Hari menjelang petang saat Andri keluar dari perpustakaan Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Gadis itu keluar karena perpustakaan karena akan segera ditutup, pun kampus mulai sepi karena para mahasiswa mulai pulang ke tempat masing-masing, entah kos atau rumah mereka.
Mahasiswa di UI, banyak yang memilih kos-kosan terdekat, agar lebih bisa menghemat waktu perjalanan. Andri sendiri pernah ditawarkan tinggal di kosan oleh Naya, tapi gadis itu menolak, karena kasihan mamanya tinggal seorang diri di rumah.
Andri berjalan ke arah parkiran, ingin mengambil mobil dan meluncur pulang. Baru saja ia membuka pintu mobil saat dering ponselnya berbunyi. Ia kembali menutup pintu mobil, memilih mengangkat telepon dari nama yang tertera di layar ponselnya, Alex.
Andri mengeryitkan dahi, melihat nama itu. Gadis itu berpikir, apa Alex ingin mengajaknya kembali bertemu. Karena seingatnya, kemarin Alex masih tak berbicara dengannya.
“Ndri, lu di mana? Tolongin gue dong!” Suara Alex terdengar panik di seberang sana.
“Tolongin apa sih? Lu di mana sekarang?” Andri balik bertanya pada Alex. Ia masih tak mengerti apa penyebab Alex terdengar begitu panik.
“Sial banget! Gue kekunci di toilet nih! Mana gak ada orang lagi.”
“Lah, kenapa bisa?”
“Tadi kelamaan, perut gue mules banget.”
“Toilet mana?” Andri bertanya setengah berteriak. Ia mulai sedikit panik mendengar jawaban temannya.
“Halo ...?” Andri kembali berteriak di telepon. Namun, tak lagi terdengar suara Alex. Panggilan terputus begitu saja. Mungkin saja baterainya habis atau tidak ada signal di sana.
Andri menaruh buku-buku dan tas ke dalam mobil, lalu gadis itu berlari kembali ke ruang utama untuk menuju toilet. Ia tak sempat mendengar jawaban di toilet mana Alex terkunci. Gadis itu hanya memperkirakan bahwa Alex seharusnya berada dan menggunakan toilet di sekitar Fakultasnya.
Alex kuliah di fakultas yang sama dengan Andri, hanya saja lelaki itu mengambil jurusan Akuntansi.
Andri memasuki toilet khusus mahasiswa, ia memanggil nama Alex berkali-kali. Namun, tak ada jawaban. Gadis itu dengan lancang membuka pintu toilet satu persatu, tak ada siapa pun di sana. Semua kosong, terlihat kering tanda tak terpakai beberapa jam. Sepi. Baru saja Andri menyadari ruang itu begitu sepi, hingga membuat bulu kuduknya meremang.
Andri ingin keluar, mungkin saja Alex berada di toilet lain, pikirnya. Gadis itu merasa harus menolong temannya, setidaknya untuk permintaan maaf karena telah membuatnya kesal waktu itu.
“Di sini!” ucap seseorang yang tiba-tiba muncul di hadapan Andri.
Andri tersentak kaget, ada ketakutan yang semakin menjadi-jadi dalam dirinya. Lebih lagi saat melihat tatapan lelaki di depannya. Alex menatap tajam pada Andri sambil terus maju selangkah demi selangkah. Langkah yang menurut Andri bertanda bahaya. Andri mencoba mundur seiring dengan Alex yang makin mendekat, lalu gadis itu ingin berlari sekuat tenaga menghindar dari Alex yang semakin terlihat tak terbaca maksudnya. Namun, sayang, langkah Andri tak cepat, hingga tangan kekar itu menahan tubuhnya yang hampir keluar dari pintu. Dengan cepat, Alex mengunci pintu.
Ruang toilet berukuran lumayan besar, di dalamnya ada beberapa ruang yang dipakai untuk menunaikan hajat. Juga ada beberapa cermin besar di depan wastafel, dekat dengan pintu.
“Lu, mau apa, hah?” Andri berteriak di wajah Alex.
“Ssssst ... jangan teriak-teriak!” Alex menutup bibir Andri dengan telunjuknya.
Hal itu membuat Andri merasa begitu jijik. Gadis itu meludah, tepat mengenai wajah Alex.
Alex tertawa sinis. Tawa yang begitu menakutkan bagi Andri. Ternyata Alex lebih buruk dari apa yang dikenal oleh Andri.
Lelaki itu menyeka air ludah di wajahnya. Kembali Alex tertawa sinis. Lalu, tangannya menganyun pada wajah mulus Andri.
Andri menatap Alex penuh benci. Sementara pipinya telah memarah karena tamparan keras lelaki itu. Gadis itu terduduk, makin tersudut karena tubuh tegap Alex seolah mengimpitnya. Ia bahkan bisa mencium aroma tubuh Alex dari jarak begitu dekat, tapi itu menjijikkan hingga membuat gadis itu menahan napas.
“Lu sengaja malu-maluin gue waktu itu kan? Lu sengaja berpenampilan cupu seperti waktu itu kan? Lu sengaja mainin gue, kan?” Alex terus meracau. Ia berteriak tepat di depan wajah Andri. Tak terima karena pernah diperlakukan rendah oleh Andri.
Rupanya kejadian beberapa hari lalu membuat Alex dendam dengan Andri. Ia tak terima dengan perlakuan gadis itu padanya, uang seolah sengaja mempermainkan dan merendahkan harga dirinya.
“Terus lu mau apa, setan?!” Andri mengumpat perlakuan Alex.
“Mau apa?”
Alex mendekatkan wajah ke wajah cantik Andri, membuat gadis itu berpaling ke samping. Ketakutan sekaligus rasa jijik terus menguasainya saat perlahan Alex mengusap pipi Andri dengan jari-jarinya sambil menatap tubuh gadis itu dari atas hingga ke bawah.
“Lu emang oke sih!” Tatapan Alex terjuju pada dada Andri yang menurutnya sangat memancing hasrat kelelakiannya.
Andri menepis tangan kekar itu. Tangan yang hampir menyentuh bagian yang sangat ia lindungi. Ia mulai menangis keras dan berteriak minta tolong.
“Mau sesuatu yang sudah dari dulu aku inginkan. Sudah kubilang jangan teriak. Gak ada orang di sini! Lebih baik simpan tenagamu untuk ....” ucapan Alex tergantung, karena saat itu Andri berhasil menendang tubuhnya. Namun, tubuh besar itu tak berpindah, hanya sedikit bergeser dari tempat semula. Sungguh tenaga Andri tak sekuat Alex.
Andri berdiri, kembali berteriak minta tolong. Namun saat itu kesabaran Alex hilang. Ia mendorong tubuh gadis itu hingga terbaring di lantai. Andri terus berteriak, dan menangis. Hanya itu yang bisa ia lakukan, berharap ada mahasiswa yang belum pulang dan akan menolongnya. Berharap ada security yang lewat dan mendengar tangisannya, ia berharap ada siapa saja, datang dan menolongnya.
“Jangan lakuin ini, gue mohon!” Andri mencoba mengiba, berharap Alex luluh atau setidaknya merasa kasihan pada gadis lemah di depannya.
“Sudah terlambat, Sayang. Elunya gue ajak baik-baik enggak mau sih.” Alex mulai menindih tubuh Andri. Ia mencoba mendekatkan bibirnya pada bibir gadis yang kini berada di bawah tubuhnya.
Andri menggeleng kuat. Ia meronta-ronta untuk melepaskan diri. Matanya membelalak, bibirnya mengatup rapat, ia tak mau kehilangan ciuman pertamanya. Isakan gadis itu tertahan, tapi terdengar sangat menyayat hati.
Alex menoleh saat mendengar pintu terhempas dengan kasar. Seseorang melemparnya dengan batu, karena bagian atas dari pintu itu terbuat dari kaca. Lelaki yang tak dikenali Ale, memutar kunci dan lolos masuk.
“Sial!” Alex berteriak.
Andri membuka mata saat dirasa tubuhnya tak lagi ditimpa tubuh Alex. Ia melihat seorang menarik kerah baju Alex dengan kasar.
Araska Pratama. Sosok pelindung gadis itu sejak dulu.
“Lu tau, sudah berapa lama gue melindungi dia?” Tepat saat Araska mengatakan itu, satu pukulan mendarat di wajah Alex.
Araska seolah tak memberi kesempatan untuk Alex membalas. Ia memukul wajah itu berkali-kali hingga membuat Alex mengeluarkan darah dari hidung dan bibirnya. Kembali Araska menarik kerah kemeja Alex, lalu memukulnya lagi dan lagi, seperti orang yang tengah kesetanan.
Alex tertawa sinis, ia meludah darah yang telah bercampur dengan liurnya. Lalu, satu pukulan ia balas untuk Araska. Araska terlihat kehilangan keseimbangan, hingga membuat Alex bisa melancarkan pukulannya.
Dua lelaki kekar itu saling adu kekuatan. Melihat itu, Andri teringat saat dulu, Araska pernah berkelahi dengan Rangga sewaktu SD. Rahang kokoh itu masih terlihat sama saat marah, ketat dan penuh amarah.
Araska tak membiarkan dirinya dipukuli terus menerus, ia melayangkan satu tendangan di dada Alex, hingga rosihan tubuh Alex bisa berpindah, dan Araska tak menyia-nyiakan kesempatan.
“Siapa?” Araska kembali mengulang pertanyaan Alex.
Alex tampak tak berdaya di bawah cengkraman tangan Araska. Ia membawa Alex berdiri di depan cermin. Sejenak Alex memandangi wajahnya yang babak belur, lebam hampir di seluruh wajahnya.
“Gue lelaki. Bukan banci kayak lu yang tega melecehkan perempuan.”
Setelah mengatakan itu, Araska melempar tubuh Alex ke depan pintu. Tepat saat itu, tiga polisi datang mengamankan.
Saat melihat Alex melakukan serangan balik pada Araska, Andri kembali menggunakan kewarasannya untuk menghubungi polisi. Meskipun bibirnya bergetar saat melapor, tapi ia takut Araska dikalahkan oleh Alex, dan itu membuat Andri merasa lemah.
*
JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK DI SINI YA. SHARE JUGA BIAR YANG BACA MAKIN RAME.
TERIMA KASIH 🙏
Andri masih terduduk di sudut sana, saat polisi datang dan mengamankan Alex. Seluruh tubuh gadis itu bergetar, bahkan wajahnya pucat karena ketakutan. Ia bahkan tak bisa sekadar menopang lututnya untuk berdiri. Mata gadis itu menatap kosong, dengan pipi yang basah karena air mata yang sedari tadi mengalir deras. Hampir saja ia kehilangan mahkota berharga yang paling ia jaga selama ini. Andri memang tak pernah dekat dengan lelaki. Masa lalu membuatnya takut jika mereka yang mengejarnya tak mampu menerimanya jika keadaannya tak seperti sekarang. Itu terbukti setiap kali ia membuktikannya sendiri dengan membuat mereka ilfil. Namun, kebanyakan mereka mundur perlahan karena sadar bahwa gadis itu mengerjainya. Tidak dengan Alex yang menyimpan rencana dan dendam besar."Kau aman sekarang." Araska berucap.Araska mendekat, berjongkok di depan gadis itu. Ia mencoba mendekatkan tubuhnya agar bisa memeluk gadis yang tubuhnya begitu dingin. Araska menenggelamkan kepala gadis itu di dada bidangny
Bab 6.Motor Araska menepi di depan sebuah restoran. Andri merapikan rambut panjangnya setelah beberapa saat diacak-acak oleh angin saat ia berboncengan di motor Araska.Mereka baru saja menyelesaikan mata kuliah terakhir untuk hari itu. Araska mengajak Andri untuk pulang bersama, karena tadi pagi lelaki itu juga menjemputnya. Entahlah, Araska merasa takut jika terjadi sesuatu yang buruk lagi pada gadis itu.Sejak kejadian hari itu, mereka sering berkomunikasi lewat telepon. Setidaknya baru hari ini, karena Araska meminta menjemput.Awalnya mereka tak banyak berbicara saat bertemu, pun di dalam kelas. Namun, mereka bersikap seperti teman lama yang sudah cukup mengenal satu sama lain, tapi gengsi menyapa satu sama lain. Satu sisi, karena Araska masih mempertanyakan apa yang terjadi pada hidup gadis itu hingga ia bisa berubah sedemikian rupa. Bagi Araska, gadis itu tetap sama. Satu sisi, ia kuat, tapi sisi lain, Andri terlalu lemah, hingga membuat Araska ingin melindunginya.Araska mem
Beberapa tahun yang lalu.Senin.Bagi sebagian orang, pembuka hari itu menjadi semangat baru untuk mereka yang bekerja atau anak-anak bersekolah, setelah kemarin menghabiskan waktu liburan bersama keluarga atau teman. Namun, tidak bagi Silvi, seorang gadis yang baru saja duduk di bangku kelas enam sekolah dasar.Gadis itu sama sekali tak menyukai hari Senin. Bahkan, ia terlalu membencinya. Karena baginya, hari itu lebih menyedihkan dari hari lainnya. Rasanya setiap hari memang sama saja, tak memberinya sedikit pun bahagia layaknya yang dirasa oleh anak-anak lain. Baginya, Senin lebih memberinya tekanan ketimbang kenyamanan atau kebahagian yang layak dinikmati.“Silvi mana?”“Ini tempat Silvi!”Sahut-sahutan beberapa teman sekelas Silvi menanyainya. Mereka sibuk melongok ke sana kemari, tapi tak menemukan sosok yang dipanggil.Lapangan masih belum penuh terisi oleh semua siswa. Sebagian siswa telah berbaris dengan rapi, pun kelas enam sudah menempati posisi di mana biasanya mereka berd
Pagi.Silvi bangun dengan perasaan bahagia, karena tak ada jemuran yang menjadi pekerjaan tambahannya hari ini. Semalam ia dan ibu tidur dengan nyaman di bawah cahaya bulan purnama yang menyesak melalui celah genteng yang sudah berlubang.Gadis itu bangkit dari kasur kapuk yang bau khasnya sedikit menguar, langkah kaki Silvi menuju kamar mandi yang terletak di belakang rumah. Kamar mandi khas pemukiman kumuh yang hanya tertutupi dengan plastik-plastik bekas. Namun, beruntungnya ada sumur yang airnya putih dan bersih.Usai mandi, Silvi kembali ke kamar. Kamar yang ditempati oleh dia dan ibu. Ada banyak barang-barang di sana, meja tempat Silvi menyusun buku-buku pelajaran dan buku tulis yang ia dapat dari tong sampah depan gang atau jalan, tempat penampungan sampah orang-orang kaya. Lumayan, halamannya masih sangat banyak atau bahkan hanya ditulis beberapa lembar saja. Silvi mengambilnya, mencoret nama mengganti dengan namanya. Gadis kurus itu bahagia karena satu beban ibu terbantu deng
Setiap sore, di lingkungan tempat tinggal Silvi selalu ada permainan yang dimainkan anak-anak. Mereka mengisi waktu luang, dan memenuhi keceriaan masa kanak-kanak.Anak-anak akan bermain sesuai musiman, kadang main catur, kadang lompat karet, atau main gambar kartu. Gadis-gadis kecil itu biasanya bermain di rumah Uta, rumah paling besar di sekitar itu. Selain besar, rumah Uta juga mempunyai taman dan rumput yang hijau, membuat anak-anak senang bermain di rumahnya. Namun, hanya anak-anak yang terpilih yang bisa bermain di rumahnya, seolah ada barcode pengaman dari pagar untuk masuk ke rumah. Barcode yang hanya menyeleksi anak-anak orang kaya.Untuk anak seperti Silvi, tentu saja tak menjadi pilihan. Sebab itu, gadis dekil itu hanya mengintip di balik tembok tinggi rumah Uta. Tak berani masuk dan tak ada yang menyuruhnya masuk, pun tahu diri bahwa dia akan diabaikan di sana.Kadang Silvi merasa bosan di rumah, tak ada yang bisa ia lakukan untuk sekadar mengisi waktu luang menunggu ibuny
Matahari mulai menampakkan sinarnya, pertanda semua orang akan kembali melakukan aktivitas masing-masing. Begitupun Silvi, ia seperti dipaksa mengulang aktivitas yang sama setiap harinya. Tak ada yang istimewa, yang ada hanya kebosanan yang mendera. Tanpa teman, hanya kesunyian.Sekolah Silvi terletak tak jauh dari gang rumahnya, setiap hari ia akan berjalan kaki menuju ke tempatnya mencari ilmu. Banyak juga anak-anak yang seperti dirinya, berjalan kaki. Hanya beberapa saja yang diantar orang tua, seperti Uta karena sekalian dengan sang ayah yang pergi bekerja.Silvi berjalan hati-hati, bukan tak kuat berjalan karena tak sarapan tadi pagi. Tapi karena menjaga sepatunya agar tak bertambah rusak di bagian depan. Ia menghindari batu dan kerikil agar sepatunya awet sampai ia lulus SD. Sampai di sekolah, Silvi berpapasan dengan Uta dan teman-temannya. Sepertinya mereka baru saja dari kantin, terlihat dari minuman dan makanan ringan yang mereka bawa.“Hai, Tiang Listrik!” Uta menyapa. Tapi
Silvi baru saja ingin meletakkan tas ke dalam laci, saat ia melihat sesuatu di dalamnya. Tangannya terulur mengambil sesuatu yang ia yakin tak menaruhnya sama sekali. Matanya berbinar, melihat dua coklat silver queen dan sebungkus roti. Tak hanya itu, ada satu botol air mineral di sana.Wajah Silvi tampak bahagia mendapat itu semua. Namun, Silvi bingung siapa yang meletakkannya. Ia menebak satu nama yang selama ini diam-diam berbaik hati padanya, tapi tebakan itu seolah terbantah saat ia melihat Araska masuk kelas sambil bercanda ria bersama teman-temannya. Itu menandakan bahwa ia baru datang, dan tidak mungkin rasanya jika ia yang memberikan coklat itu.Silvi menyerah untuk menebak, karena selain Araska, tidak ada yang peduli padanya selama ini. Gadis itu menyimpan coklat itu ke dalam tas yang talinya entah sudah ada berapa jahitan. Mungkin hari ini memang rezeki Silvi, karena ada yang berbaik hati memberinya makanan, itu rezeki dari Tuhan.Setidaknya hari ini Silvi tak harus menahan
Sekolah masih lumayan sepi saat Silvi sampai di gerbang sekolah. Hanya ada beberapa motor guru, dan beberapa siswa yang juga baru datang seperti dirinya. Hari ini gadis itu datang lebih awal. Bukan karena ada PR atau tugas piket kelas yang harus ia kerjakan. Hanya saja ia ingin memastikan sesuatu. Sesuatu yang beberapa hari ini mengusik rasa penasarannya.Langkah kaki jenjang Silvi menuju ke kelas. Lalu, saat sampai di depan kelas, ia memelankan langkah agar tak ada suara sepatu yang berbunyi, karena terlihat kepala seseorang dari jendela kaca. Dengan hati-hati Silvi mengintip dari luar jendela. Terlihat ada seorang siswa yang berdiri di dekat mejanya, hanya punggungnya yang terlihat, bukan wajahnya hingga gadis itu sulit menebak. Lalu bocah lelaki itu mengeluarkan beberapa makanan dari dalam tas, dan meletakkannya di dalam laci di meja Silvi.Silvi penasaran, sejak seminggu terakhir selalu ada makanan dalam lacinya. Kadang roti, kadang gorengan, kadang makanan ringan. Setiap pagi Sil
“Andri ada?”Milly membuka pintu saat bel di pintu berbunyi. Gadis itu sedikit terpaku, lalu tersenyum pada Araska yang berdiri di depannya.Araska ingin menemui Andri. Semalam ia berpikir cukup lama untuk mencari cara menyatakan perasaannya pada gadis itu. Ia yakin Andri bisa merasakan debar cinta antara keduanya. Namun, Araska harus memperjelas dengan cara yang lebih serius. Araska selama ini menjaga. Araska ingin tahu seperti apa muara rasa itu, setelah sekian lama terpisah, menjalani alur hidup masing-masing. Lalu bersama, kembali dipertemukan dalam keadaan yang tak sama.Araska mencoba mengirimkan pesan untuk Andri, tapi hanya centang satu. Lalu, ia menghapusnya dan mengambil kesimpulan untuk bertemu langsung. Ia menghubungi, tapi nomor gadis itu tak tersambung. Sebab itu, Araska sekarang berdiri di depan rumah Andri. Mengetuk pintu, berharap gadis itu yang membukanya. Namun, yang kini di depannya bukanlah gadis yang ia tuju.“Dia balik ke Samarinda.” Milly menjawab setelah sepe
“Kamu yang lagi nyeka air mata, berbaliklah!”Araska mengulang kalimat itu.Andri yang sedang melangkah, terpaksa berhenti seolah sedang diperintahkan untuk berhenti. Ia berdiri sejenak, bergelut dengan pikirannya sendiri. Gadis itu tak berani melihat ke belakang, karena akan ketahuan sedang menangis. Itu memalukan.Kepalang tanggung melangkah, ia tak bisa bersikap terlalu kepedean dengan mengira bahwa Araska menyuruhnya berhenti. Siapa tahu, Milly di sudut sana juga sedang terharu karena tersentuh dengan lagu yang dinyanyikan Araska. Itu akan lebih memalukan jika ternyata bukan dia yang dimaksud Araska.Andri kembali melangkah, tak peduli dengan kalimat barusan yang nyatanya akan semakin membuat hatinya ragu untuk melepaskan.“Kamu yang terus melangkah meski disuruh balik, berhentilah!”Dari mikrofon itu kembali terdengar suara Araska. Bodo amat! Andri tetap melangkah hingga hampir sampai di pintu depan.Bukan dirinya! Pikir Andri.“Kamu, Silvi Andriani, kemarilah!”Andri berhenti, d
Halaman rumah Naya telah disulap sedemikian rupa. Aneka hiasan, balon-balon menggantung di udara. Makanan mewah juga banyak tersaji di meja. Atas persetujuan Andri, Naya menggelar acara untuk ulang tahun gadis itu; ulang tahun ke dua puluh satu.Sebelumnya, Andri tak pernah mau merayakan dengan banyak orang. Namun, kali ini gadis itu merasa harus merayakan setiap kemenangan yang ia lalui bersama Naya, dan orang-orang terdekatnya.Pesta yang tak terlalu besar, karena hanya dihadiri oleh keluarga, juga anak-anak panti dan dua pengasuh yang tak luput dari undangan istimewa bagi Andri.Anak-anak panti terlihat bahagia dengan acara mewah dan makanan yang aneka ragamnya. Mereka juga telah menyiapkan rencana kejutan untuk Andri.Andri turun dari tangga dengan mata yang ditutup oleh Ejaz. Gadis yang mengenakan gaun berwarna marun itu berjalan perlahan, matanya terlalu gelap.Andri tetap melangkah pelan, hingga tangannya dipegang Ejaz untuk berhenti. Andri tahu, mungkin keluarganya sedang memb
Andri bangun dengan mata yang sembab. Pagi ini, ia mencoba berhenti menangisi kisah cintanya untuk kedua kali. Namun, bukan berarti ia bisa bangkit secepat itu dari rasa terpuruknya. Gadis itu mencoba berpikir positif tentang hubungan Araska dan Milly. Namun, kebersamaan mereka semakin jauh dari harus berprasangka hanya teman, atau kebetulan.Pagi itu, Milly kembali keluar dengan gitar di punggung. “Gitar baru?” Andri bertanya penuh selidik. Karena yang ia tahu, gitar Milly sudah dirusak oleh papanya.Milly mengangguk. Senyumnya merekah sambil mengelus gitar baru yang ia miliki.“Mama beli?” Kembali Andri bertanya.“Bukan.”“Jadi?”“Araska.”Seolah ada beribu pisau yang menyayat hati Andri secara bersamaan, seiring dengan nama itu disebutkan. Araska membeli gitar untuk Milly, itu artinya lelaki itu sedang mengembalikan hal berharga dalam hidup gadis itu. Sialnya, ia tak bisa mengembalikan hal berharga dalam hidup Andri. Cinta. Rasa itu masih saja menekan hati Andri sendirian, tanpa b
Andri sedang membaca beberapa buku untuk melengkapi tugas-tugas kuliah yang semakin hari semakin banyak. Setelah selesai dengan mata kuliah magang, kini ia harus membuat laporan magang. Andri bahkan menolak beberapa tawaran pemotretan dan iklan, ia ingin fokus kuliah, karena hari libur pun terasa seperti Senin baginya kini.Gadis itu menatap layar laptop di depannya sambil mengetikkan sesuatu di sana. Di depannya ada secangkir teh dan camilan yang ia minta disiapkan oleh Mbok Nah.Matahari telah naik setengahnya, menyisakan warna jingga menghampar indah di bumi. Sebagian cahayanya masuk melalui jendela kaca di kamar Andri. Di bawah sana, ada tanaman hias dan kolam ikan koi yang juga ikut menikmati keindahan senja. Dalam fokusnya, Andri masih mendengar pintu diketuk seseorang. Tanpa menoleh, gadis itu menyuruh masuk, dari suaranya ia tahu siapa yang datang ke kamarnya.Pintu terbuka, terlihat wajah seseorang menyembul dari baliknya.Milly masuk dan mendekati Andri yang terlihat sibuk
Andri melangkah ke kamar Naya dengan membawa satu nampan sarapan. Sejak beberapa hari, perempuan itu tidak turun dari kamarnya, setelah menghadapi proses pengadilan atas kasusnya yang menimpanya belasan tahun lalu.Aryan mengambil langkah tepat waktu, seperti telah memikirkan banyak hal dan konsekuensinya. Lelaki itu menyerahkan diri, sebelum genap dua belas tahun kejahatan yang ia lakukan pada Naya.Menurut hukum yang berlaku, kakus pemerkosaan akan kadaluwarsa selama dua belas tahun, jika menurut hukum, pelaku akan mendapatkan lebih dari tiga tahun penjara.Kasus Naya belasan tahun lalu, itu terjadi saat usianya masih dua puluh delapan waktu itu, sebentar lagi akan kadaluwarsa waktunya jika saja ia tak menuntut segera. Bahkan, jika ia menuntut dalam kurun waktu lebih dari dua belas tahun, maka ia bisa dituntut balik atas dasar pencemaran nama baik.Naya bahkan tak berani untuk pergi bekerja, ia tak bisa membayangkan bagaimana media akan merekam wajahnya. Orang-orang akan melihatnya
Naya dan kedua putrinya berkumpul di meja makan. Pagi ini Naya memasak nasi uduk untuk sarapan. Ia menggantikan peran Mbok Nah yang izin pulang kampung karena anaknya sakit. Pun, sudah menjadi kebiasaan Naya saat sedang stres, ia akan melakukan aktivitas untuk mengalihkan perasaan itu. Sejak hari itu, Hadi dan Naya banyak berbincang tentang kehidupan mereka, juga dua anaknya yang akan diasuh. Hadi melepaskan Milly untuk diasuh dan tinggal bersama Naya, sedangkan Ejaz akan tetap tinggal bersama papanya. Dua anak itu tak lagi diperebutkan seperti dulu, atau tak lagi ada yang merasa tak rela karena sama sekali tak bisa merengkuhnya. Hadi dan Naya bisa kapan saja menjenguk buah hatinya, tanpa batasan. Itu perjanjian mereka.“Ma, apa nggak sebaiknya mama rujuk sama papa?” Di sela suapannya, Milly bertanya hati-hati. Sebagai seorang anak, ia pasti ingin orangtuanya bersatu dalam satu ikatan, dalam satu rumah.Naya yang sedang makan, menghela napas berat, sejenak menatap Milly dengan serius
“Finally, kita bertemu di sini, Tuan Aryan!” ucap Andri menyinggung ketenangan lelaki itu. Andri meletakkan satu dokumen yang harus ditandatangani founder perusahaan itu.Berkas dari atasan magang yang meminta pertolongannya untuk diantar ke ruang Aryan.Aryan sedang memeriksa beberapa berkas di mejanya, saat Andri masuk dan mengucapkan kalimat yang membuatnya mendongak. Lelaki itu melihat wajah yang terlalu lancang untuk masuk ke ruangannya. “Kau siapa?” Aryan bertanya. Lelaki itu tahu bahwa gadis di depannya merupakan salah satu karyawan baru, ia bisa melihat tanda pengenal yang tergantung di lehernya. Namun, kalimat tak sopan yang keluar dari mulut gadis itu barusan menyiratkan seolah mereka punya urusan sebelumnya.Seingat Aryan, ia masih punya sekretaris di ruang sebelum ruangannya. Ia bingung kenapa gadis itu lolos masuk tanpa pemberitahuan dari sang sekretaris. Ah, Aryan baru melihat gadis baru saja meletakkan sebuah map. Siapa saja bisa masuk untuk alasan tanda tangan.Aryan
“Jaz, kita jemput Milly ya.” Pagi. Hadi dan Ejaz sedang menyantap sarapan. Lelaki itu menatap papanya, sedikit ragu untuk mengiyakan. Pun, semalam ia bertanya pada adiknya tentang keadaannya di sana. Milly tampak baik-baik saja di sana, membuat Ejaz merasa kasihan jika harus dipaksa pulang.Sejak Milly di rumah mama, Ejaz sering datang menemui. Ia rindu cerewetnya sang adik, juga merindukan mama yang telah lama tak tinggal di sisinya.Dengan berat hati, akhirnya Ejaz mengiyakan ajakan papanya. Meskipun tak bisa dibayangkan apa yang akan terjadi saat papa kembali bertemu dengan mama. *Hadi turun dari mobil bersama Ejaz setelah lelaki itu mematikan mesin mobilnya. Terlihat oleh mereka sebuah mobil berwarna silver diparkir di depannya. Hadi melangkah masuk ke halaman rumah yang lumayan luas itu. Berdiri di sana seorang satpam dan bebarapa asisiten rumah tangga, mereka tersenyum pada Hadi, tapi wajahnya terlihat tegang.Langkah itu berhenti sejenak. Hadi dan Ejaz berdiri tak jauh dari