya.Saat itu pelajaran Bahasa Inggris sedang berlangsung. Sang guru menyuruh seorang siswa yang rumahnya paling dekat dengan Silvi untuk mengantarkan gadis itu pulang, karena tiba-tiba gadis itu menangis. Sakit perut katanya.Silvi menggeleng saat Bu Leni bertanya apa ia sudah sarapan tadi pagi. Gadis itu memang sempat membuka
Malam itu terlalu pekat untuk dilalui oleh seorang gadis belia yang baru saja memasuki usia dua belas tahun. Gadis yang kehilangan pelukan, cinta dan kasih sayang, ia terluka dan putus asa.Ketakutan. Takut untuk hidup sendirian tanpa pegangan, tanpa seorang ibu, membawanya pada sebuah keputusan sulit. Ia memilih untuk mengakhiri hidupnya. Bahkan rasa putus asa itu tak dapat ditutupi oleh sejuta kenangan tentang ibunya. Tetap saja orang yang memberikan kenangan itu tak dapat lagi ia sentuh. Yang Silvi tahu, Hera meninggalkannya karena seorang lelaki.Kesedihan dan luka juga ia rasakan kembali saat mengingat satu nama yang selama ini membuat hidupnya lebih indah. Araska Pratama. Lelaki yang ia sebut sebagai cinta pertamanya.Silvi berjalan tak tentu arah. Seperti gadis gila yang tak punya jalan pulang. Gadis itu memang kehilangan tempat pulang. Ketika ia dibully oleh teman-temannya, ia pulang ke pelukan ibunya. Hera memberikan semangat, dan esoknya Silvi tetap kuat ke sekolah. Ketika S
Naya Kusuma. Kehidupan yang hampir sempurna dengan rupa, rumah tangga dan cinta. Wajah tirus dengan lesung pipi saat ia tersenyum. Lekuk tubuh yang indah menambah pesona kesempurnaan seorang wanita. Ia merasa sangat bahagia memiliki itu semua, sebelum semua yang ia punya hanya menjadi fitnah dunia. Menjadi bumerang yang menghancurkan dirinya.Naya sudah berumur dua puluh delapan saat itu, tapi masih terlihat sangat segar dan menarik. Namun, seandainya ada yang ingin bertukar posisi, perempuan itu lebih suka menjadi wanita biasa yang bisa hidup damai dengan cinta. Orang bilang, kecantikannya adalah anugerah, tapi baginya malapetaka, yang membuatnya harus diceraikan suami dan dianggap tak pernah ada oleh anak-anaknya.“Kamu di mana?” “Masih di jalan, Pak.” “Tolong ambilkan map berwarna biru di apartemen saya ya! Saya udah keburu nyampe di kantor ini. Ribet kalau harus balik ke lagi.”Naya mendengkus kesal. Terpaksa ia harus menuruti permintaan bosnya singgah di apartemen untuk mengamb
Siang itu, Naya pulang ke rumah. Ia berdiri di depan bangunan kokoh yang beberapa tahun ini menaunginya dan keluarga kecilnya. Perempuan itu tak punya nyali untuk masuk ke dalam sana. Meskipun ia tak bersalah, tapi Hadi seolah menghukum semua kesalahan itu padanya, tanpa mau mendengarkan. Hadi hanya mengandalkan penglihatan saja. Melihat istrinya tidur seranjang dengan bos, hanya itu yang ia lihat dan menyimpulkan.Mata Naya masih sembab, karena sepanjang jalan ia menangisi nasib sialnya. Ia membenci wajahnya yang menarik perhatian Aryan, ia membenci segalanya, merasa begitu jijik pada diri sendiri. Seandainya keadaan terbalik, mungkin saja Aryan tak akan tertarik. Tapi, Naya bisa apa? Semua itu anugerah yang orang lain impikan, tapi malah menjadi petaka untuk Naya.Naya memberanikan diri untuk masuk. Ia tak mengetuk, karena pintu tak terkunci. Kakinya bergetar melangkah ke dalam rumah yang selama ini memberinya rasa damai. Suasana nyaman yang diciptakan oleh semua penghuninya yang sa
Malam itu, Naya membawa Silvi pulang bersama. Pulang ke rumah yang terlalu besar untuk ditinggali sendirian, tepatnya bersama beberapa para pekerja, Pak Budi sebagai sopir, dan istrinya bekerja sebagai pembantu di rumah Naya. Juga ada seorang satpam yang bertugas berjaga siang dan malam.Naya mengurus surat-surat untuk mengadopsi Silvi sebagai anaknya. Berharap gadis itu tak lagi merasa tak punya tempat untuk pulang. Mereka akan saling berbagi suka dan duka di tempat yang sama.Kehadiran Silvi bersamanya, setidaknya membuat rindu Naya untuk Milly dan Ejaz berkurang. Naya punya kesempatan untuk melahirkan mereka, tapi ia tak punya peluang untuk kembali memeluk mereka. Kadang ada saat di mana hatinya begitu rindu, Naya menangis pilu meratapi nasibnya seorang diri. Mungkin orang lain melihatnya sempurna, para karyawan melihatnya istimewa, tapi jauh di lubuk hati Naya, ada luka yang tak akan sembuh hingga kapan pun.Hadi tak pernah mengizinkan Naya bertemu dengan dua anaknya. Tak adil bag
“Good!” puji sang direktor pada dua modelnya. Direktor menjetikkan jari sambil tersenyum, ia tampak sangat puas dengan kinerja model terbarunya. Kemampuannya benar-benar bisa diandalkan dalam situasi mepet seperti ini.Sepasang bola mata Andri dan Araska saling beradu sejenak, sebelum keduanya saling menoleh karena ada perasaan yang mendalam yang sudah dijelaskan keduanya. Mereka tersenyum setelah mendengar sang direktor mengatakan puas atas kinerja mereka. Lega, akhirnya proyek ilkan itu bisa terselesaikan, dan menunggu hasilnya.“Kalian kelihatan kompak banget. Udah lama kenal ya?” tanya sang direktor, sembari tatapannya bergantian dari Andri ke Araska.“Hah, belum.” Andri menjawab setengah gugup.“Iya, udah lama.” Araska menjawab tak kalah cepat. Hingga dua jawaban itu terucap dalam waktu bersamaan.Lalu keduanya kembali saling pandang, karena jawaban yang berseberangan.Lelaki berkepala botak yang bertugas sebagai direktor tertawa pelan. Menyadari ada hal lain yang mungkin disemb
Araska mengendarai mobil menuju panti asuhan yang ingin dikunjungi Andri. Sebuah panti asuhan yang terletak di salah satu sudut kota Jakarta.Araska dan Andri saling diam. Tak ada yang memulai berbicara, hanya ada kebeningan yang terasa begitu kentara. Meskipun mereka sudah lama berkenalan, tapi saat mereka bertemu kembali, layaknya dua orang asing yang tak saling kenal. Canggung, malu dan entah rasa apalagi saat keduanya berdekatan.Mobil berbelok dari jalan raya ke sebuah gang menuju panti. Mobil melaju pelan, lalu benar-benar berhenti saat sampai di depan sebuah bangunan berwarna putih. Bangunan tak terlalu luas, tapi halamannya begitu luas dan hijau. Andri turun dari mobil, membuka gerbang agar Araska bisa memarkirkan mobil ke dalam sana.Andri melangkah menyusuri halaman luas dengan rumput hijau itu dengan perasaan bahagia. Baru beberapa langkah ia berjalan, gadis itu disambut oleh beberapa anak panti yang sedang bermain di teras. “Kak Andri datang ...! Hore!” teriak seorang ana