"Teh, mau sayurnya? Tambahin sama oseng tempe, ya." Tania mengambil piring oseng tempe dan mangkuk untuk menuangkan sayur.
"Eh, iya. Boleh-boleh. Kamu jam berapa sampai? Pasti perjalanan jauh." Asri menerima piring itu dan mengambil kerupuk. "Jam 12. Soalnya, banyak berhenti pas dari Cibiru. Kan di situ macet parah mau jam makan siang." Tania mengambil gehu dan teh hangat buat Asep. "Duh, pasti cape pisan. Nanti udah makan langsung istirahat." Asri makan dengan lahap. Ibu menyusui jauh lebih banyak makannya. "Iya, teh. Kalau udah makan. Isoma deh." Tania berpamitan untuk ke dalam di susul Asep. *** Mereka shalat berjamaah dengan saudara yang lain. Bibi dari pihak bapak langsung menarik Tania agar bersebelahan dengannya. Ketika shalat selesai mulailah bergosip ria. Asep yang mengerti sorotan mata dari Tania yang meminta tolong untuk keluar dari kerumunan itu. Asep dengan sopan menarik Tan"Hmm, lihat saja nanti." Tania tertawa terbahak-bahak. Asep berdecak. "Pemandangannya aku suka banget! Kalau ke sini lagi bawa keluarga aku, ya. Boleh?" tanya Tania sambil menyandar di dada Asep. "Boleh, bagus juga buat Abah. Biar enggak kaku banget. Neng, sini!" pinta Asep yang membalikan tubuh Tania hingga saling berhadapan. "Sekarang, kamu latihan pernapasan. Baru terapi air terjun di patung ikan. Terus latihan berenang lagi. Baru kita pulang, oke?" perintah Asep yang membuat Tania merengek seperti anak kecil. "Enggak mau! Capek, Aa. Ih." Tania memalingkan muka dan menepuk-nepuk permukaan air hingga Asep kemasukan air kolam. "Hayo, siapa yang punya asma? Ya, sudah aku tinggalin saja," seru Asep yang langsung naik ke pinggir kolam. Tania pun panik. "Aku! Iya-iya jangan pergi!" bujuk Tania yang menarik kaki yang berbulu tipis itu. "Janga
Suara burung yang berkicau diiringi berkokoknnya ayam jantan menghiasi cuaca yang sendu. Langit masih gelap dengan kabut tebal yang masih terlihat jelas, tanah yang masih lembab karena basah. Tania masih terlelap tidur, pasutri pun masih tidur dengan mendengkur. Asep duduk bersila mengumpulkan nyawa dulu. Mata elangnya menatap lekat wanita cantik yang masih tertidur itu. Dia mengelus lembut rambut ikal Tania, menghirup dan mencium rambut hitam dengan perlahan. Dia mengecup pipi dan kening, tubuhnya direnggangkan lalu pergi ke kamar mandi. Tania menoleh dan termenung sambil mengelus bantal pasangannya yang masih terasa hangat. Dia tersenyum-senyum dan tersipu malu. Lalu dia bangun dengan mengucek mata, melirik pasutri yang masih berpelukan. Ingatan malam yang indah itu terbayang lagi, kedua tangannya menutup wajah dengan pipi merah merona. "Honey, cepat mandi. Nanti keburu adzan subuh." Asep masuk dengan tubuh bagian bawah dilingkari handuk. Dan tubuh bagian atas dengan per
Perjalanan yang panjang itu, membuat tubuh dua kekasih itu kelelahan. Beberapa kali berhenti di restoran atau warung makan. Lalu Asep mengingat janji untuk membawa makanan Pizza Hutter yang diminta Rose. Tania pun memesan ukuran besar dan minumannya. Tania ternyata menyukai salad di tempat itu, jadi Asep memesan dan makan di sana. Tangan Tania menarik tangan Asep untuk ikut makan. Lantas mereka saling menggenggam tangan yang membuat dua sejoli itu tersenyum. Tinggal satu jam lagi pun sampai, Tania banyak membawa bingkisan dari mertua dan Pizza Hutter. Akhirnya, sampai di rumah Tania dengan selamat. Asep memberi salam dan memberikan makanan modern itu ke Rose. Awal yang sinis menjadi senyum sumringah. "Nah, gini. Sering bawa makanan yang banyak. Apa lagi itu?" tanya Rose yang menunjuk dus dan keresek besar itu. "Oh, itu makanan dari orang tuaku. Sama oleh-oleh dari Majalaya, Bu." Asep membuka dus serta keresek. Dan mengeluarkan berondong manis, dodol, dan lain-lai
"Ujang, maaf. Enggak kedengaran lagi ngobrol. Ada apa?" Asep yang menelepon balik Ujang yang melihat puluhan kali panggilan tidak terjawab. "Kang, bantu aku. Iis dalam bahaya! Kita lagi di Residen Gold Villa. Ini cabang sindikat itu. Aku sudah menghubungi komandan. Mereka akan kemari." Ujang yang memeluk Iis di sebelah pohon dekat motor tetangganya. Dia masih bersembunyi dari Jack yang terus mencari Iis. "Apa? Kok bisa? Iis kenapa?" teriak Asep yang membuat semua orang terdiam. Tania yang mendengar nama sabahatnya disebut langsung panik. "Aa, ada apa? Iis kenapa? Dia baik-baik saja, kan?" lirih Tania yang mencengkeram jaket yang sedang dipakaikan ke tubuh Asep. "Sepertinya, baik-baik saja. Aku mau bantu Ujang dulu. Situasinya bahaya! Gema, jangan ke mana-mana tetap di sini," perintah Asep yang langsung dipahami Gema. "Aku ikut! Ikut, ya? Aa!" pinta Tania yang mengekor ke Asep sambil membawa tas ke motornya. "Jangan, Taniaku
"Lepasin! Sakit! Tolong ...!" jerit Tania Nuraini yang terus diseret-seret dan terus dipeluk. Tiga preman itu sangat beringas. "Diam! Stt! Jangan coba-coba kabur. Masuk ke mobil." Preman yang mengancam. "Woy! Lepasin temanku!" Si Badut melihat jelas adegan itu dan disusul sahabatnya. Mereka berlari kencang untuk menolong. Tania terus melawan dan berontak dari orang-orang besar dan berkulit sawo matang. Tania dan Iis dibekap kain, tubuh menjadi lemas. Preman-preman itu baru mau mengendong mereka. Si Badut dan Si Tukang Balon langsung menendang dan menarik lawannya. Baku hantam terjadi, saling serang dan bertahan begitu alot. Tania dan Iis terkulai lemah dan setengah sadar di pinggir trotoar. Tania memfokuskan matanya, melihat pertarungan dashyat. Si Badut alias Asep Saepudin mengeluarkan jurus silat, sedangkan Si Tukang Balon alias Ujang Sumarwan mengeluarkan jurus taekwondo. Preman-preman itu pun takluk dan memilih mundur. "Tania! Iis! Sadar, ini kami." Ujang yang membawa minyak k
Rose menarik Cindy, mengajaknya untuk pergi ke bank. Tania dan Gema langsung berlari ke dalam untuk mencegah mereka. Tentu tenaga Gema lebih besar dan dapat merebut berkas itu. Cindy yang marah merebut kunci motor dengan cepat. Tania terkejut, tangan Rose mendarat tepat di pipi anak kandungnya. Tania ingin menampar balik, tetapi ditahan oleh Gema. Namun, Tania lengah baru mau menoleh. Tangan Cindy mendarat di pipi adik iparnya. Gema langsung memeluk adiknya yang terguncang. Anehnya, Rose masih sempat mengambil uang yang masih digenggam Tania. Gema terus menahan tubuh mungil yang terus bergetar hebat. Tania menahan amarahnya demi Gema. Rose menarik paksa merebut berkas lagi, dibantu menantunya. Gema pun bertengkar hebat, melawan dua orang yang sangat dia sayangi. Saat Tania ingin menolong ayah kandungnya, langkahnya terhenti karena mendengar satu kalimat dari Cindy Berna. "Kalau saja kamu nikah, kita bisa hidup enak! Apa susahnya sih dijodohin enggak mau." "Ulangi lagi!" murka Tania
Tania dan Gema mencoba fokus bekerja di kantor masing-masing. Namun, karena kurang fit mengerjakan tugas pun berkali-kali melakukan kesalahan. Tania ditegur Ibu manajernya sampai di bentak-bentak. Karena salah mendesain interior diproyek selanjutnya. Gema salah meng-input barang masuk dan yang keluar. Jalur trek pengiriman barang kacau semua. Yah, Tania bekerja di perusahaan Colour Design Interior. Sedangkan, Gema di perusahaan JOE jasa ekspedisi dibagian gudang. Hari itu terasa berat dilalui, hari sial untuk mereka. Entah, memiliki firasat tidak enak sejak kejadian pertengkaran tadi pagi. Tania terus memandangi ponselnya, berulang-ulang dihubungi nomor tidak dikenal. Dia tidak ingin mengangkatnya. "Tania! Tania!" panggil seorang pria rekan kantornya. "Iya, Kang Gilang? Ada apa?" Tania menoleh ke arah pintu masuk. "Kamu punya masalah apa? Di luar banyak orang mencarimu!" Gilang berlari ketakutan. Dia menarik tangan Tania sampai berdiri. Brak! Brak! Pintu dibuka paksa, masuk serom
"Apaan, sih. Ah, kamu kali yang kangen sama Aa Tukang Balon. Dia kan selalu bikin bunga dari balon buat kamu. Ciee ...," rayu Tania sambil menyuapi baso. "Mending balon bunga. Lah kamu dapet pedang-pedangan dan kain warna-warni dikeluarin dari mulut. Iuhh!" sindir Iis yang membuat Tania mencubit pahanya. "Paling kocak, Aa Badut coba bikin balon bentuk pedang. Eh, malah bentuk itu ...." Tania mengingat kenangan lucu itu. Iis dan Tania tertawa terbahak-bahak lagi. "Satu lagi, Aa Tukang Balon mau masukin balon ke mulut. Malah seret dan nyangkut. Sumpah, panik tapi bikin ketawa. Mimik mukanya itu, loh." Iis berguling-guling di kasur. "Tapi, kalau dipikir-pikir agak aneh. Kenapa mereka kerja jadi badut dan tukang balon? Tania, dua orang itu ganteng banget! Enggak cocok profesi itu! Minimal model gitu." "Benar, juga. Aneh banget! Tapi, kan kita jadi dapat hiburan mata dan hati." Dua sekawan itu cekikikan, sampai Tania mengingat sesuatu. "Yuk, siap-siap. Sebelum ke taman. Kita ke apoti