Setelah menikmati libur panjang, Silvi kembali bersekolah. Namun, bukan lagi ke sekolah lama. Gadis itu berusia dua belas tahun sekarang, dan mulai duduk di bangku kelas satu SMP.Senin. Hari ini pertama kali ia pergi ke sekolah. Sekolah itu terletak tak begitu jauh dari rumah Silvi, tapi ia dan kebanyakan anak-anak lain di sana selalu naik bus atau angkot yang lewat. Kadang bus sekolah yang menuju ke arah sekolahnya penuh, maka anak-anak akan menunggu angkot lain agar tak terlambat datang ke sekolah.Tangan Silvi membuat gerakan memberhentikan sebuah bus yang lewat. Bus benar-benar berhenti tepat di depannya. Namun, bus itu terlihat begitu penuh, mungkin karena hari pertama sekolah, atau karena mereka semua takut jika akan terlambat sampai dan tak bisa mengikuti upacara.“Penuh, Dek!” ucap seorang siswa yang memakai seragam SMA, sambil melihat Silvi dari atas sampai ke bawah. Sama sekali tak enak dilihat.Silvi sudah makin tumbuh, ia sudah mulai mengikat rambut sebahunya agar tak ter
Silvi merasa suasana sekolah SMP tak jauh berbeda dengan SD, meskipun pelajarannya terlihat sulit, tapi itu tak membuat sebagian temannya menghabiskan waktu untuk belajar. Kadang di waktu-waktu tertentu, mereka masih sempat membully Silvi, terutama Uta dan temannya. Saat pendaftaran waktu itu, Silvi berdoa agar satu kelas dengan Araska. Allah mengabulkan doa pertamanya. Tapi, tidak dengan doa kedua, karena saat ini Silvi juga satu kelas dengan Uta dan gengnya. Padahal ia berdoa agar tak satu kelas lagi dengan Uta. Berharap ia menemukan teman-teman baru di sana, agar hidupnya tak merasa bosan dan kesepian.Sejak saat itu Silvi memang menghindar dari Uta dan teman-temannya. Gadis itu hanya mengikuti nasehat ibunya, untuk tidak berteman dengan mereka yang memandang rendah dirinya.Silvi membuka tas, mencari sebuah buku bersampul cokelat. Buku yang hari ini akan dikumpulkan untuk penilaian pelajaran Bahasa Indonesia. Pak guru menyuruh mereka untuk membuat sebuah review dari cerpen yang a
Silvi bangun pagi dengan tak bersemangat. Rasanya ia begitu malas untuk ke sekolah. Kejadian hari itu cukup membuat rasa percaya dirinya terkikis. Ia merasa seperti ditelanjangi di depan keramaian.Sejak ketahuan menulis bait-bait cinta di buku diarynya, Silvi menjauh dari sosok Araska. Ia malu. Malu karena telah membiarkan hatinya begitu lancang merawat rasa untuk Araska. Sedangkan lelaki itu punya segalanya yang tak Silvi punya. Lalu di mana Silvi akan berdiri untuk menyeimbangkan posisinya?Silvi bahkan tak berani menatap Araska, saat di kelas, atau saat berpapasan di koridor, atau saat ada tugas kelompok, dan lagi-lagi hanya Araska yang mau menerima Silvi untuk satu kelompok dengannya. Sisi kemanusiaannya berpikir, bahwa menyedihkan jika tak menjadi pilihan dan diabaikan. Ketika melihat Silvi, lelaki yang mulai beranjak remaja itu selalu membayangkan kehidupan gadis itu, dan sisi kemanusiaannya kembali mendominasi.Sementara Araska bersikap seperti biasanya. Meskipun ia tahu, di b
Araska sedang membaca buku di taman sekolah. Lembar demi lembar ia buka demi memenuhi hasrat ingin belajarnya. Araska persis seperti papanya, giat belajar.“Derajat seseorang itu bisa terangkat dengan adanya ilmu.” Papa Araska berucap suatu malam saat menemaninya tidur.Saat itu Araska masih kelas dua Sekolah Dasar, ia tak terlalu mengerti apa maksud papanya. Tapi, yang ia tahu ia harus tetap belajar. Baginya dengan begitu, berati Araska menjadi anak yang membanggakan karena mendengar nasehat sang papa.Saat Araska mulai bisa berpikir lebih dalam, ia melihat guru-gurunya. Mereka dihargai karena ilmu dan didikan yang dilakukan. Araska menyimpulkan satu hal yang menurutnya benar.Atau ketika sang papa mengatakan, bahwa seorang lelaki itu harus bisa melindungi. Awalnya Araska juga tak mengerti. Namun, semakin ke sini, ia merasa seolah ucapan papa selalu bisa ia turuti. Saat di sekolah lama, Araska terbiasa menjaga Dara, anak tetangganya. Sekarang, Araska juga seolah ditugaskan untuk menj
Hari itu Silvi membawa pulang perasan sedihnya. Perasaan gadis labil yang cintanya baru saja tertolak.Menjauhlah dariku!Kalimat itu lagi-lagi begitu mengganggu pikirannya. Kalimat yang diucapkan Araska begitu menohok batinnya. Ia merasa kembali dianggap sampah oleh orang yang begitu ia cintai, menurut perasaannya. Langkah Silvi gontai memasuki gang sempit tempat rumahnya berdiri tak kokoh. Ia berjalan melewati rumah demi rumah sebelum akhirnya sampai di gubuk miliknya. Gadis itu berdiri di depan pintu kayu yang telah lapuk, mengamati setiap bagian dari rumah itu.'Ck!’ Silvi berdecak. Gadis itu baru saja mengukur perbedaan Araska dan dirinya. Hal itu sukses membuatnya sadar diri, dan kembali merasa rendah.Silvi melangkah ke dalam, langsung menuju kamar dan berdiri di depan cermin usang yang bayangnya tak lagi sempurna. Ia mengamati setiap inci wajahnya. Alis tebal, bibir tebal dan wajah berwarna kusam khas anak miskin yang suka bergelut dengan sampah. Mana mungkin wajah dalam cer
Silvi membuka mata. Cahaya matahari pagi membuatnya terjaga. Gadis itu beringsut dari kasur lapuk itu dengan malasnya. Rasanya ia tak bersemangat sekolah, karena beberapa hari ini Araska tampak menepati janjinya, menepati kalimatnya untuk menjauh dari Silvi.Araska bahkan tak melihat dirinya, entah saat di kelas, saat sesekali mereka belajar di lab, atau di mana saja. Anak lelaki itu bertindak seolah tak mengenali Silvi. Setelah kejadian hari itu, mereka seolah menjadi dua orang asing yang tak saling kenal. Kadang karena merasa tak enak, Silvi ingin meminta maaf kembali, tapi ia takut pada dinginnya sikap Araska. Mungkin Araska merasa marah pada perasaan Silvi untuknya, sementara ia hanya menganggap teman biasa, hanya sebatas teman yang selalu ditolongnya. Tapi, perasaan itu Araska tak menginginkannya. Membayangkan penampilan Silvi saja membuatnya geli setengah mati, memang gadis itu tak lagi terlihat buluk, tapi tetap saja sangat berbeda dibandingkan anak lain. Araska memang ikhlas
Silvi terperanjat dari tidurnya kala pagi mulai menampakkan sinar cerahnya. Alam bawah sadarnya terus berpikir tentang ibu, meskipun ia semalaman tertidur karena terlalu lelah menangis. Mata gadis itu sedikit bengkak, juga kepalanya terasa sakit. Tangisan yang ia bawa tidur semalaman, kini kembali hadir hingga terdengar amat memilukan. Namun, gadis itu tetap ingin sekolah karena hari ini ada ulangan. Ia mencoba menepikan rasa sedihnya untuk saat ini, dan akan kembali mencari ibu saat pulang sekolah. Silvi yakin ibunya akan kembali pulang dan memeluknya.*“Chrisa deket, Bu.” Salah satu siswa menjawab ketika sang guru menanyakan jarak rumah Silvi dan teman-temannya.Saat itu pelajaran Bahasa Inggris sedang berlangsung. Sang guru menyuruh seorang siswa yang rumahnya paling dekat dengan Silvi untuk mengantarkan gadis itu pulang, karena tiba-tiba gadis itu menangis. Sakit perut katanya.Silvi menggeleng saat Bu Leni bertanya apa ia sudah sarapan tadi pagi. Gadis itu memang sempat membuka
Malam itu terlalu pekat untuk dilalui oleh seorang gadis belia yang baru saja memasuki usia dua belas tahun. Gadis yang kehilangan pelukan, cinta dan kasih sayang, ia terluka dan putus asa.Ketakutan. Takut untuk hidup sendirian tanpa pegangan, tanpa seorang ibu, membawanya pada sebuah keputusan sulit. Ia memilih untuk mengakhiri hidupnya. Bahkan rasa putus asa itu tak dapat ditutupi oleh sejuta kenangan tentang ibunya. Tetap saja orang yang memberikan kenangan itu tak dapat lagi ia sentuh. Yang Silvi tahu, Hera meninggalkannya karena seorang lelaki.Kesedihan dan luka juga ia rasakan kembali saat mengingat satu nama yang selama ini membuat hidupnya lebih indah. Araska Pratama. Lelaki yang ia sebut sebagai cinta pertamanya.Silvi berjalan tak tentu arah. Seperti gadis gila yang tak punya jalan pulang. Gadis itu memang kehilangan tempat pulang. Ketika ia dibully oleh teman-temannya, ia pulang ke pelukan ibunya. Hera memberikan semangat, dan esoknya Silvi tetap kuat ke sekolah. Ketika S