"Asep! Berhenti! Berhenti!" teriak Gema yang menarik tubuh Asep yang terus melancarkan serangan ke Galuh yang terpojok.
"Aa sudah! Sudah, tangan Aa berdarah! Cukup!" jerit Tania yang langsung memeluk erat Asep dari depan. "Lepas, Gema! Lepas! Orang enggak tahu diri harus dikasih pelajaran! Kalau tahu kurang, jangan lepas tanggung jawab dong!" murka Asep yang terus berontak, Tania tetap membujuk. "Kamu ini. Dibayar berapa? Sampai tahu keberadaan kami?" tanya Ujang yang kesal dan marah. Dia berlari dari atas ke bawah menghampiri keributan itu. "Kang, sudah! Sudah!" mohon Iis yang ikut mendorong tubuh Asep. Iis panik saat melihat kekasihnya langsung berlari ke dermaga itu. Iis menyusul Ujang. "Jawab! Suruhan Rose lagi, kan? Ayo, katanya cinta kok mata duitan?" ejek Ujang yang menarik dan mengangkat Galuh seperti anak kucing. Ujang yang marah terus mengangkat ke ujung belakang dermaga. "Lepas! Suka-suka aku dong. Kamu siapa? IPerjalanan pulang pun dilalui dengan beristirahat, tetapi sebelum ke motel semua sepakat untuk makan malam di luar. Tempat restoran yang dikelilingi sawah dan kebun teh. Dihiasi lampu malam yang seperti bintang kejora. Satu jam sebelum ke motel, Iis langsung booking dua saung lesehan yang besar. Banyak menu yang dipesan dari Western sampai Nusantara. Gema dan Asep bercerita soal keributan tadi yang membuat dua keluarga itu tercengang dan syok. Asep dan Ujang terus memberi wejangan untuk lebih berhati-hati untuk kedepannya. Bila ada hal yang mencurigakan atau orang misterius terus menganggu, harus cepat-cepat menghubungi mereka. Makan pun dihiasi dengan canda tawa, Tania melihat dan merasakan semua ingin menghiburnya. Asep menerima telepon dari Denny yang sudah berangkat pulang. Semua orang yang tidak tahu kejadian sebelumnya pun, baru menyadari ketidak hadiran Denny dan istrinya. Ujang pun berceritalah sampai menunjukan luka-lukanya. "Ini sudah diluar nalar manusia, Nak."
Ucup menangis tersedu-sedu, Iim, Aan, dan Uun yang tidak tega menenangkannya. Semua orang yang melihat dan mendengar semua kenyataan pahit itu hanya terdiam. Anak-anak yang tadinya tertawa lepas menjadi termenung dengan melihat kejadian tadi. Awal kesenangan dan kebahagiaan sekejap saja langsung menjadi kelabu. Iim mendorong kursi roda Ucup ke depan menuju taman yang ujungnya tebing itu. Aan menyusul Gema dan Uun menyusul Tania. Iim terus menepuk-nepuk bahu Ucup yang masih gemetar hebat. Iim terus menatap langit malam yang sangat indah, ditemani hiruk-pikuk kendaraan yang melintas di bawah. Sorot lampu dari bawah dan restoran itu menghiasi malam yang sendu. "Hah, aku jadi merasa mual. Kenapa Akang malah bercerita sekarang?" tanya Iim yang duduk di samping kursi roda. "Ini kesempatan bagus, Iim. Di sini ada tempat untuk menyejukkan hati. Kalau di rumah, suasananya jadi enggak terkendali." Ucup menyeka air dan menenangkan diri. "Terlalu nekat lebih tepatn
Sesudah mendapatkan keputusan final, mereka pun berbincang-bincang ditemani kopi hangat dan singkong goreng. Mereka pun menunggu Asri dan Denny pulang ke motel. Paman Asep yang satunya lagi sedang mengintip di jendela, dia melihat dua orang yang sedang berjalan menuju lorong itu. Dia pun membuka pintu sambil melambaikan tangan. Denny yang melihat pun langsung menghampiri kamar itu. Dia dan istrinya masuk dan langsung merasa marah melihat Cindy ada di depan. Iim dan Uun langsung memeluk erat kedua orang itu. Suami istri pun menyambut pelukan hangat dari keluarga. Denny terkejut dengan suasana di kamar itu. Dia berbisik menanyakan apa yang terjadi di situ ke Uun dan Iim. "Oh, baguslah. Aku masih belum bisa menerima semuanya. Maaf, Tania," ucap Denny yang membuat Tania mengangguk. "Aku paham, Kang. Maafkan, kami Teh Asri dan Akang." Tania berdiri dan memeluk kakak iparnya yang masih terlihat lesu. "Aku enggak marah ke kamu. Aku marah sama orang yang diam d
Keesokan harinya, dari semua kejadian-kejadian yang dialami keluarga besar Asep, Tania, dan Iis. Banyak sekali hikmah yang bisa diambil. Tania, Ucup, dan Gema jauh lebih bisa berpikir jernih dan tenang. Asep, Ujang, dan Iis yang terus menjaga mereka dengan berbagai macam cara. Walau harus mengorbankan darah dan harga diri, semua selalu dihadapi bersama-sama. Denny dan Asri yang sudah pulih total pun akhirnya ikut di hari terakhir wisata itu. Iis menyewa sebuah pemandian air panas untuk semuanya. Dia memilih wisata yang santai dan merelaksasikan ketegangan otot semua orang. Tania sedang duduk di pinggir kolam dan bermain air panas. Asri menghampiri dengan memeluk erat dari samping. Tania tersenyum dan membalas pelukan hangat itu. "Sudah mendingan, Teh? Maaf." Tania mendusel di pipi Asri. "Sudah, enggak apa-apa. Luka kecil gini. Kamu gimana? Sudah lepas plester, kan?" tanya Asri yang sama-sama mendusel di pipi Tania. "Besok lusa, sekalian cek up
"Ke mana orang itu! Pak, terus telusuri jalan setapak ini," perintah Ujang yang kesal karena hanya menemukan gantungan tas berinisial H di tanah. "Tata, kita cuma dapat ini saja. Ada syal motif bunga sama gantungan kunci. Satu yang pasti sosok itu wanita," terang salah satu dari rekan Tata sambil menyodorkan dua benda. "Baiklah, yang lain cari lagi. Aku punya firasat buruk soal ini." Ujang langsung menelepon Asep alias Doni yang masih ada di Cafe. "Siap, tapi kalau ini dugaanku benar. Kapten dalam dilema sekali." Lanjut bapak-bapak tadi dan menatap dalam Tata. "Pasti. Pokoknya kalau kalian lihat orang mencurigakan lagi. Jangan ragu untuk ditangkap! Paham!" perintah Tata alias Ujang yang menunggu kaptennya menjawab telepon. "Baik! Laksanakan!" teriak semua orang yang langsung menyebar dan mencari lagi. Tata yang masih menunggu jawaban dari Doni. Tata dan rekan-rekannya terus menyusuri jalannya hingga menemukan sebuah mobil m
"Lepasin! Sakit! Tolong ...!" jerit Tania Nuraini yang terus diseret-seret dan terus dipeluk. Tiga preman itu sangat beringas. "Diam! Stt! Jangan coba-coba kabur. Masuk ke mobil." Preman yang mengancam. "Woy! Lepasin temanku!" Si Badut melihat jelas adegan itu dan disusul sahabatnya. Mereka berlari kencang untuk menolong. Tania terus melawan dan berontak dari orang-orang besar dan berkulit sawo matang. Tania dan Iis dibekap kain, tubuh menjadi lemas. Preman-preman itu baru mau mengendong mereka. Si Badut dan Si Tukang Balon langsung menendang dan menarik lawannya. Baku hantam terjadi, saling serang dan bertahan begitu alot. Tania dan Iis terkulai lemah dan setengah sadar di pinggir trotoar. Tania memfokuskan matanya, melihat pertarungan dashyat. Si Badut alias Asep Saepudin mengeluarkan jurus silat, sedangkan Si Tukang Balon alias Ujang Sumarwan mengeluarkan jurus taekwondo. Preman-preman itu pun takluk dan memilih mundur. "Tania! Iis! Sadar, ini kami." Ujang yang membawa minyak k
Rose menarik Cindy, mengajaknya untuk pergi ke bank. Tania dan Gema langsung berlari ke dalam untuk mencegah mereka. Tentu tenaga Gema lebih besar dan dapat merebut berkas itu. Cindy yang marah merebut kunci motor dengan cepat. Tania terkejut, tangan Rose mendarat tepat di pipi anak kandungnya. Tania ingin menampar balik, tetapi ditahan oleh Gema. Namun, Tania lengah baru mau menoleh. Tangan Cindy mendarat di pipi adik iparnya. Gema langsung memeluk adiknya yang terguncang. Anehnya, Rose masih sempat mengambil uang yang masih digenggam Tania. Gema terus menahan tubuh mungil yang terus bergetar hebat. Tania menahan amarahnya demi Gema. Rose menarik paksa merebut berkas lagi, dibantu menantunya. Gema pun bertengkar hebat, melawan dua orang yang sangat dia sayangi. Saat Tania ingin menolong ayah kandungnya, langkahnya terhenti karena mendengar satu kalimat dari Cindy Berna. "Kalau saja kamu nikah, kita bisa hidup enak! Apa susahnya sih dijodohin enggak mau." "Ulangi lagi!" murka Tania
Tania dan Gema mencoba fokus bekerja di kantor masing-masing. Namun, karena kurang fit mengerjakan tugas pun berkali-kali melakukan kesalahan. Tania ditegur Ibu manajernya sampai di bentak-bentak. Karena salah mendesain interior diproyek selanjutnya. Gema salah meng-input barang masuk dan yang keluar. Jalur trek pengiriman barang kacau semua. Yah, Tania bekerja di perusahaan Colour Design Interior. Sedangkan, Gema di perusahaan JOE jasa ekspedisi dibagian gudang. Hari itu terasa berat dilalui, hari sial untuk mereka. Entah, memiliki firasat tidak enak sejak kejadian pertengkaran tadi pagi. Tania terus memandangi ponselnya, berulang-ulang dihubungi nomor tidak dikenal. Dia tidak ingin mengangkatnya. "Tania! Tania!" panggil seorang pria rekan kantornya. "Iya, Kang Gilang? Ada apa?" Tania menoleh ke arah pintu masuk. "Kamu punya masalah apa? Di luar banyak orang mencarimu!" Gilang berlari ketakutan. Dia menarik tangan Tania sampai berdiri. Brak! Brak! Pintu dibuka paksa, masuk serom