"Oke, oke. Maaf, bukan maksud yang aneh-aneh. Enggak, Akang juga tahu kita cuma sahabat dan teman saja. Aku tahu ... tapi," jelas Tania yang menunduk.
"Kang Gema, enggak mau aku bahagia? Begitu?" "Bukan! Kamu harus bahagia, tapi aku takut kejadian yang lalu terulang lagi. Kamu yakin? Ibu pasti marah besar." Gema memegang bahu Tania hingga saling pandang. "Yakin! Hatiku berkata seperti itu. Aa Asep pasti bisa menghadapi ibu. Tidak akan terulang lagi, Kang." "Apa karena pekerjaan Aa Asep, Kang? Akang jadi ragu?" tanya Tania yang duduk di pinggir kasur. "Iya, tapi aku percaya Asep akan berjuang untukmu. Kamu tahu sendiri. Ibuku yang jadi masalahnya." Gema bersimpuh dan menggenggam tangan sang adik. "Itulah yang ingin dibuktikan sama Aa Asep. Bahwa dia mampu dan bisa. Dan aku pun ingin buktikan tanpa pacaran bisa kok menikah." "Oke, aku paham. Ibu pasti nolak atau malah merendahkan Asep. Seperti mantanmu, Galuh. Bagaimana? Asep sanggupkah?" Tania terdiam, berpikir keras. Namun, dari setiap do'a yang selalu dia panjatkan. Memberi jawaban, hatinya mengatakan Asep pasti bisa menerobos semua halangan. Tania menggenggam erat tangan Gema, wanita itu tersenyum lebar dan menganggukan kepalanya. Gema yang sudah memperingatkan Tania, tapi dengan melihat keyakinan Sang adik. Gema perlahan mempercayai keyakinan Tania terhadap Asep. Namun, dalam hatinya Gema harus berbicara serius dan hanya empat mata dengan Asep. "Hal itu enggak akan terjadi, Kang. Aku yakin Aa Asep sanggup." Tania mengelus rambut Gema yang akhirnya mau tersenyum juga. "Oke, kalau itu yang kamu inginkan. Tapi, aku peringatkan satu hal. Ibuku mulai mencari pria untukmu. Niat jahat mereka yang memaksa kamu nikah dengan orang kaya tetap mereka lakukan. Hati-hati, kasih tahu Asep juga," jelas Gema yang mengajaknya duduk di ruang tamu. "Apa? Gila! Oke, tidak ada rahasia antara keluarga kita ke Aa Asep. Aku tidak mau mengabulkan keinginan ibu," jawab Tania yang mengekor Gema. *** Asep yang dengan telaten menyuapi calon mertuanya. Ucup hanya menepuk-nepuk bahu Asep yang terdiam tanpa berbicara apa pun. Ucup seperti melihat sesosok pria yang akan menolong keluarganya. Ucup yakin saat pertama kali bertemu dengan Asep. Sifat dan sikap Asep menjunjung tinggi attitude yang sangat baik. Setengah lagi makanan akan habis, Asep memulai perbincangan yang sangat sederhana dan menyenangkan. Ucup berkali-kali tertawa dengan celotehan pria tampan itu. Sampai akhirnya Ucup bertanya yang membuat suasana jadi serius. "Kalau melihatmu. Aku jadi teringat masa mudaku. Tampan, pekerja keras, semangat tinggi," ucap Ucup setelah menghabiskan makan dan minum. "Waw, jadi aku adik Abah, dong? Kan mirip." Asep cekikikan dengan menyenggol tangan Ucup. Mereka pun tertawa lepas. "Kamu di sini hampir tiga bulan lebih, ya? Ada maksud apa ini datang ke rumah? Pakai baju bagus lagi." Ucup fokus memandangi lawan bicaranya itu. "Kurang lebih tiga bulan Abah. Yah, ingin memperkenalkan diri secara resmi. Maksud kedatanganku pun ingin menjelaskan hal serius untuk hubungan kami." Asep meletakan piring dan gelas di meja samping. "Hmm, kalian berpacaran? Kok Abah enggak tahu, ya?" "Enggak, Abah. Kami berteman dan bersahabatan kok." "Oh, begitu pantas saja. Lalu kamu sudah tahu keadaan rumah kami. Kenapa masih maju? Tidak malu, kah? Coba pikir-pikir lagi. Abah takut kamu menyesal." Ucup mengelus lembut wajah dan rambut Asep. "Sudah tahu. Tidak akan menyesal Abah. Aku yakin jodohku cuma sama anak Abah. Di setiap do'a dan solatku, terjawab dengan hati dan pikiran yang terus tertuju ke Tania." "Kamu benar-benar mencintai dan menyayangi anakku? Dan soal pekerjaanmu, istriku pasti akan menentangmu!" gertak Ucup yang terus merasa ragu. Asep pun terdiam sejenak, dan berpikir keras. "Iya, aku mencintai dan menyayangi Tania. Aku tahu Abah. Tapi, akanku buktikan dengan membahagiakan anak Abah. Soal mahar berapapun akan aku penuhi. Abah jangan khawatir soal yang lainnya. Aku sudah mempersiapkan semuanya dari yang terkecil sampai terbesar," terang Asep yang membuat Ucup berlinang airmata. "Nak, satu pesanku. Lindungi anakku, sayangi dan cintai anakku, dan aku tidak terima kalau kamu berani menyakiti Tania. Kalau sudah tidak sanggup lagi. Kembalikanlah Tania padaku." Pesan sang ayah untuk anaknya, yang didengar langsung Gema dan Tania. Rose dan Cindy sudah memasang wajah marah. "Abah, berarti menerimaku? Merestui kami?" tanya Asep yang memastikan kembali. "Iya, bahagiakan dan selamatkan anakku, Asep." "Alhamdulillah, kita bicarakan ke keluarga Abah dan keluargaku. Abah, punten!" pinta Asep langsung menggendong ala bride style ke ruang tamu. Asep yang sangat bahagia, langsung melakukan musyawarah di ruang tamu. Tania yang sumringah dengan berlinang air mata. Ucup duduk di tengah yang diapit Gema dan Tania. Sang suami memanggil Rose dan Cindy untuk ikut serta. Asep yang sudah berbaur dengan keluarga Tania dan Iis selama tiga bulan. Untuk pendekatan pun tidak akan terlalu sulit, hanya saja masih ada satu rintangan yang menjadi penghalang pernikahan. Tania dan Asep harus bisa menembus tembok besar itu. Yah, tembok egoisnya Rose dan Cindy yang selalu berniat jahat. Pria tampan itu duduk dihadapan semuanya, dia menghela napas dan mengulangi perkataan untuk niat baik meminang Tania. Rose cemberut dan memandang Si Badut dari ujung kaki ke kepala. Cindy terus mendengus kesal, menatap sinis. "Ngaca atuh, euy! Kamu yang kerjanya jadi badut itu? Mau nikahin adik ipar aku yang cantik ini?" seru Cindy sambil menunjuk-nunjuk Asep. "Ah, aku tahu pasti mau manfaatin Tania, kan? Karena dia bekerja di kantoran!" omel Cindy yang sudah emosi sekali. "Kamu punya apa? Penghasilan pas-pasan gitu! Aku tidak setuju!" teriak Rose yang langsung menolak keras Asep. "Ibu! Kenapa sih? Selalu saja menghalangi kebahagiaanku!" murka Tania yang mulai menangis. "Kebahagiaanmu harus dan wajib kita rasakan bersama Tania! Enak, saja kalau kamu saja yang merasakan!" omel Rose yang melototi Asep. "Cukup. Memang, aku hanya kerja sebagai Badut. Tapi, aku bisa membahagiakan semuanya." "Satu lagi, Bu. Pernikahan ini bisa berlanjut tanpa restumu. Karena yang sah adalah yang akan menjadi wali nikah. Yaitu, restu Abah." Lanjut Asep dengan menajamkan mata elang itu. Yang membuat Cindy dan Rose bergidik ketakutan. "Te-teu ... Teu bisa ki-kitu! Tetap aku pun harus merestui pernikahan ini. Emang, siapa nanti yang urus tenda, yang masak, dan lain-lainnya. Emang, kamu ada uang untuk kebutuhan resepsinya?" gertak Rose yang melotot balik dengan mengintimidasi. "Ngapain repot-repot dan cape hanya mempersiapkan resepsi? KUA gratis, cuma bayar administrasi. Sekarang zaman modern serba instan. Aku bisa pakai jasa WO saja. Tinggal rapat-rapat, diskusi, dan bayar. Duduk manis sampai hari pernikahan," balas Asep yang tersenyum sinis dan menatap dalam Gema. "Emang, murah pake jasa WO? Belum pengajian dan siraman. Tunjukin kalau punya uang!" sindir Cindy yang kebingungan dengan jawaban Asep. "Cindy ... Cindy. Uang terus yang dipikirin. Emang, butuh berapa sih? Mau mahar berapa?" timpal Asep dengan senyum tiga jarinya. "Oke, Rp. 500.000.000 sekalian bisa sewa tempat! Sanggup enggak? Kalau kamu sanggup, aku akan kasih restu!" geram Rose yang menantang Asep sampai menggebrak meja. "Oh, segitu. Oke, siap. Tania mau ada tunangan dulu enggak? Kalau mau, aku saja yang persiapkan semuanya. Seminggu lagi aku akan bawa orang tuaku ke sini." Asep dengan percaya diri menyetujui. Semua orang syok, terutama Tania yang memikirkan bagaimana cara Asep mendapatkan uang sebesar itu. "Aa! Beneran ada uangnya? Jangan maksain diri Aa," lirih Tania yang terisak-isak dan menghampiri Asep. "Ada, kan aku bertahun-tahun nabung. Kamu juga sudah lama menabung untuk hal ini, kan? Gimana ada pertunangan dulu?" Asep menyakinkan dan menenangkan Tania dengan mengelus punggungnya. "Asep? Kamu enggak bercanda dan bohong, kan?" tanya Gema dengan kebingungan. "Benar. Ada hasil kerja kerasku selama ini. Ingat, aku bukan Si Badut biasa. Aku Si Ate yang pemberani." Asep menepuk punggung tangan Gema. "Aa kenapa sih? Kenapa enggak diobrolin dulu sama aku? Aku pun harus ikut serta hal apa pun. Aku harus tahu. Aku enggak suka Aa kaya gini. Bertindak sendiri!" jerit Tania yang semakin menangis pilu dan berlalu pergi ke teras. Asep memejamkan mata dan menghela napas. "Betul kata Tania. Kamu harus diskusikan hal kecil apa pun. Kan nanti yang berumah tangga kalian berdua. Lanjut nanti. Tenangkan dulu adikku." Gema menepuk bahu dan meminta menyusul Tania. Ucup pun mengangguk setuju. *** Tania diam di benteng dengan memainkan kancing blazer berwarna hitamnya. Dia marah dan kesal, seharusnya Asep bertanya dan memberitahu rencana dan keinginan apa pun ke dirinya. Dia terus menyeka air matanya, mata sendu melirik pria yang diam menatap dalam punggung Tania. Asep langsung memeluk dari belakang dan menggenggam kedua tangan mungil itu. Tania sedikit berontak, mencoba menepis tangan kekar itu yang berakhir kalah. Mereka hanya diam, terdengar suara jantung yang berdetak dan suara napas saja. Tubuh Tania semakin bergetar, tangis keras pun terjadi lagi. Asep membalikan tubuh wanita itu, dia memeluk erat Tania. Pria itu mengecup ubun-ubun dengan mengelus lembut rambut Tania. "Maaf-maaf. Aku tidak berpikir ke situ. Sungguh! Maaf, aku menyakitimu tanpa aku sadari," bujuk Asep yang terus menenangkan Tania. "Aa ... aku merasa tidak dilibatkan apa pun. Aku sangat senang dan bersyukur Aa bisa berjuang untukku. Tapi, aku pun ingin berjuang bersama-sama. A-aku ti-tidak mau Aa terluka sendirian," gagap Tania dengan bibir bergetar. "Oke, aku akan melibatkan kamu. Terima kasih mau berjuang bersamaku. Sekali lagi, maafkan aku." Asep menunduk dan Tania mendongak. Mereka menatap dalam dan sangat dalam sampai terhanyut suasana. Keduanya menutup mata, yang ingin menyatukan bibir merah itu. Mereka tidak menyadari Gema sudah diam di belakang. "Ekem! Jangan dulu atuh! Belum sah! Hai!" teriak Gema dengan meletakan tangan diantara bibir mereka. Asep dan Tania yang terkejut langsung berbalik badan. "Aduh, Gema maaf-maaf ... duh, bibir ini! Tahan dong! Tahan!" murka Asep yang terus memukul bibir seksinya. Kakak-Adik itu pun tertawa bersama. Ucup yang melihat keakraban itu, merasakan ketenangan. Selama ini takut kalau anak-anaknya akan terus terluka. Ucup menatap sinis istri dan mantunya. Rose dan Cindy sangat tidak suka dengan Asep. Rencana mereka yang ingin menjodohkan dengan orang kaya. Pupus sudah harapan dua Nenek Lampir itu. Dering ponsel Rose berbunyi, dia pergi ke arah dapur. Asep yang melihat Rose pergi. Ada rasa penasaran yang besar, akhirnya Si Badut pun mengikuti ke luar lewat belakang rumah. Tania dan Gema sudah masuk ke rumah, saat menanti Asep tak kunjung datang juga. Tania panik, langsung menelepon dan mengirim pesan lewat W******p berkali-kali. Tania : Aa ke mana? Kok ke belakang rumah? Ada apa? Tania : Aa enggak kabur, kan? Enggak, kan? Tania : Aa! Angkat! Asep yang membaca pesan pun cekikikan, dia sampai lupa mengabari Tania. Dia pun membalas pesan secara singkat. Asep : Enggak ke mana-mana. Ada tukang baso lewat, lupa bilang aku. Maaf. Lapar. Asep : Mau baso? Aku beliin buat orang rumah, ya. Tania : Bohong! Iya, aku juga lapar. Kok malam-malam ada tukang baso? Asep : Ada, itu Mang Iup langananku. Tadi lewat rumahmu. Sebentar, yah. Asep mengendap-endap sembari memesan baso. Dia mempertajam pendengaran, dapur Tania memiliki jendela yang cukup besar. Untungnya jendela kaca itu terbuka sedikit. Rose yang marah terus memerintahkan sesuatu. Asep yang menepuk bahu Mang Iup untuk membungkus semuanya. Dia mundur dan menempel dinding di sinari lampu yang remang-remang. "Pokoknya, lacak! Aku enggak mau tahu. Harus ketemu semua tentang Asep Saepudin," perintah Rose yang sudah tak sabar. "Bodoh! Mana aku paham soal itu. Kamu sudah aku bayar! Bosmu yang menunjuk kamu langsung. Masa kagak dapet apa-apa?" Rose menepuk jidatnya yang tidak habis pikir. "Bos Abdullah akan lebih murka kalau tahu kamu bermain-main dengan adiknya. Memang, aku bodoh! Sudahlah, besok! Ingat!" Dia menutup ponselnya dan menghentakkan kaki. "Oh, begitu cara mainnya. Silakan lacak sesuka hati kalian." Asep cekikikan sambil membawa kantong hitam. Dia masuk ke rumah Tania lagi. "Aa! Huh!" gerutu Tania yang langsung mengambil kantong itu. Dia pergi ke dapur untuk membawa piring. Tania dan Rose berpapasan dengan saling menatap sinis. "Bu, kita makan baso bareng," ajak Asep yang berusaha tetap baik. "Baso? Bosen! Makanan kampung. Burger atau pizza gitu." Rose memalingkan muka dan masuk ke kamar yang disusul Cindy. "Oh, nanti aku bawa, ya. Sekarang sudah pada tutup. Asik, jadi makan dua bungkus deh," balas Asep yang kegirangan. "Aa, jangan gitu lagi. Aku panik tahu. Ayo, makan," keluh Tania sambil menyodorkan piring. Asep tersenyum dan mengelus rambut Tania. "Maaf, takut Mang Iup langsung pergi. Siap, Ibu Negara." "Asep, makan di teras, yuk. Yah, sambil ngobrol-ngobrol gitu. Tania sama Abah dulu, oke. Ini khusus obrolan para pria dewasa." Gema mengedipkan mata yang dipahami Asep. Tania hanya cemberut.Dua pria itu asik menikmati santap malamnya. Namun, hanya terdengar suara sendok yang menyentuh piring saja. Tidak ada yang memulai percakapan. Asep menatap lekat calon kakak iparnya itu dengan seksama. Dia belum berani memulai, ada rasa segan ke Gema. Walau seumuran Asep merasa Gema jauh lebih dewasa daripada dirinya. Gema menyadari gestur Asep yang penasaran dengan topik pembicaraan. Dia pun menatap lama calon adik iparnya itu. Dia jauh lebih penasaran kehidupan Asep. Sejak kapan Tania dekat, mengapa memilih Tania, dan semua pertanyaan bercampur aduk di kepalanya. Gema menghela napas panjang, lalu meletakkan piring kosong di sampingnya. Dia pun duduk bersila dengan menghisap rokok. "Apa yang membuatmu tertarik dengan adikku? Kamu sudah yakin?" tanya Gema penuh dengan penekanan. "Sudah, banyak hal. Tapi, yang pasti senyumannya, kebaikannya, kesetiannya. Dalam pola pikirnya dan mengambil keputusan." Asep cepat-cepat menelan baksonya. "Tapi, kamu tahu se
"Aa, sudah aku mohon!" lirih Tania yang menangis dengan memalingkan muka. Asep langsung melepaskan bibir seksinya."Ma-maaf, aku minta maaf!" mohon Asep yang langsung menjauh dan mendekap mulut. "Apa yang aku perbuat? Kenapa? Bodoh! Aku bodoh!" batin Asep yang mengatur napasnya."Ada apa sama Aa? Kenapa dilanggar sih?" murka Tania yang bangun, rambut yang masih berantakan langsung dirapikan. Warna lipstik yang menyebar ke semua bibirnya dan bibir Asep."Maaf, enggak tahu kenapa! Tapi, jujur saja aku tidak bisa mengendalikannya." Asep menghapus air mata Tania. Dan Asep menghapus bekas lipstik di bibirnya."Aku salah! Tampar! Tampar aku!" teriak Asep yang menarik telapak tangan Tania ke arah pipinya yang masih penuh lebam itu."Enggak, aku enggak tega. Masa aku buat orang sakit makin kesakitan. Aa kenapa? Aa suka sama aku?" cecar Tania yang meletakan telapak tangannya di pipi Asep. Lalu mengelus lembut luka itu."Iya. Aku
"Nanti kamu pulang langsung ke rumah. Jangan minta yang aneh-aneh sama Ujang. Oh, jangan pelukan di motor! Paham?" perintah Asep saat melihat wanita itu siap-siap pulang bersama Ujang. "Oke, Hottie. Cie, cemburu nih?" goda Tania dengan merangkul lengan Ujang. Ujang pun langsung merespon dengan mimik wajah super model. "Lepas, Ujang! Iya, enggak suka." Asep melempar bantal lagi ke arah wajah Ujang. Langsung disambut tertawa jahil dari mereka. Tania bersalaman dan berpelukan sebentar. "Aa makan yang banyak. Istirahat yang cukup. Biar nanti aku bisa ketemu ibu dan ayah Aa." Tania menoleh ke arah gantungan baju. Dia baru berdiri dan sadar ada benda aneh di situ. "Aa itu apa? Ada rompi yang sering dipakai tentara sama polisi gitu deh?" tanya Tania yang membuat panik kedua pria itu. Ujang langsung menutup gantungan yang ada di belakang pintu. "Oh, itu. Dulu kalau tampil di event ulang tahun atau syukuran anak-anak sekolah. Pakai itu." Ase
"Iya, tapi jangan pakai baju seksi. Pakai kaos sama celana pendek selutut. Paham?" cetus Asep yang membuat Tania cekikikan. "Aa juga sama jangan yang ketat dan pendek. Paham?" balas Tania yang membuat Asep tertawa lepas. Mereka pun berangkat lagi dengan hati senang. Di belokan setelah jembatan kuning, Asep masuk ke gang kecil dan masuk lagi melewati gapura. Mereka pun berhenti di sebuah rumah dengan halaman belakang perkebunan dan sawah. Rumah sederhana berwarna biru langit dan putih. Ada dua orang yang sudah menunggu di depan teras duduk di bangku rotan. Wanita dan pria paruh baya dengan uban yang menghiasi rambutnya. Mereka tersenyum manis dan berdiri menyambut sang anak dan calon mantunya. Nissa berlinang airmata, langsung memeluk erat Asep. Sang ayah Uun Kurniawan menepuk-nepuk bahu anaknya. Dia menarik lembut Tania dan mereka saling berpelukan hangat. Mereka menangis bahagia dan rindu yang terbayarkan. Asep memang sudah lama tidak
"Teh, mau sayurnya? Tambahin sama oseng tempe, ya." Tania mengambil piring oseng tempe dan mangkuk untuk menuangkan sayur. "Eh, iya. Boleh-boleh. Kamu jam berapa sampai? Pasti perjalanan jauh." Asri menerima piring itu dan mengambil kerupuk. "Jam 12. Soalnya, banyak berhenti pas dari Cibiru. Kan di situ macet parah mau jam makan siang." Tania mengambil gehu dan teh hangat buat Asep. "Duh, pasti cape pisan. Nanti udah makan langsung istirahat." Asri makan dengan lahap. Ibu menyusui jauh lebih banyak makannya. "Iya, teh. Kalau udah makan. Isoma deh." Tania berpamitan untuk ke dalam di susul Asep. *** Mereka shalat berjamaah dengan saudara yang lain. Bibi dari pihak bapak langsung menarik Tania agar bersebelahan dengannya. Ketika shalat selesai mulailah bergosip ria. Asep yang mengerti sorotan mata dari Tania yang meminta tolong untuk keluar dari kerumunan itu. Asep dengan sopan menarik Tan
"Hmm, lihat saja nanti." Tania tertawa terbahak-bahak. Asep berdecak. "Pemandangannya aku suka banget! Kalau ke sini lagi bawa keluarga aku, ya. Boleh?" tanya Tania sambil menyandar di dada Asep. "Boleh, bagus juga buat Abah. Biar enggak kaku banget. Neng, sini!" pinta Asep yang membalikan tubuh Tania hingga saling berhadapan. "Sekarang, kamu latihan pernapasan. Baru terapi air terjun di patung ikan. Terus latihan berenang lagi. Baru kita pulang, oke?" perintah Asep yang membuat Tania merengek seperti anak kecil. "Enggak mau! Capek, Aa. Ih." Tania memalingkan muka dan menepuk-nepuk permukaan air hingga Asep kemasukan air kolam. "Hayo, siapa yang punya asma? Ya, sudah aku tinggalin saja," seru Asep yang langsung naik ke pinggir kolam. Tania pun panik. "Aku! Iya-iya jangan pergi!" bujuk Tania yang menarik kaki yang berbulu tipis itu. "Janga
"Lepasin! Sakit! Tolong ...!" jerit Tania Nuraini yang terus diseret-seret dan terus dipeluk. Tiga preman itu sangat beringas. "Diam! Stt! Jangan coba-coba kabur. Masuk ke mobil." Preman yang mengancam. "Woy! Lepasin temanku!" Si Badut melihat jelas adegan itu dan disusul sahabatnya. Mereka berlari kencang untuk menolong. Tania terus melawan dan berontak dari orang-orang besar dan berkulit sawo matang. Tania dan Iis dibekap kain, tubuh menjadi lemas. Preman-preman itu baru mau mengendong mereka. Si Badut dan Si Tukang Balon langsung menendang dan menarik lawannya. Baku hantam terjadi, saling serang dan bertahan begitu alot. Tania dan Iis terkulai lemah dan setengah sadar di pinggir trotoar. Tania memfokuskan matanya, melihat pertarungan dashyat. Si Badut alias Asep Saepudin mengeluarkan jurus silat, sedangkan Si Tukang Balon alias Ujang Sumarwan mengeluarkan jurus taekwondo. Preman-preman itu pun takluk dan memilih mundur. "Tania! Iis! Sadar, ini kami." Ujang yang membawa minyak k
Rose menarik Cindy, mengajaknya untuk pergi ke bank. Tania dan Gema langsung berlari ke dalam untuk mencegah mereka. Tentu tenaga Gema lebih besar dan dapat merebut berkas itu. Cindy yang marah merebut kunci motor dengan cepat. Tania terkejut, tangan Rose mendarat tepat di pipi anak kandungnya. Tania ingin menampar balik, tetapi ditahan oleh Gema. Namun, Tania lengah baru mau menoleh. Tangan Cindy mendarat di pipi adik iparnya. Gema langsung memeluk adiknya yang terguncang. Anehnya, Rose masih sempat mengambil uang yang masih digenggam Tania. Gema terus menahan tubuh mungil yang terus bergetar hebat. Tania menahan amarahnya demi Gema. Rose menarik paksa merebut berkas lagi, dibantu menantunya. Gema pun bertengkar hebat, melawan dua orang yang sangat dia sayangi. Saat Tania ingin menolong ayah kandungnya, langkahnya terhenti karena mendengar satu kalimat dari Cindy Berna. "Kalau saja kamu nikah, kita bisa hidup enak! Apa susahnya sih dijodohin enggak mau." "Ulangi lagi!" murka Tania