Andri masih terduduk di sudut sana, saat polisi datang dan mengamankan Alex. Seluruh tubuh gadis itu bergetar, bahkan wajahnya pucat karena ketakutan. Ia bahkan tak bisa sekadar menopang lututnya untuk berdiri. Mata gadis itu menatap kosong, dengan pipi yang basah karena air mata yang sedari tadi mengalir deras. Hampir saja ia kehilangan mahkota berharga yang paling ia jaga selama ini.
Andri memang tak pernah dekat dengan lelaki. Masa lalu membuatnya takut jika mereka yang mengejarnya tak mampu menerimanya jika keadaannya tak seperti sekarang. Itu terbukti setiap kali ia membuktikannya sendiri dengan membuat mereka ilfil. Namun, kebanyakan mereka mundur perlahan karena sadar bahwa gadis itu mengerjainya. Tidak dengan Alex yang menyimpan rencana dan dendam besar.
"Kau aman sekarang." Araska berucap.
Araska mendekat, berjongkok di depan gadis itu. Ia mencoba mendekatkan tubuhnya agar bisa memeluk gadis yang tubuhnya begitu dingin. Araska menenggelamkan kepala gadis itu di dada bidangnya. Berharap Andri tak sungkan melepaskan tangisnya di sana. Jika dulu Araska sering menyelipkan makanan di lacinya, sering membela saat dibully teman-teman, maka biarkan sekarang ia berikan pundak dan dadanya kapan saja untuk melampiaskan rasa sedih Andri, setidaknya itu bisa sedikit mengurangi penyesalan Araska.
Tumpah. Andri menumpahkan tangisnya di pelukan Araska. Tangis karena trauma atas kejadian beberapa menit lalu, juga tangis masa lalu, tangis karena ibu, tangis sakit hati dan kerinduan berbaur menjadi satu. Menyedihkan sekali.
Araska hanya mendengarkan isak tangis yang menyayat itu hingga beberapa lama. Ia sabar menunggu, sampai gadis itu benar-benar merasa tenang. Sebelah tangannya terulur ingin membelai rambut panjang Andri, tapi sadar bahwa keadaan sudah tak seperti dulu, pun ia harus memastikan sesuatu dari gadis itu.
Araska sedang duduk mendengarkan musik, sambil membaca buku di salah satu kursi dekat parkiran motor. Saat itu, ia memang sedang menunggu seseorang untuk sebuah kejelasan yang beberapa hari ini sangat mengganggu tidurnya.
Araska melihat Andri keluar dari selasar. Gadis itu melangkah menuju mobil, tapi kembali berjalan ke selasar setelah mendapat telepon dari seseorang. Araska ingin mengikuti, tapi Andri langkahnya terlalu cepat seperti orang tergesa-gesa. Ponsel Araska berdering membuat ia sejenak menghentikan langkah. Telepon dari tante Sarah yang menitipkan beberapa pesanan untuk dibeli saat ia pulang nanti. Araska sempat kehilangan jejak mencari Andri di kampus yang begitu luas. Namun, saat akan melangkah mencari dari tempat ke tempat lain, Araska mendengar suara teriakan. Ia menajamkan telinga agar bisa menebak dengan tepat di mana arah suara itu.
Araska menemukan Andri di toilet pria. Ia melihat pemandangan yang seketika membuat darahnya seolah mendidih. Lelaki berhidung bangir itu mengepalkan tangan, ada kemarahan di dalam dadanya yang begitu melesak, ingin segera ia keluarkan dengan menghantam wajah dari lelaki yang menindih tubuh Andri. Perlawanan gadis itu lebih menyayat hati, dengan tangan lemahnya Andri bahkan tak bisa menggeser tubuh itu. Gadis itu hanya bisa menangis dan teriak.
Sebuah batu memecahkan bagian pintu yang terbuat dari kaca. Bagian atas pintu itu pecah, membuat Araska bisa dengan mudah membuka kunci yang masih tergantung di handelnya. Tatapan lega dari mata Andri membuat Araska ingin menghajar Alex berkali-kali. Tatapan yang menunjukkan betapa Araska datang tepat waktu, dan itu melegakan sekali. Juga menyiratkan betapa gadis itu begitu ketakutan pada perbuatan Alex.
*
Araska mematikan mesin motornya di depan sebuah rumah mewah. Rumah yang selama ini dihuni oleh Andri dan Naya.
Andri melepas helm dan menyerahkannya pada Araska. Beberapa menit mereka saling diam, seolah ada hal yang ingin ditanyakan, tapi saling menahan.
“Vi ..., Eh, Ndri?”
“Ras ... Araska?”
Keduanya berbicara di saat yang bersamaan, setelah itu hening kembali meningkahi. Tak ada yang benar-benar berbicara, hanya saling menunggu siapa yang akan bicara duluan.
“Kamu dulu deh!” ucap Andri setelah beberapa lama mereka terlihat saling salah tingkah.
“Ah, gapapa. Istirahatlah!” Setelah berpikir lama tentang pertanyaan apa yang tepat, akhirnya hanya itu yang keluar dari mulut Araska.
Lelaki tampan itu menggaruk kepala, membuat Andri tersenyum, tapi dengan cepat gadis itu memalingkan wajah. Takut ketahuan jika ia tersenyum melihat tingkah Araska. Lelaki itu sempat melihat senyum itu setelah sekian lama. Senyum yang kini membuat getaran dalam hatinya, manis sekali.
Andri mengangguk, lalu melangkah ke dalam rumah di mana Naya mungkin telah menunggunya. Gadis itu belum menceritakan hal yang sebenarnya pada Naya. Ia takut mamanya akan khawatir dan membuat perempuan itu kembali hipertensi.
Araska hanya mengucapkan selamat malam. Ia tak tahu harus mengatakan apa lagi.
Mimpi indah?
Araska merasa tak sedekat itu untuk mengatakan kalimat itu. Pun, ia tak tahu apakah yang berdiri di depannya benar-benar gadis dari masa lalunya, atau hanya memiliki banyak kesamaan, wajah dan nama secara bersamaan.
Lalu, siapa gadis yang mati di sungai? Dan siapa gadis yang kini menutup pintu dan melambaikan tangan untuknya setelah mengucapkan terima kasih atas pertolongannya hari ini.
Hari itu Silvi tak sekolah setelah kemarin ia sakit perut. Entah mengapa Araska menjadi bertanya-tanya dan kadang menunggu. Hingga ia memutuskan untuk menjenguk Silvi di rumahnya, seperti yang pernah ia lakukan saat Sekolah Dasar, dulu.
Ia mendatangi rumah Silvi. Namun, tak ada tanda-tanda ada orang di rumah itu. Araska bahkan memberanikan diri mengintip lewat celah dinding rumah Silvi. Benar-benar tak ada orang di sana.
Araska membalikkan badan, sedikit terkejut saat ia lihat orang-orang berlarian sambil meneriakkan sebuah kalimat, seolah ingin memberitahu sebuah berita kepada orang lain.
Mereka berlari dengan begitu paniknya. Araska tak tahu apa yang terjadi. Namun, hatinya mulai berdetak tak karuan dengan napas yang tersengal-sengal karena ikut berlari dengan warga di dekat rumah Silvi.
“Ada anak SMP hanyut.”
“Ada orang bunuh diri.”
Teriak beberapa warga sambil berlari.
Araska merasa lemas mendengar berita itu, pikirannya mulai menyimpulkan hal yang semakin menyesakkan dada. Ia tetap melanjutkan berlari menyusuri tempat kejadian.
Sampai di sungai, police line membatasi tempat kejadian. Orang-orang ramai berkerumunan seperti semut yang mengelilingi gula. Hati Araska kembali berpacu dengan cepat. Ia menembus beberapa kerumunan, hingga akhirnya ia melihat seorang polisi menutup tubuh pucat itu dengan plastik pembungkus mayat. Ia sempat melihat rambut sebahu dan wajah pucat gadis itu. Sangat pucat, karena sudah dua hari terendam dalam sungai, dan tim SAR baru menemukan hari itu.
“Dia ditinggal ibunya.”
“Ibunya yang membunuhnya.”
Seorang ibu bertubuh tambun menangis begitu kerasnya, sambil memberikan keterangan kepada polisi.
Araska mulai menangis, ia menjauh dari kerumunan. Saat berbalik, ia menginjak sesuatu di sepatunya. Sesuatu yang basah. Araska berjongkok, mengambil sesuatu dari dalam tas yang begitu ia kenali. Tas yang baru beberapa hari lalu dipakai Silvi, yang membuat gadis itu seringkali mengelapnya saat terlihat kotor, padahal tak ada sesuatu yang mengotori tas itu. Hanya saja, gadis itu terlalu menyayangi tas barunya. Atau mungkin, ia akan merawat tas itu hingga bisa dibawa masuk SMA.
Araska menyesali banyak hal. Ia pernah menyalahkan diri sendiri karena Silvi yang bunuh diri. Ia baru menyadari bahwa hari itu adalah hari terakhir Silvi sekolah. Gadis itu sakit perut, tapi Araska menolak untuk mengantarnya. Jika ia tahu, Silvi akan bunuh diri, Araska akan mengantarnya. Araska akan memberi semangat untuknya. Araska menyesali itu semua, menyesali waktu yang tak pernah bisa diputar kembali.
Araska kembali membayangkan luka di hati Silvi. Kembali membayangkan kesulitan hidupnya. Araska tahu, bahwa ia selama ini menjadi penyemangat hidup gadis itu. Namun, ia malah menyuruh menjauh darinya.
Hingga beberapa saat lalu, Araska bertemu seorang gadis yang wajahnya begitu mirip dengan Silvi, ia merasa seolah ada yang memindahkan beban dan penyesalan dalam hatinya. Ia merasa bertemu Silvi. Araska berharap gadis itu memang Silvi.
Namun, keyakinannya dan keraguan datang bersamaan. Antara yakin dan tak yakin, sebab itu Araska menunggu waktu yang tepat untuk bertanya.
*
“Udah tidur?” Araska mengirim sebuah pesan W******p untuk Andri. Mereka saling menyimpan nomor saat tadi di kantor polisi.
“Belum.”
“Tidurlah! Tenangkan pikiranmu, besok kita ada kelas pagi.”
Di samping jalan, Araska melihat ke sebuah rumah, tepat pada sebuah kamar yang menghadap jalan raya. Lampu dimatikan, menandakan seseorang akan bersiap tidur di dalam sana.
Araska menghidupkan mesin motornya, lalu benar-benar pulang setelah memastikan gadis itu tertidur.
*
JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK DI SINI YA. SHARE JUGA BIAR YANG BACA MAKIN RAME
TERIMA KASIH 🙏
Bab 6.Motor Araska menepi di depan sebuah restoran. Andri merapikan rambut panjangnya setelah beberapa saat diacak-acak oleh angin saat ia berboncengan di motor Araska.Mereka baru saja menyelesaikan mata kuliah terakhir untuk hari itu. Araska mengajak Andri untuk pulang bersama, karena tadi pagi lelaki itu juga menjemputnya. Entahlah, Araska merasa takut jika terjadi sesuatu yang buruk lagi pada gadis itu.Sejak kejadian hari itu, mereka sering berkomunikasi lewat telepon. Setidaknya baru hari ini, karena Araska meminta menjemput.Awalnya mereka tak banyak berbicara saat bertemu, pun di dalam kelas. Namun, mereka bersikap seperti teman lama yang sudah cukup mengenal satu sama lain, tapi gengsi menyapa satu sama lain. Satu sisi, karena Araska masih mempertanyakan apa yang terjadi pada hidup gadis itu hingga ia bisa berubah sedemikian rupa. Bagi Araska, gadis itu tetap sama. Satu sisi, ia kuat, tapi sisi lain, Andri terlalu lemah, hingga membuat Araska ingin melindunginya.Araska mem
Beberapa tahun yang lalu.Senin.Bagi sebagian orang, pembuka hari itu menjadi semangat baru untuk mereka yang bekerja atau anak-anak bersekolah, setelah kemarin menghabiskan waktu liburan bersama keluarga atau teman. Namun, tidak bagi Silvi, seorang gadis yang baru saja duduk di bangku kelas enam sekolah dasar.Gadis itu sama sekali tak menyukai hari Senin. Bahkan, ia terlalu membencinya. Karena baginya, hari itu lebih menyedihkan dari hari lainnya. Rasanya setiap hari memang sama saja, tak memberinya sedikit pun bahagia layaknya yang dirasa oleh anak-anak lain. Baginya, Senin lebih memberinya tekanan ketimbang kenyamanan atau kebahagian yang layak dinikmati.“Silvi mana?”“Ini tempat Silvi!”Sahut-sahutan beberapa teman sekelas Silvi menanyainya. Mereka sibuk melongok ke sana kemari, tapi tak menemukan sosok yang dipanggil.Lapangan masih belum penuh terisi oleh semua siswa. Sebagian siswa telah berbaris dengan rapi, pun kelas enam sudah menempati posisi di mana biasanya mereka berd
Pagi.Silvi bangun dengan perasaan bahagia, karena tak ada jemuran yang menjadi pekerjaan tambahannya hari ini. Semalam ia dan ibu tidur dengan nyaman di bawah cahaya bulan purnama yang menyesak melalui celah genteng yang sudah berlubang.Gadis itu bangkit dari kasur kapuk yang bau khasnya sedikit menguar, langkah kaki Silvi menuju kamar mandi yang terletak di belakang rumah. Kamar mandi khas pemukiman kumuh yang hanya tertutupi dengan plastik-plastik bekas. Namun, beruntungnya ada sumur yang airnya putih dan bersih.Usai mandi, Silvi kembali ke kamar. Kamar yang ditempati oleh dia dan ibu. Ada banyak barang-barang di sana, meja tempat Silvi menyusun buku-buku pelajaran dan buku tulis yang ia dapat dari tong sampah depan gang atau jalan, tempat penampungan sampah orang-orang kaya. Lumayan, halamannya masih sangat banyak atau bahkan hanya ditulis beberapa lembar saja. Silvi mengambilnya, mencoret nama mengganti dengan namanya. Gadis kurus itu bahagia karena satu beban ibu terbantu deng
Setiap sore, di lingkungan tempat tinggal Silvi selalu ada permainan yang dimainkan anak-anak. Mereka mengisi waktu luang, dan memenuhi keceriaan masa kanak-kanak.Anak-anak akan bermain sesuai musiman, kadang main catur, kadang lompat karet, atau main gambar kartu. Gadis-gadis kecil itu biasanya bermain di rumah Uta, rumah paling besar di sekitar itu. Selain besar, rumah Uta juga mempunyai taman dan rumput yang hijau, membuat anak-anak senang bermain di rumahnya. Namun, hanya anak-anak yang terpilih yang bisa bermain di rumahnya, seolah ada barcode pengaman dari pagar untuk masuk ke rumah. Barcode yang hanya menyeleksi anak-anak orang kaya.Untuk anak seperti Silvi, tentu saja tak menjadi pilihan. Sebab itu, gadis dekil itu hanya mengintip di balik tembok tinggi rumah Uta. Tak berani masuk dan tak ada yang menyuruhnya masuk, pun tahu diri bahwa dia akan diabaikan di sana.Kadang Silvi merasa bosan di rumah, tak ada yang bisa ia lakukan untuk sekadar mengisi waktu luang menunggu ibuny
Matahari mulai menampakkan sinarnya, pertanda semua orang akan kembali melakukan aktivitas masing-masing. Begitupun Silvi, ia seperti dipaksa mengulang aktivitas yang sama setiap harinya. Tak ada yang istimewa, yang ada hanya kebosanan yang mendera. Tanpa teman, hanya kesunyian.Sekolah Silvi terletak tak jauh dari gang rumahnya, setiap hari ia akan berjalan kaki menuju ke tempatnya mencari ilmu. Banyak juga anak-anak yang seperti dirinya, berjalan kaki. Hanya beberapa saja yang diantar orang tua, seperti Uta karena sekalian dengan sang ayah yang pergi bekerja.Silvi berjalan hati-hati, bukan tak kuat berjalan karena tak sarapan tadi pagi. Tapi karena menjaga sepatunya agar tak bertambah rusak di bagian depan. Ia menghindari batu dan kerikil agar sepatunya awet sampai ia lulus SD. Sampai di sekolah, Silvi berpapasan dengan Uta dan teman-temannya. Sepertinya mereka baru saja dari kantin, terlihat dari minuman dan makanan ringan yang mereka bawa.“Hai, Tiang Listrik!” Uta menyapa. Tapi
Silvi baru saja ingin meletakkan tas ke dalam laci, saat ia melihat sesuatu di dalamnya. Tangannya terulur mengambil sesuatu yang ia yakin tak menaruhnya sama sekali. Matanya berbinar, melihat dua coklat silver queen dan sebungkus roti. Tak hanya itu, ada satu botol air mineral di sana.Wajah Silvi tampak bahagia mendapat itu semua. Namun, Silvi bingung siapa yang meletakkannya. Ia menebak satu nama yang selama ini diam-diam berbaik hati padanya, tapi tebakan itu seolah terbantah saat ia melihat Araska masuk kelas sambil bercanda ria bersama teman-temannya. Itu menandakan bahwa ia baru datang, dan tidak mungkin rasanya jika ia yang memberikan coklat itu.Silvi menyerah untuk menebak, karena selain Araska, tidak ada yang peduli padanya selama ini. Gadis itu menyimpan coklat itu ke dalam tas yang talinya entah sudah ada berapa jahitan. Mungkin hari ini memang rezeki Silvi, karena ada yang berbaik hati memberinya makanan, itu rezeki dari Tuhan.Setidaknya hari ini Silvi tak harus menahan
Sekolah masih lumayan sepi saat Silvi sampai di gerbang sekolah. Hanya ada beberapa motor guru, dan beberapa siswa yang juga baru datang seperti dirinya. Hari ini gadis itu datang lebih awal. Bukan karena ada PR atau tugas piket kelas yang harus ia kerjakan. Hanya saja ia ingin memastikan sesuatu. Sesuatu yang beberapa hari ini mengusik rasa penasarannya.Langkah kaki jenjang Silvi menuju ke kelas. Lalu, saat sampai di depan kelas, ia memelankan langkah agar tak ada suara sepatu yang berbunyi, karena terlihat kepala seseorang dari jendela kaca. Dengan hati-hati Silvi mengintip dari luar jendela. Terlihat ada seorang siswa yang berdiri di dekat mejanya, hanya punggungnya yang terlihat, bukan wajahnya hingga gadis itu sulit menebak. Lalu bocah lelaki itu mengeluarkan beberapa makanan dari dalam tas, dan meletakkannya di dalam laci di meja Silvi.Silvi penasaran, sejak seminggu terakhir selalu ada makanan dalam lacinya. Kadang roti, kadang gorengan, kadang makanan ringan. Setiap pagi Sil
“Ciee ... Araska diam-diam pacaran sama Silvi.”“Ciee ... yang baru jadian sama Silvi.”“Selamat yah!” Rangga kembali tertawa.Suasana terlalu riuh saat seisi kelas menertawakan Araska. Kejadian itu dimulai saat Rangga, salah satu teman kelas Araska mendapati anak lelaki itu ketahuan meletakkan sesuatu di dalam laci milik Silvi.Rangga mendekat untuk memastikan apa yang dimasukkan Araska, lalu tawa Rangga pecah saat melihat beberapa makanan dan minuman yang dibungkus kresek."Biasa aja, elah!" Araska menoyor kepala temannya. Ia tak suka dikatai sebagai pacar Silvi, bagaimana bisa ia menyukainya jika penampilan Silvi saja bikin eneg. Rambut awut-awutan, dipotong pendek pula. Belum lagi tubuh kurus dan jalannya yang sedikit membungkuk. Araska benar-benar geli mendengar ejekan teman-temannya.Lalu, yang dilakukan Araska untuk apa sebenarnya? Ia juga bingung kenapa ada rasa peduli yang besar ketika melihat ekspresi wajah Silvi. Entah saat belajar di kelas, saat olah raga, atau saat jam i